Monthly Archives: March 2014

Jahat Sejak Lahir – Kisah Kedasih dan Burung Prenjak.

Standard

Pagi ini saya terbangun oleh suara cicit nyaring  di tepi sungai belakang rumah. Ribut sekali. Saya belum tahu suara apa itu.Sedikit perlu berhati-hati , takutnya suara anak burung yang sedang disergap ular. Siapa tahu. Saya mencoba menelusuri dinding sungai dan menemukan arah suara cicit yang semakin nyaring dari arah pohon kayu Ketapang (Terminallia catappa) di seberang sungai. Cukup lama saya tidak begitu yakin suara apa itu. Tapi akhirnya saya mengetahui bahwa itu adalah suara bercericit  anak burung Kedasih (Cocomantis merulinus). Tidak terlalu jelas. Tapi burung itu kelihatan tidak sendirian. Ada beberapa ekor burung lain yang juga bergerak-gerak naik ke atas dan turun ke bawah di cabang pohon Ketapang itu. Ada burung Prenjak. Ada burung Cerukcuk dan ada juga burung Kipasan. Burung -burung itu tampak seperti menguber-uber anak Burung Kedasih itu yang sibuk mencicit dan meloncat dari satu cabang ke cabang lainnya.

Apa yang terjadi? Kemungkinan besar anak burung itu baru keluar dari sarangnya karena sarangnya sendiri sudah sangat kesempitan.  Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, burung Kedasih (Plaintive Cuckoo, atau disbut juga dengan Burung Wiwik Kelabu, burung Tit Tut Tit, burung Cirit Uncuing) adalah salah satu anggota keluarga Burung Kukuk yang sering disebut sebagai burung parasit.   Induk burung ini sangat pemalas. Ia tidak mau membuat sarang  dan lebih senang menitipkan telornya di sarang burung lain (biasanya Burung Prenjak – Orthotomus sutorius).  Ketika induk burung Prenjak keluar meninggalkan sarang sebentar untuk mencari makan, diam-diam si induk burung Kedasih ini  mendatangi sarang burung Prenjak dan meletakkan telornya di situ. Agar tidak mencurigakan, induk burung ini biasanya mencuri telor si burung prenjak  dan menggantikannya dengan telornya sendiri.  Telor burung Prenjakitudimakan oleh induk burung Kedasih. Sehingga  ketika si burung Prenjak datang lagi, ia tidak tahu kalau telornya telah tertukar sebutir. Jahat ya?

Tapi burung Kedasih ini memang kelakuannya sudah badung sejak bayi.  Sejak baru lahir, ia sudah culas. Berusaha menendang telor-telor burung Prenjak agar semua makanan yang dibawakan oleh si induk Prenjak diberikan hanya untuk dirinya saja.  Karena saya tidak punya video untuk menggambarkan kebadungan si bayi burung Kedasih ini,saya meminjam video di youtube yang diupload oleh  Artur Homan  berjudul “Common Cuckoo chick ejects eggs of Reed Warbler out of the nest.David Attenborough’s opinion “. 

Induk burung Prenjak itu terus memberi makan bayi durhaka itu tanpa pernah menyadari bahwa bayinya itu sebenarnya adalah bayi burung Kedasih. Bayi yang telah menendang telor-telornya sendiri hingga terjatuh ke sungai.  Ia terus memberi makan tanpa lelah. Walaupun kini badan si burung parasit itu jauh lebih besar dari dirinya sendiri.  namun ia tak lelah sama sekali demi bayi burung yang disangka anaknya itu. Terlihat dengan betapa sibuknya ia bolak balik membawakan capung,ulat, tempayak dan  belalang untuk anak burung itu.

Burung Prenjak & Anak Kedasih

Induk burung Prenjak ini  terlihat baru datang membawakan anak burung Kedasih makanan. Diparuhnya terlihat seekor serangga hasil tangkapannya yang ia bawakan untuk bayi burung Kedasih itu.

Burung Prenjak & Anak Kedasih 1

Induk burung itu lalu meloncat naik mendekati  dan melolohkan serangga itu ke mulut anak burung Kedasih itu. Anak burung itu berhenti mencicit sebentar. Namun tak seberapa lama kemudian iapun ribut  dengan manjanya memanggil manggil induk Penjak untuk menyuapinya kembali.

Burung Prenjak & Anak Kedasih 2

Induk burung Prenjak itupun datang kembali membawakan makanan untuknya. Demikian terus bolak balik hingga sore hari. Aduuuh benar-benar kasihan saya melihat induk burung Prenjak itu. Entah sampai kapan ia  akan menyuapi. Entah kapan ia akan sadar bahwa itu bukan anaknya, tapi pembuuh calo anak-anaknya yang di dalam telor. Semoga kelak ia masuk surga.

Kelihatannya burung-burung lain sudah tahu kelakuan anak Burung Kedasih yang jahat ini. Contohnya adalah si Burung Kipasan yag keihatan galak dan berusaha mematuk anak burung ini. Demikian juga si burung Cerukcuk, kelihatan sangat curiga dan ikut mengejar-ngejar anak burung Kedasih ini.

Akibat Tidak Memberi Water Mark/Nama Pada Foto Di Blog.

Standard

paku-jukut-si-pakis-sayurHari ini tanpa sengaja saya menemukan salah sebuah foto saya digunakan oleh salah sebuah blog lain. Fotonya sih nggak bagus-bagus amat juga, karena foto itu hanya foto asal jepret dari tumpukan sayuran pakis yang saya letakkan di atas tudung saji berbahan anyaman rotan yang saya beli di pinggir jalan Bogor-Sukabumi.

Dan sebenarnya saya juga tidak keberatan foto-foto saya digunakan oleh siapa saja yang penting dimanfaatkan untuk tujuan baik dan  lebih baik lagi jika mencantumkan sumbernya.   Menurut saya itu umum dan wajar wajar saja ya. Ada beberapa blog/website lain yang juga memanfaatkan foto-foto hasil jepretan saya dan saya tidak pernah keberatan, karena mereka tidak mengakui foto itu sebagai milik mereka. Dan bahkan banyak yang menuliskan sumbernya adalah dari blog saya. Malah saya senang.

