Semester pertama tahun ini, saya lalui dengan beberapa peristiwa duka. Selain kehilangan Persia – kucing kesayangan keluarga kami, saya juga kehilangan seorang bibi (adik perempuan bapak) di Bali dan seorang ipar (kakak tertua suami) di belahan lain dari kota Jakarta. Kedua-duanya adalah wanita yang sangat saya cintai dan dekat sekali dengan kehidupan saya.
Saya merasa hubungan dengan bibi saya ini adalah salah satu hubungan “Bibi-Keponakan” terbaik yang saya tahu dalam hidup saya. Di mata saya, bibi saya adalah wanita hebat yang sangat banyak menyuntikkan nilai-nilai kehidupan ke dalam diri saya. Menjadi pendamping orang tua dalam membimbing saya menjalani hidup ini. Tempat saya mengeluh dan mengadukan persoalan kehidupan saya. Dan ketika saya dewasa, membuat diri saya merasa berarti dengan menjadikan saya sebagai tempatnya berbicara dan berbagi cerita. Bahkan ketika kedua orang tua saya telah tiada, bibi membuat saya merasa tetap memiliki orangtua yang setiap saat menunggu kedatangan saya pulang kampung.
Demikian juga dengan kakak ipar saya. Saya juga merasa bahwa ini adalah salah satu hubungan “Kakak-Adik Ipar” yang terbaik yang saya pernah ketahui. Di mata saya, kakak ipar saya memiliki keseimbangan yang sangat tinggi antara kemampuan memberikan perhatian dan kasih sayang, dengan kemampuan untuk bersikap cuek dan tidak mencampuri urusan yang bukan menjadi urusannya. Ia selalu terbuka dan tahu persis kapan harus memberikan perhatian dan kapan harus berhenti. Ia juga tahu persis, bagian mana yang harus diperhatikan dan dieksplorasi, serta bagian mana yang bersifat sensitif dan sebaiknya jangan diungkit. Hal ini membuat hubungan kami selalu berada dalam kondisi prima. Sungguh beruntung saya menjadi adik iparnya.
Kedekatan ini tentu saja memberikan pukulan emosi yang tak bisa saya hindarkan dan sedikit tidaknya mempengaruhi hari-hari saya dalam bulan-bulan terakhir ini. Banyak sekali kenangan yang melintas ke dalam pikiran saya. Suka dan duka. Saya membayangkan, kedukaan ini tentu akan lebih berat lagi bagi anak-anak, suami dan saudara kandungnya. Saya bisa merasakan betapa beratnya, karena pernah mengalami sebelumnya, saat kedua orangtua saya meninggalkan kami beberapa tahun yang lalu. Kematian orang yang kita cintai selalu meninggalkan kesedihan yang mendalam. Rasa duka seolah tak pernah lupa hadir ke dalam hati kita. Seolah mengikuti, kemanapun kaki kita melangkah.
Perasaan duka itu tetap menggelayut di pikiran saya, hingga pagi hari kemarin…
Saya melihat ada banyak bunga-bunga bertebaran di halaman. Bunga-bunga itu sudah tua, lepas dari tangkainya dan jatuh ke tanah satu per satu. Demikian juga daun-daun yang coklat dan mati. Lepas dari batangnya dan lalu jatuh diterbangkan angin. Keduanya memberikan gambaran yang jelas kepada saya, bahwa baik bunga dan daun itu telah mengalami proses yang telah digariskan oleh alam. Lahir sebagai kuncup, berkembang optimal untuk melaksanakan fungsinya masing-masing, lalu menguning, coklat layu dan akhirnya lepas berguguran dihempaskan angin ke bumi. Sebuah kematian.
Apakah pohon-pohon merasa terpukul oleh kedukaan? Ia tampak berdiri tenang dan tetap kokoh di sana. Melanjutkan hidupnya dengan normal, tanpa sedikitpun terlihat terpengaruh oleh kematian dari sebagian bunga-bunga dan dedaunannya. Ia tetap mencari makan dan mengumpulkan air dari akarnya, menyalurkannya lewat batang lalu memprosesnya pada daun dengan bantuan sinar matahari dan memanfaatkannya untuk tumbuh dan berkembang. Daun baru dan bunga baru. yang kemudian tumbuh berkembang dan akhirnya layu dan mati juga.
Kematian bagi pohon-pohon hanyalah sebuah siklus kehidupan biasa. Siklus standard yang sudah diatur oleh alam. Lahir – Tumbuh – Mati. Semuanya harus diterima dengan baik. Untuk setiap kelahiran yang ada, niscaya akan dilanjutkan oleh pertumbuhan dan selanjutnya pasti akan disusul oleh kematian.
Bagi alam, tidak ada ‘yang mana lebih baik dari yang mana’ antara kelahiran dan kematian. Tidak ada pemenang dan tidak ada pecundang. Yang ada hanyalah Tahapan Kehidupan yang harus dilalui. Karena dalam menjaga keberlangsungan hidupnya, bagi alam kelahiran sama pentingnya dengan kematian. Tanpa kematian, tidak akan ada tempat yang cukup untuk kehidupan baru.
Pohon-pohon yang berdiri kokoh di halaman, seolah menunjukkan kepada saya bahwa mereka sangat memahami siklus ini dan menerimanya dengan penuh penghayatan. Itulah sebabnya mereka tetap melanjutkan kehidupan, tanpa terpengaruh oleh bunga-bunga dan dedaunan yang berserakan di sekitarnya, hingga tiba gilirannya sendiri untuk menapakkan dirinya dengan damai ke dalam tahapan kematian itu.
Demikian juga bagi setiap manusia. Memahami, menerima dan menghayati siklus kehidupan yang telah diatur oleh alam ini, akan sangat membantu kita untuk membebaskan diri dari kedukaan. Karena kematian sesungguhnya bukanlah kekalahan yang harus diisak-tangisi, namun sebuah tahapan kehidupan yang harus dijalani oleh semua mahluk hidup dalam perjalanannya menuju Sang Pencipta.