Monthly Archives: March 2015

Kata “Jatuh” Dalam Versi Bahasa Bali.

Standard

Jatuh dalam Bahasa BaliBeberapa saat yang lalu  saya melihat sebuah post di social media tentang berbagai kata “J A T U H ” dalam Bahasa Sunda. Ada banyak ternyata. Antara lain dijelaskan bahwa jika Jatuh ke depan bahasa Sundanya adalah Tikusruk. Jika jatuh ke belakang itu Ngajengkang. Jika jatuh dari atas itu namanya Murag. Kalau jatuh terlempar itu Ngajungkel. Terus kalau jatuh karena tersandung itu Tikosewad dalam bahasa Sundanya. Ada lagi kalau jatuh terus meluncur itu namanya Ngagolosor. Lalau jatuh ke lubang namanya Tigebrus. Kalau jatuh terpeleset itu Tiseureuleu.

Ha ha..lucu dan kaya banget kosa katanya. Saya sangat senang membacanya. Setelah itu saya lihat ternyata ada juga beraagai kata “Jatuh”  lagi dalam versi Bahasa Jawa, juga dalam versi bahasa Banjar.

Gara-gara membaca itu saya jadi ikut mikir… bagaimana ya versi kata “Jatuh” itu kalau dalam Bahasa Bali?. Belum ada yang menulis. Karenanya saya mohon ijin mengembangkan idea dari entah siapa pemilik idea ini pada awalnya.Saya ingin ikut menulis, menyumbangkan pemahaman saya dalam Bahasa Bali tentang kata Jatuh.

Jatuh dalam Bahasa Bali, secara umum disebut dengan “Ulung (Bahasa Bali standard) atau “Runtuh” (Bahasa Bali halus). Namun untuk beberapa jenis jatuh, ada juga kata khususnya. Dan serupa dengan apa yang ada dalam Bahasa Jawa, Sunda maupun Banjar, ternyata cukup banyak juga jenis kata jatuh itu dalam Bahasa Bali.  Yuk kita simak seperti di bawah ini:

Megeledag = jatuh dengan posisi kepala di bawah, atau kepala kebentur.

Mekakeb = jatuh dengan posisi wajah ke tanah, jatuh tengkurep.

Metanceb = jatuh dengan posisi kepala terbalik ke bawah (nyungsep).

Mecelempung = jatuh masuk ke dalam air, lubang atau tempat yang dalam .

Megelebug = Jatuh dengan cepat dari ketinggian, terjerembab.

Meserod =jatuh karena licin, terpeleset ke posisi yang lebih rendah.

Megabyug = jatuh karena beban yang berat.

Mepantigan = jatuh terpelanting.

Mepangsegan = jatuh keras  dan terbentur hingga terbengong tanpa bisa berdiri, terpaku

Menyulempoh = jatuh lunglai sampai tak bisa berdiri lagi,lemas.

Mecelos = jatuh melorot dengan cepat.

Meleles = jatuh melorot pelan-pelan.

Mecepol = jatuh untuk benda yang sebelumnya sengaja dipasang di suatu tempat (i.e konde,lampu).

Mebrarakan = Jatuh berserakan.

Mebyayagan = jatuh belepotan

Ketanjung = jatuh tanpa sengaja menendang sesuatu, terantuk.,kesandung.

Keselimpet, keslimputan = jatuh dengan posisi kaki terhalang sesuatu.

Kampih = jatuh nyasar ke tempat asing akibat bencana, bukan tujuan awal.

Labuh = Jatuh karena kecelakaan (i.e naik motor, jatuh ke jurang).

Nyelengsot, ngelesot = nyaris jatuh terpeleset

Nyerendeng = nyaris jatuh dengan posisi miring akibat hilangnya keseimbangan tubuh, terhuyung.

Ngeruyung = nyaris jatuh karena pusing.

Nenggel = sangat nyaris jatuh – sudah di ujung tanduk.

Niwang = jatuh pingsan.

Nyungkiling/Nyungkling = jatuh dengan posisi terbalik, terguling .

Ngeluluk/Ngelilik = Jatuh menggelinding

Aas = jatuh karena tidak sukses bertahan hidup, gugur (untuk daun, rambut, bunga,buah,dsb).

Ketus = jatuh karena lepas dari posisinya hidup/tumbuh sebelumnya, tanggal (mis.utnuk gigi).

Ngetel = jatuh untuk benda cair dalam jumlah sedikit , menetes.

Nyerekcek = jatuh bercucuran

Mekebyos = jatuh untuk benda cair dalamjumlah banyak,tumpah.

Kata-kata “Jatuh”dalam Bahasa Bali ini saya kumpulkan dari  masukan teman-teman saya yang tergabung dalam Group BB SMA Negeri Bangli Al84 – “Ngiring Mebasa Bali” yang peduli akan pelestarian Bahasa Bali. Terimakasih saya ucapkan untuk sahabat Agung Karma, Dewa Putra Adnyana,  Nyoman Astawa, Luh Putu Upadisari, Wayan Suratna, Agung Wiraguna, Jero Gede Sujayasa, Jero Gede Suastika, Alit Parwata, Nyoman Rai Suryani, Erna Noviani, Ayu Purnami, Wayan Suardana,  Irianingsih, Ketut Ariani, Komang Suarsana, Ayu Eka, Gama Tirtha, Wayan Ginarta, Sang Putu Kayun- untuk sumbangan pemahamannya dan semangatnya dalam melestarikan Bahasa Daerah Bali. Barangkali rekan-rekan pembaca ada juga yang ingin menambahkan pemahamannya yang belum ada di dalam daftar di atas, saya sangat berterimakasih.

Suksma matur ring sahabat Dewa Raka Budiana untuk tambahan kata Nenggel. Ayo siapa lagi yang ingin menambahkan?

Yuk kita cintai dan lestarikan Bahasa Daerah kita!

Baju Saya Sobek.

Standard

20150321_201752(0)Saya mempunyai sebuah baju yang menurut saya sangat cantik warnanya. Walaupun tak bermerek, tapi baju ini sungguh menawan hati saya. Warnanya maroon dengan corak abstrak dengan bahan sangat tipis dan sedikit berkilau keemasan. Kilaunya mirip kilau kepompong ulat sutera. Karena tipis, biasanya saya mengenakannya sebagai baju lapis luar saja. Selalu merasa diri sedikit lebih feminine jika mengenakannya. Selain itu dikenakannya juga sangat nyaman.Tidak panas dan sangat ringan. Seringan sayap laron. Saya membelinya di sebuah kiosk pakaian di sebuah pasar traditional. Harganya jauh lebih miring jika dibandingkan membeli baju sejenis di butik-butik di mall.

