Kisah Petualangan: Menggelandang Ke Maldives III.

Standard

Kami berada di dalam speedboat yang akan mengantar kami ke Maafushi. Kapal disetir oleh Musa. Dan ditemani oleh Ali.  Kemanapun mata memandang, yang ada adalah laut dan hanya sedikit daratan kecil-kecil. Langit cukup cerah. Matahari tetap bersinar, walaupun ada sedikit mendung menggelantung di langit. Perahu bermotor itupun bergerak melaju membelah gelombang air laut.

Gelombang Laut Yang Meningkat.

Saya duduk di belakang. Awalnya saya cukup menikmatinya. Beberapa saat kemudian terasa oleh saya  gelombang semakin lama semakin besar. Terutama setiap kali kami harus melintasi jejak  kapal lain yang lewat sebelum kami. Gelombang laut terasa membesar dan mengguncang  perahu.  Gujrak! Gujrak! Gujrak! Musa meningkatkan kecepatan perahu. Saya semakin  merasakan gerakan perahu yang semakin kencang. Ombak yang membesar. Ooh, sekarang saya mulai menyadari bahwa kami berada  di tengah Samudera Hindia yang luas dan lepas tanpa akhir. Di dalam sebuah speedboat kecil, yang hanya berupa setitik debu kecil tak bermakna di tengah luasnya samudera ini. Entah kenapa, perasaan saya menjadi tidak enak. Oh, jika speedboat ini sampai terbalik bagaimana?  Saya bukan perenang yang baik.Jika misalnya terjadi yang terburuk, bisa-bisa saya akan terdampar di Kutub Selatan. Memikirkan itu, denyut nadi saya meningkat drastis dan rasanya kepala saya jadi pusing. Saya lalu meminta tolong agar Musa menurunkan kecepatannya. Ali melihat ke arah saya berkali-kali.

Pria Asing Yang Mencurigakan.

Kami akan berada di laut selama setengah jam, jika speedboat melaju dengan kecepatan optimal. Wah..lama ya? Saya mulai tidak menyukai perjalanan ini. Sama sekali tidak bisa menikmatinya. Tapi  seorang teman saya terlihat tetap bisa menikmatinya. Bahkan meminta kami untuk mengambil photo-photonyanya sementara ia bergaya ke kiri dan ke kanan bak seorang model dengan latar belakang speedboat dan laut. Teman saya yang lain, berusaha menyembunyikan ketakutannya.

Saya memperhatikan Ali menengok ke belakang dan melihat ke arah saya berkali-kali. Perasaan saya semakin tidak enak. Mengapa pria itu melihat ke arah saya terus?  Rasanya saya ingin membentaknya.  ”Apa lu lihat-lihat, gue?!!!”.  Waduuh!!. Kok saya tidak suka ya dilihat seperti itu? Ditambah lagi dengan sikap teman saya yang hobi dipotret. Saya pikir, ia yang paling cantik dan menarik diantara kami. Kalau dia bergaya centil begitu, bisa saja memicu pikiran jahat orang lain. Dan itu bisa jadi musibah bagi kami bertiga. Kami hanya perempuan bertiga.  Berada dalam satu boat di tengah samudera luas ini bersama dua orang laki-laki asing yang tidak kami kenal sama sekali.

Pikiran terburuk tiba-tiba melintas di kepala saya.? Oh, My God!!. Tidak akan ada yang tahu nasib kami. Hilang ditelan samudera. Memikirkan itu, rasanya saya semakin stress dan khawatir. Jantung saya terasa semakin berdenyut kencang. Sekarang saya tidak lagi memikirkan bahaya gelombang. Tapi waspada akan setiap gerak gerik dua orang pria asing itu.

Ali, seorang pria dewasa dengan kulit legam, badan yang kekar dan rambut cepak. Berkali-kali melihat ke arah saya dan saya tidak bisa melihat sinar matanya dari  Sunglasses-nya yang berkilau. Saya tidak menyukai kacamata belalang itu. Apa yang ada di dalam pikirannya? Entahlah!! Only God who knows. Musa seorang pria yang lebih muda. Sama gelapnya. Rambutnya keriwil dan tampangnya mirip Michael Jackson. Sesekali ia juga melihat ke arah kami. Saya benar-benar menyesal datang ke sini. Kapok! Mengapa saya melakukan hal-hal yang nyerempet bahaya?

Waktu berjalan sangat lambat. Matahari bersinar temaram di barat. Tidak ada sesuatupun yang bisa saya lakukan selain berpasrah diri padaNYA. Saya menarik nafas saya panjang-panjang. Tiba-tiba entah darimana kekuatan datang ke hati saya.  Saya merasa lebih tenang. Beberapa puluh menit kemudian saya melihat daratan yang kami tuju. Dan kamipun sampai di pulau Maafushi.

Stingray Beach Inn Family.

Seorang karyawan hotel – Stingray Beach Inn- tempat kami menginap menyambut dan mengangkat koper kami lalu mengangkutnya dengan gerobak dorong. Ali dan Musa  serta speedboatnyapun berangkat kembali ke tengah laut. Dengan berjalan kaki akhirnya kami pun sampai hotel kecil itu. Ibrahim, sang manager penginapan itu menyambut kami dengan baik. Pria berumur sekitar 40 an ke atas itu barangkali seumur Ali. Mukanya terlihat sangat baik dan sinar matanya teduh. Tutur bahasanya sangat sopan dan lembut. Ia menjelaskan dengan santun beberapa peraturan di pulau itu berkenaan dengan urusan penggunaan alkohol, bikini dan sebagainya. Oh, saya merasa sangat lega. Sekarang saya yakin saya berada di tangan orang yang baik. Orang yang pasti akan menjaga keselamatan dan kehormatan saya. Sayapun merasa sangat tenang dan tenteram.

