Monthly Archives: February 2015

Silakan Masuk Duluan!

Standard

???????????????????????????????Saya baru saja meninggalkan pintu pesawat Malaysia Airlines di bandara di Kuala Lumpur. Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari lokasi tandas alias toilet terdekat. Begitu ketemu, saya lega. Walaupun ada yang mengantri, tapi antriannya tidak begitu panjang. Sambil menunggu, saya melihat ke cermin di dinding. Wajah dan mata saya kelihatan lelah dan agak kucel. Maklum sudah terlalu malam. Dan saya belum sempat istirahat sejak tadi pagi. Saking asyiknya berkaca, tanpa terasa antrian sudah menipis. Hanya tinggal satu orang wanita kulit putih saja di depan saya.

Suara pintu terbuka dari salah satu bilik itu.  Seorang  ibu keluar, lalu membasuh tangannya sambil berkaca. Saya memperhatikan caranya membasuh tangan. Tiba-tiba wanita kulit putih yang tadi di depan saya mempersilakan saya masuk duluan sambil tersenyum ramah.  “Aiiih.. kok bule ini ramah banget ya?” Pikir saya dalam hati. Sepengetahuan saya, tidak biasanya ada bule mempersilakan orang yang ngantri belakangan untuk masuk duluan. Biasanya mereka lebih disiplin soal antri mengantri. Tidak mau menyerobot dan juga tidak mau diserobot. Tapi bule satu ini kok beda ya.

Karena dipersilakan, sayapun masuk duluan. Tentu setelah membalas senyumnya dan mengucapkan terimakasih. Begitu masuk, … neng nong!. Ooo….pantesan! Seketika saya mengerti, mengapa bule itu mempersilakan saya masuk duluan. Rupanya bilik yang ini menggunakan Closet Jongkok!. Ia sendiri kembali menunggu antrian di bilik sebelah yang menggunakan Closet duduk.   Closet duduk, membuatnya tidak terbiasa lagi dengan closet jongkok.

Perubahan pembangunan dan teknologi membawa perubahan besar terhadap peradaban manusia. Demikian juga terhadap kebiasaan dan kemampuan manusia. Closet duduk membuat nyaman, rileks dan santai,  karena tidak lagi harus berjongkok. Padahal menurut saya, berjongkok setiap hari membantu kita melatih otot-otot di betis dan paha juga lutut agar lebih kuat melakukan fungsinya. Dengan tidak berjongkok, kita jadi mengurangi latihan alami pada otot gastrocnemius di betis. Juga tidak ada lagi latihan alami terhadap otot biceps femoris di paha belakang.  Akibatnya, otot-otot di betis dan paha bagian belakang menjadi cepat letih saat kita memaksanya bekerja di luar kebiasaan. Ototpun mudah cramp.

Kalkulator membuat kita tidak terbiasa lagi berhitung dengan otak ataupun dengan bantuan jari tangan. Ketika kecil, proses penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pangkat, dan kwadrat berlangsung dengan cepat di kepala kita. Dalam hitungan menit atau terkadang bahkan detik, kita sanggup mengangkat tangan ketika Bapak Ibu Guru menanyakan sebuah pertanyaan matematika. Tapi sekarang? Ketika kita tumbuh, seiring dengan semakin sulitnya pelajaran matematika, (mulai ada Sinus, Cozinus, Tangen dsb), Bapak dan Ibu guru mengijinkan kita menggunakan kakulator sebagai alat bantu. Eh..lama-lama untuk membagi, mengali, menambah dan mengurangi pun kita juga memanfaatkan kalkulator. Semakin lama, otak kita semakin tidak terlatih untuk berhitung. Otak lebih sering istirahat. Rest. Rest. Rest.  Sehingga ketika kalkulator tidak ada, kita tak sanggup lagi berhitung dengan cepat. Lambat dan terkadang bahkan buntu.  Berapakah  364 x 756?. Hayooo!

Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang menunjukkan bahwa kemajuan peradaban tidak selalu memberi manfaat setara bagi semua aspek kehidupan manusia. Air Conditioner membuat kita tidak terbiasa lagi dengan kipas angin baling-baling. Juga membuat kita tidak tahan lagi dan rentan terhadap panasnya udara alami di luar ruangan. Kita menjadi cepat lelah, letih dan lesu jika harus berada di ruang tanpa Ac. Rice Cooker membuat kita tidak terbiasa lagi memasak nasi dengan dandang dan kukusan. Kendaraan membuat kita tidak terbiasa lagi menempuh jarak dengan berjalan kaki. Sekali berjalan..aduuuh..capeknya. Dan sebagainya.

Tentu saja saya bukan orang yang anti terhadap kemajuan teknologi. Saya hanya berpikir, ketika kita terbiasa dengan cara hidup tertentu yang kita anggap lebih maju dan lebih memudahkan, terkadang kita melupakan cara-cara lama yang menurut kita sudah kuno dan tak layak pakai lagi. Lalu akibatnya apa? Ketika benda-benda itu tidak ada, mendadak kita akan merasa panik, kehilangan  dan bahkan langsung bodoh dan lumpuh karenanya.

Bukan hanya itu, sejarah evolusi menunjukkan bahwa setiap bagian tubuh mahluk hidup yang tidak digunakan, tentu akan semakin mengecil dan menyusut alias mengalami rudimenter. Dan setelah beberapa periode waktu tentu akan hilang. Seperti halnya tulang ekor dan usus buntu yang sudah tidak kita gunakan lagi. Atau kaki pada ular.

Saya membayangkan, apakah yang terjadi pada kita ketika benda-benda peradaban baru itu lenyap dari depan kita? Bagaimana jika tiba tiba jaringan internet tidak ada?  Atau listrik pembangkit listrik mati dan tak bisa dibetulkan dalam waktu yang cukup lama? Waduuuh..kok rasanya ngeri membayangkannya ya.  Saya mungkin tidak bisa mengerjakan pekerjaan saya dengan baik lagi. Saya juga tidak bisa ngeblog lagi. Itu dampak kecilnya saja. Dampak besarnya, tentu jauh lebih mengerikan dari itu. Ketika manusia memasuki dunia maya dan mendedikasikan seluruh hidupnya di dunia itu, maka kehidupan manusia di dunia nyata barangkali pada suatu saat akan mengalami rudimenter dan tidak akan exist lagi. Saya berusaha membuang jauh pikiran buruk saya.

Sangat jelas, teknologi sangat membantu dan membawa kebaikan pada peradaban manusia. Namun di sisi lain, kita juga perlu menyadari dampak negative-nya terhadap keberadaan kita sebagai manusia.  Lalu apa yang harus kita lakukan?

Terpikir di kepala saya, setidaknya untuk saat ini, bahwa yang terbaik adalah tetap membalance-kan hidup kita. Gunakan kalkulator, namun sesekali perlu juga memanfaatkan otak kita untuk berhitung. Baca e-book, tetapi sesekali baca juga buku cetakan. Gunakan kendaraan, tapi sesekali cobalah berjalan kaki . Gunakan rice cooker atau microwave tapi sesekali gunakanlah dandang atau kukusan. Berada di gedung-gedung pencakar langit di kota yang penuh polusi, sesekali berjalankah keluar. Hirup udara segar, nikmati kehijauan dedaunan, langit yang biru, sungai yang gemericik, air terjun yang gemuruh. Dan sebagainya…

Gunakan Closet duduk, tapi sesekali gunakan jugalah closet jongkok. Atau setidaknya sesekali berjongkoklah untuk melatih kekuatan betis dan paha kita. Sehingga kaki kita tidakmudah cramp dan ketika harus masuk ke bilik dengan closet jongkok seperti ini,  kita masih mampu bertahan…

Malam semakin larut. Saya bergegas keluar karena harus segera mengambil bagasi saya dan meninggalkan airport secepatnya.

 

 

Sukabumi: Mengenal Iket Sunda.

Standard

Iket SundaMasih bagian dari obrolan saya dengan Andri dan Fonna Meilana dari Lokatmala.

