Kebudayaan Daerah Dan Alih Generasinya.

Standard

 

Sekaha-Barong-Truna-Bangbang-alih-generasi.

Sekaha-Barong-Truna-Bangbang-alih-generasi.

Seorang sahabat saya, Dewa Gede Putra Adnyana yang sehari harinya adalah  seorang Arsitek sekaligus Engineer di Treetop Adventure yang merancang design dan mengawasi tempat-tempat wisata Outbound di daerah-daerah di Indonesia bahkan hingga ke mancanegara, kerap kali mengup-load foto-foto anak-anak yang sedang berlatih memainkan alat-alat musik traditional Bali. Rupanya di tengah kesibukannya itu, ia masih sempat-sempatnya mengabdikan waktunya untuk masyarakat sekitar dengan aktif membina kelompok kesenian anak-anak  ini.

Setiap kali ia berada di Bali, sesibuk apapun sudah dipastikan ia akan meluangkan waktunya beberapa saat dengan kelompok kesenian anak-anak ini di kampungnya di desa Bangbang, kecamatan Tembuku di Bangli. Berusaha ikut membantu melestarikan dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan traditional daerah di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.  Bahkan yang sering saya lihat, seni musik yang dimainkannya itu adalah dari jenis yang sudah langka seperti  Gambang, Selonding, Caruk – yang merupakan Bebali yang hampir punah (Bebali = Seni Tradisi pelengkap upacara), yang  jika tidak ada yang melestarikannya sekarang tentu akan benar-benar punah. Itu yang membuat kami teman-temannya merasa salut padanya.

Pertama tentunya karena  di jaman sekarang ini, tidak banyak anak-anak yang punya minat pada kesenian traditional. Mereka lebih suka membuang waktunya dengan bermain games online. Membuat anak-anak hanya sekedar “bersedia”untuk belajar kesenian traditional saja sudah sulit. Apalagi untuk membuat mereka menjadi tertarik dan bangga akan kesenian daerahnya- tentu jauh lebih sulit lagi. Membutuhkan effort yang tidak mudah. Slonding cilik yg menggelitik(1) Kedua, karena  tidak banyak orang dewasa yang perduli akan keberlangsungan kesenian dan kebudayaan daerahnya, sehingga tidak ada effort untuk meng’estafet’kannya kepada generasi penerusnya. Bagaimana mau meneruskan, wong ia sendiri juga tidak mengerti. Jadi melihat ia begitu kami semua merasa bangga dengan apa yang ia lakukan.

Suatu kali ia mengupload sebuah gambar pementasan  sekeha Gong anak-anak itu.  Ia bertanya kepada kami. Ada element kegembiraan dan kegelisahan di sana. Ada yang bisa menebak, apa itu? katanya. Saya pikir ia ia ingin mengatakan bahwa diantara kegembiraan anak-anak yang akan tampil, ada kegelisahan dan kehawatiran akan basah kuyup, karena photo itu kelihatannya diambil saat mendung menggelayut di langit.  Sebentar lagi tentu akan turun hujan, pikir saya. Ternyata bukan. Bukan itu yang menjadi kegelisahannya. Inilah gamelan Caruk pelengkap upacara selain Slonding...yg membanggakan adalah generasi muda Bangbang(1) Ia kemudian menceritakan kegalauan hatinya.  Sejumput pertanyaan akan bagaimana kelak nasib kelompok kesenian anak-anak ini dengan berlalunya waktu. Mereka tentu akan sekolah dan bekerja mengikuti alur nasibnya sendiri-sendiri dan mungkin akan keluar desa dan sukses di tempat lain. Berpencar dan tak semuanya bisa kembali ke desa. Saat itu tentu apa yang ia bina tidak akan terlihat lagi bentuknya. Karena masa depan anak-anak ini bukan hanya Sekeha Gong. Dewa Bali Treetop Saya terhenyak dengan keprihatinannya itu. Teman-teman memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menenangkan. Ada yang memberi masukan. Semuanya sangat berguna.  Kesenian, sebagai salah satu bentuk hasil pemikiran dan perasaan manusia tentunya hanya akan hidup jika masyarakatnya menjalaninya. Dan untuk menjalaninya perlu kesenangan hati, minat dan semangat. Karena pada prinsipnya,kesenian adalah ungkapan hati. Jika kita senang melakukannya maka sudah dipastikan akan menghasilkan bentuk karya yang terindah. Namun jika hati kita tidak di situ, dan kita melakukannya hanya karena kita harus begitu..atau dengan motivasi lain, tentu karya yang dihasilkanpun menjadi tanggung nilainya. Kurang sempurna.

