Mencari Alasan Kedua yang Membenarkan.
Saya menengok seorang teman yang habis melahirkan. Saya menebeng seorang teman yang juga ingin menengok. Teman saya itu tidak tahu alamatnya. Sedangkan saya sudah agak lupa.Walaupun sebelumnya saya pernah main ke rumahnya. Jadi akhirnya kami sepakat untuk jalan saja dan mencari-cari sendiri alamatnya itu. Teman saya itu yang menyetir dan saya menavigasi. Sempat juga kami kelewatan. Namun setelah menelpon teman kami itu, akhirnya berhasil juga tiba di depang gang kecil yang akan masuk ke rumahnya.
Saat melihat bahwa gangnya itu ternyata kecil dengan tikungan ekstreem yang patah, teman saya bertanya kepada orang yang berdiri di dekat gang. ”Bisa masuk gang?”. Yang ditanya mengiyakan.”Bisa, Bu” katanya sambil segera membantu memberi aba-aba layaknya tukang parkir. Teman saya memutar stir beberapa kali, namun kelihatannya sangat kerepotan dan berakhir dengan tidak begitu sukses. “Aduuh.. kok tadi jawabannya ‘bisa’ sih.Padahal berharap dia menjawab ‘tidak bisa, bu’. Jadi punya alasan untuk tidak masuk gang ini” keluh teman saya jujur. Saya tertawa mendengarnya. Karena sulit, kamipun akhirnya memutuskan untuk parkir di pinggir jalan. Dan berjalan kaki saja masuk ke dalam gang.
Rupanya teman saya tidak percaya diri mampu membawa kendaraannya yang cukup besar itu memasuki gang sempit. Ia ingin mengambil keputusan untuk tidak memasuki gang. Namun tidak mau mengatakan bahwa ia tidak bisa. Ia pun berusaha mencari alasan lain yang valid untuk menutupi kelemahannya itu. Mencari alasan kedua, yakni ‘kendaraan terlalu besar untuk masuk ke dalam gang ‘dan ingin meng’highlight’nya sebagai alasan pertama. Lucu juga.
Kisah lain yang serupa adalah ketika saya bermain ke rumah seorang sahabat di kota lain. Ketika saya menelpon, sahabat saya mengatakan bahwa ia sedang tidak bekerja karena sakit. Jadi ia ada di rumah. Saya diminta datang langsung ke rumahnya. Setibanya di sana, saya melihat sahabat saya itu memang agak flu. Namun secara umum terlihat baik-baik saja dan tetap ceria menemani saya ngobrol. Bahkan ketika saya geret-geret untuk mengantarkan saya berkeliling kotapun ia masih bersedia dan tetap semangat. Entah barangkali karena jarang bertemu saya atau karena sebenarnya ia tidak terlalu sakit. Sayapun mempertanyakan level sakitnya dan kenapa ia membolos kerja hari itu. “Aduuh capek..pengen istirahat di rumah saja dulu. Sehari saja” Katanya. Ia mengatakan kepada saya bahwa sebenarnya ia capek. Kebetulan juga sedikit flu. Jadi ia minta ijin ke kantornya untuk tidak bekerja dengan alasan flu. Tentu saja ia tidak mau mengaku kepada orang kantornya bahwa sebenarnya ia tidak bekerja karena cape. “ Ah..Sakitnya 25%, malasnya 75%” kata saya meledek, yang ditanggapinya dengan derai tawa. Ia menemukan alasan kedua dan meng”highlight”nya untuk menutupi alasan utamanya.
Saya pikir itu pun biasa dilakukan oleh orang-orang lain, termasuk saya. Saya yakin, sayapun cukup sering melakukan hal seperti itu. Walaupun saat saya menulis ini, saya tidak berhasil mengingat perbuatan apa yang pernah saya lakukan yang sejenis dengan hal yang dilakukan oleh teman-teman saya di atas.