Yang sangat mengherankan saya adalah foto itu  justru diberi mark seolah pemiliknya adalah blog tersebut.  Sangat aneh buat saya. Kenapa harus diberi nama ya?

Hal ini tentu tidak menyenangkan hati saya. Karena bisa jadi para pembaca yang melihat dua gambar yang sama dimana yang satu memiliki tanda  nama pemilik, sedangkan yang satunya tidak, tentu para pembaca bisa salah mempersepsikan bahwa sayalah yang mencuri gambar tanpa minta ijin. Padahal foto saya yang justru diambil dan dberi tanda seolah miliknya.

Saya bisa membuktikan ini dengan memeriksa kembali properti dari kedua foto ini. Dimana foto yang digunakan oleh blog tersebut diupload pada tanggal 30 Agustus 2012.  Sudah lama juga ya? Sayang saya baru menemukannya hari ini. Sedangkan foto di blog saya create lebih awal, yakni pada tanggal 16 January 2011 dan tulisannya saya upload pada tanggal 30 January 2011.

Awalnya saya tidak bermaksud menuliskan hal ini di sini. Saya hanya ingin menyampaikan keberatan saya saja kepada pihak blog itu melalui  lewat e-mail tertutup. Tapi saya coba cari-cari alamat e-mailnya ternyata tidak ketemu. Di sana hanya disediakan chat box. Akhirnya saya coba komunikasikan di chatbox saja soal keberatan saya. Belum ada tanggapan sih. Mungkin yang bersangkutan sedang tidak aktif.

Selain itu saya juga perlu melakukan antisipasi . Daripada di kemudian hari saya yang dianggap sebagai melakukan pengambilan gambar tanpa ijin, saya pikir lebih baik saya klarifikasi segera. Sehingga setidaknya para pembaca tahu, bahwa saya tidak melakukan itu. Jadi tulisan ini dimaksudkan untuk klarifikasi.

Suami saya hanya mengatakan bahwa itu adalah akibat saya  tidak membubuhkan nama pada setiap foto yang diupload, jadinya dimanfaatkan oleh orang lain. Yaah..itulah pelajarannya. Jika kita tidak membubuhkan nama, maka kejadian ini mungkin saja menimpa. Ya bener juga!. Padahal suami saya sudah berkali-kali mengingatkan. Lindungi hasil karyamu sendiri! Lindungi hasil karyamu!. Tapi saya kadang malas menuliskannya. Dan padahal saya juga sudah pernah menuliskan pengalaman buruk saya yang lain gara-gara saya tidak membubuhkan identitas pada foto-foto saya di sini.

Saya hanya berdoa, bahwa itu hanya karena ke”tidak ngeh”an pemilik blog itu bahwa mengambil gambar orang lain dan memberi nama seolah milik sendiri, perlu tata krama. Mudah-mudahan bukan sesuatu yang disengaja.

Titi Ugal Agil Dalam Kehidupan.

Standard

meniti jembatan bambuSeekor burung Terkuak tampak berjalan berjingkat-jingkat di lumpur tepi sungai. Saya memperhatikannya dari jarak jauh. Burung itu tidak melihat saya. Sibuk mengais sesuatu di lumpur. Setelah selesai dengan kesibukannya, lalu ia memandang ke samping.Kelihatan seakan ingin menyeberang ke gundukan tanah yang lain di pinggir kali. Tampak ia berhenti sesaat, seolah sedang memikirkan sesuatu. Sebenarnya  kalau mau ia tinggal nyebur ke air dan kemudian berenang saja. Namun rupanya burung itu berpikir lain.

Ia menengok ke kiri dan ke kanan, lalu mulai melangkahkan kakinya di atas tumpukan sampah plastik yang mengumpul di situ, kemudian melompat ke sebatang bambu yang melintang memanjang di situ  ke arah gundukan tanah di seberang. Oooh..rupanya ia ingin memanfaatkan bambu itu menjadi jembatan. Saya melihat ia berjalan perlahan, berusaha menyeimbangkan badannya dengan baik agar tidak tercebur ke kali. Saya agak tegang menyaksikan burung itu menyeberang. Takut ia terpeleset dan tercebur. Namun kelihatannya ia cukup tenang. Selangkah…dua langkah..tiga langkah..empat langka…lima langkah.. eh.. ujung bambu itu menurun ke air. Burung itu tetap berjalan di atas bambu, walaupun bambu itu sekarang berada di bawah permukaan air. Langkahnya mantap dan tetap di atas bambu.  Hingga akhirnya ujung bambu itu habis, maka ia berjalan cepat dengan lurus ke atas gundukan tanah. Horee! Ia berhasil menyeberang, tanpa harus berenang. Cukup dengan berjalan saja.

Sampai akhirnya burung itu berhasil menclok di seberang, saya tetap tidak mengerti mengapa burung itu memilih meniti bambu untuk menyeberang ketimbang berenang atau terbang.  Padahal ia memiliki kemampuan yang baik untuk terbang maupun berenang.

Melihat burung itu meniti bambu tiba-tiba saya teringat akan cerita tentang Titi Ugal Agil yang  sangat populer di kalangan masyarakat Bali.   Waku kecil, saya diceritakan oleh tetua saya bahwa jika suatu saat nanti kita meninggal, maka pada suatu kesempatan roh kita akan berkumpul di sebuah padang rumput yang disebut Tegal Penangsaran. Mulai dari sana kita akan mengalami berbagai macam ujian dan persidangan sesuai dengan karma yang kita lakukan selama menjalani kehidupan di dunia fana ini. Salah satunya, kita akan berjalan di atas sebuah jembatan tipis yang sangat rapuh bernama Titi Ugal Agil.  Jembatan itu adalah jembatan pengujian bagi para roh.