Beberapa bulan setelah saya pakai, ternyata baju kesayangan saya itu sobek sedikit bagian depannya. Saya tidak tahu kenapa. Barangkali nyangkut di ujung kawat jemuran tanpa saya ketahui. Saking tipisnya ia memang menjadi sangat mudah sobek. Awalnya saya berharap kalau sobeknya tidak terlalu terlihat. Jadi saya biarkan saja dan tetap saya pakai. Tapi seorang teman melihatnya dan berkomentar  “Mbakbajunya sobek lho, Mbak!” katanya memberi tahu. Yaaah…akhirnya saya tidak berani memakai lagi. Hati saya sedih. Saya masih merasa sayang pada baju itu.  Tapi mau bagaimana lagi, sobeknya cukup terlihat. Di bagian depan lagi.  Dan saya tidak mungkin menjahit sobekannya. Karena baju itu terlalu tipis, bekas jahitannya pasti akan malah sangat kentara. kelihatan gembelnya deh. Saya kehabisan akal.

Tadi saat sedang duduk di meja belajar anak saya yang kecil, saya melihat pernak -pernik blinkblink untuk prakarya di atas mejanya. Aha! Tiba-tiba saya kepikir untuk mencoba menjahit dan menghiasi jahitan di baju sobek itu dengan manik-manik blinkblink milik anak saya. Anak saya yang kecil tidak begitu yakin. Menurutnya sobek baju itu sudah terlalu parah. Dan posisi sobeknya di depan pula. Selain itu baju ber-blinkblink tidak cocok dengan kebiasaan saya yang setiap harinya lebih suka berbaju sederhana, atau kaos polos. Tapi apa yang salah dengan mencoba tampil dalam busana yang beda? Lalu sayapun mulai menjahit, menempelkan manik-manik di tempat jahitan sobek itu….

BlinkblinkBeberapa menit kemudian sobekannya sudah agak sedikit tertutup oleh manik-manik. Walaupun tidak semuanya. Di sana-sini masih terlihat nganga sedikit juga. Tapi saya rasa tidak terlalu kentara. Nah.. sekarang masalahnya adalah garis yang dibentuk oleh manik blinkblink itu. Tidak beraturan dan tidak jelas bentuknya. Adanya rantai blinkblink itu bisa jadi malah menarik perhatian orang untuk melihat ke sana. Tentu bukan sesuatu yang saya inginkan.  Saya harus mencari akal lagi. Bagaimana membuatnya agar terlihat lebih natural.

Saya perhatikan motif baju itu sangat abstrak . Ada garis persegi yang tidak rapi, lalu bercak-bercak membentuk bunga dan sebagainya. Tapi secara keseluruhan paduan warna dan keabstrakan itu terlihat sangat cantik. Saya pikir mungkin saya bisa mengakalinya dengan memanfaatkan keabstrakan itu. Sayapun membuat lagi beberapa rantai blinkblink di 3 tempat lain yang berbeda, dengan motif yang tak jelas dan tak ada pakemnya.

20150321_225556Anak saya yang gede melihat saya menjahit lalu tersenyum geli dan berkomentar. “Jadi..maksudnya mama membuat rantai tambahan ini agar rantai yang di atas sobekan itu kelihatan  seperti salah satu yang motifnya memang didesain begitu ya?” katanya. Ha ha.. iya…saya tertawa mengiyakan. Tahu aja!. Rantai sembarangan di tempat yang acak. Seolah-olah dari sononya memang sudah begitu. Motif tak jelas di tempat tak jelas! Abstrak! Bukankah design print-nya juga memang abstrak? Jadi  apa salahnya dengan rantai binkblink yang juga acak dan abstark? Oh.. keabstrakan itu sungguh menolong saya.

Nah! Selesai sudah. Sekarang saya bisa memakai baju ini lagi. Saya sudah membuatnya sedemikian rupa.Beberapa manik blinkblink, tapi tidak terlalu banyak, dan sobeknya lumayan tidak terlalu jelas.

Cara cerdik mengakali kekurangan” kata anak saya sambil ngeloyor pergi. Ya iyalah.  Daripada membuang baju itu atau menjadikannya lap pel?  Kadang kita memang perlu sedikit agak cerdik untuk mengakali keadaan.

Saya Dan Monyet.

Standard

tentang sebuah ketakutan…

Aku dan MonyetGara-gara disuruh mencari dan men-scan foto jadul anaknya oleh salah seorang kakak sepupu, saya membongkar-bongkar album lama. Sebuah foto polaroid yang sudah nyaris kabur warnanya terjatuh ke lantai. Anak saya memungutnya. “Ini mama, yang sama monyet?” tanya anak saya heran.

Saya menengok sepintas. Benar! Di foto itu tampak saya –yang masih muda– sedang berdiri di tengah hutan pala di Sangeh. Sementara seekor kera nangkring di atas kepala dan sibuk mengacak-acak rambut saya. “Ya. Memang kenapa?” tanya saya. Anak saya melihat ke arah saya, lalu melihat kembali ke foto. Saya pikir ia sedang mencoba mencocok-cocokan wajah saya dengan wajah gadis yang ada di foto itu. Barangkali ia tidak bisa mengenali wajah ibunya selagi muda. “Tentu saja berbeda, nak. Sekarang mama sudah lebih tua dan gembrot” ujar saya dalam hati. Ia masih terpaku memandangi foto polaroid itu.

Mama nggak takut sama monyet itu?“. Tanyanya sesaat kemudian.Yehhh…, ternyata anak saya bertanya soal lain. Rupanya ia sedang membayangkan betapa ngeri rasanya jika ada monyet nangkring di atas kepala dan mengacak-acak rambut kita. “Waktu itu nggak. Tapi kalau sekarang….barangkali takut juga” kata saya. Saya tertegun sendiri dengan jawaban spontan saya itu.

Orang yang sama, monyet yang sama, hanya karena perbedaan waktu saja (dulu vs sekarang), bisa merubah perasaan dari tidak takut menjadi takut. Mengapa bisa begitu ya? Hm… darimana rasa takut itu datang? Kapan ia tercipta? Mengapa ia tiba-tiba ada dari sebelumnya tidak ada? Dan saya tidak pernah menyadari kapan mulai datangnya?  Coba saya telusuri….