Apakah perbuatan itu termasuk hal yang positive? Atau sesungguhnya hal yang negative? Entahlah. Saya tidak tahu jawabannya. Barangkali relatif, tergantung dari mana sudut pandang kita. Perbuatan inipun tidak bisa dikatakan bohong. Karena alasan yang digunakan juga sesuatu yang valid, actual dan masuk akal. Namun saya tetap mencoba memikirkan, mengapa kita terkadang melakukan hal itu. Dan apa benefit dari melakukan hal tersebut.
Yang jelas, sebagai manusia tentu kita tidak luput dari kekurangan. Dan kita tidak ingin kekurangan kita itu dihighlight apalagi dibesar-besarkan di depan umum. Sangat manusiawi.
Dengan mencari alasan kedua dan mem’blow-up’nya, setidaknya kita mendapatkan ‘perlindungan’ di balik alasan ke dua itu. Secara emotional, tentunya kita akan merasa lebih lega, lebih nyaman dan tak perlu terlalu khawatir. Kita tetap bisa mencapai objective yang kita inginkan, tanpa harus merasa kurang nyaman. Terkadang, dengan melakukan hal inipun kita bisa melindungi orang yang kita libatkan agar tidak merasa diperlakukan semena-mena. Karena pada faktanya, tidak semua orang mampu menerima keterusterangan. Sebagai contoh – bayangkan saja, misalnya jika tiba-tiba seseorang yang kita sukai berkata “ Sebenarnya saya tidak menyukaimu, tapi karena kamu selalu memperhatikan saya,..ya apa boleh buat terpaksa saya ladeni”. Tidak nyaman bukan? Barangkali menyakitkan juga. Dan barangkali kita akan lebih memilih agar orang yang kita sukai itu cukup memberikan kita isyarat agar kita menjauh tanpa harus mengatakannya seterus terang itu kepada kita.
Jika ada benefit atas suatu perbuatan, mungkin ada juga resiko atau kelemahannya. Resiko negative bisa terjadi jika ternyata orang yang kita libatkan mampu membaca apa alasan utama kita. Tentu orang tersebut akan menyimpulkan bahwa kita bukanlah orang yang tulus. Bukanlah orang yang jujur dan pantas dipercaya. Tidak bohong, tapi tidak mengatakan keseluruhan kebenarannya.
Namun tentunya tanggapan setiap orang berbeda dan bervariasi. Ada yang menerima hal itu sebagai sesuatu yang manusiawi, dan tentunya ada juga yang menganggap itu sebagai suatu hal buruk yang serius. Saya pikir tindakan –tindakan seperti ini memang sesungguhnya masuk ke dalam zona abu-abu alias “Grey area”. Seberapa kelabu? Nah, itu jawabannya kembali relatif. Tergantung orangnya masing-masing…
Sebagai tambahan, saya pernah mendengar dari seseorang yang tentunya juga mengutip pernyataan dari orang lain, bahwa sebenarnya manusia di dunia ini, jika ditilik dari tindakan, sikap dan segala sesuatu yang dihasilkan akibat interaksinya satu sama lain, 80% berada di area abu-abu. Dan hanya 10% yang benar-benar berada di area putih, serta 10% yang benar-benar berada di area hitam. Jadi sebenarnya hanya sedikit sekali orang yang benar-benar sangat baik, jujur dan serba sempurna. Demikian juga sangat sedikit orang yang benar-benar memiliki sifat dan niat jahat. Sisanya konon berada di area abu-abu ini, yang bervariasi mulai dari abu-abu ringan mendekati putih, bergradasi hingga abu-abu pekat mendekati hitam. Saya cenderung berpikir barangkali ada benarnya juga pendapat ini.
iya terkadang kita terpaksa ‘mengaburkan’ alasan sebenernya karena kita tahu alasan itu bakal sulit diterima orang. apalagi jika dengan orang yang belum dekat dan harus kita beri pengertian tentang apa yang kita sukai dan kurang sukai. kadang2 jadinya mesti bekerja lebih keras mencari solusi yang adil buat semua orang..
LikeLike
ya.. seringkali kita jadi menyesuaikan diri dengan tujuan menciptakan suasana yang nyaman, dengan cara melakukan intervensi terhadap alasan kita..
