Kisah Petualangan: Di Bawah Langit, Di Atas Laut.

Standard

maldives - night

Malam menjelang. Tibalah waktunya saya meninggalkan Pulau Maafushi. Ali mengantarkan kami hingga ke dermaga, masuk ke dalam  dan menunggu hingga speedboat bergerak ke tengah lautan. Saya melambaikan tangan saya penuh rasa terimakasih atas perhatiannya. Ali Murthala, pemilik Stingray Beach Inn ini masih tetap berdiri di dermaga, hingga bayangan speedboat yang kami tumpangi hilang di kegelapan malam. Sekali lagi saya mengagumi kesopanan, kesederhanaan dan kerendahan hati pria ini.

Speedboat sekarang melaju dalam kegelapan. Musa menjadi kapten kami malam ini didampingi oleh Mohamed. Semuanya tampak gelap. Lampu mati. Yang ada hanya lampu kecil di bagian depan kapal untuk memberi tanda tentang keberadaan kami kepada setiap kapal lain yang melintas. Saya tidak mampu melihat apa-apa. Semuanya hitam pekat. Yang ada hanya desir angin dan deru ombak. Hingga beberapa menit kemudian, kami telah benar-benar berada di tengah lautan. Namun kali ini saya merasa sangat tenang. Saya tahu bahwa saya berada di tangan Musa yang handal dan dapat dipercaya.

Malam sangat gelap.Bagaimana caranya Musa tahu bahwa kapalnya memang mengarah ke Male? Dan bukan menuju pulau yang  lain atau lepas ke Samudera Hindia? Saya yakin ia tidak melihat kompas. Tapi kemudian saya teringat, kompas terbaik bagi pelaut ada di atas sana. Di langit-langit malam. Lalu saya mendongakkan kepala saya. Ohh..berjuta-juta bintang tampak berkerlip di atas sana. Alangkah indahnya.  Bintang bintang inilah yang akan memberi kami petunjuk arah menuju Male.

Macro Cosmic.

Saya sangat takjub. Di kegelapam malam, di atas laut. Untuk pertama kalinya saya melihat kembali jutaan bintang seperti saat saya kecil dulu. Listrik dan polusi di kota besar, membuat langit tak pernah terlihat berbintang sedemikian banyaknya.  Orion! Apakah itu Orion di atas sana? Saya mencoba mengingat-ingat rasi bintang yang pernah diajarkan bapak ketika saya kanak-kanak. Ah, dimanakah sekarang bapak dan ibu saya berada? Barangkali di atas sana? Di dalam salah satu bintang? Atau bergabung dengan debu angkasa yang bertebaran? Bermilyard-milyard jumlahnya. Alangkah luasnya jagat raya. Itupun baru terbatas pada apa yang bisa saya lihat dengan mata telanjang. Bintang terlihat hanya seperti bintik debu yang berkilau.

Bagaimana sebenarnya rupa jagat raya ini jika kita mampu melihatnya dengan telescope tanpa batas? Sampai dimanakah ia berakhir?  Dan apakah tidak mungkin bahwa apa yang diteorikan oleh para ilmuwan sebagai jagat raya yang  besar itu ternyata hanyalah setitik debu juga di dalam Super Jagat Raya yang lain? Yang tidak pernah terpikirkan oleh kita? Kita tak pernah tahu.

Sedemikian luasnya, hingga bintang sebesar itupun hanya tampak bagaikan setitik debu. Apalagi bumi? Apalagi manusia seperti saya ini? Tentu tdak tampak. Apalah artinya saya di hadapan semesta? Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah  setitik debu di dalam setitik debu dari setitik debu dari setitik debu dan seterusnya dari setitik debu angkasa raya yang maha besar itu. Sampai dimana batas besarnya? Acintya!Un-thinkable! Tak terpikirkan oleh kita. Karena batasnya adalah Sang Pencipta itu sendiri. Ia Yang Maha Besar. Alam semesta ada di dalamNYA. Semua galaxy, bintang-bintang, planet-planet dan segala mahluk  yang ada berada di dalamNYA. Dan saya tentunya adalah setitik debu yang juga berada di dalamNYA. Oiiii!! Seperti juga mahluk yang lainnya, saya adalah bagian dari semesta. Saya adalah bagian dariNYA.  Semakin memikirkan itu, saya merasakan kedamaian jiwa. Perasaan ringan yang tak mampu saya gambarkan dengan kata-kata.

Kembali kepadaNYA –sesungguhnya bukanlah hal yang perlu kita lakukan hanya saat kematian tiba. Mati, adalah keadaan dimana detik itu, badan kasar kita, tubuh duniawi kita tidak lagi bekerja mengirimkan sinyal keduniawian kepada badan-badan halus kita. Tidak ada lagi rumah mewah, mobil mewah, tamasya mewah, tabungan di bank, kekasih dan percintaan yang penuh gairah dan sebagainya  yang mampu terbawa setelah kematian. Semua harta dan nafsu duniawi terhenti. Sehingga ketika kematian tiba, yang ada hanyalah kesadaran semesta.  Kesadaran akan ruh yang menyatu didalamNYA. Itulah barangkali sebabnya, orang-orang bijaksana mengatakan bahwa “Kematian artinya, adalah kembali kepadaNYA”.

Berbahagialah orang-orang yang mampu mendapatkan kesadaran ini sebelum kematiannya. Dan mampu mengontrol keterikatan dirinya dengan segala hiruk pikuk duniawi. Ia yang rendah hati dan tidak silau dalam gemerlapnya kemewahan duniawi walaupun hidupnya bergelimang harta. Ia yang tetap sopan dan tidak sombong, walaupun memegang posisi dan jabatan yang tinggi.  Ia yang selalu tenang dan mampu mengontrol kesedihannya, walaupun berada dalam kedukaan. Ia yang mampu menahan dirinya dari rasa sakit, walaupun hidupnya penuh luka derita. Ia yang mampu menahan rasa iri hati saat berada dalam keadaan paling nista. Ia yang mampu menahan emosi dan kemarahan saat merasa dihina. Dan seterusnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengontrol dirinya dari pengaruh duniawi.