25 tahun yang lalu, dunia saya totally adalah dunia fauna. Saya sangat menyukai binatang. Sangat suka menggendong kucing. Sangat senang bermain dan berlari dengan anjing. Sangat terpesona oleh kepakan warna warni sayap kupu-kupu. Terkagum-kagum akan merdunya nyanyian pagi burung-burung di dahan pohon. Dan sebagainya. Intinya apapun tentang binatang, saya sangat tertarik untuk mengetahuinya. Profesi saya sebagai seorang dokter hewan saat itu tentunya juga sangat mendekatkan saya pada dunia fauna. Karena setiap hari saya bergaul dengannya. Dengan anjing, dengan kucing, dengan unggas, dengan reptil, dengan mamalia…termasuk dengan monyet. Saking seringnya bertemu dengan berbagai jenis monyet, sehingga ketika berada di tengah hutan pala yang penuh monyet itu saya merasa sama sekali tidak asing. Saya kenal tingkah lakunya. Saya memahami apa yang disukai dan tidak disukainya. Saya bisa merasakan apakah monyet itu sedang marah, tidak suka, sakit  atau sebaliknya sedang baik-baik saja atau malah sedang ingin bercanda dengan kita. Sehingga ketika seekor monyet tiba-tiba meloncat ke atas kepala, saya merasa biasa saja. Ttidak terganggu. Apalagi merasa takut. Paling rasanya agak berat. Karena monyetnya cukup gede juga. Itu dulu…

Nah,mengapa jika ada monyet yang tiba-tiba menclok di kepala saya sekarang ini bisa jadi saya merasa takut? Saya pikir, barangkali karena saya sudah tidak begitu dekat lagi dengan monyet. Sudah lama saya tidak bergaul dengan dunia fauna sebaik dulu lagi. Waktu saya habis untuk melakukan pekerjaan lain. Menyisakan waktu yang hanya sangat-sangat sedikit untuk memenuhi kecintaan saya akan dunia fauna. Paling banter saya hanya berinteraksi dengan kupu-kupu yang mengunjungi halaman saat akhir pekan. Atau burung-burung yang menghuni pinggir kali belakang rumah. Atau lebih jauh lagi hanya dengan kucing-kucing liar adopsi anak saya. Sudah lama saya tidak melihat monyet.

Karena interaksi saya kurang, secara emotional saya merasa kehilangan koneksi dengan monyet. Selain itu,  pemahaman saya akan binatang itupun sedikitnya berkurang juga. Banyak yang tidak saya ketahui lagi tentang monyet. Ketidak tahuan itu memicu rasa was-was dan kekhawatiran ke dalam pikiran saya. Jangan-jangan nanti monyetnya menggigit? Jangan -jangan nanti monyetnya mencakar saya? Kalau dia marah bagaimana?Terus bagaimana saya yakin kalau dia baik-baik saja? Banyak sekali pertanyaan lain yang membuahkan rasa khawatir dan takut, yang dulunya tidak pernah saya miliki. Saya takut digigit, takut dicakar dan sebagainya, perasaan takut yang dulu tidak pernah ada.

Pada dasarnya, ketakutan itu muncul ketika kita tidak cukup tahu  akan sesuatu. Ketika kita tahu, maka rasa khawatir dan takut itu berkurang dan bahkan mungkin tiada.  Jadi  faktor pembedanya, sesungguhnya hanya pada masalah tahu dan tidak tahu. Hanya masalah paham dan tidak paham.

Menyadari hal itu, pertanyaan berikutnya yang melintas di kepala saya adalah, “Apakah hukum yang sama juga berlaku bagi ketakutan-ketakutan saya terhadap hal yang lain? “Saya curiga,jangan-jangan jawabannya memang iya….

 

 

 

 

Mencerna Ilmu, Mencerna Makanan.

Standard

Piza

Seorang teman anak saya pernah bercerita tentang kesulitannya mendapat nilai yang baik di sekolah. Saya mendengarkan cerita dan keluhannya dengan baik. Lalu saya memberi saran agar berusaha lebih memperhatikan penjelasan guru dengan lebih baik. Dan jangan pernah meninggalkan ruangan kelas, sebelum mengerti apa yang diajarkan oleh guru di hari itu juga. Karena menurut saya, pemahaman yang baik akan tersimpan lama di memory kepala kita ketimbang hapalan yang baik yang tersimpan sementara di otak kita.

Jika kita paham,pasti kita akan bisa menjelaskan kembali. Tapi jika kita tidak paham dan hanya mengandalkan diri pada hapalan, belum tentu kita bisa menjelaskannya kembali dengan baik.Jadi pertama, pastikan kalau kita mengerti dulu,baru nanti kita hapalkan detailnya.” saran saya. Itulah sebabnya mengapa ada banyak anak-anak yang cerdas, bahkan malas belajar namun skor-nya di Sekolah selalu tinggi.Karena ia paham dengan baik. Sebaliknya ada banyak anak-anak yang sangat rajin namun skor-nya tidak mampu mengimbangi temannya yang cerdas namun pemalas itu. Mengapa?karena ia tidak memahami permasalahannya.Ia hanya rajin menghapal. “Ya! Itulah masalahnya Tante…aku sering tidak langsung paham apa yang disampaikan guru. Rasanya sulit sekali mencerna” keluhnya.

Walaupun obrolan dengan anak itu sangat pendek, namun saya terhenti sejenak untuk memikirkannya. Saya menyukai anak itu dan keterbukaannya.Jadi sungguh tidak keberatan untuk ikut memikirkan hal yang dianggapnya menjadi masalah.

Jadi, sebenarnya masalahnya adalah bagaimana mencerna dengan baik. Mencerna ilmu.Bukan mencerna makanan!. Tapi urusan cerna mencerna pada prinsipnya sama saja bukan? Jika makanan adalah untuk seluruh tubuh kita, maka ilmu adalah makanan untuk otak kita. Menurut saya prinsipnya sih sami mawon.