Ketika awalnya saya masuk ke rumah pasangan ini karena melihat tulisan “Komunitas Iket Sunda” di dekat pintu depan rumahnya. Seketika saya ingat akan Ikat kepala Sunda yang pernah dikenakan oleh beberapa orang teman saya, antara lain Miming Jumiarto dalam profile picture-nya di Facebook.  Dan juga sahabat blogger saya yang asal Sukabumi, Kang Titik Asa. Sayapun bertanya, komunitas apakah gerangan itu? Apakah benar ada kaitannya dengan ikat kepala traditional Sunda ? Dan apakah mereka juga yang mendirikannya?

Andri menjelaskan bahwa itu adalah komunitas non kemersial dari orang-orang yang cinta  dan ingin memperkenalkan kembali serta mengembangkan iket kepala traditional Sunda. Didirikan di Bandung dan Andri mengatakan bahwa ia bukan pendirinya namun saat ini merupakan bagian dari Komunitas Iket Sunda itu juga. Dan ia lebih fokus dengan Iket Sunda yang umum digunakan di Sukabumi saja. Setiap wilayah memiliki gaya ikatnya masing-masing, yang bisa saja berbeda satu sama lain. Ya..saya teringat saat bermain ke gunung Padang, saya juga melihat para guide di situ mengenakan iket dengan gaya yang berbeda dari yang pernah saya lihat di tempat lain. Saya sangat tertarik untuk mengenalnya.

Iket Sunda Sukabumi biasanya berupa kain persegi dengan empat sudut. Dimana motifnya biasanya memiliki motif tepi yang disebut pagar dan motif di tengah-tengah yang disebut dengan modang.  Secara umum, cara/gaya mengikat iket itu bisa dibedakan menjadi Iket Buhun dan Iket Kiwari. Iket Buhun adalah Iket dengan style yang sudah  digunakan sejak jaman dulu hingga kini. Warisan leluhur.  Sedangkan Iket kiwari adalah iket yang diciptakan dan banyak digunakan di masa sekarang ini.

Menurut Andri, di Sukabumi ada 5 jenis Iket Buhun  dasar yang biasa digunakan yakni; Parekos Jengkol, Parekos Gedang, Julang Ngapak, Parekos Nangka dan Barangbang Seumplak  Sisanya yang lain adalah hasil pengembangan dari 5 jenis Iket ini. Atau jika tidak, merupakan kreasi generasi belakangan.

1/. Parekos Jengkol.

Parekos JengkolParekos dalam Bahasa Sunda artinya adalah lipatan yang dilakukan sambil memutar. Parekos Jengkol = Lipatan Jengkol.

Parekos Jengkol dipakai dengan cara melipat Iket segi empat menjadi segi tiga terlebih dahulu, kemudian melipat kembali dasar segitiga sebanyak 2 lipat, lalu memasangkannya dengan cara melilit pada kepala.  Cara memasangnya adalah dengan memastikan bagian atas kepala tertutup kain, ujung salah satu kain ditarik ke depan dan diselipkan di bawah lilitan, sehingga terlihat muncul tepat di tengah-tengah dahi . Ikatan dilakukan di bagian belakang dengan ujung ikatan dibiarkan lepas menggelantung.

Gaya Iket Parekos Jengkol ini sering kita lihat dipakai  oleh beberapa tokoh Sunda,  misalnya tokoh Cepot dalam Wayang Sunda.

 

2/. Parekos Gedang.

Parekos Gedang.Gedang dalam Bahasa Sunda berarti Pepaya. Jadi Parekos Gedang = Lipatan Pepaya. Mungkin disebut demikian karena setelah jadi, ikatan ini bentuknya mirip pepaya.

Menurut saya, Parekos Gedang ini sangat mirip cara pemakaiannya dengan Parekos Jengkol. Mulai dengan melipat kain segi empat menjadi segi tiga lalu melilitkannya di kepala dengan cara yang sama dengan Parekos Jengkol. Hanya saja ujung ikat kepala tidak ditarik sebanyak di Parekos Jengkol. Ujung kain di dahi itu cukup ditiban di bawah lilitan kain, sehingga tidak ada ujung kain ikat yang muncul di tengah dahi.

Juga di bagian belakang, ikatannya dirapikan dan dimasukkan ke dalam lilitan belakang, sehingga tidak ada sisa ujung ikatan yang terlihat lepas.

3/. Julang Ngapak.

Julang Ngapak.Julang berasal dari kata Manuk Julang, nama dalam Bahasa Sunda untuk Burung Enggang.  Sedangkan Ngapak artinya membentangkan sayapnya lebar-lebar. Jadi Julang Ngapak = Burung Enggang yang merentangkan sayapnya. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya bahwa burung Julang dikagumi  karena konon memiliki ethos kerja yang sangat baik.

Iket Julang Ngapak ini terlihat cukup unik, karena memiliki dua ujung yang diatrik ke samping mirip jambul burung hantu.

Iket Julang Ngapak ini sebenarnya agak mirip dengan Parekos Jengkol, tetapi pada bagian kain yang menutup kepala bagian atas, ditarik ke samping kiri dan kanan, hingga menyerupai sayap burung Julang.

4/. Parekos Nangka.

Parekos NangkaDari namanya, Iket ini mudah dimengerti maksudnya. parekos = lipatan. Sedangkan nangka artinya sama dengan nangka dalam bahasa Indonesia.

Parekos Nangka memiliki tampilan unik, karena penutup kepala bagian atas yang pada Parekos Jengkol dan parekos Gedang berada di bawah lilitan kain di bagian dahi, namun pada Parekos nangka ini, ujung kain tidak ditiban. Alih alih ditiban, ujung kain di bagian depan malah dilepas dan dibiarkan mengantung ke di depan dahi.

 

5/ Barangbang Seumplak.

Barangbang Semplak.Barangbang adalah kata dalam Bahasa Sunda untuk Pelepah Daun Aren atau juga pelepah kelapa. Kita tahu bahwa di daerah pasundan sangat banyak tumbuh pohon aren.  Sedangkan Seumplak artinya adalah nyaris jatuh (tapi masih menempel di batangnya), misalnya akibat sudah layu  atau patah tertiup angin. Jadi Barangbang Seumplak artinya Pelepah Daun Aren yang nyaris jatuh/patah.

Iket Barangbang Seumplak ini tidak menutupi kepala bagian atas.  Sehingga kalau udara sedang panas lembab, kelihatannya tidak membuat kepala berkeringat. Iket dilakukan dengan cara melipat kain segi empat menjadi segitiga, lalu dililitkan di kepala dengan meletakkan bagian ujung segitiga kain di bagian belakang. Ikatan dilakukan pada bagian belakang.

Di luar 5 Iket dasar Buhun ini, masih banyak lagi jenis Iket yang lain yang diciptakan belakangan. Andri sendiri juga sempat menciptakan beberapa jenis Iket masa kini. Rupanya setiap wilayah memiliki gaya mengikat yang tidak selalu persis sama. Sehingga jika dihitung di seluruh tanah Pasundan, banyak sekali jenis Iket yang ada.  Sayang sekali jika Iket ini sampai hilang karena tidak banyak lagi orang menggunakannya dalam aktifitasnya sehari-hari.

Saya salut kepada orang-orang di Komunitas Iket Sunda yang dengan sabar dan tekun terus menerus berusaha mengenalkan kembali Iket Sunda, tata cara berbusana ala Sunda sesuai dengan warisan leluhur.

 

 

Batik Sukabumi, Motif, Filosofi Dan Pewarna Alam.

Standard

Batik SukabumiKetika mendengar nama Batik Sukabumi disebut, tentu penasaran dong. Apa itu Batik Sukabumi? Apa bedanya dengan batik-batik yang lain, misalnya batik Cirebon, atau batik Pekalongan atau batik Jogja dan sebagainya? Apakah ada motif tertentu atau pakem-pakem tertentu  yang menjadi ciri khasnya? Pertanyaan itu mendapat respon yang baik ketika saya berkesempatan ngobrol dengan pasangan pencinta budaya Sunda,  Fonna Melania dan Andri dari komunitas Lokatmala  -yang kebetulan juga pengrajin batik.