Karena pada hakekatnya, kekayaan, kemiskinan, pangkat, jabatan, kemewahan, kesengsaraan, kesehatan, kesakitan, penderitaan, kecurigaan, percintaan, hubungan sexual dan sebagainya kenikmatan duniawi yang lain, semuanya adalah unsur yang hanya terhubung dengan badan kasar belaka. Sehingga ketika ruh kita terputus hubungannya dengan badan kasar itu, semuanya tak ada yang bisa kita bawa. Ia yang mampu membebaskan dirinya dari ikatan duniawi itu, dan jiwanya tidak terpengaruh oleh keadaan duniawi itu, maka ia adalah orang yang mencapai kebahagiaan sejati.

Saya menutup mata saya. Sekarang terasa tidak ada bedanya antara membuka mata dan menutup mata. Karena cahaya yang terang benderang dari angkasa terasa memenuhi pikiran saya. Saya memasrahkan diri saya pada semesta. PadaNYA.

Micro Cosmic.

Saya merasakan bagaimana udara masuk dan keluar dengan teratur lewat nafas saya. Merasakan kesadaran atas setiap anggota tubuh saya sekarang. Rambut, kepala, dahi, telinga, mata, hidung, bibir, mulut, dagu, leher, tangan dan semua bagian tubuh saya yang lain. Semuanya tersusun atas organ-organ yang bekerja teratur. Dan setiap organ tersusun atas berjuta –juta sel-sel yang hidup. Dimana setiap sel terdiri atas molekul-molekul yang terbentuk lagi atas atom-atom. Dan sebagaimana kita ketahui setiap atom terdiri dari partkel-pertikel sub atom yang kita kenal dengan proton, neutron dan demikian seterusnya jika kita pecah lagi menjadi quark. Dan apakah tidak mungkin masih ada partkel microscopic yang lebih kecil lagi dari quark? Getaran dan energy? Kita tak pernah tahu. Maha kecil!

Lalu siapakah “saya”?  Sesungguhnya “saya”  bukanlah siapa-siapa. Karena “saya” adalah sekumpulan partikel-partikel yang membentuk unsur di tubuh saya  yang bergerak dan bergetar setiap saat. Adalah kumpulan aliran energy yang  tidak pernah saya sadari sebelumnya. Adalah partkel yang sama dan  serupa dengan partikel yang menyusun unsur benda-benda lain yang ada di alam ini. Mungkin hanya porsi dan komposisinya saja yang berbeda. Unsur yang menyusun  kapal tempat saya berada, juga adalah unsur yang sama dengan yang menyusun tubuh saya. Demikian juga unsur-unsur yang menyusun air laut, ikan-ikan, udang, udara dan sebagainya – pada tingkat sub atomic tertentu, adalah partikel yang sama dengan saya. Saya merasakan bagaimana gelombang dari samudera menyangga perahu di mana saya berada. Tidak ada jarak pemisah antara kapal itu dengan samudera. Dan tidak ada jarak antara saya dengan kapal itu. Saya adalah bagian dari kapal itu yang menjadi bagian dari samudera itu sendiri. Saya adalah alam itu sendiri. Saya adalah air. Saya adalah tanah.Saya adalah udara.

Maka jika kematian saya tiba, semua unsur pembentuk diri saya akan kembali lagi ke alam. Air di dalam tubuh saya akan kembali lagi ke air. Unsur yang saya dapatkan dari tanah lewat makanan dan tumbuhan akan kembali lagi ke tanah.Yang dari udara akan kembali lagi ke udara. Yang berasal dari cahaya akan kembali lagi ke dalam cahaya. Yang berasal dari ruang hampa akan kembali lagi ke dalam ruang hampa. Jadi apakah yang harus saya takutkan jika kematian tiba? Tidak ada lagi. Kematian dan kehidupan sesungguhnya hanya dipisahkan oleh sebuah kesadaran yang berbeda. Perasaan yang sangat damai dan bahagia saya rasakan.

Sekali lagi saya mendongak ke langit. Tak perlu lagi saya mempertanyakan dimana kedua orangtua saya sekarang berada. Tak perlu lagi saya merasa gelisah atas kenyataan  mengapa saya harus terpisah dengan orang-orang yang saya cintai. Saya tak perlu lagi mengkhawatirkan penderitaan dan kematian. Langit malam yang penuh bintang di atas  dan lautan yang luas di bawah saya telah memberi jawaban.Malam gelap yang mencerahkan!

At Male International Airport

Di kejauhan tampak  kerlap kerlip lampu  Male International Airport.  Beberapa menit kemudian speedboat mendekati garis pantai dan merapat di dermaga di Male. Saya mengucapkan rasa terimakasih saya kepada Musa dan Mohamed. Menjemput patung-patung perunggu yang saya titipkan sebelumnya di bandara. Esok siang saya akan tiba kembali di tanah air melalui Singapore dengan menumpang Singapore Airlines.

A very memorable body, mind  and spirit journey…

17 responses »

  1. Ulasan tentang Macro dan Micro enak dibaca, sampai akhirnya manggut-manggut sendiri. Benar kita manusia ini tidak ada artinya dibandingkan alam semesta.

    Selamat Datang di tanah Air Ni. Semoga perjalanannya menyenangkan…. 🙂

    Like

Leave a comment