LikeLike
Wah, saya suka dengan istilahnya, Mbak. “Bersembunyi” di balik alasan kedua. Pasti saya sering deh. Dan motivasinya (bagi saya manusiawi) adalah untuk menutupi kelemahan tanpa harus berbohong (sepakat bahwa itu bukan bohong, hanya tidak menyebut yang sebenarnya). Tapi, saya juga sepakat bahwa hal itu masuk zona abu-abu. Jadi, bukannya yang putih lebih baik daripada abu-abu, ya? 😀
LikeLike
ya ya.. tenang. Ada temannya. Saya juga sering kok he he..
LikeLike
kalau terbiasa di zona abu-abu ini berbahaya ya bun. apa kabar bunda? maaf baru bisa berkunjung lagi jadi ketinggalan banyak postingan disini
LikeLike
Ya.. sih Mbak. Apalagi kalau kita berada di zona abu-abu gelap mendekati hitam he he..
Kabar baik, Mbak. Nggak apa-apa..saya juga hanya bisa berkunjung sesempatnya saja..
LikeLike
hmm, kenapa nggak mencoba untuk jujur saja ya bun? 😐
LikeLike
… barangkali kadang-kadang jka terlalu jujur dan berterus terang malah mengakibatkan keadaan menjadi fatal..
LikeLike
Saya sependapat bahwa kita memang cenderung menutupi kebohongan kita dengan mencar-cari alasan pembenar. mengapa demikian ? Karena manusia lebih memilih “tetap baik” di mata orang lain.
Kelakuan itu bukan hanya dilakukan oleh orang rendahan lho, pejabat tinggipun juga tak sedikit melakukannya, demi menjaga image,citra atau penilaian orang lain.
Salam hangat dari Surabaya
LikeLike
ya ya.. bener ya Pakde.. Mungkin sebagian orang melakukannya ya..
Salamjuga buat kotanya,Pakde..
LikeLike
mencari pembenaran atas satu tindakan dengan satu alasan itu sudah lumrah,, positif dan negatifnya saya juga tidak tau… contoh di bulan puasa ini orang tidak berpuasa dg alasan tidak sahur, alasanya masuk akal tapi bukan berarti tidak bisa menahan lapar dan haus sampai waktu berbuka, sangat mungkin bisa, walau tidak sahurpun.
LikeLike
ya Kang.. barangkali hampir semua orang pernah melakukannya ya.. cuma derajat keabuannya saja yang barangkali berbeda. ya, satu contoh yang serupa juga bisa jadi seperti yang kang Uyayan contohkan itu tentang puasa..
LikeLike
Karena 80% berada diarea abu-abu itulah orang bisa dengan mudah melakukan kejahatan ataupun kebaikan karena komposisinya cukup besar.. 😀
LikeLike
tergantung dari seberapa faktor putih atau hitam mempengaruhinya ya, Da..
LikeLike
Sharing yang sangat menarik dan relevan jeng, seraya introspeksi…. Fakta laporan belum selesai, pembenaran perlunya analisis yang lebih tajam so yang keluar,’ sebentar laporan menyusul ya perlu pembenahan agar analisis lebih mengena dengan permasalahan nih’, intinya tetap minta tambahan waktu hehe ….
LikeLike
Percaya diri memang perlu ya Bun, tapi jika Percaya dirinya malah tidak “pas” kan repot sendiri. hihihihi
Aaaaaah, meniding jujur saja ya, Bun. Apapun kondisinya. 🙂
LikeLike
Jujur merupakan modal kesuksesan juga, dengan kejujuran setiap masalah akan cepat terselesaikan …
LikeLike
rasanya inginsetiap hari aq membaca tulisan mba dani deh..inspiratif bgt….! kpn-kpn aku undang di paudku yuk….garasi rumah yg menjadi sekolah…..!
LikeLike
Hei Wiek. Apa kabar? Wah.. thanks banget ya sudah baca tulisanku. Ya..mau..kapan-kapan aku mau diundang untuk melihat PAUDmu.
LikeLike
Jadi introspeksi mbak, kayaknya saya juga suka ‘memanfaatkan’ sedikit kesulitan untuk menutupi kekurangan yang lebih besar…trima kasih pencerahannya ya! 🙂
LikeLike