Monthly Archives: August 2016

Hidup Adalah Tentang (Berusaha) Mewujudkan Mimpi.

Standard

*Dapur Hidup: Stacking, Menyiasati Pekarangan Sempit*.

​​Ketika kecil, saya sering bermimpi. Mimpi tinggal di sebuah rumah kecil yang di kelilingi ladang luas penuh buah-buah tomat yang merah ranum,  kentang, labu parang, semangka dan berbagai sayuran yang hijau segar. Serta kandang ayam petelor dengan kokok ayam jago yang membangunkan tidur saya di pagi hari. Rumah  ladang impian saya  itu dihiasi dengan bunga mawar pagar yang mekar super banyak berwarna pink dan wanginya semerbak  ke mana-mana. Romantis banget kan impian saya itu? 

Ketika saya dewasa, sebagian impian itu menjadi kenyataan. Saya tinggal di sebuah rumah kecil. Sama ya dengan mimpinya?. Juga dikelilingi tanaman sayuran. Sama juga dengan mimpi saya. 
Tapi bedanya, rumah saya dikelilingi halaman yang sempit (bukan ladang yang luas) yang tentunya tidak muat untuk menampung semua tanaman sayuran impian itu. Boro-boro kandang ayam petelor. Jauhlah dari mimpi. Dan bunga bunga mawar pagar yang pink romantis? Mmmm… lupakan lah itu, karena mimpi kanak-kanak saya tak pernah menjelaskan bahwa mawar pagar hanya tumbuh di ketinggian tertentu di atas permukaan laut. Hanya ada di kampung saya di Kintamani sana dan daerah pegunungan lainnya. Sementara sekarang saya tinggal di Jakarta (eh… sebenarnya TangSel deh…) di mana udaranya panas dan sudah pasti mimpi tentang bunga mawar pagar itu sudah terbang entah kemana. Sudah pernah saya tanam (Waktu itu batangnya saya ambil dari Puncak, Bogor). Tapi hanya batangnya saja yang memanjang dan gendut. Bunganya tiada kunjung muncul. Aah… tidak ada romantis-romantisnya amat tanaman ini ketika dibawa ke kota. 

Dengan kenyataan dunia ini,  apakah saya harus berhenti bermimpi? Oww…tentu tidaakkkk!!!!. Saya harus berusaha menikmati hidup sedekat mungkin dengan mimpi masa kecil saya itu. *Kedengeran agak keras kepala, agak ngeyel dan sedikit sombong ya?  

Ha ha… tentu saja karena kenyataannya lahan pekarangan saya sangat sempit saat ini (itu harus saya terima dengan penuh syukur), tapi saya harus mikir bagaimana caranya mengoptimalkan setiap centimeter pekarangan itu agar menghasilkan bahan makanan Sebanyak mungkin.

Saat ini hampir semua permukaan  terbuka di halaman saya tidak ada yang kosong. Full dengan tanaman.Mau diletakkan di ruangan, tanaman tidak dapat sinar matahari. Pertumbuhannya terganggu. Kerdil dan ‘nyalongcong’ kata teman saya yang orang Sunda. Tinggi langsing dan pucat pasi.  Jadi bagaimana akal? satu-satunya areal yang kosong adalah di udara!.  Ya…di udara adalah tempat yang paling memungkinkan bagi saya 2vesaat ini. 

Akhirnya saya berpikir untuk melakukan penumpukan box box tanaman itu ke atas saja selain menggantungnya di udara. Stacking!. Bisa menggunakan rak atau bisa juga memasang paku dan papan penyangga di dinding.

Stacking 4-5 tingkat ke atas, rasanya cukup banyak dan saya letakkan pada dinding. Dengan cara ini memungkinkan saya untuk memberi peluang yang sama kepada setiap tanaman untuk terpapar sinar matahari. Nah …setidaknya saya bisa memproduksi lebih banyak sayuran dengan cara begini. 