Yuk coba kita lihat bagaimana kita mencerna makanan dengan baik…

Semua tentu familiar dengan konsep makanan harus dikunyah dengan baik agar mudah dicerna oleh tubuh kita. Bahkan orangtua atau guru kita di sekolah mengajarkan agar sebaiknya kita mengunyah makanan 24x kunyahan sebelum menelannya. Maksudnya tentu agar makanan yang kita telan itu sudah benar-benar hancur dan menjadi serpihan kecil oleh gigi dan geraham kita,sehingga usus kita tidak perlu lagi bekerja keras karenanya. Karena tugas usus, bukanlah untuk menyobek atau memotong makanan menjadi kecil-kecil. Selain itu,dengan mengunyah makanan lebih sering sebeum ditelan, juga memberikan kesempatan kepada enzym-enzym  yang dikeluarkan oleh kelenjar ludah untuk melakukan pekerjaannya dengan baik, yakni merubah amylum menjadi glukosa (enzym ptialin) maupun sakarida yang lebih sederhana (enzym amilase). Nah kemudian hasil kerjasama gigi dan kelenjar ludah inilah yang kita telan untuk dicerna lebih jauh di dalam usus kita, sebelum semua intisarinya siap diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh oleh pembuluh darah.

Kalau kita perhatikan,bagaimana kita bisa mencerna dengan baik di tahap pertama,tidak lain dan tidak bukan adalah dengan memberikan kesempatan untuk gigi melakukannya berkali-kali (24 x mengunyah) dan memberi waktu untuk enzym-enzym itu bekerja. Jadi 2 kata kuncinya adalah waktu (time) dan berulang-ulang (repetition).  Ya..time & repetition!.

Saya pikir, dua hal ini sangat applicable dalam cara pembelajaran guru dan murid, untuk membantu murid agar lebih mudah mencerna ilmu yang diajarkan. Memberikan penjelasan yang berulang kepada murid. Jika sekali dijelaskan belum mengerti, barangkali penjelasan ke dua akan lebih mudah dipahami? Demikian seterusnya? Ibarat mengunyah, 24 x baru sempurna.  Atau setidaknya memberikan contoh-contoh yang beragam agar murid menangkap inti pelajarannya dengan lebih mudah.

Jika guru tidak melakukannya, anak juga sebenarnya bisa mengacungkan tangan dan mengatakan dengan terusterang bahwa ia belum paham dan meminta tolong guru untuk menjelaskannya kembali hingga ia benar-benar paham.

Penejelasan yang berkali-kali juga memberikan waktu bagi otak si anak untuk mencerna apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh guru.Informasi yang didapat akan disangkutkan ke sel otaknya satu per satu. Sehingga jika suatu saat nanti harus dikeluarkkan kembali saat Ulangan Umum maupun Ujian, pemahaman itu masih tersimpan dengan baik dan sangat mudah untuk dikeluarkan kembali untuk menjawab soal-soal ujian.

Keramik Yang Retak.

Standard
Patung Keramik Wanita Vietnam.

Patung Keramik Wanita Vietnam.

Anak saya membeli sebuah racket badminton baru. Saya mengijinkannya karena racketnya yang lama rusak. Ia sangat senang bisa membawanya pulang. Namun sayangnya, beberapa jam kemudian setelah tiba dirumah, tiba-tiba ” krompyaaannnnnng..!!!!!“.  Oupss.. suara apakah itu? Sebuah benda jatuh. Anak saya menyenggol patung wanita yang saya bawa dari sebuah perjalanan saya ke Ho Chi Minh City beberapa tahun yang lalu dengan racket barunya. O’o?!. Pecah deh!.

Anak saya yang merasa tidak enak atas kejadian itu segera meminta maaf dan menjelaskan bahwa semuanya terjadi tidak sengaja. “Ya.Nggak apa-apa. Namanya juga keramik, barang pecah belah. Jadi memang mudah pecah dan mudah belah,  jika kita tidak berhati-hati” kata saya. Kamipun memungut hasil pecahan keramik itu satu per satu.

Suami saya menghibur  dengan mengatakan bahwa ia punya lem keramik yang bisa digunakan untuk merekatkan kembali pecahan benda seni itu. Cyanoacrylate Adhesive.Nama merk lemnya saya tidak tahu, karena ditulis dalam Chinese Script.  Anak saya membaca direction dan cautionnya keras-keras. yang bagian ini dtulis dalam script latyn – jadi bisa baca. “Mama harus hati-hati ya kalau pakai lem ini. Nggak boleh kena mata. Bahaya. Juga nggak boleh kena tangan. Soalnya kalau kena tangan nggak bisa dilepas lagi. “katanya khawatir. Saya tertawa. “Yalah. Mama hati-hati. Tapi nggak boleh nakut-nakutin begitu” kata saya.”Serius Ma.. bisa saja tangannya mama dipotong kalau nanti nempel nggak bisa lepas lagi “katanya semakin menakut-nakuti. Saya nyengir mendengarnya.

Keramik VietnamJadilah hari ini mengerjakan prakarya tempel menempel. Saya membersihkan pecahan patung itu satu per satu. Lalu mebubuhkan lem dengan hati-hati di bagian mana nanti saya akan menempelkan pecahan berikutnya. Saya beri sedikit tekanan agar daya tempelnya bagus. Kemudian saya diamkan beberapa saat sebelum saya membubuhkan lem untuk phase berikutnya. Satu per satu. Tahap demi tahap. Hingga terkumpulah kembali serakan keramik itu. Kini kembali terlihat wujudnya. Lumayan ya. Walaupun secara umum kelihatan utuh, jika diperhatikan ada bagian retakan halus yang memang tidak bisa mulus seperti sediakala lagi. Tapi tidak apa-apalah. Yang penting secara umum patung itu sekarang bisa utuh kembali seperti semula.

Saya meneruskan pekerjaan merekatkan patung yang satunya lagi. Yang satu ini pecahannya tidak selengkap yang pertama. Ada beberapa serpihan kecil yang hilang, sangat remuk dan barangkali terbuang. Waduuh..sayang juga ya. Akibatnya ada beberapa retakan yang kelihatan agak besar (somplak) di patung ini. Saya bahkan harus mengganjal lehernya dengan materi lain, karena entah kenapa serpihan di lehernya ada yang hilang. Untungnya secara umum sih masih lumayan terlihat utuh jugalah.

Sambil melanjutkan menempel pecahan patung yang satunya lagi, saya jadi memikirkan retakan itu. Bahwa sesuatu yang pernah pecah, walaupun direkatkan lagi bahkan dengan lem super kuat macam Cyanoacrylate Adhesive ini, tetap saja akan meninggalkan retakan. Saya sudah mencoba memberi tekanan agar retakannya bisa sehalus mungkin, namun  tetap terlihat.  Barangkali serupa dengan hubungan manusia juga ya. Jika hubungan kita dengan seseorang pernah retak, walaupun bisa direkatkan kembali, namun retakannya mungkin masih tetap ada. Halus kasarnya tergantung bagaimana caranya hati itu retak, bagaimana cara kita menangani serpihannya dan bagaimana cara kita merekatkannya kembali.

