Sebatang Pohon Ara Dan Kenangan Yang Menyertainya.

Standard
Sebatang Pohon Ara Dan Kenangan Yang Menyertainya.

Saya melihat sebatang pohon Ara  muda sedang belajar berbuah di ladang. Karena sudah lama tak pernah melihat pohon itu, awalnya saya ragu dalam menebak pohon apa gerangan. Sangat familiar tapi saya lupa. Orang ladang mengatakan itu Pohon Tin. Setelah lama berpikir, akhirnya saya ingat juga. Pohon itu bernama Ara dalam bahasa Indonesianya. Atau Fig  (Ficus carica) dalam bahasa Internationalnya.

Di Bali disebut dengan nama Pohon Aa (dibaca Ee; e seperti mengeja huruf e pada kata kepada). Pohon Aa atau Ara  ini saya temukan hidup liar di tepi jurang. Jaman itu, di rumah saya belum ada saluran air dari PDAM, sehingga saya dan kakak sepupu saya harus mengambil air minum setiap hari ke mata air yang disebut Anakan di seberang jurang. Di tepi jurang itulah saya melihat tanaman Aa ini tumbuh liar dan besar.

Suatu sore saya melintas lagi di bawah pohon Aa di tepi jurang itu bersama Bapak saya saat ikut beliau memancing ke sungai. Buahnya banyak sekali bergerombol muncul dari batangnya bahkan hingga ke pangkal batangnya. Warnanya hijau keunguan. Banyak sekali buah pohon Aa itu yang sudah tua berjatuhan di tanah.  Saat itulah saya menanyakan nama pohon itu kepada Bapak saya. Mulai dari pohon apa namanya, amankah buahnya untuk dimakan, hingga mengapakah buah pohon ini berbiji sangat kecil di dalamnya dan sebagainya. Saya ingat hari itu, sambil memancing di sungai Bapak saya menceritakan sebuah dongeng tentang seorang bijaksana bernama Uddalaka yang mengajarkan  putranya Swetaketu yang haus ilmu.

Swetaketu mempertanyakan bagaimana mungkin Tuhan menciptakan alam semesta ini dari sesuatu yang tidak ada, menjadi sedemikian luasnya yang tak mampu terpikirkan oleh manusia.  Uddalaka lalu mengambil buah dari pohon Aa ini dan meminta Swetaketu untuk membukanya. Setelah Swetaketu membukanya, ia lalu bertanya, “Apa yang kau lihat, anakku?” tanya Uddalaka. “Biji-biji buah Aa yang sangat kecil sekali, Pak” Jawab Swetaketu.  Lalu iapun meminta Swetaketu untuk memecah biji-biji yang sangat kecil itu dan bertanya lagi kepada putranya “Apa yang kau lihat anakku?” Swetaketu menjawab “Tidak ada apa-apa, Pak”. Memang tidak ada apa-apa yang bisa  Swetaketu lihat di dalam pecahan biji Aa yang super kecil itu.  Akhirnya Uddalaka berkata kepada putranya,  “Anakku, justru dari sari biji  Aa yang engkau sangka tidak ada di sana itulah pohon Aa yang sangat besar bisa tumbuh. Hal yang serupa juga terjadi pada alam semesta ini”.

Saya menangkap maksud dongeng dari Bapak saya. Pertama, bahwa sesuatu yang sangat besar, mungkin saja tercipta dari sesuatu yang sangat kecil atau bahkan yang tak tampak oleh kita.  Kedua, bahwa  hanya karena kita menyangka sesuatu itu tidak ada, bukan berarti  bahwa ia tak ada. Barangkali itu hanya karena kita tidak mampu menangkapnya dengan keterbatasan indra yang kita miliki atau karena  keterbatasan dimensi tempat kita berada.

Awalnya saya pikir apa yang diceritakan Bapak saya itu hanya sekedar dongeng lokal dan tradisional di Bali semata. Setelah saya agak besar, barulah saya tahu bahwa Bapak saya rupanya menceritakan sebuah kisah dari Upanishad yang usianya memang sudah ribuan tahun kepada saya. Kisah ini banyak diceritakan kembali dalam versi lain di berbagai negara.  Memang tidak sama persis, tapi terkadang memang maknanya mirip atau serupa sebagian. Termasuk dalam film kanak-kanak  yang sering saya tonton bersama anak saya  – ”A  Bug’s Life”,  dari Pixar. Di film ini dikisahkan Flik menyemangati Dot, puteri semut yang masih kecil bahwa walaupun kita kecil dan lemah, kita tidak boleh berkecil hati ataupun berputus asa. Karena suatu saat kita juga akan tumbuh besar dan hebat. Flik menunjukkan biji kecil  dari sebuah pohon besar di tepi sungai. Dari biji yang kecil itulah sesungguhnya sebuah pohon besar bisa tumbuh.

