
Ketika semua pada sibuk merayakan Imlek dengan lampion-lampion merahnya yang meriah, saya menerima ajakan seorang sahabat untuk berkunjung ke kebunnya. Sahabat saya ini sedikit agak berbeda dengan yang lainnya. Karena kebanyakan sarjana sibuk mencari kerja atau membuka usaha di kota besar begitu mereka menyelesaikan kuliahnya, namun sahabat saya ini malah memilih kembali ke kota kelahirannya untuk berkebun dan menjadi petani. Kembali ke desa. Pilihan hidup yang jarang dan berani ia jalani bersama istri tercintanya. Tentu saja saya menerima ajakannya dengan sangat antusias, karena saya memang selalu mencintai alam pedesaan yang tentramdan damai. Anak-anak juga pasti akan sangat menyukainya karena bisa bermain di ladang sepuasnya. Ia dan istrinya menerima kami dengan sangat ramah dan baik. Beberapa saat kemudian, berangkatlah kami dari rumahnya ke kebun dengan mengendari kendaraan kebunnya yang tahan banting.
Setelah menempuh perjalanan yang berliku, sempit dan banyak jeglukan, sampailah kami ke kebunnya di daerah Warnasari. Anak-anak dengan semangat langsung berhamburan masuk ke kebun. Memetik cabai keriting yang sebagian sudah memerah, memetik daun pre (bawang daun) yang sengaja ditanam dibawah pohon cabe serta memperhatikan belalang serta serangga lain yang barangkali ada di sana. Saya sendiri ikut memetik sambil menikmati pemandangan alam pegunungan yang indah. Puas memetik cabai keriting, sahabat saya itu mengajak kami ke kebun dimana untuk pertama kalinya ia berkarir sebagai ‘tukang kebun’.
Kebun yang luas dengan landscape yang indah dan sedikit berundak dan menurun. Kebun ini dilengkapi dengan sumber air yang cukup. Di tengahnya terdapat sebuah pondok penjaga kebun yang terbuat dari bambu dan gedek, tempat dimana 2 orang tukang kebunnya tinggal. Ada 1 ruang tengah dengan serambi depan, dua kamar tidur, kamar mandi dan dapur. Sayapun melihat-lihat ke sekeliling. Walau usaha utamanya adalah cabai, namun penjaga kebun juga terlihat menanam sayuran lain serta tanaman hias di dekat pondok. Juga sekaligus memelihara angsa dan domba australia. Saya tertarik untuk menjenguk ke kandangnya. Domba-domba itu segera mengembek, seolah-olah koor begitu melihat saya datang. Saya membalas sapa mereka dengan menirukan suara kambing. Sayang domba-domba itu kelihatan agak kurang terawat dengan baik sehingga saya tidak bisa melihat bulu-bulunya yang putih bersih. Bulunya yang tebal untuk bahan wool sekarang malah kusut dan kotor.
Cabe yang ditanam di kebun ini adalah cabe dari jenis yang besar. Bukan cabe keriting. Cabe ditumpangsarikan dengan tanaman sawi. Saya menyempatkan ngobrol tentang perwatan tanaman dan masa panennya. Menurut penjaganya, mereka sempat menikmati harga yang sempat tinggi saat bulan puasa dan lebaran.
Setelah puas berkeliling kebun, maka sorenya kami beristirahat di pondok. Sang tuan rumah memesan kopi, minuman standard di daerah pegunungan untuk menghindari kedinginan. Sahabat saya juga memesan mie instant rebus untuk kami nikmati beramai-ramai di kebun sore itu. Seru juga sesekali menikmati mie instant yang panas ditabur irisan cabe rawit.
Kabut turun perlahan-lahan menyapu perkebunan di daerah pegunungan itu. Hening dan dingin. Di sini di ladang, kehidupan seolah bergulir dalam kedamaian. Suara burung-burung kecil yang pulang kandang dan serangga memenuhi udara senja. Betapa tentram rasanya kehidupan mengalir di sini. Saya menyukainya. Sayang liburan dengan cepat berakhir.
Saya senang melihat kehidupan sahabat saya ini beserta keluarganya. Bersahaja, namun terus menerus berusaha dan pantang menyerah. Semoga segala usahanya berjalan lancar dan sukses.
Pulangnya kami diberi oleh-oleh berupa sayuran Caisim, Selada dan Cabai. Saya sangat berterimakasih atas kebaikan sahabat saya itu.
Menikmati liburan di kebun selalu memberikan kesan tersendiri ya mbak, menenangkan dan menyejukkan. Apalagi setelah kita penat seharian bekerja.
Sayang saya tidak ikutan di ajak.. 🙂
LikeLike
Ha ha..jauh sih Mbak.Kalau deket saya ajak deh.. he he
LikeLike
ini liburan yang seru mbak, tidak hanya ke mall 🙂 seandainya dekat dengan alamseperti itu asyik sekali
LikeLike
Sayangnya memang alam seperti ini lokasinya lumayan jauh dari Jakarta ya Mbak Lidya.