KeramikJika kita mampu merekatkan kembali dengan baik, teliti dan hati-hati, dengan menggunakan pendekatan yang baik, penjelasan dan permintaan maaf, besar kemungkinan proses prekatannya akan berhasil dengan baik. Secara keseluruhan hubungan bisa terkonsolidasi kembali dengan baik dan menyenangkan. Ini berasumsi jika serpihan hati dan perasaanya terkumpul semua ya. Namun jika serpihannya tidak terkumpul semua, misalnya masih ada kesalahpahaman, syakwasangka, curiga dan sebagainya, tentunya akan tetap meningalkan luka yang menganga atau setidaknya meninggalkan retakan hubungan yang masih terasa. Apalagi jika cara hancurnya sangat meremukkan, tentu sulit untuk mengumpulkan serpihannya kembali. Hubungan apapun itu, pada prinsipnya sama juga. Hubungan personal, persahabatan, hubungan bisnis dan bahkan hubungan berbangsa dan bernegara.

Saya berusaha mengingat-ingat satu per satu, siapakah saudara,keluarga, sahabat, teman  ataupun rekan kerja yang barangkali pernah saya sakiti hatinya tanpa sengaja. Mungkin banyak. Semoga saya dimaafkan dan  mengijinkan saya kembali untuk mencoba mengumpulkan serpihannya dan merekatkannya kembali selagi saya bisa. Saya tidak ingin membawa keretakan parah sepanjang perjalanan hidup saya.

Tukang Jamu Dalam Ekosistem Perumahan.

Standard

Tukang JamuSaya bertemu Budhe Tukang Jamu di depan ruko. Seperti biasa, ia menyapa saya dengan senyum ramah “Ibu… jalan pagi ya Bu?” katanya. Walaupun nyaris tidak pernah membeli jamu, saya suka berhenti untuk mengobrol sejenak dengannya. Kali ini si Budhe tampak lain. Ia bukannya sibuk menyiapkan jamu untuk pelanggannya, eh..malahan sibuk menawarkan pakaian kepada  beberapa orang Mbak yang sedang lewat untuk berbelanja ke tukang sayur. “Wah…barang dagangan baru nih Budhe…” kata saya.  Si Budhe tertawa “Iya Bu…buat nambah-nambah..” katanya, lalu menawarkan barangkali saya berminat melihat-lihat barang dagangannya. Saya mengucapkan terimakasih dan mengatakan belum minat untuk saat ini.

Saya memuji usahanya untuk mengoptimalkan penghasilannya dengan sekalian juga membawa barang lain di luar jamu. Menambah portfolio barang dagangan yang ditujukan kepada target market yang sama merupakan ‘low hanging fruits’ yang mudah  dieksekusi.

Si Budhe rupanya sangat pintar membaca kebutuhan konsumennya yakni para Mbak-Mbak asistent rumah tangga di perumahan. Mereka adalah para wanita yang kebanyakan menghabiskan waktunya di rumah. Sibuk memasak dan mencuci piring di dapur, membersihkan rumah dan halaman atau mencuci dan menggosok pakaian. Waktu mereka cuma terbatas. Kesempatan untuk keluar rumah hanya saat mereka berbelanja sayur di pagi hari atau sesekali berjalan ke ruko untuk membeli keperluan darurat rumah tangga yang kebetulan habis. Jarang sekali mendapat kesempatan jalan-jalan di mall atau pertokoan untuk membeli keperluan mereka sendiri. Kalaupun kebetulan ada yang bekerja pada majikan yang baik hati, paling mereka hanya mendapatkan waktu 1 -2 hari libur per bulan.

Peluang inilah yang ditangkap si Budhe saat ia melayani pembeli jamunya. Si Mbak juga butuh membeli baju baru  juga sesekali dong?. Kenapa nggak dibawakan saja ke depan matanya? Jadi si Mbak nggak perlu mencari-cari. Atau jika perlu bagi Mbak yang sudah lama kenal beri kesempatan untuk mencicil, 2-3x bayar, untuk membuatnya lebih terjangkau agar lebih banyak lagi Mbak yang tertarik untuk membeli.  Sebuah upaya konglomerasi bisnis yang baik ala si Budhe Tukang Jamu.

Peluang lain yang ditangkap si Budhe adalah kebutuhan para Nyonya rumah alias Ibu Rumah tangga (IRT) akan Assistent Rumah Tangga (ART).  Berkenalan dengan banyak ART yang menjadi pelanggannya, membuat SiBudhe menjadi tempat curahan hati dan derita para pekerja rumah tangga ini. Ada yang Nyonya-nya beginilah, NYonya-nya begitu, Tuannya kaya gini, Anak bossnya kaya begono – menimbulkan banyak  ketidak puasan. Si Budhe yang cerdas tentu bisa membuat mapping,  mana ART yang happy dan mana ART yang sedang tidak happy dan berniat untuk pindah kerja. Si  Budhe juga tahu mana ART yang sedang cuti, pulang kampung, menikah, melahirkan dan sebagainya. Pemahamannya sangat baik, nyaris melebihi pemahaman pemilik Yayasan  Babby Sitter dan Assistent Rumah Tangga yang resmi.

Di sisi lain, Si Budhe juga kenal mana Nyonya rumah alias IRT yang sedang membutuhkan ART baru, mana yang tidak membutuhkan. Juga mana Nyonya rumah yang generous dan baik hatinya sehingga pembantunya pada awet dan sulit dibujuk pindah, juga tahu mana Nyonya rumah yang pelit, kasar, pemarah, cerewet, dan sebagainya yang membuat para ART kurang betah bertahan lama.  Berbekal pengetahuan dan pemahaman itu, Si Budhe menjadi tumpuan banyak IRT yang membutuhkan dan sekaligus menjadi tumpuan ART untuk mencari tahu lowongan kerja. Nah..klop kan?. Jadi, secara Natural, Si Budhe Tukang Jamu telah memegang peranan sebagai penyeimbang ekosistem dalam kehidupan Rumah tangga di perumahan. Dengan menjadikan dirinya sebagi tempat pertukaran informasi dan sedikit usaha menawarkan dan membujuk, tentulah ia layak mendapatkan fee yang setimpal. Tentunya lebih miring harganya ketimbang jika IRT mencari ART dengan menghubungi yayasan.

Nah..apa jadinya jika tiba-tiba Si Budhe menghilang dari perumahan? Siapa yang akan menggantikan peranannya yang sangat penting itu?

