Saat para asistent rumah tangga pada mudik lebaran, banyak diantara kita merasa betapa melelahkannya hidup tanpa mereka. Apalagi bagi ibu rumah tangga yang juga sekaligus harus mencari nafkah untuk keluarga.
Bagaimana tidak? Bangun harus lebih pagi dari biasanya. Masak untuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak dan suami, menyiapkan keperluan seragam dan keperluan sekolah lainnya, menyapu dan merapikan rumah. Lalu buru-buru harus merapikan diri sendiri dan sim salabim harus merubah penampilan agar terlihat lebih resmi. Cantik dan professional dengan pakaian kerja. Di perjalanan masih membuka lap-top untuk mengejar utang pekerjaan yang tak sempat dikerjakan hari sebelumnya. Sampai di kantor menghadapi berbagai masalah dan target serta dead line yang tak pernah mengenal kata mundur.
Sambil bekerja, juga harus memastikan anak-anak ada yang menjemput/ditebengin agar bisa pulang dan makan siang dengan baik. Malam hari pulang kantor, mampir dulu di pasar memebli keperluan dapur dan bahan makanan, lalu masak lagi untuk makan malam keluarga. Habis makan, harus periksa PR anak-anak , lalu kembali lagi ke lap-top untuk memastikan agar tak ada utang pekerjaan kantor yang tertinggal. Atau melihat cucian dan setrikaan, baru bisa mandi dan membersihkan diri sendiri agar bisa beristirahat atau menemani suami. Walah! Serba salah. Kalau ditinggal kerja, pekerjaan rumah sulit beresnya. Kalau cuti juga salah, ntar pekerjaan kantor tak beres . Tentu beresiko terhadap performance diri kita sendiri dan bahkan terkadang merugikan perusahaan juga.
Syukur kalau punya suami yang mau mengerti dan bisa diajak berbagi pekerjaan. Misalnya kita bisa minta tolong suami untuk membantu membereskan rumah atau mencuci pakaian. Kan lumayan mengurangi rasa remuk di badan. Namun terkadang ada juga teman yang mengeluh suaminya tidak mau tahu urusan rumah. Ada pembantu atau tidak, maunya semua urusan rumah beres tapi ia sendiri tak mau membantu. Nah, itu apes namanya.
Namun terlepas dari semua rasa letih itu, sebenarnya kalau kita pikir-pikir banyak hal yang menyenangkan justru bisa kita nikmati lebih baik saat pembantu rumah tangga tidak ada. Setidaknya saya merasakan itu.
Misalnya adalah saat mempersiapkan makanan di dapur. Anak-anak saya yang biasanya hanya di kamar bermain atau membaca, semuanya pada ikut ke dapur. “Mau memasak!” kata anak saya yang besar dengan yakin, sementara yang kecil bermain dengan kucingnya di depan dapur. Iapun ikut menentukan masakan yang akan dimasak malam itu. Mau membantu membersihkan dan memotong sayuran, memarut keju, mengocok telor di mangkok, belajar memasak nasi dengan rice cooker dan sebagainya hingga membereskan piring kotor di meja makan. Semangat makannya meningkat. Anehnya, si kecil yang biasanya sulit makanpun ikut makan dengan lebih lahap. Anak-anak sangat senang dan memuji masakan mamanya. Iapun merasa bangga karena ikut terlibat dalam membuat masakan yang dianggapnya ‘sangat enak’ itu.
Berikutnya adalah saat mengisi waktu luang di sela-sela kesibukan rumah. Karena sepi, anak-anak jadi lebih sering berada di dekat kita. Ke ruang depan ikut. Ke halaman belakang ikut. Juga ikut berbaring di tempat tidur dan minta kita mengulang-ulang dongeng yang lucu yang pernah kita ceritakan sebelumnya. Senang membuatnya lebih banyak tertawa terbahak-bahak dan memeluk serta menghadiahkan ciuman untuk kita. Saya merasa kwalitas waktu saya bersama mereka jauh lebih baik dibandingkan biasanya. Karena kalau ada ‘Mbak’, selain meminta tolong kepada kita, anak-anak juga terdang meminta pertolongan Mbaknya. Sisi baiknya, kalau Mbaknya tidak ada, otomatis anak-anak hanya akan berada di dekat kita. Terus terang saya merasa kwalitas waktu saya bersama anak-anak jadi membaik, walaupun dari segi kwantitas tetap sedikit.
Selain itu, dengan tidak adanya si ‘Mbak’ kita juga bisa manfaatkan untuk mengajak anak kita agar lebih mandiri, lebih bertanggungjawab dan lebih bertoleransi dan rajin membantu orangtuanya yang sibuk. Hal yang positif untuk menemaninya bertumbuh.
Sekali-sekali hidup tanpa pembantu rumah tangga sungguh merupakan hal yang baik. Tidak hanya bagi anak-anak, bagi kita sendiripun sebenarnya juga lebih baik. Kita menjadi semakin dekat dengan keluarga, semakin cepat berpikir mencari cara praktis dan cepat untuk mengerjakan beberapa tugas rumah maupun kantor sekaligus, belajar memberi prioritas pada setiap pekerjaan. Mana yang penting, mana yang kurang penting. Mana yang harus mana yang boleh belakangan. Dan bahkan juga bisa sekaligus kesempatan untuk memeriksa isi dapur, lemari piring dan sebagainya yang sebelumnya mungkin terlewatkan.
Saya sangat terkesan ketika tiba-tiba anak saya berkata “ Mam, ini namanya keluarga inti ya Ma? Cuma kita saja. Tidak ada Mbak, tidak ada yang lain-lainnya. Hanya Papa, Mama, dan dua anak .Sangat menyenangkan!” Kata anak saya. Saya tertawa. Tentu ia ingat tentang pelajaran sekolahnya saat di kelas satu tentang keluarga. Wah, ternyata anak saya menikmatinya. Itulah sisi positivenya.
Love that shot. Any english translation for this?
LikeLike
Thank you. I will send to your email address the english translation.
LikeLike