Jika kita tidak berhasil menyeberang,  maka roh kita akan jatuh ke jurang di bawah Titi (jembatan) itu. Jurang itu  penuh api dan pedang tajam serta berbagai ragam peyiksaan yang disebut Neraka.  Jika kita pernah mencuri dan mengambil sesuatu yang bukan hak kita maka tangan kita akan dipotong. Jika kita pernah  berzinah, maka area kemaluan kita akan dibelah. Jika kita pernah  memfitnah, nyinyir, membicarakan keburukan orang lain maka mulut kita akan disobek, jika kita pernah membunuh maka seluruh tubuh kita akan disiksa berat dan dilempar ke Neraka yang lebih di bawahnya lagi sehingga lebih sulit lagi bagi keluarga kita  untuk mendoakan agar  bisa lepas dari genggaman para penghuni Neraka. Semua kesalahan dan kejahatan akan ada hukumannya yang setimpal. Dan ini berlaku untuk semua mahluk tanpa memandang suku, ras, bangsa maupun gendernya.

Sedangkan jika kita berhasil menyeberang, maka roh kita akan menyeberang ke suatu tempat penantian terakhir yang akan menetapkan apakah roh kita akan masuk ke Sorga, jika roh kita bersih dan jauh lebih banyak melakukan perbuatan baik selama di dunia fana. Atau jika benar benar bersih 100%, maka roh kita akan menyatu denganNYA. Atau apa yang disebut masyarakat Bali sebagai Mokhsa.

Bagi mereka yang belum 100% bersih, setelah selesai menjalankan kehidupan surga atau neraka sesuai dengan karma perbuatannya selama hidup di dunia,  maka kita  masih diberi kesempatan untuk lahir kembali ke dunia ini (entah bumi atau planet lain) guna memperbaiki kesalahan-kesalahan kita di masa lalu, sehingga pada suatu saat kita bisa benar-benar bisa menyatu denganNYA dan tak perlu lahir kembali.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Bali, tentu saja saya percaya dengan konsep Titi Ugal Agil itu.

Namun saya rasa perjalanan kita di atas Titi Ugal Agil itu sebenarnya sudah  bisa kita tebak sejak kita masih hidup di dunia ini. Karena sebenarnya jembatan ujian yang disebut Titi Ugal Agil itu, sebenarnya telah diletakkan di hati kita.

Contohnya saja jika kita sedang terburu-buru pergi ke suatu tempat. Tiba-tiba ada Polisi lalu lintas sedang melakukan razia dadakan. Pas diperiksa, eh… SIM ketinggalan. Nah sekarang kita masuk ke dalam jembatan pengujian Titi Ugal Agil. Menyogok agar tidak ditilang? Atau pasrah ditegur polisi dan  ikuti aturan, jika harus ditilang ya biar ditilang saja? Hati nurani kita yang memutuskan apakah kita ingin lolos kelak di Titi Ugal Agil atau tidak.

Atau menjelang pemilu, seseorang datang ke rumah membawakan beras dan uang meminta kita untuk mencoblos nomor kandidat yang sebenarnya tidak kita kenal latar belakangnya pun dengan baik. Kita sedang masuk Titi Ugal Agil. Terima beras dan uangnya dan penuhi permintaannya mencoblos kandidat yang dimaksudkan? Atau menolak pemberian itu dan memilih sesuai dengan hati nurani kita?

Atau jika kita memegang jabatan tertentu,  ketika sampai di rumah ternyata kita menerima parcel hari raya dari seorang agency yang bekerjasama dengan kantor tempat kita bekerja. Kita juga sedang masuk ke dalam Titi Ugal Agil. Kita terima,buka dan manfaatkan parcel itu untuk diri kita dan keluarga kita?Atau sebaiknya pulangkan saja ke kantor dan informasikan kepada agency itu bahwa kita tidak bersedia menerima parcel  itu secara pribadi?

Banyak lagi hal-hal kecil lainnya yang harus kita waspadai dalam tingkah laku kita yang jika tidak waspada akan mengarahkan kita pada korupsi kecil-kecilan, pencurian, kolusi, penyogokan dan sebagainya. Hal-hal kecil yang sebenarnya merupakan ujian bagi kita untuk melewati jembatan rapuh yang bernama Titi Ugal Agil itu.

24 Jam Untuk Setiap Orang.

Standard

WaktuTuhan itu Maha Adil. Setidaknya itulah yang diajarkan oleh ibu saya. Sebagai kanak-kanak, tentunya saya pernah mempertanyakan kebenaran pernyataan itu, ketika tanpa sengaja  melihat banyak juga kenyataan yang tidak adil di sekitar. Namun jawaban Ibu saya selalu sama. Bahwa, “Tuhan itu tetap Maha Adil. Jikalaupun kita belum mampu melihat keadilan terjadi pada saat ini,  bukan berarti bahwa Tuhan itu tidak adil. Barangkali hanya karena kita belum mampu melihat skenario besarnya dengan lengkap saja. Barangkali yang kita lihat hanya fragment-fragment kecil kehidupan saja. Pecahan-pecahan yang mirip puzzle yang belum mampu kita rangkai dengan akal pikiran kita. Seperti halnya bahwa bukan berarti bumi itu datar, hanya karena kita tak mampu melihatnya dari posisi yang memungkinkannya terlihat utuh dan bulat.

Ya..okelah. Sayapun menurut apa kata Ibu saya saja. Tuhan itu memang Maha Adil.

*****

Sebenarnya saya bukan mau membahas  masalah  Ketuhanan sih. Tapi sedang teringat akan banyaknya aktifitas yang ingin dilakukan  setiap hari namun rasanya kekurangan waktu. Duuuuh! Pengen nonton theater lagi, belum kesempatan. Terus ada kerabat yang ngajakin ketemuan, sudah janji akan segera melaksanakannya.. namun belum kesempatan juga. Pengen kopdaran sama teman blogger yang dekat-dekat  aja..belum kejadian juga. Apalagi melihat begitu banyaknya photo-photo teman-teman yang lagi kopdaran.. duuh jadi pengen banget. Janji sama anak-anak mau ngajak pulang kampung..beluman juga. Duuuhhh…enak banget ya yang bisa pulang kampung sering-sering. Kadang-kadang terasa banget “Duuuh..rasanya nggak adil banget, di saat orang lain sudah bersantai-santai menikmati hidup..kenapa aku sendiri yang harus bekerja keras sampai malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan…hua auww….

