Menemani Anak Bermain SkateBoard: Tentang Keberanian Dan Resikonya.

Standard

Hari Minggu. Saya berjalan pagi dengan Aldo, anak saya yang kecil. Satu kali putaran di perumahan. Saya pikir cukup. Tapi sesampainya kembali di rumah, ternyata anak saya tidak mau berhenti. Ia masih ingin bergerak lagi.  “Main skateboard aja, Ma” bujuknya. Akhirnya saya  menemaninya bermain. Ia meluncur dengan cepat di atas skateboardnya. Yiihhhhaaaaa!!! Sungguh menyenangkan. Walau hari Minggu, secara umum jalanan perumahan sepi, tapi  tetap saja sesekali ada kendaraan yang melintas. Jadi sesekali saya harus berteriak juga, agar anak saya berhenti dan memarkir diri serta skateboardnya di pinggir jalan untuk sementara.

Sudah lama sekali ia tidak bermain skateboard.  Melihat ia meluncur dengan kencang diatas papan itu, saya jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat  itu permainan skateboard sedang populernya di kalangan teman-teman seusianya. Semua anak-anak di perumahan bermain papan seluncur itu. Termasuk kedua anak saya tak mau ketinggalan. Anak saya yang kecil belajar dengan sangat cepat. Gerakannya gesit, lincah dan tangkas. Dalam waktu singkat ia sudah menguasai berbagai teknik gaya meluncur dengan sangat baik. Mulus dan keren!.

Namun lagi-lagi urusan ‘Lain lubuk lain ikannya’. Anak saya yang besar beda lagi. Ia kurang berminat akan urusan permainan beresiko seperti ini. Ia lebih menyukai dunia science, hal-hal yang berbau teknikal dan permainan yang aman-aman saja. Namun karena hampir semua anak bermain skateboard, iapun dengan setengah hati mencoba papan skateboardnya juga. Ia terlihat meluncur dengan sangat gamang dan tidak nyaman. Khawatir jatuh, terpelanting, babak belur,luka berdarah dan berbagai kekhawatiran lain lagi. Sehingga kemajuannya pun sangat lambat. Terpaksa saya mengawasinya dengan lebih ketat. Melatihnya dan memotivasinya lebih keras, agar ia lebih berani. Lama kelamaan akhirnya iapun bisa meluncur di atas skateboardnya. Tapi tentunya tidak secanggih gerakan adiknya.

Suatu sore, anak-anak minta ijin untuk bermain skateboard di pojok blok perumahan bersama teman-teman satu geng-nya. Saya menengoknya sebentar, hanya untuk memastikan tempat dan situasinya aman buat bermain. Karena ada kesibukan lain, setelah itu sayapun kembali ke rumah. Ketika sore menjelang malam, tiba-tiba ada keriuhan. Anak saya berlari-lari mengabarkan bahwa Stephen,  salah satu sahabat mereka terjatuh dari skateboardnya. Kebetulan mamanya ada di lapangan itu ketika kecelakaan terjadi. Ia dilarikan ke rumah sakit dan mengalami patah tulang. Seluruh anak-anak di Blok kami merasa sedih. Sayapun prihatin dengan kondisi Stephen. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya hingga Stephen dapat menggunakan tangannya kembali dengan normal.

Stephen bersahabat sangat dekat dengan Andre, anak saya yang besar. Hobby dan minatnya sama. Porsi tubuhnya pun hampir serupa. Bongsor. Dan seperti anak saya, iapun selalu terlihat gamang jika bermain skateboard. Goyang dan tidak pasti. Beberapa kali sebelumnya ia memang terlihat tidak yakin dan tidak terlalu berani. Dan sayangnya, permainan Sakteboard ini memang salah satu permainan yang beresiko. Tidak terkirakan sedihnya Andre melihat kondisi Stephen. Iapun memutuskan berhenti untuk bermain skateboard, mengikuti sahabatnya itu. Saya menghormati keputusan anak saya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan permainan ini. Ini sangat serupa dengan permainan-permainan yang kita lakoni dalam hidup kita. Ada permainan yang cukup aman untuk dilakukan, namun ada juga yang penuh resiko. Maka atas kejadian itu saya berpikir:

1/. Bahwa jika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu yang beresiko, pertama memang dibutuhkan sebuah keberanian. Setidaknya keberanian untuk mengambil resiko itu. Tanpa keberanian, tentu hal ini akan sangat sulit dilakukan. Jika kita tidak berani, sebaiknya kita jangan melakukan permainan itu. Pilihlah permainan lain yang lebih membuat nyali kita terasa aman. Dalam hal permainan skateboard ini, patah tulang dan babak belur adalah resiko yang mungkin terjadi jika kita tidak sukses. Jadi kita harus berani menghadapi kemungkinan terburuk ini.

