Setiap orang tentu sangat familiar dengan burung gereja, bukan? Burung kecil keluarga dari paseriformes ini adalah burung yang sangat umum kita temukan di mana-mana. Sibuk terbang di halaman sekolah, mencari makan di halaman rumah,menclok di atap ruko, bertengger di pagar perumahan,bercerecet dari cabang pohon jambu di halaman kantor dan sebagainya. Itulah sebabnya mengapa burung ini dipanggil dengan nama lain House sparrow (Passer domesticus). Karena keberadaannya sangat dekat dengan rumah.
Saya sedang berpikir, barangkali dulunya burung ini banyak juga berkeliaran di halaman gereja – sehingga dipanggil burung gereja di Indonesia. Apapun panggilannya, mau House sparrow ataupun Burung Gereja, yang jelas burung ini adalah burung yang paling dekat dengan kehidupan manusia.
Di rumah saya, tinggal berpuluh-puluh burung gereja yang sangat riang bercerecet setiap hari. Saya senang memandangnya. Warnanya yang coklat, bercampur hitam dan sedikit putih memang tidak terlalu indah, namun tingkah lakunya cukup menggemaskan dan sangat menghibur. Setiap hari sibuk memakan biji-biji rerumputan. Kadang saya menebar sejumput beras bagi burung-burung gereja ini. Merekapun turun ke halaman. Ia mau makan beras yang saya tebarkan. Dikasih sisa nasi pun burung ini tidak keberatan.
Barangkali karena tidak pernah diganggu, makin lama burung ini makin merasa nyaman berada di rumah. Bahkan membuat sarang di atap rumah saya. Burung-burung itu bertelur dan membesarkan anak-anaknya di sana. Kalau tidak salah hitung barangkali ada lebih dari 50 sarang burung gereja di sana. Dengan adanya sarang-sarang burung di atap rumah ini, sudah pasti membuat halaman rumah saya selalu rame dengan suara burung gereja. Terutama pada pagi hari saat burung-burung ini baru bangun tidur dan bersiap untuk mencari makan.Dan pada sore hari saat burung-burung ini baru pulang kembali ke sarangnya. Mereka datang dari berbagai penjuru lalu masuk ke sarangnya masing-masing. Kadang-kadang ada juga anak burung gereja yang tergelincir saat belajar terbang di halaman. Walaupun demikian ia tetap semangat untuk belajar terbang lagi. Saya senang menontonnya.
Selama ini burung-burung ini belum menimbulkan masalah.Kalaupun ini bisa dibilang masalah, hanyalah atap rumah saya menjadi terlihat bolong-bolong karena dijadikan pintu masuk oleh burung-burung itu. Pasalnya adalah karena atap rumah saya itu terbuat dari jerami alang-alang. Rumah beratap alang-alang ini kalau di Bali disebut dengan Jineng atau Klumpu.
Jineng, dalam bahasa Bali artinya adalah sebuah bangunan traditional yang aslinya berfungsi sebagai tempat penyimpan padi sehabis panen dan setelah dikeringkan. Sama dengan lumbung. Bagian atasnya, adalah ruang untuk menyimpanan padi kering. Sedangkan bagian bawahnya, biasanya dipasangkan dipan atau bale-bale untuk menyimpan sementara padi yang masih belum 100% kering. Dengan demikian, maka mudah untuk dijemur dan diangkat kembali selama beberapa hari. Setelah benar-benar kering, barulah padi diangkat dan disimpan di atas. Jineng, umum kita temukan di halaman rumah-rumah masyarakat agraris di pedesaan di Bali.
Namun di Jakarta, saya menggunakannya sebagai kamar tidur pada bagian atasnya. Sedangkan bagian bawahnya, saya jadikan tempat untuk duduk-duduk. Buat ngobrol, buat makan lesehan rame-rame atau buat sekedar leyeh-leyeh sambil menikmati angin yang semilir.
Jineng ini dibuatkan oleh adik saya yang nomer empat. Sangat kebetulan adik saya seorang Arsitek, jadi Jineng itu pun sedikit dimodifikasi olehnya. Ukurannya disesuaikan agar bagian atasnya bisa dijadikan kamar tidur 3 x 4m. Selain itu ketinggiannya pun disesuaikan dengan tinggi badan suami saya, agar jika ia berdiri di bale-bale di bawah, kepalanya tidak kejedot lantai bagian atas Jineng. Ia membawa tukang atap khusus dari Bali yang biasa memasang atap alang-alang. Atap itulah yang sekarang menjadi rumah nyaman bagi burung-burung gereja itu.
