Suatu malam, saya mengobrol dengan suami saya sambil melihat bulan purnama sedang mengambang. Kedua anak saya sedang di kamar. Entah mereka bermain games atau menonton. Sambil tertawa-tawa cekikikan mereka memanggil-manggil “Mama! Mama! Sini deh….” katanya. Saya tidak segera beringsut masuk.
Akhirnya anak saya yang kecil menyusul saya ke halaman dan mengajak saya masuk. Di kamar anak saya yang besar sudah menyiapkan sebuah video di youtube untuk saya lihat. “Mommy, you have to see this… ” katanya sambil tersenyum bandel, diikuti oleh adiknya yang cekakak-cekikik. Sebuah video yang berjudul ” Asian Immigrant Parents vs Western Parents”. Mereka memilihkan dan memutarnya untuk saya. Nah..sekarang saya tahu siapa otaknya. Sayapun ikut menonton.
Career Choice – Western Parents bilang : mereka mengatakan mendukung apapun pilihan career anaknya kelak, mau itu jadi Bill Gate, mau jadi President..intinya mereka tetap bangga akan anaknya. Asian parents juga serupa, membebaskan anaknya untuk memilih menjadi apa saja, Engineer, Docter, Lawyer atau apapun.
Kelihatannya tak terlalu jauh nih bedanya..Saya menyimak dengan baik apa yang dikatakan.
Falling In Love – Western parents umumnya ikut senang jika anaknya menyampaikan kalau ia falling in love dan malahan bertanya, kaya apa sih orangnya? Cakep nggak?. Sementara Asian Parents marah-marah jika anaknya mengatakan ia falling in love pada seseorang ” You think you in love? You crazy! You are too young..”ia menyarankan agar anaknya tetap fokus pada sekolah dulu, belajar keras, dapatkan pekerjaan dulu baru menikah.
Saya tetap menonton.
Sleep overs – Western parents umumnya membolehkan anaknya menginap dan berharap agar anaknya bisa menikmati acara menginap di rumah orang lain. Tapi Asian parents biasanya tidak mengijinkan dan khawatir mereka menyusahkan orang lain. Toh juga mereka punya tempat tidur sendiri yang bagus, ngapain harus menginap di rumah orang lain..
Sports – Western parents sangat mendukung anakanya aktif dalam Sport, bahkan bangga. jika menjadi team Sepakbola. Asian parents menganggap ikut Sports hanya membuang-buang waktu saja.Kalau memang ingin ikut Club, ikut saja Klub matematika…
Aah… Nggak seperti itulah!. “Kan Mama juga sangat mendukung kalian untuk aktif Sport. Oke aja kan kalau mau ikut klub sepakbola atau mau ikut Merpati Putih. Juga nggak keberatan kalau memang mau nginep di rumah teman” kata saya berkeberatan jika anak-anak menganggap saya typical Asian parents yang seperti itu. “Tunggu!. Mama harus denger yang berikutnya”saran anak saya. Sayapun duduk kembali.
Grades – Jika mendapat nilai B+ di sekolah, Western Parents akan tetap bangga atas pencapaian anaknya. Sedangkan bagi Asian parents nilai B+ itu sungguh sangat tidak membanggakan. You know what? B is Baaaaaadddd…
Ha ha ha… Saya nyengir mendengar itu. Anak-anak memperhatikan reaksi saya. “Nah! itu Mama banget!!!” kata anak saya. Lalu kedua-duanya mulai membully saya. Mengatakan bahwa saya sangatlah typical Asian Parents yang menetapkan Standard terlalu tinggi untuk nilai yang harus mereka capai di Sekolah. “Bagi Mama, A is for Average! And B is for Baaaaaaddddd – just like Asian Mom in this video!” kata anak saya yang besar meledek sambil tertawa-tawa. Rupanya ia bermaksud melakukan protes dengan memanfaatkan Video itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah lagi menjelaskan kepada saya. Ha ha.. cerdik juga caranya.
Video itu menggambarkan gaya orangtua dalam mendidik anaknya. Berbeda beda. Ada typical Western Parents dan Asia Parents. Dan saya pikir gaya saya mendidik anak-anak lebih mirip Western Parents ketimbang Asian Parents dalam kebanyakan hal. Hanya dalam masalah Grades saja barangkali saya lebih mirip Asian Parents. Anak-anak setuju.
Saya lalu menjelaskan kepada anak saya. Sangat wajar orangtua mengharapkan anaknya berprestasi dengan baik di Sekolah. Itulah sebabnya mengapa mereka selalu mendorong dan mendukung anaknya untuk mencapainya. Tapi kalau urusan target, sebenarnya mereka sendiri yang bisa mengatur. Bukan harus dari saya.
Saya mengajak mereka berpikir sejenak. “Lupakan harapan Mama. Mama tidak menetapkan target. Coba kalau kalian sendiri berpikir. Kalian maunya bagaimana?” tanya saya menanyakan, apa sebenarnya yang mereka inginkan. Apakah mereka tertarik untukmenjadi anak yang berprestasi atau tidak, jika seandainya saya tidak mendorong mereka.
Ketika ditanya seperti itu, anak saya mengatakan mereka ingin menjadi murid yang terbaik, terlepas apakah saya memintanya begitu atau tidak. Ya, OK – kata saya. Kalau ingin menjadi yang terbaik, caranya ya kita harus mendapatkan score terbaik untuk setiap mata pelajaran di sekolah, plus prestasi yang juga membanggakan di luar mata pelajaran. Anak saya setuju. “Kalau yang namanya score terbaik itu berapa?” tanya saya. ” Ya..nilai A. atau 100” jawab anak saya. “Nah! Itu kalian sendiri yang menjawab. Bukan B+ atau 90 atau 80 kan?. Tapi A. Atau 100. “tanya saya sambil menegaskan. Anak anak setuju dan tertawa. “Bukan Mama lho yang bilang begitu. Kalian sendiri” kata saya. Anak saya mengangguk. “Jadi target A itu adalah dari diri kalian sendiri, bukan dari mama“kata saya mengakhiri. Anak saya terdiam dan tidak mempermasalahkan video itu lagi.
Seketika saya menyadari bahwa betapa pentingnya saya membuat “Target perolehan nilai mata pelajaran yang mereka harus capai” sebagai target yang mereka Set sendiri, usahakan sendiri dan evaluasi sendiri. Bukan target dari saya. Sehingga mereka merasa Target itu memang miliknya. Mereka yang akan mengejarnya dan mencapainya. Bukan karena saya yang menetapkan.
Saya bukan penentu hidup mereka. Sebagai orangtua saya hanya bertugas sebagai Coach dalam kehidupan mereka.
” ….You are the bows from which your children as living arrows are sent forth. The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer’s hand be for gladness; For even as He loves the arrow that flies, so He loves also the bow that is stable” – Kahli Gibran on Children –