
Bermain prosotan! Permainan yang sangat menyenangkan saat kita kanak-kanak. Namun apakah pernah membayangkan, bahwa anda akan tetap melakukannya bahkan di umur lebih dari 40 tahun? Bahkan mendekati 50 tahun?
Weekend ini kantor saya sedang mengadakan acara Family Gathering di sebuah tempat hiburan di Jakarta. Tentu saja dengan senang hati saya mengajak anak-anak saya ikut. Lumayan! Buat mengisi liburan sekolahnya, sementara saya belum bisa mengambil cuti untuk menemani mereka di hari-hari yang lain. Ketika masuk ke tempat hiburan itu, anak-anak segera memutuskan untuk berenang dan bermain air . Saya pun ikut nyebur ke kolam. Jadilah kami bersenang senang dan bermain air bersama.

Selain berenang, anak-anak juga bermain prosotan air yang banyak jumlahnya di area kolam renang itu. Ada prosotan yang terbuka. Ada juga prosoton yang tertutup dan berbentuk trowongan. Ada yang didekorasi sederhana, ada yang berbentuk ikan, berkelok kelok seperti spiral, lurus dan lain sebagainya. Demikian juga assesoris permainan air yang lain, seperti tangga, terowongan datar, air mancur, tumpahan air dan lain sebagainya. Kelihatannya sangat asyik dan menyenangkan.
Sementara anak-anak memanfaatkan fasilitas itu, saya hanya menunggu mereka di kolam. Namun rupanya anak-anak tidak puas. Mereka mendorong-dorong saya untuk ikut naik tangga dan ikut merosot bersama mereka. Tentu saja saya tidak mau. Entahlah!. Walaupun saat kecil saya paling senang bermain prosotan, namun sekarang saya merasa sudah tidak jamannya lagi untuk bermain prosotan air. Terutama karena bertahun tahun memang sudah tak pernah melakukannya lagi.
Pertama, mungkin dari faktor usia. Jelas-jelas tidak muda lagi. Tentu agak aneh jika ada ibu-ibu seusia saya masih main prosotan air. Apa kata dunia?
Kedua dari faktor berat dan ukuran badan. Saya membayangkan, jika ikut merosot di sana, tentu saya akan bergedebum jatuh di air dan anak saya akan tertawa dan segera meledek “ Wahhh…ada kuda nil yang jatuh di air!!!. Awas kolamnya kering karena airnya tumpah semua ha ha ha”. Persis seperti yang dikisahkan oleh Barney dalam salah satu DVDnya, dimana saat Barney sang dinosaurus nyebur ke kolam renang , airnya tumpah sampai habis. Saya ingat anak-anak saya tertawa terbahak-bahak saat menonton adegan itu ketika mereka kecil.
Dan faktor yang ketiga dan paling serius diantaranya, adalah faktor kekhawatiran saya. Terus terang saya khawatir untuk merasakan sensasi ‘tergelincir’ saat badan menyentuh lantai perosotan yang licin oleh air. Saya khawatir jika kepala saya terbentur dinding perosotan. Saya juga bingung, bagaimana sebaiknya saya menempatkan kaki saya.Lurus atau ditekuk atau setengah ditekuk. Bagaimana caranya memastikan bahwa pada saat mendarat di dasar kolam atau di air, saya bisa langsung berdiri tegak, atau duduk atau apalah posisi yang aman. Saya khawatir tegelincir. Saya khawatir kaki saya cedera.

Dengan semua kekhawatiran itu akhirnya saya menolak ajakan anak saya untuk bermain prosotan. Namun kedua anak saya rupanya memang memiliki bakat negosiasi yang tangguh. Mereka terus mendorong dan membujuk saya untuk ikut bermain prosotan. Mulai dari bujukan yang meringankan “Ayo, Ma. Merosot saja. Gampang kok!” , lalu bujukan yang menghibur “ Ayo, Ma. Banyak Mama lain yang juga gendut, tapi kan mereka juga tetap bisa bermain bersama anaknya”, hingga bujukan yang memanas-manasi seperti “Ayo, Ma. Masa sama anak kecil saja kalah”. Semua dilakukannya. Saya tetap tidak mau.
Kemudian meraka menawarkan diri untuk menjaga saya di ujung prosotan untuk memastikan agar saya tidak cedera. Saya terharu mendengarkan tawarannya, namun tetap tidak berani melakukannya. Lalu mereka menawarkan untuk mengajarkan dan memberikan saya contoh bagaimana caranya merosot dengan baik. Saya melihat mereka merosot dan mendarat dengan sangat baik. Namun saya tahu saya tidak bisa melakukannya.
Lalu anak saya menanyakan, di bagian mananya yang terutama membuat saya khawatir. Apakah di bagian awal, saat meletakkan badan di pangkal atas perosotan? Ataukah saat badan kita merososot? Ataukah pada saat akhir di ujung perosotan?. Sungguh pertanyaan pemetaan masalah yang sangat cerdik. Pertanyaan yang kemudian membuka pikiran saya untuk menguraikan persoalan kekhawatiran saya dengan baik. Satu persatu.
Pertama, kekhawatiran pada bagian akhir proses perosotan. Saya takut mendarat dengan tidak mulus akibat tergelincir . Saya tidak ingat bagaimana caranya mendarat di air. Saya bingung dengan sikap kaki saya. Saya takut kepala saya terbentur dan cedera sebagai akibatnya. Lalu anak saya menyarankan saya untuk mencoba duduk di ujung perosotan. Melakukan simulasi pendaratan yang saya khawatirkan. Lalu mereka menyarankan saya untuk sedikit merangkak ke atas dan melakukan perosotan kecil beberapa puluh centimeter di ujung perosotan. Saya mencoba apa yang mereka sarankan. Secara umum tidak ada masalah, walaupun tidak bisa 100% menjawab kekhawatiran saya. Karena merosot jarak pendek, tentu beda dampaknya jika dibanding merosot jarak panjang. Namun setidaknya, setengah dari kekhawatiran saya berkurang.
Lalu anak saya mengajak saya naik tangga dan memberi contoh saya bagaimana caranya menempatkan posisi tubuh di pangkal perosotan. Saya ragu. Menurut saya, semua kesalahan fatal bisa terjadi jika kita salah menempatkan posisi saat awal. Saya takut tergelincir sebelum saya siap. “ Santai saja. Nggak perlu dipikirkan. Duduk dan merosot saja” saran anak saya. Berbicara memang mudah, namun begitu saya mencoba duduk, rasanya sudah sangat khawatir. Beberapa kali saya ragu. Duduk dan bangun lagi. Lalu duduk lagi dan bangun lagi. Hingga kemudian anak saya berkata “ Kan mama selalu bilang, kalau kita harus berani mencoba hal hal baru yang positif dan mengambil resiko!” Katanya mengingatkan. Dan tentu saja kali ini mereka menang telak terhadap saya. Membalikkan apa yang telah saya ajarkan kepada mereka setiap hari!. Tentu saya harus konsisten melakukannya juga. Kalau tidak, tentu akan jadi boomerang bagi diri saya selaku orang tua.