Mengenang dongeng itu, maka sayapun memetik sebuah dan membelahnya. Sayang masih mentah. Warnanya merah muda dan sedikit begetah. Tentu saja rasanya tidak manis kalau begini. Orang-orang ladang tertawa.  Kalau ingin buah Ara yang manis,ambillah yang sudah tua dan berwarna ungu.  Tidak apa-apa.  Saya hanya ingin melihat bijinya yang super kecil. Memecahnya. Dan memang benar juga, saya tidak melihat apa-apa di dalamnya! Tapi walaupun saya tidak melihat apa-apa, saya sangat yakin bahwa dari apa yang saya tidak bisa lihat ada di situ, akan tumbuh sebuah pohon Ara yang sangat besar.

36 responses »

    • Wah..namanya beda lagi ya. Tp saya nggak belajar Filologi,Bu Min. paling cuma dengar saja. Kalau Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, memang intisarinya banyak dijadikan referensi oleh masyarakat di Bali. Sehingga pada setiap malam Siwaratri (sehari menjelang tilem kepitu/bulan mati ke tujuh) banyak orang melakukan refleksi diri, perenungan diri atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, meminta maaf dan memuja Siwa, sebagai sinar suci Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai pelebur dan berikutnya berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang lebih terpuji.
      Pada intinya sih, walaupun kita pernah melakukan dosa, bukan berarti tidak ada jalan bagi kita untuk memperbaiki diri dan menuju surga. Sepanjang kita mau melakukan refleksi diri, menyadari kesalahan kita, tidak lagi mengulang dosa yang telah kita lakukan dan berusaha melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak-banyaknya, setidaknya berusaha untuk meningkatkan timbangan kebaikan kita diatas keburukan yang telah kita lakukan, maka peluang untuk keluar dari neraka pun terbuka. Itu sih yang saya tahu, Bu Min..

      Like

  1. Ceritanya mirip2 ya …
    DI dalam sebuah kitab saya, kisah pohon Ara ini memang luar biasa …
    Ketika seorang Nabi berjalan melewati sebuah desa … dan ketika melewati pohon ara ini dan hendak mencari buah, sayangnya tidak ada buah yag didapati …
    Artinya, pohon itu adalah pribadi saya, yang ternyata tidak didapati buah-buah yang bisa menyenangkan bagi yang Di Atas dan juga sesama.
    Jadi buat apa tanaman itu hidup?

    Like

  2. Filosofi dari buah Ara ini ternyata dalam sekali ya mbak…bahwa hal yang tak nampak oleh mata kita, belum tentu betul-betul tidak ada di kelak kemudian hari…
    Sayang sekali saya belum pernah melihat pohon ara, buahnya juga baru saya lihat di blog mbak Made ini. Trima ksih sudah berbagi foto dan cerita…ah, jadi tambah wawasan deh 🙂

    Like

  3. Wah, baru saja mencicip buah tin ini, oleh-oleh kakak dari Libanon 😀
    Dan, yang paing menarik adalah kisah di balik buah ini. Ternyata, dalam kepercayaan kita yang berbeda, buah tin sama-sama punya kisah tersendiri. Saya ingat betul, cerita ayah saya dulu tentang buah Tin. Katanya, dalam sebuah riwayat hadits dikatakan, bahwa Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa tin itu turun dari surga dan punya banyak sekali manfaat.

    Indahnya kebhinekaan yaaa 😀

    Like

  4. Ara adalah lambang pohon kehidupan. Maka di Lampung Barat diambil sebagai lambang daerah. Munkin filosofinya sama Mbak Dani, walau kecil, lampung barat salah satu penyokong kejayaan NKRI. Suka sekali pada cerita anak2 itu Mbak..Dari biji-biji kecil itu bisa lahir hutan ara ya…

    Like

  5. Trimakasih Jeng Ade sharingnya, semoga ada biji meski sangat keciiiil dalam hidup ini. Ijin copy tuk pembelajaran ya,dulu sempat melihat di GMKA Ambarawa tapi sekarang tidak ada lagi. Ada kolektor yang menyambungkan dengan bbrp jenis tin/ara sehingga aneka dalam 1 pohon. Salam

    Like

  6. Di hutan dekat kampung kelahiran saya mungkin ada, hanya saja menyebutnya saja yang beda.
    Banyak buah lain yang saya nggak tau namanya.
    Dan pasti ada ribuan lain lagi yang memang belum punya nama.

    Like

    • Ya.. kelihatannya banyak yang tahu nama pohon ARA ya. Banyak ditanyakan di TTS. Ada yang menggunakannya sebagai lambang daerah,dsb. Di Bandung malah ada area yang disebut Kiara Condong – barangkali asal muasalnya dahulu ada pohon Ara (Ki Ara) besar yang tumbuh condong/kurang tegak di sana, sehingga area itu disebut Kiara Condong.

      Like

Leave a reply to Kerta Besung Cancel reply