Jangan Malas Berlari!

Standard

???????????????????????????????Piala Dunia 2014 telah berakhir beberapa saat yang lalu.  Jika kita perhatikan, topik yang paling sering dibicarakan berkaitan dengan Piala Dunia 2014 adalah soal kekalahan Brazil melawan Jerman di babak semi final. Hampir semua orang membicarakannya.  Banyak media yang membahasnya. Walaupun sebenarnya saya bukan penggemar sepakbola, namun tetap saja sesekali ikut mendengarkan tanpa sengaja percakapan-percakapan teman-teman saya tentang kekalahan Brazil itu.

Demikian juga hari Jumat yang lalu. Kembali saya mendengarkan soal kekalahan team Brazil itu lagi. Dibahas disebuah acara malam yang dilakukan Frontier Consulting Group dan Majalah Marketing di Hotel Mulia, Senayan. Kebetulan saya hadir di sana  untuk mewakili team saya menerima penghargaan Top Brand Award bagi kesuksesan salah sebuah brand dari perusahaan tempat saya bekerja. Tentu saja saya mendengarkan dan menyimak dengan baik.

Nah, lalu kenapa saya sampai niat banget menuliskannya kembali? Karena menurut saya kali ini pembahasan soal kekalahan team Brazil ini cukup menarik. Dibahas dari sudut pandang dunia pemasaran oleh sang pakar marketing Pak Handi Irawan, yang juga merupakan boss-nya Frontier.

Pak Handi memulai pembicaraannya dengan menunjukkan skor 7-1, yang mengacu pada kemenangan Jerman vs Brazil. Lalu mengajak audience  untuk berada pada titik start yang sama, dengan pertanyaan yang membuat kita mikir: Mengapa Brazil bisa kalah melawan Jerman?

Pertanyaan ini tentu sangat menggelitik, mengingat bahwa: 1/ team Brazil selama ini dianggap tangguh, 2/ team Brazil bermain di kandangnya sendiri pula. Banyak orang menganalisa bahwa itu terjadi akibat lemahnya teamwork Brazil dan keinginannya yang sangat kuat untuk dominant sebagai tuan rumah – sehingga mungkin saja membuatnya menjadi over pede.

Nah ternyata Pak Handi punya jawabannya sendiri. Pak Handi mengaitkan kekalahan itu dengan kenyataan bahwa team Brazil lebih malas berlari dibandingkan dengan team Jerman. Hah? Malas berlari? Darimana tahunya?

Pak Handi bercerita tentang 2 merek sepatu yakni Adidas dan Nike. Soal pertarungan Nike vs Adidas dalam Piala Dunia 2014 ini sebenarnya cukup kerap juga diberitakan  di media-media – namun saya tidak pernah membaca detailnya soal sepatu ini. Menurut cerita Pak Handi, Nike memiliki sepatu Nike plus dengan sensor yang memberi tahu penggunanya berapa target kalori yang dibakar, apakah targetnya tercapai atau tidak,dsb.

Tak mau kalah Adidas pun mengeluarkan sepatu yang juga memiliki sensor yang baik untuk mengetahui tingkat kelelahan penggunanya – tentu dengan cara mendeteksi “heel compression” dan “heart rate signal”. Dari sanalah diketahui bahwa konon para pemain Brazil  rata-rata hanya berlari sebanyak 7.7 km sedangkan pemain di team lain berlari lebih banyak dari itu – pemain Belanda misalnya rata-rata berlari sebanyak 12 km selama pertandingan. Nah…bagian yang ini saya tidak pernah dengar sebelumnya. Sangat menarik!.

(*saat bercerita tentang 2 merek sepatu itu, saya jadi terkenang masa-masa di tahun 90-an saat saya bekerja sebagai Sales Supervisor di PT Mitra Adi Perkasa yang banyak menjual sepatu sport dan alat-alat sport lainnya. Jadi saya bisa membayangkan jika kedua brand itu mengembangkan teknologi canggih yang diaplikasikan pada sepatu keluaran terakhirnya).

Nah..nett-nett dari cerita ini adalah bahwa ; Malas berlari!!! Itulah yang menyebabkan team Brazil kalah dibandingkan dengan team German.  Berlari bukan hanya membuat kita menjadi lebih cepat, namun juga membuat otot-otot kita terlatih dan anggota tubuh kita memiliki stamina yang lebih baik dibandingkan jika kita tidak melatih diri berlari. Demikian juga ‘berlari’ dalam kehidupan sehari-hari.

Sebuah ilustrasi yang bagus. Saya tersenyum mendengarkan bagaimana Pak Handi kemudian menganalogikan kekalahan Brazil ini dengan kekalahan brand yang para pemasarnya juga malas berinovasi. Oleh karena itu, jika tidak mau kalah bersaing ya…jangan malas berlari. Pak Handi lalu melanjutkan ceritanya dengan beberapa pesan pemasaran lain. Wah..thanks to Pak Handi atas ceritanya.

Tentu saja cerita di atas sangat relevan bagi para pemasar. Karena memang pada prinsipnya apa yang dikatakan pak Handi itu benar adanya. Keterlambatan membawa inovasi baru ke pasar adalah salah satu penyebab terkuat, mengapa sebuah merk dagang bisa terpuruk dilindas pesaingnya. Di dunia pemasaran, pada akhirnya memang, bukan yang besar yang akan memakan yang kecil. Tapi yang cepatlah yang akan memakan yang lambat. Oleh karena itu, jangan malas berlari.

Bahkan jika kita pikir lebih jauh, petuah untuk “JANGAN MALAS BERLARI” ini juga bukan hanya relevan untuk para pemasar. Juga sangat relevan untuk kita semua dalam kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari.

Misalnya dalam posisi saya sebagai ibu rumah tangga,  petuah jangan malas berlari ini pun terasa sangat relevant. Kita jangan malas berlari ‘mencari cara dan terobosan baru’ dalam mendidik anak, memahami perkembangan anak dan tuntutan lingkungannya, sehingga kita mampu  mempersiapkan anak kita agar bisa menghadapi dunia pengetahuan dan arus informasi yang berlari dengan cepat. Anak-anak jaman sekarang tentu tidak bisa disamakan kondisinya dengan saat kita masih kanak-kanak dahulu. Oleh karena itu, sebagaiorang tua kita perlu sedikit lebih smart untuk bisa menyiapkan anak-anak kita dengan baik.

Nah… barangkali petuah “jangan malas berlari’ inipun relevant juga buat penulis blog seperti saya ini. Jika malas menggali ide baru, mengembangkan ide baru dan menjadikannya tulisan-tulisan baru yang segar dan bervariasi, bisa-bisa para pembaca  blog saya ini  mati kebosanan membaca tulisan saya yang itu-itu saja. Kupu-kupu lagi, kupu-kupu lagi. Atau kalau tidak, burung lagi , burung lagi. Ha ha…

 

 

 

11 responses »

  1. Matur suksma Mbok Ade, berbagi inspirasi dari Pak Handi untuk tidak malas berlari…..
    Hehe saya jalan di tempat graak, kebun lagi dan lagi….
    Selamat menikmati liburan

    Like

Leave a comment