Bukan saja gara-gara pekerjaan yang numpuk semata. Weekend saja saya masih tetap bingung bagaimana membagi waktu dengan baik. ” Ada 2 jam yang saya miliki sebelum kita pergi , mana mendingan;  saya menggambar? ngeblog? motret-motret burung di pinggir kali? atau menari?” tanya saya kepada suami pada sebuah akhir pekan. Semua ingin saya kerjakan. Semua saya sukai. Namun saya tidak punya cukup waktu untuk mengerjakan semua itu sekaligus. Minta pendapat. “Menari” jawab suami saya dengan tegas dan jelas dari balik koran paginya.  Yap..terimakasih atas jawabannya, Ok lah saya menari. Tapi masalahnya saya masih tetap juga ingin menggambar. Dan juga ingin memotret. Dan juga ingin ngeblog. Belum lagi keinginan-keinginan lain yang ada di balik permukaan. Seperti pengen masak ini, pengen beli pupuk, pengen nanem bibit tomat yang dua minggu lalu habis disemai.

Akhirnya saya menyadari, bahwa sebenarnya pertanyaan saya  itu hanya sebuah retorika. Kalimat tanya yang sebenarnya tidak perlu dijawab oleh suami saya. Karena toh jika dijawabpun saya tetap tidak  mampu memecahkan masalah saya.  Jadi saya yang harus memutuskan sendiri, apa yang mau saya lakukan untuk mengisi waktu saya yang terbatas ini.

Nah sebenarnya di sinilah letak permasalahannya. Setiap orang memiliki sederet keinginan untuk melakukan ini dan itu. Yang berbeda-beda.  Namun pada kenyataannya kita semua diberi waktu 24 jam sehari. Tidak ada yang mendapat lebih dan tidak ada yang mendapat kurang. Itu adil namanya. Masalahnya bagaimana sekarang kita masing-masing memanfaatkan waktu yang jumlahnya 24 jam per hari itu setiap hari.

Bagi sebagian orang, waktu yang adil ini *24jam per hari* , barangkali terasa kelamaan. Misalnya bagi mereka yang sedang menunggu, sedang merindu,  yang sedang dalam penantian, yang sedang bosan, yang sedang kesakitan dan menderita  dan sebagainya. Waktu yang sebenarnya 24 jam per hari tidak lebih dan tidak kurang ini, jadi terasa sangat panjang.  Mengapa? Karena di saat-saat seperti itu, kita tidak memiliki kemampuan optimal untuk menikmati waktu kita. Kita ingin waktu cepat berlalu.

Sebaliknya jika kita menikmati hidup kita dan berencana ini dan itu, waktu berjalan terasa terlalu sangat cepat. Waduuuh..sudah hari Minggu siang saja ya? Besok masuk dong! Padahal masih pengen main bersama anak-anak. Padahal masih pengen ngeblog lebih banyak. Padahal masih pengen menggambar.Padahal masih pengen bereksperimen di dapur. Dan seterusnya, dan seterusnya keinginan diri.  Waktu yang sebenarnya sama 24 jam sehari tidak lebih dan tidak kurang ini terasa sangat pendek. Mengapa? ya..karena di saat-saat seperti itu, kita sedang sangat-sangat menikmati apa yang kita lakukan di dalam waktu itu. Kita ingin waktu jangan berlalu.

24 jam yang sama, bisa terasa berbeda tergantung bagaimana suasana hati kita dan bagaimana kita menikmatinya.

Cerita Tentang Kura-Kura Kami.

Standard

Kura Kura kamiSudah lama saya tidak bercerita tentang Kura-Kura di kolam saya yang kecil. Dua tahun yang lalu saya sempat bercerita bahwa keluarga saya memelihara 3 ekor kura-kura Telinga merah (Red Eared Terrapin) yang bernama Galapago, Cicilia dan Newbie di sini dan di sini. Galapago dan Cicilia adalah dua ekor betina penghuni kolam  sejak lama.  Sementara Newbie adalah kura-kura jantan yang pada saat itu merupakan pendatang baru. Anak saya mendapatkannya dari tukang sayur yang lewat.  Katanya ia tidak mempunyai kolam. Akhirnya anak saya setuju untuk menerima kura-kura itu. Sayangnya sekitar tahun yang lalu  si Newbie hilang entah kemana. Kami coba menelusuri got di perumahan namun tak berhasil kami temukan. Barangkali ia berjalan sudah terlalu jauh. Saya tidak tahu apakah ia bisa survive di alam? Atau ia di sungai yang airnya kelam oleh polusi? Seekor anjing atau musang telah memangsanya? Atau seseorang sudah menangkapnya? Saya tak bisa melanjutkan pikiran buruk saya. Tapi kenyataannya Newbie memang telah hilang.

Tak berapa lama, seorang penduduk sekitar menawarkan seekor kura-kura lagi. Badannya tidak jauh ukurannya dengan Newbie, tapi ini kura-kura betina. Alasannya kurang lebih sama. Tak sanggup memelihara dan merawatnya. Serta tidak mempunyai kolam. Memelihara kura-kura bukan saja perlu memiliki waktu luang dan uang untuk membiayai makanannya, namun juga perlu effort dan kesabaran yang tinggi.Menyikat kolam untuk memastikan air kolam selalu dalam keadaan bersih dan mengalir serta tidak tercemar kuman yang membahayakan.  Akhirnya anak saya menerimanya. Pada kenyataannya walaupun yang menerima kura-kura itu anak saya, namun yang sebenarnya merawat para Kura-kura itu adalah suami saya. Atau kadang kadang meminta tolong orang lain untuk membantu membersihkan kolam.

Begitulah akhirnya si Kura-kura baru ini menjadi anggota keluarga sejak sekitar tahun yang lalu. Kami tak mempunyai nama khusus untuknya. Oleh karena itu sebut saja si Newbie B, untuk meneruskan nama si Newbie yang sebelumnya. Suami saya adalah orang yang paling telaten dalam mengurus Kura-Kura ini. Walaupun demikian, tentu saja ada saat-saat kami terlalu sibuk dan tak mempunyai cukup waktu untuk merawat Kura-kura dengan baik. Lalu musibah datang tanpa bisa ditolak.