Menurutnya, yang dimaksudkan dengan Batik Sukabumi bisa dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni:1/. Batik yang menggunakan motif-motif khas Sukabumi, diciptakan dan dikerjakan  di Sukabumi. 2/. Batik yang dibuat dengan motif-motif khas Sukabumi tapi dikerjakan di luar daerah Sukabumi, misalnya Cirebon, Pekalongan dll.

Lalu apa motif khas batik Sukabumi yang membuatnya berbeda dengan batik daerah lain? Dari sana saya mendapat penjelasan bahwa motif batik yang diakui secara resmi sebagai motif khas Sukabumi sebenarnya ada 4 yaitu Pala, Paku Jajar, Pisang Kole dan Bunga Lily.  Mengapa motif-motif itu dianggap motif khas? Alasannya sangat simple, karena tanaman-tanaman itu sangat melimpah keberadaannya di Sukabumi.  Apakah alasan itu cukup unik untuk membuat sebuah batik bisa diklaim sebagai Batik khas Sukabumi? Bukannya tanaman itu juga ada banyak di tempat lain di Indonesia? Jika orang di daerah lain juga membatik dengan menggunakan motif itu, tentu ke-khasan Batik Sukabumi akan berkurang. Karena tidak unik lagi.

MembatikJauh sebelum pertanyaan ini muncul di benak saya, rupanya Fonna sudah memikirkannya. Dibutuhkan alasan yang jauh lebih mendasar jika ingin menggunakan element sebagai motif khas. Untuk itulah ia berusaha menggali hal-hal yang lebih mendasar dan spesifik kaitannya dengan budaya lokal Sukabumi ataupun hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Sukabumi, untuk diangkat ke dalam design batiknya guna meningkatkan ke”genuin’an dan kekhasannya.

Salah satunya ia bercerita tentang keberadaan dua buah Kendi di depan Masjid Agung yang menjadi salah satu landmark kota Sukabumi. Kendi itu memiliki kaitan sejarah dengan peristiwa heroik Bojong Kokosan. Sat itu sebelum para pejuang berangkat ke medan perang guna mempertahankan wilayahnya dari serbuan Belanda, mereka dimandikan terlebih dahulu dengan air dari 2 kendi itu yang sebelumnya sudah didoakan oleh ulama. Dan diciprat dengan menggunakan bunga wijaya kusuma. Sehingga ia terpikir untuk mengangkat element Kendi, Bunga Wijaya Kusuma dan Air dalam design batiknya. Karena element-element ini lebih spesifik dan  bisa dikaitkan dengan sejarah Sukabumi.

Kendi, bisa dikaitkan dengan kendi di depan Masjid Agung dan kisah Bojong. Demikian juga dengan Bunga Wijaya Kusuma. Selain itu Bunga Wijaya Kusuma juga menjadi symbol bagi sesuatu yang mekar,wangi dan cemerlang menerangi kegelapan. Dan Air, sangatlah erat dengan Sukabumi dan sejarahnya.  Secara umum Sukabumi memang memiliki sangat banyak air, sawah dan sungai sungai yang jernih. Kita tahu bahkan Balai Besar Pengembangan Budidaya Ikan Air Tawar berada di kota ini. Bahkan kalau diperhatikan ada jalan di Sukabumi yang bernama Ciwangi alias Air Harum  (Ci=Air, Wangi = harum). Mereka yakin akan keberadaan mata air wangi ini di sekitar hulu jalan Ciwangi sekarang. Itulah sebabnya mengapa ada gang yang diberi nama Gang Tirtha.

Manuk JulangHal lain yang ia sempat gali lagi adalah cerita-cerita rakyat dan legenda lama yang menyebar di kalangan masyarakat Sukabumi. Contohnya adalah Manuk Julang. Manuk Julang adalah kata dalam bahasa Sunda untuk Burung Enggang. Manuk Julang ini diyakini sebagi burung yang memiliki ethos kerja yang sangat tinggi. Konon burung ini akan berusaha terus mencari makanan/air dan tidak akan berhenti sampai ia dapat. Ia bahkan bersedia mati terbang dalam usahanya mencari sesuatu, ketimbang harus istirahat saat ia belum menemukan apa yang ia cari. Symbol Julang Ngapak (burung Julang yang sedang merentangkan sayapnya) misalnya bisa kita temukan digunakan dalam salah satu Iket Sunda ataupun diterapkan pada atap rumah Sunda traditional jaman dulu.

Nah, Manuk Julang inipun ia masukkan ke dalam element designnya. Sama halnya dengan design kucing Candramawat yang ia ambil dari cerita Nini Anteh dan   Ikan Leungli dari cerita Puteri Rangrang. Wah..kaya dan kreatif sekali idenya ya? Saya pikir apa yang ia lakukan sangat masuk akal. Mengaitkan sejarah, cerita rakyat dan filosofinya ke dalam element design untuk meng’enhance’ kekhasannya dan keterhubungannya dengan Sukabumi.

pala DesignLalu apa yang ia lakukan dengan motif-motif yang sudah dipatentkan sebagai motif khas Sukabumi? Ia tidak kehabisan akal. Melihat bagaimana buah pala utuh bulat lengkap dengan daunnya tidak selalu compatible dengan setiap design,maka ia membery style pada buah pala itu. “Bagaimana coba jika ujug-ujug ada buah pala pada design yang bercerita tentang air dan ikan? Buah pala lengkap pula dengan daunnya? Nggak nyambung kan?” katanya. Oleh karena itu ia membuat versi stylirasi yang lebih masuk akal dan lebih nyambung. Ketimbang buah pala utuh, ia mengambil biji dan selaput bijinya (fuli) yang memang terlihat jauh lebih cantik dan lebih nyambung kemana-mana. Bahkan kalau diletakkan berdekatan dengan motif airpun sekarang terasa tetap nyambung saja.

Pewarna alam.

Pewarna alamBudaya membatik sudah sangat tua di daerah Priangan. Bedanya, jika di Jawa menggunakan wax alias lilin untuk membantu proses penghambatan warna, di Sunda digunakan ketan.  Sedangkan pewarna jaman dulu tentunya diambil dari alam sekitarnya. Fonna berusaha melakukan proses membatik sedekat mungkin dengan apa yang dilakukan nenek moyang jaman dulu. Untuk beberapa batik tulisnya, Fonna juga menggunakan bahan-bahan pewarna alam yang dibuat dari daun pala, daun melinjo, daun alpukat, jengkol dan sebagainya. ternyata banyak juga ya bahan pewarna alam ini. Dan hasilnya ternyata sangat cantik.Warnanya kelihatan kalm dan teduh. Dan tentunya pewarna alam ini jauh lebih aman dan sebenarnya lebih mudah dicari dari lingkungan di sekitar kita. Back to Nature!.

Ia sangat menyukai batik dan menikmati pekerjaannya. Menurutnya nilai batik itu ada pada prosesnya. “Membatik adalah sebuah proses. Kalau kita tidak bisa menghargai prosesnya, ya gunakan saja kain printing” .

Lokatmala, Komunitas Budaya Dan Batik Sukabumi.

Standard

Fonna Melania & AndriHari itu saya sungguh mujur. Gara-gara mampir ke sebuah rumah tetangga yang sedang panen buah pala di halamannya, mata saya tertarik pada sebuah spanduk kecil bertuliskan “Komunitas Iket Sunda”. Sejenak saya berpikir tentang ikat kepala yang dipakai secara traditional di wilayah priangan. Selain itu saya juga membaca kata “Lokatmala” di depan rumah ini tadi. Aha! Naluri saya mengatakan ada banyak hal yang akan menarik perhatian saya di rumah itu.

Sang tuan rumah yang baru saya kenal saat itu juga mempersilakan saya masuk dengan sangat ramah. Sayapun masuk dan clangak clinguk melihat baju-baju batik di pajang di ruang depannya. Lalu ada seperangkat gamelan Sunda dan kain -kain batik yang baru jadi ataupun setengah jadi. Mencoba menebak tempat apakah gerangan ini? Mirip studio. Saya diajak ke ruang tengah. Rupanya ada orang yang sedang membatik. Terus terang saya baru tahu kalau di Sukabumi ada orang yang membuat  batik. Saya pikir orang membatik hanya di Pekalongan dan Cirebon.