Selamat Ulang Tahun buat suaminya tersayang. Tadi aku pengen ninggalkan comment di tempatmu,kok nggak bisa ya..
LikeLike
Serasa ikut ke kebun juga aku, puitis banget, sesuai dengan alam yang dikunjungi. Beruntungnya punya sahabat seperti itu, aku juga mau kalau diajak menengok kebun.
Meninggalkan hiruk pikuk metropolitan yg sarat kompetisi dan hiatus sejenak di tempat seperti ini, aku pikir, bagi jiwa mengalahkan gizi yg terdapat dalam sayur mayur segar itu Mbak 🙂
LikeLike
Ya.. bener deh Mbak.Di kebun seperti ini, rasanya damai banget.
LikeLike
wuih luas sekali ladangnya… pemandangannya juga bagus. Dija ne bu Made? Luwung sajan pemandanganne nok…
LikeLike
Pemandangannya bagus, karena adanya di kaki Gunung Gede. Nama desanya Warnasari, di Sukabumi.
LikeLike
aku juga awalnya punya pikiran gitu…. pengen cpet lulus and dapet kerja di kota gede… yah dipikir2 tu gengsi semata… tapi mainsed yang dibangun dimasyarakat emang gitu. . . . huuuuuhhh jadi serba bingung…
LikeLike
ya.. kebanyakan memang spt itu.
LikeLike
waaah asyiknya…jd ingat kampung halaman …….:)
LikeLike
He he.. ayo pulkam Pak..
LikeLike
perkebunan organik ya mbak…?
memang kalau lihat kebun itu rasanya hati tersa luas dan lapang..lega kayaknya ya..
LikeLike
Kebun biasa, Mbak. Bukan organik.setahu saya sih masih menggunakan pupuk koersial biasa..
LikeLike
kalau liburan saya, saya sama teman2 goes maen sepedaan di pegunungan mba, asik kan
LikeLike
Hobby yang menyenangkan banget- gowes ke pegunungan.
Eh, omong-omong kok commentmu masuk ke Spam ya Im? kenapakah gerangan?
LikeLike
Lokasinya kebuh sahabat Mbak Made ini di Wanasari Garut ya? Pemandangan alamnya begitu indah dengan udara sejuk. Apalagi kalau sore hari kabut turun dengan cepat menyapu areal kebun. Menimbulkan suasana tentram, tintrim dan tentu saja jauh dari hingar bingar kehidupan kota besar yang memekakkan telinga. Salam….
LikeLike
Lokasinya di Warnasari, Sukabumi Mbak. ooh..di Garut rupanya ada juga yang bernama Wanasari ya.
LikeLike
Pilihan hidup tuk berkebun yang dinikmati ya Jeng, menikmati hijau kebun yang menyegarkan, jadi pengalaman berharga tuk para jagoannya Jeng Ade. Salam
LikeLike
wah..anak-anak saya suka kalau diajak ke kebun, Bu Prih..
LikeLike
Asik sekali kalau di Jakarta bisa ditemukan tempat seperti itu
LikeLike
ya, memang sayang banget. Jauh dari Jakarta
LikeLike
suka banget foto fotonya mbak ….. jadi pengen berkebun lagi tapi masih nunggu sampai mei tiba
semoga usaha sahabatnya sukses selalu ya mbak
LikeLike
Terimakasih Mbak Ely. Ntar Mba Ely berbagi cerita ke kita ya kalau kebunnya sudah mulai bisa digarap kembali..
LikeLike
Cita-cita saya sejak dulu … kepengen punya kebun … kapan ya … 🙂
LikeLike
he …
ada mas Harjo disini …
apa kabar mas ?
(maap bu numpang menyapa …)(hehehe)
Mas Harjo itu kawan blog saya juga … sudah lama saya tidak keblog beliau …
dan believe it or not … kami berdua satu almamater … (walaupun beda angkatan)
salam saya
LikeLike
Wah.. ini reauni IPB ya? he he . Angkatan tahun berapa sih Om?
LikeLike
Ya..sama mas cita-citanya dengan saya. Berdoa yuk..Semoga kita bisa memiliki sebidang kebun suatu saat nanti.
LikeLike
Waahhh … saya salut sama sahabat Ibu Andani …
Mau kembali ke tempat kelahirannya dan berkebun disana …
Ini bukan suatu pekerjaan yang mudah … pasti ada banyak tantangannya …
masalah pemasaran … penyimpanan … penanggulangan hama dan sebagainya … (apalagi sayuran kan masa kedaluarsannya pendek sekali)(cepat layu …)
Semoga sukses untuk usahanya sahabat ibu …
Tentu menyenangkan sekali berkunjung ke sana ya Bu
saya bisa merasakan dari foto-foto yang disajikan
salam saya
LikeLike
Terimakasih, Om Trainer.
Ya, kayanya teman saya itu menikmati hidupnya dengan baik..
LikeLike
Saya punya kebun kecil dihalaman kos ku sekarang… jadi berharap nanti kl berkeluarga pengen punya kebun yang seger di halaman rumah.
LikeLike