Mata Kura-Kura yang sakit

Mata Kura-Kura yang sakit

Pada suatu malam,sepulang kerja suami saya bercerita kepada saya bahwa ia menemukan si Newbie B sakit. Lemas tak bisa makan dan matanya bengkak dan buta. Saya lalu melihat kura-kura itu sebentar dan berkata kepada suami saya bahwa kemungkinan matanya bengkak karena  ada infeksi bakteri. Karena penglihatannya terganggu, tentunya tidak bisa melihat makanannya dengan jelas. Karena tidak bisa melihat makanan dengan jelas, tentu ia tidak makan. Karena tidak makan, ya tentu saja tubuhnya lemas.  Penanganan pertama tentu harus membersihkan,menyikat dan mengganti air kolam dan memastikan alirannya dengan baik. Jika diperlukan diobati dengan antibiotik.Mata Kura-Kura yang sehat

Mata kura-kura yang sehat

Eok harinya, suami saya dengan semangat membersihkan kolam dan mengganti airnya dengan yang baru. Lalu ia membantu mengangkat si Newbie B dan meletakkannya di atas dinding kolam serta menjemurnya di bawah matahari. Ia membantu kura-kura itu  makan dengan cara menyuapkan makanannya yang kecil-kecil (pelet ikan)  ke mulutnya. Iapun bercerita bahwa setelah mendapat perlakuan itu si Newbie B kelihatan sedikit membaik. Tidak selemas hari kemarinnya. Esok harinya suami saya melakukan hal yang sama. Membantu kura-kura itu makan dengan menyuapkan makanannya satu per satu.  Demikian terus selama beberapa hari. Setelah tubuh si Newbie B semakin menguat, maka ia hanya membantu mengarahkan  si Newbie B agar bergerak mendekati makanannya.  Makin lama makin terlatih hingga suatu saat kura-kura itupun bisa mencari makan sendiri tanpa dibantu lagi.

Sekarang saya berpikir, suami saya lebih berbakat menjadi dokter hewan ketimbang saya…

Belajar Menari Bali Kembali.

Standard

Latihan menari BaliSaya  mengantarkan anak saya yang kecil untuk bermain di mall di  Bintaro.  Sementara menunggu,  saya mengobrol dengan si kakak.  Suara gamelan Bali terdengar  menyentak telinga. . Tergerak oleh rasa kangen akan kampung halaman, maka sayapun  mendekat.   Ada sebuah panggung kecil dengan dekorasi traditional Bali  berdiri di tengah ruangan. Oooh…tempat kursus menari rupanya. Sanggar Dewata.

Seorang pria yang rupanya adalah Guru Tari di sana menyapa saya dengan senyum.  Saya bertanya hal-hal ringan seputaran kegiatan kursus tari itu. Lalu menawarkan si kakak  untuk belajar menari Bali. Anak saya melihat ke arah anak-anak perempuan yang belajar menari di sana lalu menggeleng. “Aku kan cowo, ma. Masak disuruh menari” elaknya.  Saya lalu menjelaskan. “Di Bali, kesenian adalah milik semua orang. Semua orang menari. Mau laki atau perempuan, sama saja. Dan profesi penari traditional  merupakan profesi yang sangat dihargai” bujuk saya. Lalu saya menjelaskan bahwa  ia bisa belajar tari  laki seperti Tari Baris, Tari Jauk atau Tari Topeng dan sebagainya. Jadi tidak harus belajar  tarian wanita. Kecuali jika memang nantinya mau jadi Guru Tari. Anak saya tetap tidak tertarik. Baiklah. Sayapun tidak mau memaksa.

Sambil ngobrol,  tiba-tiba saya merasa Guru Tari ini  mirip wajahnya dengan seorang teman saya.  Namanya Made *saya lupa persisnya Made siapa*. Seorang Guru Tari Bali juga,  saya kenal sekitar tahun 1995 di daerah Rawa Belong, Jakarta Barat. Saat itu saya pindah dari Bali ke Jakarta.  Sambil bekerja, saya mengisi waktu luang saya dengan berlatih menari di sanggarnya itu.

Saya lalu menanyakan namanya ” Nama saya Made” katanya.  Hmmm… “Made siapa?” tanya saya kembali. Masalahnya, Made adalah nama sejuta umat kalau di Bali. Tidak memberi makna apa-apa selain hanya nomor urut dalam keluarga.Nama saya juga Made. Sama dong.  “Made Sutedja” katanya. Oooh. Wah, masalah berikutnya…saya tidak ingat  siapa nama lengkap Bli Made yang saya kenal dulu itu.

Lalu saya menanyakan di mana rumahnya di Bali. Ia menyebut sebuah tempat. Nah, persis!!!. Sama! Besar kemungkinan ia adalah Bli Made  teman lama saya dulu. Lalu saya mengingatkan tentang  diri saya dan Sanggar Tarinya di daerah Anggrek Cakra di Rawa Belong. Barulah ia ingat akan saya.  Tentu saja ia tidak bisa mengenali saya dengan mudah, mengingat perubahan fisik saya yang sudah terlalu jauh dalam rentang waktu nyaris 20 tahun. Wah.. senang sekali. Lalu ia menyarankan saya untuk menari lagi. Melatih badan kembali agar  berkeringat dan lebih sehat. Anggap saja olah raga!. O ya ..benar juga ya.

Kebetulan! Kebetulan banget ! Belakangan saya juga merasa kesehatan saya agak terganggu. Kelebihan berat badan dan mulai mengalami keluhan yang tidak menyenangkan. Saya berniat untuk merawat tubuh saya kembali . Mengatur pola makan dan berniat mau ikut fitness. Saya mau sehat.

Nah, sekarang muncul ide untuk menari lagi sebagai pengganti fitnes. Mungkin yang ini lebih menyenangkan buat saya.

Pertama,  Fitnes ataupun menari sama-sama membuat saya berkeringat. Bagus untuk  membuang sedikit demi sedikit lemak  di tubuh saya.

