Hari Minggu pagi yang indah. Saya dan suami saya memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua untuk berjalan-jalan di sekitar Bintaro. Anak-anak tidak mau ikut dan lebih senang tenggelam dengan komputernya masing-masing. Kami berputar-putar mencari tukang bubur ayam yang dulu pernah mangkal di depan Rumah Sakit International Bintaro . Tidak ketemu. Rupanya sudah pindah ke Sektor III dan ke pasar modern. Dari sana saya berencana akan nongkrong di taman sambil hunting memotret burung. Ketika berkeliling dan tiba di lampu merah perempatan yang ada jembatan layangnya, pandangan saya tertuju pada sepasang suami istri yang asyik menikmati hari Minggu paginya dengan bersepeda.
Sangat menarik. Pasangan itu terlihat sangat kompak. Yang wanita memakai celana sepeda berwarna putih dengan strip hitam – yang lakipun memakai celana yang sama model dan warnanya. Demikian juga bajunya – keduanya memakai baju lengan panjang berwarna putih dengan strip hitam di lengannya. Helmet sepedanya berwarna hitam . Bagus dan kompak. Mereka bercakap-cakap sambil menunggu lampu merah berganti hijau. Saya tetap memandangnya dari arah belakang.
Ketika lampu hijau menyala, maka pasangan itupun bergerak. Disusul oleh kendaraan lain di belakangnya. Saya melihat Sang wanita menggowes sepedanya dengan penuh semangat. Satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Ayo gowes terus!. Lalu pandangan saya pindah ke suaminya. Ia menggowes dengan santai dan pelan. Jauh lebih santai dan lebih lambat dibandingkan istrinya. Saaaaaatuuuuu, duuuuuuaaaa… dan seterusnya. Tapi saya perhatikan, ternyata sepeda mereka tetap sejajar. Berdampingan! Padahal si istri menggowes 2-3kali, sementara si suami hanya sekali. Mengapa begitu ya? .
Terheran-heran, saya pun memperhatikan jenis sepeda yang digunakan. Rupanya sang istri menggunakan sepeda jenis city-bike yang lebih rendah dudukannya dengan roda yang lebih kecil, sehingga secara umum ukuran sepedanya memang lebih kecil. Sementara sang suami menggunakan Sepeda Gunung yang tinggi dengan roda yang lebih besar. Ooh ..pantes saja. Sekali berputra, roda yang lebih besar tentu akan menggapai jarak yang lebih jauh ketimbang roda yang lebih kecil. Saya kelupaan memotret pasangan itu dari belakang. Keburu mereka lewat dan sementara kami harus berbelok arah.
Seolah sedang membaca pikiran saya, suami saya menjelaskan mengapa sang istri harus menggowes 2- 3x lebih sering dibandingkan suaminya yang menggowes dengan santai. Penyebabnya adalah perbedaan jenis sepeda dan ukuran bannya itu. Jadi agar bisa mengimbangi laju dari sepeda sang suami yang lebih besar, maka sang istri harus menggowes sepeda kecilnya dengan lebih sering dan lebih kuat. “Sudah pasti lebih melelahkan” kata suami saya. Seandainya kedua sepeda itu sama besar dan jenisnya, mungkin sang istri tak perlu menggowes sesering itu. Walaupun demikian,kelihatannya sang istri anteng-anteng saja menggowes sepedanya. Tetap semangat dan tidak mengendor sedikitpun.
Saya merenungkan kalimat suami saya itu. Hukum itu kelihatannya tidak hanya berlaku pada sepeda saja. Juga berlaku pada fragment kehidupan yang lain. Misalnya dalam menjalankan usaha. Jika kita adalah sebuah perusahaan kecil dengan modal kecil dan ingin bertumbuh mengimbangi perusahaan besar dengan modal yang lebih besar, maka kita harus bekerja dengan lebih cepat, lebih smart dan lebih keras dari perusahaan yang lebih besar. Itu baru jika hanya ingin mengimbangi. Apalagi jika kita ingin bertumbuh lebih cepat dari perusahaan besar. Tentu kita harus bekerja ekstra smart, extra keras dan extra cepat lagi dibandingkan dengan mereka yang lebih besar. Tanpa itu usaha extra itu, tidaklah mungkin kita akan menjadi lebih sukses. Serupalah dengan sepasang sepeda itu.
Renungan yang sangat baik buat diri saya di hari Minggu pagi…
brilian postingannya mb..
thx for sharing !
LikeLike
thanks Mas..
LikeLike
Kapan yah aku dapat sepeda dng roda lbh besar mbak Dani, capek ngegowes 3 kali nih Hehe. Nice analogy indeed Mbak 🙂
LikeLike
Dari cerita sepasang sepeda berlainan tipe … Muncul pembelajaran yang inspiratif …
Ini baru dari jenis sepeda … Belum kalau dibahas dari segi “gear” yang digunakan … Ada gear yang ringan … Ada pula gear yang berat …
Salam Saya Bu
LikeLike
Ah… perumpamaan yg sangat pas! Ide postingan memang bisa datang darimana saja ya, mbak.. 🙂
LikeLike
Selalu menanti tulisan-tulian Mbak nih, kereeen..
LikeLike
kalau yang rodanya besar-besar seram bun naiknya
LikeLike
Setuju, mungkin bisa begini juga : karena rodanya kecil si sepeda bisa berputar lebih cepat sehingga bisa sejajar dengan si sepeda besar, alias perusahaan kecil lebih kecil birokrasinya sehingga lebih fleksibel dalam bergerak dibanding birokrasi perusahaan besar 🙂
LikeLike
itulah kenapa pada sepeda modern dipasang banyak gear, agar kita bisa menggowes sesuai dengan medan yang kita tempuh. Pun demikian dengan usaha yang kita jalankan, laju usaha menurut saya juga mesti disesuaikan dengan kondisi usaha kita dan kondisi ‘pasar; yang saya ibaratkan sebagai medannya. Ketika medan lesu (medan menanjak) maka kita perlu menggunakan gear belakang besar dengan kayuhan cepat sehingga menghasilkan percepatan yang stabil. Jadi, kitalah yang mampu mengukur antara kemampuan usaha kita dengan medan yang sedang kita jalanai.
Inspiratif sekali Mbak Dani
Salam dari Blitar
LikeLike
walaupun lebih kecil dan terlihat lebih susah, tapi kan efek nya lebih bagus. berarti kalori yang terbuang lebih banyak 🙂
LikeLike
waaah cerita inspiratif dari kehidupan sehari-hari begini memang mbak Dani jagonya!
TFS mbak
LikeLike
Pelajaran buat aku juga. Jd pemompa semangat spy lbh rajin berkarya dan berjualan, hehehe makasih ya mbak.
LikeLike