Kalau ada yang bertanya kepada saya, kira-kira masakan khas Bali apa yang akan saya jagokan sebagai masakan yang layak ditampilkan dalam festival makanan unik nusantara? Maka salah satu yang akan saya nominasikan adalah “Jukut Bulung”. Hah? Jukut Bulung?Apa itu? Tentu akan banyak yang bertanya-tanya.
Bulung adalah kata dalam bahasa Bali untuk “Rumput Laut” alias Sea Weed. Terminologi yang sangat umum bagi penduduk pulau kecil yang dikelilingi laut dimana-mana itu. Karena laut ada dimana-mana di setiap penjuru mata angin, maka hasil laut merupakan sumber makanan yang sangat penting di Bali. Bukan hanya ikan, udang, kepiting atau cumi-cumi, yang umum dijadikan lauk pauk teman makan nasi, tetapi rumput laut juga memegang peranan penting sebagai sayuran yang umum kita temukan dimana-mana, terutama di daerah pesisir pantai.
Sejak berabad-abad masyarakat Bali memetik rumput laut untuk dijadikan sayuran segar. Para wanita di Bali percaya, sayur rumput laut alias Jukut Bulung, bukan hanya menyehatkan karena mengandung berbagai jenis mineral laut, juga dipercaya merawat kecantikan dan menjaganya agar lebih awet, sehingga tetap terlihat muda lebih lama. Oleh karenanya, Jukut Bulung muncul sebagai salah satu sayuran traditional favorit untuk dicamil oleh para wanita di Bali, diluar Jukut Plecing Kangkung, Jukut Santok dan Jukut Seromotan. Karena saya sudah mengunjungi cukup banyak kota di Indonesia dan tidak mudah menemukan sayuran ini dijual di pasar umum, maka saya pikir masakan ini mungkin bisa dikategorikan sebagailumayan unik keberadaannya di Bali.
Catatan” Sebenarnya bahan mentah rumput laut pernah saya temukan (saya beli dan saya bawa ke Jakarta juga sih) dijual di sebuah pasar Traditional di Makasar beberapa tahun yang lalu. Hanya saja saya tidak tahu bagaimana saudara kita di Makasar biasanya memasak rumput laut ini sebagai sayuran.
Pemahaman akan betapa berharganya rumput laut ini bagi kesehatan dan kecantikan, membuat nelayan semakin semangat untuk memetik atau sengaja membudidayakan tanaman ini di pantai. Berikutnya sekaligus menarik pihak lain untuk membeli rumput laut yang dibudidayakan di Bali. Umumnya rumput laut ini di eksport ke Jepang untuk menunjang industri kecantikan dan obat-obatan. Salah satu tempat di bali yang sangat terkenal dengan pembudidayaan rumput lautnya adalah Nusa Penida dan nusa-nusa di sekitarnya (Nusa Ceningan, Nusa Lembongan) dan juga di Pulau Serangan.
Ada beberapa jenis rumput laut yang dibudidayakan dan dijadikan bahan makanan, namun untuk “Jukut Bulung” ada 2 jenis rumput yang paling umum digunakan, yakni Bulung Putih dan Bulung Boni.
Bulung Putih sangat umum dijadikan sayuran dan paling sering dijual di pasar-pasar traditional. Kita bisa menemukannya dijual umum setiap hari dengan mudah. Warnanya putih agak krem. Bentuknya mirip bihun. Rasanya enak, agak kenyal.
Bulung Boni, berwarna hijau dan lebih jarang didapat. Daunnya lucu,menggemaskan. Umumnya ada dijual di pasar-pasar saat bulan purnama. Rasanya lebih kenyal lagi dan lebih empuk dibanding Bulung Putih.
Rumput laut umumnya dimasak dengan cara direbus. Seperti makan plecing, umumnya bumbu dipisahkan dan hanya dicampur saat menjelang makan saja. Bumbunya terdiri atas 2 bagian, yakni bumbu kelapa parut dan bumbu kuah. Bumbu kelapa parut terdiri atas kelapa bakar dan Laos yang diparut . Sedangkan untuk bumbu kuah bumbunya biasanya ulekan cabe rawit dan terasi bakar serta sedikit garam yang dicampur dengan kaldu ikan (bahasa Bali = Kuah Pindang). Cara menghidangkannya biasanya Bulung ditata di atas piring saji, ditaburi dengan bumbu kelapa parut lalu disiram dengan bumbu kuah pindang. Tampilannya agak mirip dengan sayur Urap versi laut.
Nyam nyam.. wah..jadi kangen. Pengen pulang…
Jadi ngiler pengen nyobain. Huehehhe..
LikeLike
ini sama uniknya dengan Kupang Surabaya he he… kalau aku ke Surabaya, pasti diajak teman makan Kupang..
LikeLike
Waaa keliatannya enak 😀 sama mbak made aku belajar banyak makanan bali nih… Next time klo ke bali harus nyobain ahhh… 🙂
LikeLike
ya.. harus nyoba ya. Ayo kita pulang…
LikeLike
Jadi pingin nyobain, mbak 🙂
Saya tinggal di Bali, tapi malah belum pernah makan ini. Dulu pernah makan rujak rumput laut. Karena rasanya agak amis, saya kurang suka. Entah kalau jukut bulung ini, ya. Tapi memang harus dicobain, sih. Nanti deh saya cari. 🙂
LikeLike
Oh..gitu ya Mbak Mirna.Kalau di Denpasar,harusnya lumayan mudah sih menemukannya. Saya pikir semua masakan yang memakai Kuah Pindang,biasanya memang agak berbau amis – walaupun level amisnya tergantung tukang masaknya juga sih mbak. Nah…Jukut Bulung ini juga memakai Kuah Pindang.
LikeLike
Rasanya sendiri gimana sih, Mbak? Hambar?
LikeLike
wuiihh blognya bagus bu made
Bulung + Kuah Pindang = Nak Mule Jaen he he he
Tambah rujak lagi
LikeLike
Suksma.
LikeLike
Baru sekali aku coba makan rumput laut, tapi tidak dimasak seperti yang Mbak Dani sajikan di postingan ini
LikeLike
Bulung boninya sungguh memikat Jeng, pun kaya mineral nggih. Serasa berkebun sayur di laut .
Salam
LikeLike