Kedua, menarikan  tarian  traditional – artinya saya ikut melestarikan kesenian daerah Indonesia. Penting kan?.

Lalu yang ketiga,  menari memang salah satu hobby saya – nah karena jika dasarnya memang hobby, jadi kita akan melakukannya dengan senang hati. Hidup saya akan lebih bahagia, ketimbang jika saya melakukan fitnes karena terpaksa. Benar tidak?

Dulu mama-mu ini penari,lho!. Sering nari di panggung”  cerita Bli Made kepada anak saya.  Anak saya heran. Tentu sulit baginya untuk membayangkan mamanya yang segendut ini dulunya pernah menari di panggung. Ia  ingin tahu lebih detail.

Ya. Dulu!  Sebenarnya bukan penari profesional yang dibayar sih. Hanya penari amatiran.  Tapi seperti halnya kebanyakan wanita di Bali, saya memang belajar menari dan mulai nenari di Pura-Pura/ panggung sejak umur 5 tahun. Karena wajib. Tentu saja tanpa bayaran. Tapi lebih bersifat “Ngayah” (mengabdi, menyumbangkan tarian untuk upacara atau untuk kepentingan masyarakat).

Latihan menari Bali 1 Guru  Tari pertama saya adalah almarhumah  Ni Ketut Sudiari, adik ibu saya yang memang terkenal sebagai penari yang bagus di jamannya.  Lalu Bapak saya mulai  mendatangkan  Guru Tari serius untuk mengajar kami anak-anaknya. Guru Tari saya itu  berasal dari  Tampaksiring, Gianyar – bernama  I Wayan Gatri . Pak Wayan Gatri tinggal di rumah kami beberapa bulan untuk mengajar kami menari. Bapak Wayan Gatri ini juga merupakan menantu dari penari kawakan bapak  I Made Pasek Tempo, yang sangat terkenal di jamannya, bukan hanya di Bali namun  hingga ke Jerman.  Sangat kebetulan karena Pak Made Pasek Tempo ini masih satu klan dengan Bapak saya (keluarga Pasek Kayu Selem), maka Pak Made Pasek Tempo juga sering datang berkunjung ke rumah. Ssesekali ikut mengawasi kami berlatih menari. Mengenang itu semua,  saya jadi ingin menyampaikan hormat saya yang sebesar-besarnya kepada guru-guru saya itu  – dimanapun kini beliau berada.

Mendengar itu, anak saya mulai percaya bahwa dulu saya memang pernah bisa menari. Sekarang? Apakah mama masih bisa menari? Yaah… sudah lupa lah. Wong namanya sudah nyaris 20 tahun tak pernah menari lagi.

Barangkali tahun 1995 itulah terakhir kali saya manggung. Kalau tidak salah ingat di Hotel Sahid. Entah acara apa.Saya lupa.  Anak saya terkikik geli membayangkan bagaimana saya yang segendut ini nantinya akan menari di panggung. Lah…menari kan tidak harus untuk manggung! Menari untuk menjaga kesehatan kan bisa juga.  Usia jangan dijadikan halangan. Yang penting tetap semangat!.

Saya lalu ikut nimbrung ke panggung kecil itu dan kembali belajar menari lagi. Dengan ditonton anak-anak saya. Lumayan melelahkan. Karena sekarang semua otot tubuh terpaksa bergerak. Jari kaki, jari tangan, otot betis, otot paha, dengkul, pantat, pinggang, dada, lengan, tangan, kepala, dagu dan bahkan hingga ke otot mata. Keringat sayapun mengucur seperti habis mandi. Semoga lebih sehat!

Menyikapi Perkelahian Anak II: Peran Seorang Kakak.

Standard

Kakak AdikMelanjutkan tulisan saya sebelumnya tentang Menyikapi Perkelahian Anak I, sebelumnya saya mengatakan bahwa reaksi yang muncul akibat perkelahian anak saya ini tentu berbeda dari saya sebagai ibunya  dengan reaksi bapaknya.   Seorang Ibu secara otomatis akan meletakkan fokus pada penderitaan anaknya, lalu memastikan apakah kesalahan tidak dilakukan oleh anaknya atau tidak. Sedangkan seorang Bapak akan otomatis mencari tahu penyebabnya lalu beralih ke soal membangun harga diri dan kepercayaan diri anaknya.

Reaksi Seorang Bapak.

Reaksi pertama  saya adalah  “Bagian mana yang dipukul? Sakit tidak? Parah tidak?”…lalu… “Mengapa dipukul? Apakah melakukan kesalahan?” .

Tapi reaksi pertama dari bapaknya : “Mengapa dipukul? Mengapa tidak pukul balik saja? Mengapa kakak tidak belain adik? .

Mendapat pertanyaan dari bapaknya, anak saya yang kecil tidak bisa menjawab dengan baik. Ia menangis sesenggukan merasa tidak berdaya.. Ia hanya menjelaskan bahwa temannya itu emosian dan mau menang sendiri. Tidak mau dibalas berhore-hore, padahal ia juga melakukan itu sebelumnya. Bahkan lebih parah, pakai acara mengejek-ejek segala.

Namun anak saya yang besar menjawab pertanyaan Bapaknya dengan tenang dan jelas. Mengapa ia tidak membela adiknya, padahal ia ada di sana saat kejadian sedang berlangsung? Bahwa suasananya sudah sangat panas. Dan ia tidak mau membuat suasana tambah panas lagi dengan membela adiknya begitu saja. Walaupun menurutnya ia tahu bahwa dalam kejadian ini, adiknya bukan dipihak yang salah. “Anak itu memang sangat emosional. Sudah sering begitu. Kalau aku ikut panas, suasananya akan jadi sangat panas , Pa. Bisa meledak nanti. Kan malu sama papa mama dan oma-nya. Juga sama tetangga yang lain.  Jadi harus ada orang yang tenang dan melerai. Makanya aku tidak mau ikut terbawa emosi dan marah di situ. Apalagi mukul. Aku nggak mau . Aku hanya kasih peringatan dia bahwa itu jangan lagi dilakukan. ” katanya menjelaskan. Ia bahkan melarang adiknya memukul kembali dan mengajaknya pulang.  Bapaknya kelihatan puas dengan jawaban anaknya. Lalu ia keluar dan tidak memperpanjang pertanyaannya lagi.