 

 

Great Blue Mormon Butterfly.

Standard

Blue Mormon 1Saya sedang duduk di halaman dan melihat ke pinggir halaman. Beberapa rumput liar ada yang mulai tumbuh agak tinggi. Belum sempat merapikannya. beberapa ekor kupu-kupu datang bertandang ke halaman. Saya hanya melihatnya sepintas. Belakangan ini sedang banyak kupu-kupu Delias terbang tinggi mengunjungi pohon mangga saya.  Walaupun cantik, merah putih kuning bergaris hitam, tapi karena kadang terbangnya terlalu ketinggian, jadinya tidak menarik lagi untuk diamati.

Sedang berpikir begitu, pandangan mata saya tertuju pada seekor Kupu-Kupu Great Mormon (Papilio memnon) jantan yang sedang hinggap di rumput liar di dekat pohon jeruk limau. Ia tampak diam. Istirahat dengan tenang. Saya tidak mengutak-utiknya, namun memperhatikan agak lama.Kupu-kupu itu sama sekali tidak bergerak. Mungkin ia tidur lelap. Saya memperhatikannya. Dari jenis yang sayapnya tidak berekor.

Blue Mormon 2Sekarang saya melihat kupu-kupu ini agak berbeda dari umumnya Kupu-kupu jenis yang sama. Warnanya yang biasanya hitam sedikit bersawang biru tua, kelihatannya malah didominasi warna biru yang lebih terang dan kuat. Hmm..menarik juga.

Saya belum pernah melihat Kupu-Kupu Great Mormon sebiru ini. Biasanya hitam legam atau hitam sedikit kebiruan. Apakah ini jenis yang berbeda? Jangan -jangan ini Blue Mormon jantan? Atau hanya variasi genetik dari Great Mormon? Garis-garisnya juga kelihatan lebih nyata terutama pada sayap belakangnya.

Takut kehilangan moment, sayapun ke dalam mengambil kamera. Sayangnya ketika baru berhasil menjepret 3 kali, Kupu-kupu itu terbangun lalu terbang tinggi menyeberang tembok dan tak kembali lagi…

Semoga lain kali ada jenis ini yang mampir lagi…

Selamat Datang Kehidupan Baru.

Standard

Selamat DatangTangal 5 Maret kemarin merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Cudly. Siapa Cudly? O ya, saya belum pernah bercerita. Setelah kematian Persia, anak saya mengadopsi kembali seekor anak kucing liar betina yang ia beri nama Cudly. Anak kucing itu ia pelihatra dengan baik dan Cudly sekarang sudah dewasa dan hamil semenjak 2 bulan lalu. Memang sudah waktunya buat Cudly melahirkan. Sebelumnya saya sudah menyuruh anak saya menyiapkan box bekas dan kain/handuk/baju bekas untuk dijadikan sarang saat kucing itu beranak.

Malam itu saya bekerja sampai agak larut di kantor. Anak saya menelpon “Ma, cepat pulang. Cudly melahirkan. Bayi kucingnya ada satu. Lucu sekali“. Saya girang bukan main dan bergegas pulang. Ini pengalaman melahirkan pertama kali bagi Cudly. Pasti sangat menyakitkan dan melelahkan. Saya harus menemaninya.

Ketika sampai di rumah, saya melihat Cudly terbaring lemah. Seekor bayi kucing berwarna belang tampak di sebelahnya. Saya pun menunggu kelahiran bayi-bayi berikutnya. Ia mungkin akan melahirkan 1-2 ekor anak lagi. Untungnya Cudly cukup pintar memilih tempat untuk melahirkan. Ia memilih kandang yang biasa ia gunakan jika saya bawa ia bepergian. Anak saya meletakkan handuk dan baju bekasnya sendiri di dekat kucing itu. Begitulah malam itu saya menemaninya berjuang menahan kesakitan saat melahirkan bayi-bayinya. Ia sangat kelelahan. Saya mengusap-usap kepalanya untuk memberinya support.  Akhirnya dekat tengah malam selesailah semuanya. Semuanya ada 3 ekor anak kucing.

Barangsiapa yang mengamati sebuah proses melahirkan, maka ia akan menyadari betapa besarnya pengorbanan seorang Ibu demi kehidupan anak-anaknya. Kesakitan, kecemasan, kelelahan, ketakutan, bahkan kesulitan yang tidak mustahil mengancam nyawa semuanya bercampur aduk. Dan seorang Ibu harus tetap menghadapinya dengan berani. Berani demi keberlangsungan hidup spesiesnya.

Selamat datang bayi kucing! Selamat datang kehidupan baru…

 

 

Kompetisi Tukang Rambutan.

Standard

Pak Jama vs Pak Maat.

Rambutan

Pagi tadi saya lewat di depan ruko dan menyapa tukang jamu yang asyik melayani langganannya. Seorang bapak tua menghampiri saya dan menyapa. “Neng! Ini Pak Jama yang dulu bekerja di sono noh” katanya menunjuk sebuah rumah. Siapa ya Pak Jama?  Saya tak mampu mengingat dimana saya mengenal nama itu. Tapi Bapak itu terus berbicara seolah sudah kenal lama dengan saya dan mendorong saya agar membeli jamu si Tukang Jamu. Aneh juga Bapak ini. Jadi saya cuek saja.

Saya mengalihkan perhatian saya pada tukang rambutan yang tidak jauh dari  situ. “Wah..rambuatan apa ini?” tanya saya. “Rambutan Rapi’ah“jawab si tukang rambutan. Saya melihat-lihat rambutan di atas sepedanya.  Kalau tidak salah ingat, yang disebut dengan Rapi’ah adalah Rambutan Gundul yang antara daging buah dan  bijinya tidak menempel  sama sekali.Tapi rambutan ini rambutnya agak panjang dan kurang gundul. Tukang rambutan meyakinkan saya kalau itu memang Rambutan Rapi’ah yang ngelotok bijinya. “Ya neng.Itu Rapi’ah. Tadi dia harusnya cukurin tuh rambutannya biar kelihatan gundul. Biasanya dia gitu” kata Pak Jama menyusul saya lagi ke tukang rambutan. Aduuuh…Bapak ini ikut campur aja urusan orang lain aja.  “Nggak. Yang ini kaga digundulin“kata tukang rambutan dengan kalem. Namanya Pak Maat.