Tiba-tiba saya merasa tak punya pilihan lain lagi , selain harus merosot. Saat itu juga!. Tak perduli dengan apa yang akan terjadi. Tak perduli dengan sensasi ketakutan saat meluncur di lantai peosotoan. Dan….wsssssssssssss….sss…..aduuh, saya merasakan kengerian saat badan saya bergerak turun tanpa kendali dan …..jburrrrr!!!!. Saya tercebur masuk ke dalam air. Hore!!! Saya berhasil!. Akirnya!!!. Ternyata memang tidak semengerikan seperti apa yang saya pikirkan. Ternyata saya baik baik saja. Kaki saya utuh. Tidak Patah. Dan kepala saya baik baik saja. Tidak cedera. Saya tertawa senang. Anak saya meminta saya mencoba lagi.
Saya naik tangga lagi. Lalu anak saya yang kecil memberi nasihat. Kalau kita merosot, sebaiknya kita pasrah saja. Ikuti alur perosotan. Jangan melawan. Jangan memberontak. Maka kita akan berhasil mencebur di air dengan lebih baik. Dan memang, saya rasakan hal yang sama. Ikuti alur! Itulah cara yang paling mudah. Saya mencoba beberapa kali lagi.
Siang itu sangat cerah. Tak berapa lama kemudian, saya lihat di perosotan air yang lain, seorang kakek yang sedang menemani anak dan cucunya berenang juga mencoba merosot dengan wajah ragu-ragu namun kemudian mencoba lagi dan tertawa riang bersama anak dan cucunya. Lalu berikutnya seorang ibu yang berukuran XL lainnya pun ikut mencoba merosot di perosotan air bersama anaknya. Lalu menyusul seorang ibu lainnya lagi.
“Lihat, Ma!. Mama sudah ngasih inspiration pada Mama-Mama gendut lainnya untuk bermain prosotan air!” Anak saya meledek saya. Saya tertawa. Entahlah kebenarannya. Tadi berjam-jam sebelum saya merosot memang belum ada ibu-ibu yang bermain prosotan air. Entah suatu kebetulan atau tidak. Sungguh siang yang sangat menyenangkan. Bermain air bersama anak-anak di dalam kolam renang!. “Siapa yang bilang kalau sudah jadi Mama, orang harus berhenti main prosotan air? “ tanyanya.

Sambil merosot, saya memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Mengapa orang dewasa berhenti melakukan prosotan dan hal hal menyenangkan lainnya di masa kanak-kanak? Saya rasa jawabannya memang pada hal-hal yang menghambat saya di atas itu. Yakni masalah kekhawatiran baik akan keselamatan ataupun pencitraan diri. Orang dewasa telah terlalu banyak mengalami, membayangkan ataupun melihat hal hal buruk. Hal ini membuat mereka jika menjadi lebih hati-hati dan khawatir akan segala resiko. Demikian juga dengan image. Mereka cenderung untuk menyelaraskan diri dengan norma yang berlaku umum di dalam masyarakatnya. Sehingga kekhawatirannya akan cedera atau pandangan buruk oleh orang sekitar menjadi penting. Safety & image!. Sementara anak-anak tidak pernah memikirkan itu. Mereka tidak perduli dengan masalah pencitraan diri. Mereka pun belum banyak memahami potensi bahaya dan cedera, sehingga aktifitasnya sangat didorong oleh keinginannya yang murni untuk bergerak dan menikmati hidup.
Ya, benar!. Jadi sebuah pertanyaan yang sungguh valid “Siapa yang bilang bahwa usia membatasi kita untuk tidak bermain prosotan air dan berhenti bersenang senang menikmati hidup?’.
Related articles:
https://nimadesriandani.wordpress.com/2010/12/27/jangan-berhenti-belajar/