Anak saya yang besar lalu melanjutkan ceritanya ke saya “Orang emosian seperti itu, tidak bisa dibalas dengan emosi dong , Ma!“.  Ia menceritakan beberapa contoh kasus berhubungan dengan teman-temannya yang memiliki beragam kepribadian, termasuk diantaranya ada juga yang suka emosian. Dan bagaimana caranya ia mengatasi itu dan keluar dengan baik-baik saja.  Entah kenapa tiba-tiba saya melihat anak saya tumbuh dewasa begitu cepat. Pemikiran dan emosinya jauh lebih dewasa dari umurnya.

Saya sangat menyetujui pendapatnya. Masalahnya adalah bukan bagaimana caranya membalas dan merasa impas hanya dengan berhasil memukul kembali atau balas menyemprotkan kemarahan, namun lebih kepada bagaimana cara kita menghadapi teman-teman yang memiliki emosi beragam dan kita tetap bisa menguasai situasi dengan baik.  Tetap tenang dan mengendalikan emosi. Apa yang kelihatannya mengalah, sebenarnya tidak selalu berarti kalah.

Saya setuju. Setuju banget dengan pendapat anak saya itu. Menurut saya, ia telah melakukan sikap yang tepat menghadapi situasi itu.  Kasihan juga ia mendapat teguran dari bapaknya. Seorang kakak harus bisa menjaga adiknya dengan baik. Tentu saja, karena standarnya dimana-mana begitu ya.

…saya jadi teringat kepada kakak kandung saya. Dulu, waktu saya kecil, saya juga sangat bandel. Suka bermain ke sana kemari, lari, ke sungai, ke jurang,  bersepeda ke sana kemari,  memanjat pohon hingga pernah nyungsang, nyaris kecelakaan, kaki nyangkut di cabang pohon, sementara kepala menggelantung ke bawah, suka melanggar peraturan yang dibuat orang tua kami. Tapi beberapa kali ketika saya melakukan kebandelan dan nyaris celaka, bukan hanya saya saja yang dimarah oleh bapak saya, tapi juga kakak saya. kakak saya ditegur karena dianggap tidak becus menjaga adik saat ditinggal orang tua. Sehingga pernah suatu kali kakak saya berkata “ Mengapa ya, yang nakal itu kamu, kok  aku juga ikut dimarahin” ya.. benar sih. Kakak saya sangat tertib, rapi dan tidak pernah bandel. Seharusnya ia memang tidak ikut dimarahin atas kebandelan yang saya perbuat. Saya tidak tahu jawabannya….Yah, barangkali itulah swadharma-nya menjadi seorang kakak…

Mungkin begitu juga beban yang ditanggung oleh anak saya yang besar ini. Karena menjadi seorang kakak, dengan sendirinya ia menerima ekspektasi agar bersikap sebagai pelindung dan penjaga adiknya.  Saya melihat bahwa anak saya yang besar telah membuktikan bahwa seorang kakak, bukan semata harus menjaga adiknya secara fisik, namun juga menyelamatkannya secara emosional. Ia mengambil alih situasi dan membimbing adiknya bagaimana harus menguasai diri, agar bisa menguasai situasi dengan lebih baik lagi ke depannya. Saya tahu, dengan posturnya yang bongsor, tinggi besar, tentu akan mudah bagi anak saya untuk memukul anak yang badannya lebih kecil. Tapi toh ia tidak mau melakukannya. Ia mengutamakan hubungan ke depannya, dengan menasihati adiknya bagaimana seharusnya lain kali menguasai situasi seperti itu.

Saya keluar kamar dan duduk di sebelah suami saya yang sedang membaca di kursi. “Anaknya ternyata sudah dewasa pemikirannya ya” kata suami saya berkomentar. Saya mengiyakan sambil tetap berpikir, kekerasan pada anak adalah satu hal yang memang patut dijadikan perhatian oleh para orang tua.  Kita sebagai orang tua sebaiknya selalu memantau tindak tanduk anak-anak kita dan memberikan teguran, jika melakukan hal yang sebaiknya jangan dilakukan oleh anak.Apalagi jika anak melakukan tindak kekerasan dengan memukul anak yang lain. Idealnya barangkali saya perlu berbicara dengan orang tua dari anak itu, namun karena anak saya menjelaskan bahwa orang tuanya sudah tahu kejadian itu, sudah tahu bahwa anak itulah yang salah dan sudah menegurnya juga atas kejadian itu, maka saya memutuskan untuk tidak memperpanjang lagi masalah ini.

Yah..kembali lagi. Namanya anak-anak. Bermain dan berantem adalah bagian dari hidup. Besok juga baik kembali…

Menyikapi Perkelahian Anak I: Tentang Kaya Dan Miskin.

Standard

Kakak-AdikSabtu sore. Saya tertidur. Lelah juga. Suara anak-anak yang  berbisik-bisik namun saling berargumentasi, membuat saya terbangun. Diantaranya terselip kata-kata bahwa anak saya yang kecil dipukul oleh teman bermainnya. Tentu saja saya terhenyak kaget. Akibatnya suami saya pun jadi ikut masuk ke kamar dan  mencari tahu ada apa.

Reaksi pertama yang muncul ke permukaan dari seorang ibu tentu “Bagian mana yang dipukul? Sakit tidak? Parah tidak?”…lalu… “Mengapa dipukul? Apakah melakukan kesalahan?” .  Dan reaksi pertama dari bapaknya tentu saja: “Mengapa dipukul? Mengapa tidak pukul balik saja? Mengapa kakak tidak belain adik? .   Typical reaksi yang memang selalu berbeda jika dikeluarkan seorang perempuan dan seorang laki-laki. Seorang Ibu secara otomatis akan meletakkan fokus pada penderitaan anaknya, lalu memastikan apakah kesalahan tidak dilakukan oleh anaknya atau tidak. Sedangkan seorang Bapak akan otomatis mencari tahu penyebabnya lalu beralih ke soal membangun harga diri dan kepercayaan diri anaknya.