Candramawat, Kucing Keren Milik Nini Anteh.

CandramawatDi ruang tengah itu dibentang sebuah batik tulis yang sangat menarik sekali. Berwarna hitam dengan motif berwarna krem dan kekuningan. Terlihat sangat elegant.”Motif apa ini?” tanya saya. Sang Tuan dan Nyonya rumah yang memperkenalkan namanya sebagai Andri dan Fonna Melania bercerita kepada saya bahwa batik itu mengangkat cerita tentang Candramawat, kucing kesayangan Nini Anteh.

Bagi yang belum tahu cerita rakyat Sunda yang popular di Sukabumi ini, bisa saya ringkas sedikit, bahwa Nyi Anteh adalah seorang dayang-dayang kerajaan yang memiliki kecantikan luarbiasa. Ia mengabdi kepada puteri raja yang sangat disayangi dan dihormatinya. Namun karena kecantikannya itu, Sang Pangeran lebih tertarik dan jatuh cinta kepada Nyi Anteh ketimbang kepada Sang Puteri. Untuk menghindari masalah dan agar tidak menyakiti hati Sang Puteri, akhirnya Nyi Anteh berdoa agar bisa ke bulan. Doanya didengar, akhirnya Nyi Anteh tinggal di bulan bersama kucing kesayangannya yang bernama Candramawat. Menurut dongeng ini, itulah sebabnya mengapa di saat-saat tertentu jika kita melihat bulan, kita bisa melihat bayangan Nini Anteh dan kucingnya di permukaan bulan.  Hmm..cerita yang sangat menarik.

Sang senimanpun menciptakan motif kucing Candramawat ini dari cerita rakyat itu.

Leungli, Sahabat Si Puteri Rangrang.

LeungliSaya melihat-lihat lagi karya batik yang lain. Ada batik tulis dengan motif ikan yang sangat indah dan menarik. Saya lalu bertanya apakah ini ada ceritanya juga? Ya. Fonna mengangguk dan menjelaskan bahwa batik itupun diangkat dari cerita rakyat, yakni tentang seekor ikan yang bernama Leungli. Juga cerita rakyat Sunda yang sangat populer di Sukabumi. Tentu saja saya tertarik untuk mendengar.

Ringkas ceritanya begini; pada jaman dulu ada 7 orang bersaudara. Yang bungsu bernama Puteri Rangrang. Puteri bungsu ini sangat diirikan dan dimusuhi oleh kakak-kakaknya. Satu-satunya sahabatnya adalah seekor ikan mas bernama Leungli. Ikan ini diselamatkan olehnya dan dipeliharanya sejak kecil hingga besar. Sedemikian indahnya persahabatan antara Leungli dengan Puteri Rangrang, bahkan jika ingin memanggilnya, Puteri Rangrang selalu melantunkan lagu khusus.

Suatu hari ketika Puteri Rangrang sedang pergi, kakak-kakaknya yang jahat mengambil ikan itu dan sengaja memasaknya untuk menyakiti hati Puteri Rangrang. Merekapun berpestapora dan membuang tulang-tulang ikan itu. Puteri Rangrang mencari-cari Leungli dan tak berhasil menemukannya. Lalu sadar kalau Leungli sudah dimakan oleh kakak-kakaknya. Akhirnya dengan sangat sedih ia mengumpulkan tulang-tulang ikan itu dan menguburnya baik-baik. Dari kuburan ikan itu, tumbuhlah sebatang pohon yang berbuah emas permata dan berlian. Hal ini terdengar oleh Pangeran kerajaan yang kemudian menemui Puteri Rangrang. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.

Leungli  dan air adalah dua element yang terexpressi di batik itu. Sungguh indah. Saya terpesona oleh kepiawaian Fonna dan Andri dalam mengangkat elemen-elemen sastra Sunda ke dalam design batiknya.

Melihat-lihat motif batik itu, dan mendengarkan apa yang dituturkan oleh pasangan seniman itu, barulah saya sadar. Bahwa pasangan ini bukan hanya sekedar menambah penghasilan dengan menciptakan kreasi batik, namun jauh di atas itu mereka adalah seniman-seniman yang bangga akan budaya daerahnya sendiri dan bekerja keras berupaya mengangkat dan menghidupkan kembali budayanya yang makin lama makin hilang tergerus perkembangan jaman.

GamelanBersama-sama teman seniman yang lain mereka mendirikan komunitas “Lokatmala” yang memiliki arti bunga Edelweiss, bunga abadi dari  Gunung Gede-Pangrango. Selain itu Lokatmala bisa juga diartikan sebagai tasbih penyucian. Di komunitas ini mereka tidak hanya mengerjakan batik dengan motif khas Sukabumi, namun juga menghidupkan kembali budaya Sunda Sukabumi  jaman dulu melalui kesenian tari dan musik traditional. Mereka juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk seniman lain atau siapa saja yang ingin bersama-sama mengajar atau berlatih menari Sunda. Ooh..pantes saja saya melihat perangkat gamelan di sana.

Mereka membatik dengan tujuan untuk mengangkat budaya daerah dan juga sekaligus untuk membantu menghidupi kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka menumbuhkan kembali rasa cinta kepada kebudayaan traditional yang menjadi warisan leluhur. Selain itu mereka juga tergabung dalam Komunitas Iket Sunda yang peduli dan berusaha melestarikan pemakaian iket kepala warisan leluhur itu.

Budaya dan Kesenian daerah adalah hal yang memiliki peranan penting dalam mempertahankan sebuah masyarakat bahkan negara” pendapat pasangan itu. Saya tercenung mendengarnya. Tapi kemudian saya paham maksudnya. Kecintaan dan rasa kepemilikan masyarakat akan budaya dan kesenian daerahnya sendiri, akan membantu meningkatkan rasa kebanggaan sebagai bangsa. Masyarakat yang paham, cinta dan menjalankan budaya dan kesenian daerahnya sendiri adalah masyarakat yang sangat teguh dan tidak mudah diombang-ambingkan ataupun digerus oleh gelombang kebudayaan bangsa lain dan perkembangan jaman.

Lihatlah Jepang atau Korea! bagaimana mereka bisa beradaptasi atau bahkan memimpin perkembangan namun tetap membawa kebudayaannya sendiri. tetap cinta akan keseniannya sendiri. Mereka tidak tergoyahkan”. Ia memberi contoh. Saya mengangguk setuju. “Jangan sampai saking sibuknya dengan budaya Korea, kita sendiri lupa dengan budaya Sunda. Boleh belajar dan mengenal budaya lain. Itu perlu. Tapi pada akhirnya kita harus kembali kepada budaya kita sendiri. Hal ini hanya mungkin terjadi jika kita kenal, paham dan cinta terhadap budaya kita sendiri terlebih dahulu. Ibaratnya rumah – jika kita tidak tahu di mana rumah kita, kemana kita akan pulang?”. 

Leluhur kita mewariskan sedemikian banyaknya kearifan-kearifan dan kebiasaan yang baik. Sebaiknya kita kenali, kita ambil dan teruskan segala yang baik-baik milik kita sendiri itu sebelum kita mengenali dan memahami kearifan bangsa lain.

Wah..luarbiasa. Saya sangat salut pada mereka berdua.

Berbincang dengan pasangan yang terlihat sangat kompak ini sungguh sangat menyenangkan. Saya sangat beruntung bisa berkenalan dengan mereka.  Dua orang seniman yang mengabdikan dirinya untuk mengangkat budaya Sunda khususnya Sukabumi.

 

Hangat Dan Harumnya Buah Pala.

Standard

Buah PalaPala! Rempah yang banyak di Indonesia ini sedemikian terkenalnya pada jaman dulu, hingga menjadi salah satu alasan penjajah mendatangi Nusantara tercinta kita. Pala ada dimana-mana,walaupun mungkin di daerah tertentu lebih banyak keberadaannya dibandingkan dengan yang lain. Selain Maluku, wilayah Indonesia yang cukup banyak memiliki tanaman Pala adalah wilayah Jawa Barat, termasuk di Sukabumi. Tidak jauh-jauh, tetangga saya di kota inipun ada yang memiliki pohon pala yang sudah sangat tua umurnya.