Akan halnya anak-anak – saya rasa kita sebagai orangtua hanya perlu memberinya kesempatan  dan wadah untuk menumbuhkan minat, rasa cinta dan semangatnya untuk berkesenian. Jika itu sudah kita lakukan, selanjutnya terserah masing-masing anak. Karena pada kenyataannya,  jika minat dan cinta akan kesenian itu memang sudah tumbuh,maka di manapun dan kapanpun orang akan berusaha mencari jalan untuk mengekspresikannya. Anak-anak itu akan pulang pada keseniannya, walau kemanapun perjalanan hidup membawanya. Setidaknya teman saya ini sudah melakukan sesuatu.

Jikalaupun mereka kelak tidak kembali berkesenian, mungkin saja anak-anak itu tetap bisa memanfaatkan dan mengimplementasikan pengalamannya dalam bentuk lain. Karena pengalaman berkesenian juga sangat membantu anak-anak mengasah kemampuannya untuk percaya diri dan berani tampil. Juga menyeimbangkan kemampuan emotional dan kepekaan hati.  Tentu saja kelak akan berguna dalam menjalankan tugas ke depannya entah itu sebagai pemimpin maupun sebagai anggota masyarakat biasa.

Generasi muda akan tumbuh dan tunas baru akan susul menyusul menggantikan.Selama kita konsisten melakukan peralihan generasi, semoga kebudayaan dan kesenian daerah kita tidak punah.

Bravo Dewa Putra Adnyana! Semoga sukses dengan apa yang dilakukan untuk masyarakat. Semoga semakin banyak lagi orang orang yang mau berbuat sesuatu untuk mengembangkan kebudayaan daerahnya masing-masing. Walaupun kecil.

15 responses »

  1. Salut buat semangat temannya njenengan Mba Dani. Memang godaan anak-anak jaman sekarang luar biasa sih mba ya dari gadget dan cepatnya jaringan internet yang sudah tersedia…

    Like

  2. Terimakasih Ade….atas liputannya, sejatinya bukanlah besarnya tetapi apa yg bisa qt lalukan ….itulah prinsip.

    Semoga banyak lagi yg bisa kita gali dan lestarikan

    Salam shobatmu
    Detra

    Like

  3. Hebat Pak Dewa Gede Putra Adnyana, Mbak Dani. Keberlangsungan budaya kita tergantung pada orang dewasanya, bukan pada generasi muda. Sebab adalah tanggung jawab orang dewasa mensosialisasikan budaya itu sampai dianggap jadi bagian dirinya oleh para generasi muda. Salut Mbak…

    Like

  4. Salut dengan bpk Adnyana. Sesuai judulnya, hampir semua kebudayaan daerah mempunyai masalah dengan regenerasi. Kalah bersaing dengan produk modern semisal gadget, playstation dan semacamnya. Bahasa, seni dan budaya. Semua sebenarnya bisa dimulai dari lingkup terkecil kehidupan sosial yaitu keluarga. Banyak orangtua yang lebih bangga anaknya pintar berbahasa asing namun mengesampingkan bahasa lisan dan tulisan daerahnya sendiri. Semestinya kita (saya dalam hal ini) mampu memberi, setidaknya mengenalkan- wawasan dan tradisi asli daerah secara proporsional.

    Like

  5. kurasa kalau pun nanti anak2 pilih jalannya masing2 mudah2an setelah mereka dewasa akan kembali mencari akarnya, karena minat berkesenian sudah melekat di jiwa

    Like

  6. Salut buat temannya Ni Made. Melestarikan budaya dengan bertindak, tidak omong tok.
    Waktu saya kecil di deket rumah ada sanggar, bukan sanggar tapi orang mengajarkan tari secara cuma-cuma. Sekarang udah gak ada lagi, jadi sedih.

    Like

Leave a comment