Reaksi Seorang Ibu.

Anak saya yang kecil sambil sesenggukan bercerita bahwa ia dipukul teman bermainnya yang emosi karena temannya itu kalah bermain. Menurutnya, sebelumnya  ia kalah. Temannya itu berhore-hore ria  atas kemenanganya dan mengejeknya habis-habisan. Maka saat giliran menang, anak saya membalas berhore-hore ria juga, walaupun tidak pakai mengejek. Rupanya sang teman emosi dan merasa dipanas-panasin, lalu memukulnya. Ia menunjukkan lengan kanannya yang sakit. Saya memeriksanya sebentar. Kelihatannya tidak apa-apa. Tidak ada luka. Tidak ada memar atau  biru.  Sakit sedikit. Jadi saya tidak terlalu khawatir.  Dipukul dan memukul adalah hal biasa pada anak laki-laki. Sepanjang tidak cedera serius. Nanti juga mereka baikan kembali.

Sayapun menjelaskan kepada anak saya, bahwa dalam setiap permainan itu dituntut sportifitas yang tinggi. Mental yang siap untuk kalah dan menang. Kalau menang jangan sombong dan kalau kalah jangan ngambek. Apalagi memukul.

Kalau kalah sekarang,  justru harus digunakan untuk melatih diri dengan lebih baik lagi, agar lain kali bisa menang kata saya. Anak saya mengatakan bahwa ia tidak melakukan itu. Ia justru menjadi korban emosi temannya itu yang memang selalu emosian.

Kakaknya menasihati, “Aku sudah hapal,  orangnya memang sering emosian. Makanya, orang seperti itu jangan dipanas-panasin. Santai aja” nasihat kakaknya.  Menghadapi orang yang tidak sportif dan suka emosian, perlu cara yang berbeda. “Orang seperti itu justru perlu dikasihani. Bukan dibalas dan dipanas-panasin” lanjut kakaknya lagi. Anak saya yang kecil kelihatannya tidak terlalu setuju dengan pendapat kakaknya. Ia tidak setuju jika dilarang untuk membalas berhore-hore ria.  Kenapa temannya boleh berhore-hore ria dan mengejeknya, sementara ia tidak boleh? Ia juga tidak mengerti, mengapa yang salah harus dikasihani.

Akhirnya saya memeluk anak saya yang kecil yang segera  menyusupkan kepalanya ke perut saya dan sesenggukan.

Orang di dunia ini, ada yang kaya dan miskin” kata saya memulai cerita. Lalu saya mulai mengajaknya berpikir tentang orang yang kaya. Bagaimana orang kaya dalam pikirannya itu? Orang kaya banyak uangnya. Rumahnya bagus. Makanannya enak-enak. Bajunya bagus. Mobilnya mahal. Liburan ke luar negeri terus. Mainannya mahal-mahal. Hidupnya enak ya. Sangat menyenangkan jadi orang kaya. Lalu orang miskin? Tidak punya uang. Atau punya sedikit. Rumahnya kurang bagus. Atapnya bocor-bocor. Atau mungkin tidak punya rumah. Makanannya juga tidak mahal. Yang murah-murah. Atau mungkin sulit untuk bisa makan karena tidak punya uang. Bajunya jelek, tidak bisa beli yang bagus-bagus. Judulnya kasihan!. Kalau dibandingkan dengan yang kaya.

Lalu saya mengingatkan bahwa itu adalah jika kita lihat orang kaya dan miskin dari sisi uang. Dari sisi harta.

Tapi kalau kita pandang dari sisi mental, budi pekerti dan tingkah laku, juga ada orang yang kaya dan miskin lho!” kata saya. Anak saya terdiam sejenak.  Mulai mengerti ke mana arah pembicaraan saya.  Orang yang kaya secara mental dan budi pekerti, akan berusaha selalu berbuat baik. Suka menolong orang lain. Selalu berusaha mengontrol emosinya.  Tidak pemarah. Tidak suka menghina orang lain.  Sportif!. Kalau bermain, tidak terlalu menyombongkan kemenangannya dan mengejek orang lain yang kalah. Suka memaafkan orang lain yang berbuat salah padanya. Dan banyak lagi perbuatan baik lainnya. Nah itu namanya orang kaya! Banyak orang yang suka padanya. Sangat menyenangkan ya  hidupnya! Anak saya setuju.

Lalu bagaimana dengan orang yang miskin secara mental dan budi pekerti? Ia pemarah. Suka menghina dan mengejak orang lain. Mem-bully orang. Memukul.  Membalas keburukan orang lain dengan keburukan yang lebih buruk lagi.   Dan sebagainya hal yang buruk lagi. Banyak orang yang tidak suka padanya. Kurang menyenangkan ya hidupnya? Kasihan ya hidupnya!.  Ia perlu dibantu dan dikasih tahuin agar sikapnya berubah.

Sekarang anak saya mulai terlihat mengerti. Jadi mudah bagi saya untuk mengatakan agar ia segera melupakan kejadian itu dan memaafkan temannya yang sudah memukulnya itu.  “Menjadi kaya secara mental dan budi pekerti itu jauh lebih penting, daripada kaya harta tapi miskin mental dan budi pekerti”, kata saya. Tapi saya tidak mau terlalu mendesaknya untuk menerima kalimat saya. Saya biarkan saja pikirannya berjalan dan bekerja sendiri untuk mencerna situasi.

Akhirnya iapun mengusap airmatanya dan terlihat riang kembali. Semoga ia benar-benar bisa memaafkan teman yang memukulnya itu.  Belajar membaca situasi dan merespon situasi dengan lebih baik. Atau bahkan bisa membantu merubah sikap temannya itu dengan caranya sendiri. Lagipula tentu saja sebagai orang tua saya tidak mau memperpanjang permasalahan. Namanya juga anak-anak. Ya memang begitulah. Sebentar bermain, sebentar berantem. Tapi nett nett – ketika mereka dewasa, mereka akan memahami indahnya persahabatan yang terjalin diantara mereka sejak kecil. Lengkap dengan suka dukanya.