Kemarin ketika kebetulan lewat, saya melihat sangat banyak buah pala berserakan di halamannya. Rupanya sedang ada yang memanjat dan memanen buah pala. Sayapun mampir untuk melihat. Pohon pala tua yang entah berapa puluh tahun umurnya itu rupanya masih tetap berbuah banyak.

Sang empunya rumah dengan ramah menjelaskan kepada saya jika buah pala ini dipanen untuk diambil biji dan fulinya. Ia mengambil sebuah yang matang dan membukanya. Tampak bijinya yang dibungkus dengan selaput berwarna kemerahan mirip jalinan yang biasa disebut dengan fuli. Tampak indah sekali. Mirip ukiran. Tuan rumah juga mempersilakan saya mengambil beberapa buah. Saya sangat senang dan berterimakasih.

Buah pala ini sungguh harum dan hangat. Tidak heran jika diberi nama Myristica fragrans di dalam Bahasa Latyn. Karena memang benar-benar wangi dan hangat. Saya ingat mencium element wangi seperti ini di beberapa International fine fragrance yang sukses di pasaran. Harumnya terasa menghangatkan jiwa. Spicy!.

Tak berapa lama kemudian, bapak-bapak yang tadinya memanjat pohon pala itu kini turun dan membuka buah pala itu satu per satu. Biji pala dan fulinya itu dipisahkan dari daging buahnya lalu dikeringkan. Saya mengerti mengapa harganya lumayan mahal, karena manfaatnya yang memang sungguh banyak. Selain untuk bahan campuran parfum, pala juga banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan. Minyak pala adalah salah satu minyak yang umum kita gunakan untuk menghangatkan badan, sebagai minyak pijit dan membantu mengatasi gangguan saat kaki kita terkilir atau keseleo.

Biji pala juga banyak kita gunakan sebagai bumbu dapur untuk keperluan memasak. Umum ditambahkan untuk bumbu penghangat sop sayuran. Selain itu  daging buahnya juga sering diolah menjadi manisan ataupun asinan.

 

Merahnya Biji Saga

Standard

Biji SagaBerjalan ke warung sayur yang tak jauh dari rumah, membuat saya berkesempatan melihat-lihat apa yang ditanam di halaman depan rumah tetangga. Ada sebatang tanaman saga yang merambat di pagar salah sebuah rumah. Jadi teringat judul sebuah novel yang pernah saya baca jaman dulu di tahun 80-an karya Marga T yang berjudul Saga Merah.  Sudah agak lupa sih isinya.

Tanaman Saga alias Rosary Pea (Abrus precatorius) sangat familiar bagi saya, karena waktu kecil saya sering melihat biji-biji Saga yang berwarna  merah ini digunakan untuk menimbang emas oleh para tukang emas.Walaupun hingga sekarang saya tidak mengerti mengapa biji-biji saga kok dulu dipakai menimbang emas. Bagaimana cara menjamin bahwa beratnya selalu sama? Namanya juga biji tanaman, tentu ada variasinya.

Tapi yang jelas biji Saga ini memang kelihatan sangat menarik.Warnanya sangat merah dengan sapuan warna hitam di salah satu kutubnya.  Merah biji Saga ini memang benar-benar merah. Itulah barangkali sebabnya mengapa jaman dulu orang tua kita kalau mengatakan merah yang sangat merah (the very true red) menyebutnya dengan istilah Merah Saga. Warna merah yang seperti warna merahnya biji Saga. Namun sayangnya,menurut berbagai sumber, biji Saga yang warnanya sangat menarik ini ternyata sangat beracun.

saga1Saya tertarik melihat bunga-bunga Saga yang sedang mekar. Warnanya broken white bersemu hijau dan keunguan di pangkalnya. Cantik juga ya. Mirip bunga kacang kara. Hanya saja kecil-kecil dan berkelompok dalam tangkai. Sebenarnya saya sudah cukup sering melihat tanaman Saga sejak kecil. Namun entah kenapa saya tidak pernah memperhatikan bunganya. Yang saya kenal akrab hanyalah daunnya dan bijinya.

Daun tanaman ini juga terlihat sangat indah berbaris rapi sisi per sisi menelusuritangkai daunnya. Warnanya hijau terang.Menurut seorang Ibu tua yang berdiri di dekat pagar itu, secara traditional daun tanaman ini dimanfaatkan untuk obat sariawan. Itulah sebabnya mengapa kadang-kadang dipelihara di pekarangan sebagai salah satu tanaman obat apotik hidup.

The Reason…

Standard

???????????????????????????????Seorang teman baru kembali dari tugasnya di negeri seberang. Ia membawa oleh-oleh, snack-snack dan camilan lain yang ia gelar di meja yang kebetulan kosong.Sehingga semua orang yang ingin menikmati snack itu bisa mengambilnya dengan mudah.  Wow! Thanks! Banyak banget. Saya ikut melihat ada apa saja. Coklat, permen olive, crackers, dan melihat diantaranya ada  walnut.

Kacang yang berbentuk otak manusia itu jarang bisa saya temukan di tanah air. Kalaupun ada harganya sungguh sangat mahal. Sekitar  Rp 250 000 per kilonya. Sementara harga kacang tanah,  sepersepuluhnya barangkali tidak sampai. Lalu saya pun mencomot sedikit dan mencobanya. Sebenarnya rasanya sih nggak terlalu enak ya. Agak hambar malahan. Terutama jika kita bandingkan dengan jenis-jenis kacang yang biasa kita konsumsi. Tapi ya lumayanlah…nggak jelek-jelek amat.

Barangkali karena rasanya yang menurut saya hambar dan kurang enak itu, walnut itu menjadi kurang laku dibandingkan oleh-oleh yang lain. Orang-orang mengambil crackers, coklat, biscuit, permen dan sebagainya sehingga dalam waktu yang tidak lama, oleh-oleh itupun menipis.  Kecuali walnut itu. Tak ada seorangpun yang saya lihat mengambilnya lagi setelah mencoba sekali. Hingga suatu saat saya kembali lagi ke meja itu untuk mengambil sedikit walnut lagi.

Saya melihat seorang teman berdiri di dekat meja itu dan asyik memakani walnut. Lho? Kok tumben ada yang anteng makan walnut?  Sayapun ikut berdiri di situ, mengobrol dan memakan walnut bersamanya. Hanya kami berdua – karena yang lain tidak tertarik. Saya bertanya kepadanya, apakah ia benar-benar suka akan rasa kacang itu? Kok kelihatannya asyik amat? Ia tampak berpikir sebelum menjawab dan seketika saya mencurigai sesuatu. “Ha…! Aku tahu reasonnya!” kata saya. “Pasti bukan karena suka rasanya kan? Pasti karena walnut ini jarang ada di sini” kata saya menuduh sambil tertawa. “….dan mahal!” sambung teman saya tertawa dan mengakui bahwa ia memakan kacang itu bukan karena suka  akan rasanya. Tapi karena alasan lain. Kepalang kepergok. “Ibu juga, kan?“tanyanya. Ha ha.!.

Jadi alasan kenapa teman saya *dan saya*  asyik memakan walnut ini memang bukan karena kami suka akan rasanya. Tapi karena walnut ini jarang ditemui dan mahal pula harganya di sini. Jadi mumpung ada yang gratis dan yang lain tidak suka, kenapa tidak kami makanin saja? Saya pikir lebih baik makan walnut daripada makan coklat atau snack biasa yang sudah terlalu biasa dan mudah dicari di sini. Karena jika kacang ini habis, besok saya tidak akan menemukannya lagi. Sementara jika coklat itu habis, besok saya masih bisa membelinya lagi. Ha ha ..Itu namanya jurus aji mumpung.