Malam harinya, kami makan ke restaurant di hotel itu. Ibrahim menawarkan menu yang bisa kami order. Dan sambil menunggu, kami pun  ngobrol. Tiba-tiba saya melihat Ali berada diantara para turis Rusia yang ada di situ. Musapun ada di situ. Ali  lalu menghampiri saya dan duduk di sebelah saya. Busyet deh,  ini laki-laki!. Seketika naluri waspada saya sebagai wanita bangkit. Bagaimana ia bisa datang menemui saya di sini? Saya tidak menyukainya sejak tadi. Ia mengajak saya berbicara. Menanyakan bagaimana perasaan saya dalam perjalanan tadi ? Apakah saya sekarang baik baik saja? Apakah sempat istirahat? Banyak sekali pertanyaannya. Dan walaupun saya tidak semangat menjawabnya, namun ia tetap sabar dan mengajak saya ngobrol. Ia menceritakan laut yang indah dan tenang hari itu dan bercerita tentang tsunami yang pernah melanda tempat itu, dan sebagainya. Entah kenapa lama-lama hati saya luluh juga.

Sebenarnya mungkin saya agak tidak adil terhadapnya. Sebenarnya ia seorang pria yang sopan dan baik. Tidak sepotongpun perbuatan buruk pernah dilakukannya terhadap saya. Ia tidak menyentuh tubuh saya. Satu-satunya perbuatan yang ia lakukan, hanya menggenggam jemari tangan saya, saat membantu menuntun saya naik dan turun dari kapal.  Dan itu perbuatan seorang gentleman sejati. Tutur katanya juga sangat lembut dan melindungi. Ia sangat mengkhawatirkan saya. Itulah sebabnya ia berkali-kali menengok ke belakang dan melihat saya. Hanya untuk memastikan bahwa saya dalam keadaan baik.  Ya amppuunnn!!!. Mengapa saya harus berpikir negative terhadapnya? Saya heran sendiri dengan diri saya. Dan kecurigaan saya.

Berikutnya dari obrolan itu akhirnya saya tahu, ternyata ia adalah pemilik Hotel tempat kami menginap itu. Dan ia adalah kakak tertua dari Ibrahim. Ooh!! Pantas aja ia ada di situ. Rupanya Hotel itu dimiliki dan dikelola oleh keluarga Ali. Adik-adik, istri dan anak-anaknya semua bekerja di situ. Adduuuh… malunya. Maaf! Maaf..!!. Saya sudah negative thinking sejak awal. Saya benar-benar harus meminta maaf kepadanya atas pikiran buruk saya.

Sekarang saya malah sangat salut terhadap pria itu. Pria yang baik, ulet dan sukses. Memiliki usaha Hotel, Artshop dan Minimarket serta Jasa Penyewaan Kapal, tapi masih tetap rendah hati, tidak sombong dan bersikap sederhana. Meladeni saya penumpangnya dengan baik, mengangkat koper–koper saya seolah-olah ia hanya seorang pelayan sederhana. Melindungi tamunya dengan baik dan memastikan setiap saat bahwa semua keluhannya ditangani dengan baik. Sepuluh jempol saya acungkan untuknya.  Saya harus banyak belajar memperbaiki sikap saya darinya.

30 responses »

  1. Waw maldives. disana ketemu selebriti gak mbak hihi katanya artis2 dunia suka bulan madu atau liburan kesana. salah satu tempat wisata yang mewah dan indah. saya cuma bisa masang gambarnya aja sebagai wallpaper laptop. haha

    Like

  2. hehehe..keren y mbak,,bisa jalan2 k tmpt2 gitu…ok mbak..mngkin kita boleh waspada, tp g curiga..heheh..lain kali jgn cpt menilai..(waduuh…tidak brmksud mnshti..tp saya jg hmpir ky mbak..sellu waspada sm siapa aja, mski trlihat baik)

    Like

  3. Mbak Ali naksir kali gak berniat jahat hahaha..Tapi itu lah yang menarik dari perjalanan ya Mbak..Kita jadi semakin tahu siapa diri kita sesungguhnya…Senang sekali baca ini, serasa ikut naik speedboat dengan Ali berkacamata belang..Wah…Mestinya awak kapal dibikin peraturan gak boleh menggunakan kacamata hitam yang memantul itu ya…Mengintimidasi orang soalnya..

    Like

  4. Hebat Ni, ceritanya benar-benar menegangkan. Seperti cerita di film saja.
    Btw sebagai seorang wanita, memang harus selalu wasapada. tidak salah kok
    Saya salut sekali dengan Ali….. 🙂

    Like

  5. Waaaah mbak, bener-bener bikin saya pengen kesana dan menikmati keramahan Ibrahim *juga Maldives tentu saja* 😀
    Kebayang serunya pergi bertiga, perempuan semua, dan ke tempat impian semua traveller kayaknya…makasih sudah berbagi cerita ya, tetep kagum dengan keberanian mbak, tetep pengen juga berkunjung kesana…hehe

    Like

Leave a comment