Ayo Neng! Beli rambutan” bujuk Pak Jama . Ia menawarkan rambutan yang dipajang di atas gerobak tarik, di sebelah tukang rambutan. Saya pikir ia sekarang mempromosikan barang dagangannya tukang rambutan. Padahal baru saja ia mempromosikan barang dagangan tukang jamu. “Emang itu rambutan punya siapa?” tanya saya.  Sekarang saya melihat 2 jenis rambutan yang berbeda. Yang satu di dalam keranjang di atas sepeda, dan yang satunya di atas gerobak. Awalnya saya pikir sama “Punya saya” jawab Pak Jama. “Nyang eni lebih murah, Neng” katanya menunjuk rambutannya. Barulah saya sadar. Bapak Jama itu rupanya tukang rambutan juga. O ala…

Emang apa bedanya?Pak Jama menjelaskan bahwa  kedua  rambutan itu adalah rambutan jenis Aceh. “Yang satu Aceh Rapi’ah, yang satunya Aceh Lebak” katanya. Menurutnya rambutannya yang jenis Aceh Lebak yang dibawanya juga manis, walaupun tidak semanis Aceh Rapi’ah yang dibawa Pak Maat. “Nyang itu mah masih hijau juga sudah manis” jelasnya memuji rambutan Pak Maat. Ooh begitu. Saya lalu menanyakan harga Aceh Rapi’ah ke Pak Maat yang dari tadi lebih banyak diam saja. “Dua puluh lima rebu” katanya. Mendengar itu, Pak Jama langsung menjawab “Rambutanku lebih murah, Neng. Dua belas setengah rebu” katanya sambil tertawa. Lalu membujuk bujuk saya agar membeli rambutannya saja. Lebih murah dan toh manis juga.  Tapi saya lebih tertarik pada Rambutan Rapi’ah milik Pak Maat.

Pak Jama tak kehilangan akal, ia mengambil buah rambutan sebutir dan meminta saya mencobanya. “Manis, Neng! Coba aja. Kaga bakalan nyesel deh” katanya mendesak saya untuk mencoba. Saya tidak mau “Kaga apa-apa. Coba aja dulu. Perkara membeli mah nanti aja setelah mencoba“katanya. Melihatnya bersemangat, sayapun mencoba sebuah. Hmmm… memang manis juga  sih. Tapi saya masih penasaran akan Rapiah itu. Saya pikir barangkali saya akan membeli masing-masing seiket dari Pak  Jama dan Pak Maat .

Saya beralih ke Pak Maat terlebih dahulu “Ini harga nggak boleh dikurangin ya Pak?” tanya saya. Pak Maat berpikir sebentar, lalu ” Dua puluh rebu deh seiket” katanya. Mendengar itu Pak Jama langsung berkata “Kalau begitu, nyang eni sepuluh rebu deh seiket, Neng” katanya nggak mau kalah. Kocak juga. Bener-bener deh bapak tua ini. Nggak ada surutnya. Semangatnya tinggi amat. “Ya Pak. saya beli  dua iket dari Pak Jama dan seiket dari Pak Maat. Dua puluh ribu -dua puluh ribu deh masing-masing. Biar adil” kata saya. Mendengar itu Pak Jama girang sekali. Segera menyiapkan 2 ikat rambutan dan mengikatnya menjadi satu ikatan lebih besar.

No..kasih no si Ibu contoh biar dicoba” saran pak Jama kepada Pak Maat yang hanya diam saja dari tadi. Pak Maat memberi saya sebuah rambutan Rapiah untuk dicoba. Ya …rambutan Pak Maat memang lebih manis dan garing.  Saya membayar kepada ke dua tukang rambutan itu. Pak Jama menerima uang saya dengan sangat girang. ” Ya Allaaaah. Alhamdulilah. dikepret dulu…. dikepret dulu…. Buat penglaris….”katanya penuh syukur sambil mengibaskan uang itu di sisa barang dagangannya. Saya tersenyum geli melihat kelakuannya. Ya ampuuun…Bapak ini ada-ada saja.

Perseteruan dagang antara Pak Jama vs Pak Maat itupun berhenti sampai di situ. Keduanya berhasil memenangkan hati saya pembelinya. Yang satu saya pilih karena kwalitas produknya yang lebih baik, yang satunya lagi saya pilih karena element bauran pemasaran lainnya yang lebih menarik. Harganya lebih menarik,  service dan promosinya yang lebih menarik.

Saya menenteng rambutan itu pulang. Sampai di rumah, saya baru sadar, kalau rambutan yang saya beli jumlahnya kebanyakan. Ada 3 ikat, masing-masing terdiri lagi atas 3 ikatan kecil. Jadi sebenarnya total ada 9 ikatan kecil.

Jadilah saya membawa sebagian dari rambutan itu ke kantor…

Tentang Kegigihan.

Standard

20150301_091253Hari Minggu pagi. Waktunya berjalan-jalan ke kampung di atas perumahan bersama anak saya. Saya mengajaknya masuk ke sebuah gang tikus yang sangat sempit. Gang itu tembus di jalan perkampungan.

Kami melewati sebuah rumah yang di halaman depannya berjajar tanaman hias untuk dijual.  “Tanaman apa itu?” tanya anak saya ketika kami lewat- bertanya tentang tanaman pendek berdaun langsing berwarna hijau kekuningan. “Itu namanya Zodia” jawab saya. Saya ingat tanaman itu sempat booming belasan tahun yang silam, sebagai tanaman pengusir nyamuk.

Mengetahui cerita itu, anak saya bertanya” Bolehkah aku membeli tanaman itu?“.  Saat itu jarak kami kurang lebih sudah sekitar 300 meter  dari rumah tukang tanaman itu tadi. “Tapi sudah jauh. Masak kita harus kembali lagi ke sana?” tanya saya memberatkan agar ia membatalkan niatnya membeli tanaman.  “Nggak apa-apa. Kita balik lagi aja ke sana“kata anak saya tidak menyerah. “Buat apa? Dulu kan kita sudah pernah punya tanaman itu. Nggak terurus lalu mati” kata saya. “Ya. tapi sekarang kan sudah tidak punya lagi” kilah anak saya. Lalu berjanji akan mengurusnya dengan baik nanti jika saya memberi kesempatan lagi.

Saya mendongak ke langit. Rintik kecil mulai ada yang turun. Pilihannya cuma ada dua: berlari sekencangnya pulang, atau berteduh. Akhirnya saya menyetujui permintaannya. Sebentar lagi hujan akan turun semakin deras. jarak rumah masih cukup jauh. Barangkali masih satu setengah kilometer. Jika terus berjalan, kemungkinan besar kami akan basah kuyup. Jika mampir di tukang tanaman, setidaknya kami bisa menumpang berteduh di rumah tukang tanaman itu agar tidak kehujanan. Akhirnya kami bergegas kembali.