Perbuatan serupa juga pernah saya lakukan untuk Buah Naga. Pada jaman ketika Buah Naga masih sangat jarang dan harganya mahal di sini, setiap kali ada kesempatan tugas kantor keluar dan sarapan pagi di hotel tempat saya menginap, saya selalu fokus memakan buah naga ketimbang memakan buah pepaya, semangka,melon atau nenas. Kenapa? Bukan karena saya suka akan rasa buah naga itu, tapi lebih karena saya pikir saya jarang mendapatkan kesempatan memakan buah naga ini di Jakarta waktu itu. Kalau pepaya, semangka atau nenas sih gampang. Kapan saja saya mudah mendapatkannya. Dan murah pula. Sekarang ketika buah naga semakin mudah didapatkan dan harganya lebih rendah ketimbang dulu, saya berhenti melakukan itu. Karena sekarang saya merasa tidak perlu lagi.

Saya rasa hampir semua dari kita melakukan sebuah perbuatan karena alasan tertentu  *walaupun terkadang ada juga sih perbuatan yang kita lakukan tanpa kita pikirkan sebelumnya kenapa dan mengapanya*. Mengapa kita melakukan perbuatan A dan bukan perbuatan B?

Jika kita simak baik-baik apa yang terjadi dengan setiap tindakan kita dan alasan yang memicunya, sebenarnya tidak semua alasan itu terlihat dengan gamblang di depan mata. Banyak sekali alasan-alasan lain yang sebenarnya menjadi pemicu utama, namun tidak selalu terlihat di permukaan.  Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan memahami keseluruhan persoalan itu beserta konteksnya. Contohnya dalam kasus kenapa teman saya memakani walnut, tapi tidak mau memilih memakan coklat. Jika kita melihat sepintas lalu saja, tentu kita akan mengambil kesimpulan bahwa teman saya itu adalah penggemar walnut. Padahal kenyataannya ia seorang penggemar coklat.Bukan penggemar walnut!. Kita baru bisa membaca alasannya, hanya jika kita memahami konteks keberadaan walnut itu di Indonesia (terutama di Jabodetabek) dan memahami harganya yang sangat mahal untuk ukuran kacang-kacangan. Sekarang kita baru paham, apa yang memicu ia mengkonsumsi walnut lebih banyak dari coklat.

Demikian juga jika kita bekerja sebagai seorang pemasar. Memahami tingkah laku konsumen, kebiasaan konsumen dalam menggunakan sebuah kategori tertentu serta memahami market landscape-nya, akan sangat membantu kita untuk mengetahui alasan sesungguhnya *yang belum tentu dikemukakan oleh konsumen ke permukaan* mengapa konsumen mengkonsumsi kategori itu. Apakah karena memang benar-benar membutuhkannya karena alasan mendasar ataukah karena alasan lain. Pemahaman ini akan sangat membantu kita dalam meracik marketing mix yang baik untuk memenangkan pertarungan pasar dengan lebih baik.

Kesabaran Dan Pemahaman Situasi.

Standard

MacetSaya harus berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Karena ada schedule conference call pukul 7.30 pagi. Rencana saya, jika tiba lebih pagi, sisa waktu akan saya gunakan untuk membaca materi yang akan saya diskusikan sebelum conference call. Sempat terpikir, apakah sebaiknya masuk tol saja?. Hmmm.. Belum lama ini saya sempat lewat jalan tol, tapi apes banget. Saat itu tol malah lebih macet dari jalan biasa dan saya telat nyampai ke kantor. Kali ini saya tidak mau mengambil resiko.

Akhirnya saya menempuh jalan biasa. Lewat Pondon Aren -Ciledug – Cipondoh- Poris lalu masuk Daan Mogot. Lumayan lancar hingga keluar dari pertigaan Ciledug. Selepas itu, lalu lintas ternyata sangat padat.Antrian panjang sekali, sehingga laju kendaraan lambat. Beberapa kali harus berhenti. Makin lama lalu lintas makin macet, bahkan  sebelum jembatan Kali Angke, lalu lintas berhenti bergerak. Bergerak sedikit-lalu berhenti lama. Bergerak sedikit lagi, lalu berhenti lama lagi dan seterusnya. Saya melihat jam. Tanpa terasa sudah setengah jam kami di sini. Kemacetan ini mungkin masih akan berlangsung lama. Bisa jadi kami baru akan bisa melewatinya setengah jam lagi dari sekarang.  Sisa waktu yang tadinya saya pikir ada untuk membaca materi di kantor kini hilang. Pak Supir menawarkan apakah sebaiknya kami mencari jalan alternatif lewat Pondok Bahar saja?  Saya setuju saja karena sayapun mulai merasa tidak sabar lagi.

Memasuki jalur Pondok Bahar, jalanan terasa lancar. Namun sekitar lima menit kemudian, lalu lintas di jalur inipun semakin padat. Makin lama makin padat dan …macet lagi.  Waduuh. Bagaimana ini ya?. Saya berharap agar kemacetan menjadi cair. Namun alih-alih lancar, lalu lintas malah semakin semrawut dan akhirnya macet total!. Lebih  parah lagi karena jalanan di jalur ini sangat sempit ketimbang jalur Ciledug-Cipondoh. Menit-menit berlalu. Saya tidak bisa maju dan juga tidak bisa mundur ataupun memutar. Sekarang saya sadar bahwa saya benar-benar tidak akan bisa tiba di kantor tepat pada saat call terjadi. Saya coba hubungi kantor dan menginformasikan keterlambatan saya. Akhirnya Conference Call ditunda 45 menit, karena menunggu saya datang. Aduuh..jadi nggak enak hati ini.

Lalu lintas makin buruk. Jauh lebih buruk dari yang di Ciledug tadi. Saya memutuskan untuk naik ojek saja. Pak Supir memarkir kendaraannya di depan sebuah toko yang masih tutup, lalu turun mencoba mencarikan saya tukang ojek. Tidak saya duga, ternyata sangat sulit mencari tukang ojek di daerah itu. Entah karena memang jumlahnya sedikit atau barangkali karena kemacetan, semua tukang ojek sudah menerima order dari orang lain. Pak supir tak berhasil mendapatkan satu orangpun. Setelah setengah jam lewat tanpa hasil, akhirnya ada seorang tukang ojek datang. Tapi tukang ojek ini tidak membawa helmet dan kaget jika harus mengantarkan sejauh itu ke Daan Mogot. Apa yang harus saya lakukan sekarang?

Saya pikir  mungkin lebih baik saya kembali ke Ciledug dan mengantri di sana lagi. Setidaknya tingkat kemacetannya tidak separah di sini.  Pak Supir mencoba memutar haluan dan sungguh tantangannya sangat berat sekali. Bukan saja karena jalanannya sangat sempit, namun juga karena ukuran kendaraan yang saya gunakan sangat jumbo. Sehingga untuk memutar haluanpun sudah menimbulkan kemacetan baru tersendiri. Orang-orang melihat kami dengan wajah tidak senang. Aduuuh…maafkan saya ya.

Akhirnya saya kembali di antrian kemacetan Ciledug.  Saya hitung-hitung, sebenarnya sudah memakan waktu 1 jam sejak saya meninggalkan hingga saya kembali lagi ke titik di Ciledug ini. Jadi sebenarnya saya telah mebuang waktu saya selama 1 jam dengan percuma. Kemacetan sedikit lebih ringan. Tapi saya tahu kalau saya bahkan tidak akan bisa memenuhi waktu yang dijanjikan. Kembali saya menelpon kalau saya belum berhasil lolos. Conference Call ditunda 15 menit lagi.

Syukurnya kali ini saya bisa melewati antrian dengan lebih cepat.lalu selepas Ciledug Indah, jalanan sangat lancar. Akhirnya saya tiba di kantor. Semua orang di ruang meeting memandang saya dengan wajah cemas bercampur kasihan. Conference call pun dimulai. Saya meminta maaf atas apa yang terjadi.

It’s OK. Don’t worry. But if I fall asleep  now, I’ll blame you, Dani…” kata sebuah suara di seberang bercanda. O ya beda waktu yang cukup tajam di beberapa negara dengan di sini. Tentu sudah semakin malam sekarang di sana.  Saya tertawa kecut. Walaupun hanya bercanda dan semuanya bisa mengerti keadaan saya, tapi saya benar-benar merasa nggak enak.