2/.Kedua,  untuk meningkatkan keberanian dalam menghadapi resiko, kita harus yakin bahwa kita bisa dan pasti bisa melakukannya. Sangat terlihat, bahwa jika kita gamang, gugup, tidak yakin bisa melakukannya, maka tingkat kepercayaan kita terhadap diri kita sendiri tentu menurun. Dalam keadaan gugup dan tidak yakin, fokus kita akan berkurang dan kemungkinan untuk melakukan kesalahanpun meningkat. Peluang untuk tergelincir dan jatuhpun ikut meningkat.

3/. Ketiga, berlatih dan mempersiapkan diri, sungguh baik dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri, keyakinan dan kemampuan teknis kita akan sesuatu. Hal ini setidaknya juga bisa sedikit membantu untuk merubah minat yang tidak ada sama sekali menjadi sesuatu yang ‘oke’ untuk kita lakukan.

4/. Jika minat kita sudah tidak ada dan keinginan untuk berlatih dan mempersiapkan diri juga tidak ada, memang sebaiknya kita tidak terjun ke dalam permainan hidup yang beresiko. Pilihlah permainan hidup lain yang lebih aman atau yang sesuai dengan minat kita. Sehingga kita semangat untuk melakukannya dan peluang untuk tergelincir ke dalam resiko yang mencelakakan pun bisa kita hindari.

16 responses »

  1. Aldo si ganteng itu tampak tambah keren diatas papan luncurnya Mbak Dani..:)
    Iya permainan beresiko dan pengalaman orang lain, kadang membuat kita berhenti duluan sebelum mencoba..Untungnya si Kakak punya mama yg penuh pengertian ya, sekalipun masih takut-takut tapi masih bs bermain skateboard..:)

    Like

  2. hampir rata2 anak ke dua berkarakter suka permainan di alam terbuka dan suka tantangan. seperti anak saya yg kedua meski pernah patah tulang pada tangannya yg menyebabkan tak bisa sempurna bila mengancingkan baju. tetap saja tak jera meski berkali kali terkilr kakinya. beda dg anakku yg pertama sukanya otak atik di depan laptopnya.

    Like

  3. beresiko apa engga kan tergantung latar belakang ortunya
    kaya aku menganggap biasa kalo ncit minta naik gunung, orang lain menganggapnya beresiko
    jaman dah berbalik, makanya aku biarin aja apa maunya anak
    ortu cukup ngawasin dan nyiapin dukungan keamanan kalo yang dilakuin anak dianggap beresiko

    Like

  4. Mungkin karakter Andre tidak terlepas dari kita sebagai orang tua, apalagi anak pertama. Biasanya diawasi lebih ketat oleh orang tua, begini ga boleh begitu ga boleh. Tapi biasanya anak kedua dan berikutnya (para orang tua) sudah tidak terlalu khawatir lagi (dibandingkan dengan anak pertama), sehingga anak ini lebih bebas berekspressi.
    He3 itu hanya perkiraan saya saja Ni…. 🙂

    Like

  5. heheheh kalau lihat komentarnya ded,aku memang melihat Riku lebih hati-hati. Tapi dia suka mencoba sesuatu yang baru, lain halnya dnegan Kai yang lebih manja, dan takut memulai sesuatu yang baru. picky eater dan picky semuanya 😀 Untunglah picky eaternya justru makanan yang bergizi dan menolak lemak/karbohidrat berlebih….
    Tapi beruntung Andre dan Aldo mempunyai mama yang cerdas dan dewasa, yang tidak parno juga! Selalu senang membaca kisah-kisah seperti ini. TFS

    Like

  6. Halo mba… Ada komentar cara memilih papan skateboard untuk anak2 tidak yak? anakku, 6.5 tahun tiba2 menanyakan soal papan skateboard. Thanks

    Like

    • Wah…sayang nggak begitu mengerti juga cara memilihnya. Biasanya saya hanya memilih yg tampak kokoh (papannya kuat dan tebal, roda terpasang dg kuat) dan balance (tidak limbung/oleng saat diletakkan di lantai yg datar).

      Like

Leave a reply to Ilham Cancel reply