Walaupun atap rumah saya agak bolong-bolong dibuatnya (*tapi belum sampai bocor), sebagai penggemar burung, tetap saja saya senang sekali akan keberadaan burung gereja ini di rumah saya. Mendengar suaranya yang sangat riang,membuat saya ikut merasa riang dan bahagia. Saya tidak pernah mengganggu burung-burung ini. Saya pikir lebih damai hidup selaras dengan nyanyian burung-burung gereja ini.
Dulu di depan rumah saya, biasanya mereka bersarang di sela-sela tiang listrik. Mereka senang sekali memakan gabah (Beras yang masing ada cangkangnya), apalagi rumah saya dekat dengan penggilingan padi. jadi setiap kali kami menjemur padi hasil panen, mereka pasti menjadi musuh utama kami. Meskipun demikian, suara khasnya membuat rindu kampung halaman 😀
LikeLike
he he.. ya begitulah burung. di satu sisi menjadi hama padi.. tapi sebanrnya yang dimakan juga nggak terlalu banyak kan ya..
LikeLike
Hehehe.. Betul yang dimakan paling banyak juga 10 padi, tapi mungkin yang buat kesalnya adalah mereka menghambur-hamburkan padi yang di jemur itu 😀
LikeLike
Asri sekali rumahnya Mba. Senang sekali pasti Burung Gereja datang dan main-main. Di rumah saya setiap pagi juga ada sekumpulan burung gereja yang bahkan sampai masuk ke dapur untuk mencari biji-bijian yang terserak. Aaqil juga suka lihatnya..
LikeLike
ya..bagus Aaqil. Sayang binatang. Ntar kalau besar ikut jadi dokter hewan ya… he he
LikeLike
Di pohon mangga depan rumah saya juga dihuni banyak sekali bunga gereja ini… kalau waktu sore hari suara nya riuh sekali terbang kesana kemari….
LikeLike
Tentunya menyenangkan ya Mbak jika ada banyak burung ..
LikeLike
jadi lebih asri ada burung gereja bun
LikeLike
ya Mbak.Menyenangkan suaranya..
LikeLike
Jangankan burung gereja kayaknya akang juga betah kalo main2 di jineng tersebut, kelihatannya adem beneeer 🙂
LikeLike
ya kang.. lumayan adem untuk ukuran Jakarta yang panas..
LikeLike
Jineng ini menjadi kamar tidur utama dikau ya Made ? bentuknya sangat menawan.
LikeLike
Nggak Ed. Tempat tidur tambahan..Rumahku kecil. Kadang-kadang kalau ada keluarga yang datang, kamarnya nggak cukup. jadi kubikin kamar tidur tambahan di sana,
LikeLike
Wah, kalo bule sewa kamar dapat kamar Jineng, pasti doi berbunga bunga hatinya, dan diceritakan kemana mana 🙂
LikeLike
Menikmati jineng serasa tanah leluhur ya Jeng. Cerecet burung gereja mengungkit tuas semangat di pagi hari Jeng. Salam
LikeLike
ya Bu Prih.. Jineng mengobati hati yang kangen kampung halaman Bu..
LikeLike
banyak sekali burung gereja yg mampir di samping dapur rumahku mbak, rombongan deh 😛
LikeLike
seneng ya Mbak Ely ..tapi di tempat MbakEly kayanya burung burung lain juga banyak sekali ya..
LikeLike
Tapi kalau banyak bisa bikin rusak atapnya ngak mbok dek? pasti lebih asyik tidur di jinek mbok dek yach
LikeLike
ya emang.. lama lama kayaknya rusak itu atap alang-alangnya Bud
LikeLike
Suka seneng liat burung gereja yang biasanya datang dgn rombonganya..
LikeLike
ya Mbak.. mereka selalu berkawan dan berombongan kalau datang..
LikeLike
Dah lama banget nggak lihat burung gereja.
dulu ketika masih SMP sering banget lihat di jalan-jalan 🙂
LikeLike
di rumah banyak burung gereja mbak kalu agak terang.. ada beberapa bersarang di plafon rumah..
LikeLike
aku senang kalau di rumahku ada burung gereja Mbak..
LikeLike
tetangga di kampung kalau sedang meme (menjemur) gabah biasanya diganggu sama burung gereja, berisik tapi enak dipandang.
LikeLike
ya..saya suka burung gereja justru karena berisik he he
LikeLike
mbak, ikut nginep di jineng-nya ya .. heheh.
Adem pastinya, apalagi sambil mendengar suara burung2 gereja ini.
LikeLike
Ayo..boleh Mbak. kapan-kapanmampir ke tempatku ya..
LikeLike
Mbak.. Rumah saya pdhal baru dibangun dan atapnya dari Spandek loh,tp drmh ini jg bnyk burung gereja,mpe buat sarang lg.
LikeLike
Ooh gitu ya. Tapi kalau ada burung gereja sih sebenarnya menyenangkan juga. Rumah jadi rame..
LikeLike