*******

Saya pikir apa yang saya alami pagi itu pada dasarnya adalah akibat dari kegamangan saya dalam pengambilan keputusan.

Pertama adalah soal kesabaran. Kadang-kadang kita kurang sabar dan telaten untuk menangani masalah yang kita hadapi dan cenderung mengambil jalan pintas yang kita pikir lebih baik untuk menyelesaikannya. Padahal jika saja kita bisa sedikit lebih sabar dan telaten, barangkali kita bisa menyelesaikan masalah kita dengan lebih baik tanpa harus mencari jalan pintas yang lain. Sama dengan kesabaran saya saat menghadapi keacetan Ciledug. Saya pikir jalur pintas Pondok Bahar akan memberi saya alternative yang lebih baik. Ternyata tidak. Bahkan lebih buruk.

Kedua, adalah pemahaman situasi yang parah. Pemetaan situasi yang buruk, sering membuat kita tergelincir dalam pengambilan keputusan. Kita tidak yakin dengan strategy yang kita ambil dan tidak paham pula dengan pilihan strategy yang tersedia. Serupa dengan pemahaman saya yang rendah akan situasi kemacetan di Ciledug, sementara saya pun tidak paham akan tingkat kemacetan yang mungkin terjadi di jalur Pondok Bahar. Belakangan saya tahu ternyata di sanapun ada Sekolah dan tempat keramaian lain sementara jalannnya sangat sempit. Entah kenapa sayapun lupa untukmendengarkan informasi jalan raya dari radio atau mencoba mencari berita dari internet.

Dua hal itu – Kesabaran dan Pemahaman Situasi –  menjadi pelajaran penting bagi saya di pagi hari  ini.

I’m Leaving On A Jet Plane…

Standard

???????????????????????????????Kecelakaan pesawat terbang yang berturut-turut dalam waktu yang tak terlalu jauh membawa kedukaan yang mendalam di hati kita semua. Tidak itu saja, kecelakaan itu juga membuat hati kita ketar ketir khawatir setiap kali memikirkan harus bepergian. Demikianlah yang terjadi pada anak saya. Ketika saya mengabarkan bahwa saya akan pergi sebentar ke Malaysia untuk urusan kantor, tiba-tiba anak saya yang kecil membelalak kaget, seperti tersetrum aliran listrik.  “Tidakkkk! Mama nggak boleh pergiiiii!“katanya histeris sambil memeluk saya. “Mengapa?” tanya saya heran.

Tentu saja heran, karena ini bukanlah perjalanan saya pertama kali. Bepergian seperti ini sudah menjadi bagian dari tugas rutin di kantor saya. Secara berkala saya memang harus bepergian dan meninggalkannya di rumah untuk beberapa hari. Ia biasa ditinggal. Jadi seharusnya sudah tidak kaget lagi. Tapi kali ini ia benar-benar histeris. Rupanya berita tentang kecelakaan pesawat itu benar-benar membawa trauma dan menghantui pikirannya. Ia tidak mau naik pesawat, bahkan ketika liburan pun ia tidak mau diajak pulang ke Bali hanya gara-gara takut naik pesawat. Padahal sebelumnya ia sangat suka diajak bepergian dan menikmati jika diajak naik pesawat terbang.

Malam harinya, sebelum saya berangkat. Ia minta saya menemaninya tidur. Ia memeluk saya erat-erat. Matanya berkaca-kaca dan memohon dengan amat sangat supaya saya jangan pergi. Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?. Saya jadi ikut terbawa perasaan. Sebenarnya jauh di dalam hati saya juga tidak ingin bepergian. Takut juga. Tapi tentu saja saya tidak bisa begitu. Saya bekerja sebagai professional dan dibayar untuk itu. Tentu saja saya harus melakukan tugas kantor, memenuhi  tanggung jawab dan kewajiban saya secara professional juga. Masak saya harus menolak pergi hanya karena dirundung kekhawatiran. Tidak bisa begitu. Saya mencoba menjelaskan hal itu kepada anak saya.Ia mengerti. Tapi penjelasannya saya tampaknya tidak membantu meredakan ketakutannya barang sedikitpun. Ia bahkan semakin memperat pelukannya. Menciumi pipi saya berkali-kali. Saya sungguh tidak berdaya, apa yang harus saya katakan kepada anak saya untuk membujuknya dan menghilangkan rasa khawatirnya.

Akhirnya saya usap-usap punggungnya dan mengajaknya berdoa agar apa yang ia khawatirkan tidak terjadi. Setelahnya ia memejamkan matanya. Tapi saya tahu ia tidak tidur. Pasti pikirannya berkelana kemana-mana. Tangannya masih erat memeluk tubuh saya. Saya menyadari betapa ia mencintai  dan sangat takut kehilangan saya, ibunya. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajaknya berbicara tentang kematian. Mungkin terlalu dini untuk usianya yang masih sangat belia. Tapi saya pikir tidak ada salahnya saya ajak berbicara sekarang.

Bahwa menurut saya, kematian itu adalah sebuah keniscayaan. Semua mahlukyang hidup, pada suatu saat pasti akan mati. Karena kematian sesungguhnya hanyalah sebuah phase dari lingkaran kehidupan.  Lahir, tumbuh dan berkembang, menjadi dewasa, kemudian tua dan mati. Semua mahluk mengalaminya. Lihatlah kupu-kupu, dari telor, lalu menjadi ulat, kemudian berubah menjadi kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu untuk hidup hanya beberapa hari kemudian pasti mati. Demikian juga binatang-binatang lain. Juga dedaunan. Bernas, lalu tumbuh menjadi daun muda yang berwarna hijau muda, semakin tumbuh semakin hijau, lalu layu dan menguning layu, kemudian mati dan lepas diterbangkan angin dan jatuh ke tanah menjadi humus. Demikian juga bunga-bunga dan sebagainya.Semuanya tidak ada yang luput dari tahapan kehidupan. Dan kematian adalah salah satu tahapannya. Anak saya mendengarkan dengan cermat apa yang saya katakan. Namun ia tidak berkata sepatahpun.

Kematian bisa menghampiri seseorang di manapun dan kapanpun.Tidak ada yang pernah tahu. Kematian bisa terjadi di udara, di laut ,di darat, di jalanan, di kantor, di sekolah, di rumah atau bahkan di tempat tidurpun. Ia bisa datang saat kita sakit, saat kita bepergian, saat kita sedang bersantai, saat kita tersedak.  Kalau maut memang menghampiri, ia bahkan bisa datang saat kita tertidur nyenyak. “Jadi, kalau memang kematian itu harus datang, ia akan datang. Tidak menunggu kita  untuk naik ke pesawat tertentu dengan tujuan tertentu. Nah..sekarang tidurlah.  Yakinlah mama akan selamat ke tempat tujuan juga saat pulang lagi ke rumah” kata saya mengakhiri. Anak saya mengangguk. Mencium pipi saya lalu memejamkan matanya kembali. Kini ia benar-benar tertidur.

Keesokan harinya, di perjalanan, pesawat yang saya tumpangi memang mengalami sedikit goncangan akibat cuaca yang kurang bersahabat. Mendung, hujan dan angin memang sedang merajalela. Tidak ada yang bisa saya lakukan, selain hanya memasrahkan diri dan berdoa. Dari ketinggian 11 500 meter, saya terkenang akan anak saya. Saya ingin kembali pulang ke tanah air dengan selamat, demi anak saya yang menunggu saya dengan penuh cinta. Begitu pesawat mendarat, saya segera turun dari pesawat dan berpamitan pada pramugari di  dekat pintu yang tersenyum ramah kepada saya.

Melihat senyum pramugari itu, sesuatu terasa melintas di kepala saya. Oh…kekhawatiran anak dan keluarga saya mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan kekhawatiran dari keluarga pramugari ini yang memang tugasnya setiap hari di udara. Bagaimana rasanya jika saya harus bertugas di atas pesawat setiap saat? Saya tak bisa membayangkannya.  Saya benar-benar hormat dan salut atas keberanian dan ketabahan para pramugara, pramugari dan pilot beserta seluruh crew udara ini.