Hujan turun dengan deras.Tukang tanaman mengajak kami berteduh di teras rumahnya. Lalu anak saya bertanya ini itu tentang tanaman Zodia, termasuk tentang harganya. “Limabelas rebu” kata tukang tanaman dengan wajah lurus tanpa ekspressi. Wah! mahal amat. Saya tahu  di tukang tanaman yang lain harga Zodia berkisar antara Rp 3000 – Rp 6000 /batang.  lalu saya coba menawar. “Emang mau beli berapa? Kalo beli banyak saya kasi turun” katanya. “Empat” kata anak saya. Hah? Bagaimana cara membawanya pulang? Jarak rumah masih jauh lho? Mungkin ia berpikir masing masing kami harus menenteng 2 buah.  Saya mengingatkan bahwa jarak rumah kami masih jauh. Dan tanaman itu pasti berat. Apalagi jika tanahnya basah habis tertimpa hujan. Tambah berat lagi.

Anak saya terdiam.Matanya mengamat-amati tanaman lain dari teras depan. “Itu tanaman apa?” tanyanya antusias menunjuk sebuah tanaman perdu yang lebih tinggi dari tubuh saya. Saya pernah melihat tanaman perdu berbunga itu, tapi tidak tahu namanya.  Bunganya mirip honey suckle berwarna merah lembayung. “kapitalum” kata tukang tanaman. Saya baru dengar namanya. Anak saya menanyakan harganya dengan sangat semangat. Tukang tanaman kelihatannya membaca situasi  itu. Dan saya melihat gelagatnya. Ia menyebut angka ratusan ribu. Anak saya merajuk minta membeli. Saya tidak setuju tentu saja. Selain harganya yang terlalu mahal, juga terlalu berat buat kami menggotongnya pulang. Saya memberi kode kepada anak saya agar jangan terlalu menunjukkan antusias yang tinggi, sehingga tukang tanaman jadi memanfaatkan situasi. Dia pasti akan meninggikan harga dan tidak mau ditawar. Anak saya kelihatannya tidak menangkap kode yang saya berikan. Tetap saja ia bertanya ini itu dan menunjukkan ketertarikannya yang tinggi. Makin lama tukang tanaman makin meninggikan harga tanaman yang ditanyakan anak saya. Aduuuuh!. Saya mulai merasa tidak senang akan situasi itu. Tukang tanaman benar benar ingin memanfaatkan kami. Sampai pada puncaknya…

Anak saya menanyakan lagi tanaman Ketepeng Cina yang berbunga kuning di pojok halaman. “Ooh kalo yang itu kagak dijual” kata tukang tanaman. Lalu ia menjelaskan bahwa tanaman itu berkhasiat obat, blablabla. Dan seperti bisa ditebak, anak saya semakin tertarik dan tukang tanaman akan melepasnya seolah olah terpaksa dengan harga selangit, spesial untuk anak saya saja.  Itu mah tanaman perdu liar. Mudah ditemukan di lahan yang nggak diurus. Setidaknya di Bali, kita bisa menemukannya liar beratus-ratus misalnya di lahan kosong dekat Estuary Dam.  Ambil aja sendiri kalau mau. Gratis!

Hujan mereda. Tinggal gerimis kecil.Saya memutuskan untuk memutus percakapan mereka. Dan bertanya pada keputusan anak saya fokus hanya pada Zodia. Saya tidak mengijinkan anak saya membeli yang lain lagi karena keterlaluan harganya, selain juga kebanyakan dari tanaman itu perdu. Sangat berat menentengnya pulang. Anak saya dan tukang tanaman sangat kecewa. Anak saya masih rewel. Saya mengatakan kepadanya, bahwa saya hanya bersedia menenteng satu pohon berdua dengannya. Anak saya  mengatakan  bahwa ia sanggup menentengnya sendiri. “Ringan kok” kata tukang tanaman membujuk.  Saya coba mengangkat satu. Barangkali sekitar 3 kg. Lumayan, bisa diangkat. tapi masalahnya jarak rumah masih cukup jauh. anak saya berkeras akan menenteng sendiri.  OKe! Akhirnya saya hanya membeli tanaman zodia itu saja seharga lima belas ribu rupiah.

Anak saya yang kepalang keras kepala, mengangkat tanaman itu. Jalannya dibuat gagah. Ia menunjukkan kepada saya bahwa ia kuat.Tidak mau menerima bantuan saya sedikitpun untuk sesekali giliran mengangkat. “Ini tanaman pilihanku. Biar aku sendiri yang mengangkat” katanya penuh gengsi. Oke. Baiklah. Sepanjang jalan ia berusaha keras menunjukkan kepada saya kalau ia masih kuat membawa. Saya tahu ia kelelahan. Tapi ia tetap bertahan. Ia memindahkan tanamannya dari bahu, lalu ke dada. Tak seberapa lama barangkali cape membawanya di dada, ia mengendongnya di depan perut.Kemudian sesekali ditenteng, lalu kecapean, naik lagi ke bahu. Demikian seterusnya hingga kami tiba di rumah. Ha ha!. Biarlah ia menerima ujian atas kekerasan kepalanya. Mungkin orang di jalan akan melihat saya sebagi seorang Ibu yang “raja tega’ menyuruh anaknya sendiri mengangkat beban sementara dirinya sendiri melenggang hanya membawa hape dan dompet. Biarlah.

Ada dua pelajaran yang hari ini akan saya sampaikan kepada anak saya:

1/. Dalam tawar menawar, semakin deras arus anthusiasme permintaan yang kita tunjukkan, semakin kita berada di posisi lemah.

2/. Mengambil keputusan mungkin sesuatu yang bisa dilakukan dengan cepat dan mudah, namun hendaknya kita perlu berpikir panjang, apakah keputusan itu executable atau tidak. bagaimana mungkin ia memutuskan membeli tanaman perdu yang beratnya entah berapa puluh kg, sementara kami tidak bisa mengangkatnya.Sementara tukang tanaman tidak ada upaya untuk menolong sedikitpun.

Namun diluar teguran itu, saya pikir saya akan memberinya pujian atas semangatnya yang tinggi, passionnya terhadap tanaman dan “keteguhan hati”nya sebagai kata pengganti “kekerasan kepala”nya – jika menginginkan sesuatu ia benar-benar berusaha keras melakukannya untuk mewujudkannya .