Lagunya Chantal Kraviazuk seolah terdengar berputar di telinga saya:

“Cause I’m leaving on a jet plane. I don’t know when I’ll be back again. Oh, babe, I hate to go….”

Buru buru saya menghubungi suami, agar memberitahukan kepada anak saya bahwa saya sudah tiba dengan selamat di tempat tujuan. Barangkali bisa membuatnya lebih tenang dan senang.

Seekor Ayam Jago Bernama Lucky.

Standard

Lucky 1Hari Minggu pagi selalu menjadi hari yang menyenangkan buat saya. Bangun pagi, lalu berjalan-jalan di sekitar perumahan. Walau sering saya lakukan, namun selalu ada cerita baru yang saya temukan.

Pagi ini saya melintas di depan taman perumahan. Tak bisa menahan diri saya untuk tidak masuk. Ingin melihat-lihat bunga apa saja yang mekar pagi ini, melihat serangga,kupu-kupu dan burung-burung yang mencari makan. Karenanya, saya jalan pelan-pelan saja. Sayang jika semua keindahan pagi itu terlewatkan begitu saja.

Dari kejauhan, saya melihat seorang wanita muda duduk santai di atas tiang jembatan buatan di taman itu Menikmati pagi. Ketika jarak sudah dekat, baru saya sadar rupanya wanita muda itu  sedang menggendong seekor ayam jantan. “Pemandangan yang sangat aneh” pikir saya. Saya sering melihat orang menggendong kucing kesayangannya di taman. Saya juga tahu cukup banyak orang berjalan-jalan di taman dengan anjing peliharaannya. Tapi sungguh mati, baru kali ini saya melihat ada orang berjalan-jalan di taman menggendong ayam jago peliharaannya.  Hmmmh!. Sangat menarik sekali.

LuckyMelihat wajahnya yang terlihat ramah, sayapun segera menyapa dan bertanya tentang ayam jago itu. Wanita itu bercerita kalau ayam itu adalah peliharaannya. Biasanya dikandangkan. Jadi  ia merasa perlu ayamnya sesekali dilepas untuk menikmati alam bebas. Tapi sayangnya, ayamnya suka mematok kaki orang. Maka iapun menemani ayam jago itu berjalan-jalan ke taman di pagi hari. Jangan sampai ia mematok kaki orang yang lewat. Begitu juga ketika melihat saya akan lewat di rail taman itu, cepat cepat ia menggendong ayamnya. Karena khawatir ayamnya akan mematok kaki saya. Ooh?!  Ya ampuun. Ternyata ia sangat peduli dengan keselamatan orang lain.  Padahal kalaupun ia melepas ayamnya dan ayam itu mematok kaki saya, barangkali sayapun tidak akan pernah komplain.

Saya melanjutkan perjalanan saya, ke luar taman dan menyusui jalan perumahan lagi. Sangat menyenangkan berada di sini. Udara terasa sejuk dan lebih bersih dari biasanya. Sambil berjalan pikiran saya terpaut kepada wanita muda dan ayam jagonya itu. Entah kenapa terasa sangat menarik di pikiran saya. Maka sayapun balik lagi ke taman dan menemui wanita itu lagi dan ayamnya.

Lucky 4Wanita muda itu masih di situ. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Winda. Dan ayam jagonya diberi nama Lucky. Mengapa bernama Lucky? Menurutnya ayam itu telah dipeliharanya selama kurang lebih 2 tahun. Sebenarnya milik mamanya.

Dulu mamanya menemukan 2 ekor anak ayam yang kehilangan induknya, tersesat dan tercelempung di got rumahnya. Anak ayam itupun diselematkan dan dipelihara. Sayang sekali, seekor anak ayam itu mati karena dimangsa oleh tikus. Sungguh beruntung yang seekor masih bisa selamat. Lucky!. Itulah sebabnya anak ayam yang luput dari mangsa tikus itu dipanggil “Lucky”.

Lucky 5Pernah juga ayam itu dijual mamanya kepada orang lain seharga Rp 50 000. Nyaris dipotong, namun ketika Winda tahu hal itu, maka iapun membeli kembali ayam itu seharga Rp100 000.   Ayam itupun tak jadi dipotong. Dan ia membawanya ke tempat tinggalnya sekarang yang tak jauh dari rumah saya. Saya tersenyum mendengar ceritanya.  Sungguh lucky!

Winda sangat sayang pada ayam jagonya itu. Demikian juga kelihatannya dengan Lucky. Ia selalu waspada setiap kali jika ada orang yang mendekati Winda. Apalagi mengganggunya. Ayam jago itu akan siap menyerang dan mematok kaki kita. Ya..barangkali karena Winda memang sangat sayang padanya. Barangkali juga karena Lucky tahu bahwa Winda telah menyelamatkan hidupnya. Itulah sebabnya mengapa ia menjadi begitu setia melindungi Winda. Salah satu bentuk rasa terimakasihnya terhadap Winda. Walau binatang, ayam juga tahu berterimakasih.

Lucky 2Lebih jauh mengobrol dengannya, ternyata Winda memang seorang penyayang binatang.  Bukan hanya Lucky si ayam jago itu, di rumahnya ia juga memelihara 2 ekor anjing. Ia juga bercerita bagaimana ia selalu menolong binatang binatang yang kesulitan di sekitarnya juga.  Saya mearas sangat senang mengenalnya. Akhirnya sayapun bercerita kalau saya juga salah seorang yang sangat menyukai binatang. Selain juga menyukai tanaman dan kehidupan alam bebas. Rupanya kami memiliki kemiripan dalam hal ini. Barangkali itulah sebabnya mengapa saya merasa cepat akrab dengannya, walaupun baru pertama kali kami bertemu.  Akhirnya kamipun ngobrol ngalor ngidul seputaran binatang peliharaan hingga keurusan penyakit zoonosis yang menular dari hewan peliharaan ke manusia.

Lucky 3Si Lucky ikut mendengarkan pembicaraan kami sambil bertengger di tiang jembatan taman. Matanya sangat tajam mengawasi gerak gerik saya. Sesekali ia berkokok dan mengepakkan sayapnya. Entah untuk menyambut matahari yang mulai merangkak ke atas atau bermaksud menunjukkan kemampuannya kepada saya. Saya memandangnya dengan rasa kagum. Seekor ayamjago yang gagah.

Kamipun berpisah. Winda mengajak Lucky pulang kembali. Lucky mengikuti langkah kaki Winda. Sangat mengerti dan sangat menurut apa yang Winda perintahkan kepadanya. Ia mengerti namanya dipanggil. Ia juga mengerti diajak pulang. Mereka berjalan pulang beriringan. Saya memandang mereka dari kejauhan. Merasa takjub melihatnya. Ah! Sebuah persahabatan yang sangat indah antara keduanya. Seorang wanita muda bernama Winda dan ayam jagonya yang bernama Lucky. Winda memelihara Lucky dengan kasih sayang dan perhatiannya. Sebaliknya Lucky juga menjaga Winda dan selalu waspada terhadap keselamatan Winda. Sebuah kisah persahabatan yang sangat mengesankan hati saya.

Lucky 8Persahabatan! Adalah hal terindah yang bisa dijalin manusia dengan mahluk hidup lain di sekitarnya.

Persahabatan adalah masalah rasa yang diekspresikan dengan perhatian dan kepedulian satu sama lain.

Persahabatan tidak dibatasi oleh waktu, ras, suku,agama maupun kebangsaan. Semua orang bisa menjalin persahabatan di dunia ini dengan siapapun, suku manapun, agama manapun,bangsa apapun,  jika ia mau. Bahkan persahabatan tidak hanya terbatas antar sesama manusia. Persahabatan yang indahpun bisa dijalin dengan mahluk hidup lain, seperti dengan kucing, kuda, anjing atau bahkan ayam sekalipun. Seperti yang ditunjukkan oleh Ayam jago bernama Lucky ini.