Rak ini memuat 3 box kangkung, 3 box selada. 3 box pak choi dan 1 box kailan dan 1 box tanaman sawi jenis lainnya. Lumayan banget ya buat Dapur Hidup berlahan sempit. 

Impian saya untuk hidup di tengah tanaman sayuran, sekarang satu langkah lebih mendekat. Walaupun lahan sangat sempit.

Hidup adalah tentang mewujudkan mimpi. Jangan pernah mau menyerah pada keterbatasan. Jika kenyataan hidup memberi banyak keterbatasan, cari cara agar impian kita semakin mendekat. Minimal mirip-miriplah.Yuk kita terus berusaha!!!.

Apa mimpimu, kawan? 

Patah Oleh Hujan. 

Standard

​Hari Sabtu kemarin, seharusnya saya sudah mulai agak senggang.  Harusnya punya waktu untuk menulis, eh saya malah ketiduran. Bangun bangun, hujan rupanya sangat deras turun di halaman. Saya jadi tertarik menonton hujan yang menimpa tanaman sayuran saya di halaman belakang rumah. Kangkung, bayam, sawi dan tomat terangguk-angguk diterpa bulir bulir hujan.

Tapi hujan rupanya terlalu deras tak mengenal lelah. Curah air sangat berlebih hingga tumpah ruah dari pot pot tanaman. Saya mulai khawatir. Hujan sangat dibutuhkan tanaman. Tapi jika terlalu banyak, juga bisa mengganggu. 

Benar saja!. Barangkali karena tanah sekarang menjadi terlalu lembek, sementara batang dan daunnya semakin berat, tanaman cabe saya merunduk dan semakin merunduk. Dan…akhirnya kraaakkkk…. tumbang. Doyong ke kanan  hampir  menyentuh tanah. Menimpa tanaman cabe di sebelahnya yang kemudian ikut juga doyong dan menimpa lagi tanaman cabe berikutnya. Aduuuh…ini mirip efek domino. Saya hanya bisa memandang dengan hati gundah.

Setelah hujan reda, saya mencoba membantu menopang tanaman saya sedapatnya. Beberapa rantingnya patah. Sedih hati saya bukan kepalang. Tapi sebagian cabangnya masih bisa diselamatkan. Saya ikat ke penopang bambu dengan kawat kabel.Lumayanlah setidaknya masih bisa berdiri sebagian. 

Tanpa rencana, akhirnya saya terpaksa memetik buah -buah cabe dari ranting-ranting yang patah itu. Daripada terbuang percuma. Kebetulan mulai pada merah. Memang sudah waktunya dipetik. Lumayan juga sih. Cukup untuk beberapa kali nyambel. 

Yaah..begitulah. Suka dukanya bertanam. Membayangkan kejadian seperti ini terjadi pada petani, sekarang saya semakin mengerti, mengapa pada saat-saat tertentu harga cabe menjadi sangat mahal. 

Laptopku Belahan Jiwaku.

Standard

Ini cerita tentang laptop saya. Milik kantor maksudnya. Umurnya sudah lebih  dari 5 tahun. Sudah usang dimakan usia dan compal-compel tampangnya. Beberapa bautnya sudah copot. Demikian juga penutup kabel di lipatannya. Tapi masih bagus fungsinya.Saya sangat sayang kepadanya.  

​Karena sudah tua, tahun yang lalu perusahaan membelikan saya laptop yang baru. Lalu saya ditanya oleh teman saya yang di IT,” Ibu, kapan mau diganti laptopnya? Barangnya sudah ada“. Mmmm… bukan saya tidak ingin laptop baru itu, tapi saat ini sedang terlalu banyak pekerjaan  yang urgent sehingga tidak punya waktu untuk memback up data dari laptop yang lama. Jikapun saya dibantu memback-up data tetap saja saya tak bisa menggunakannya minimal 1 hari. Jadi penukarannya saya tunda. 

Bulan berikutnya, saya ditanya lagi pertanyaan yang sama”Ibu, kapan mau ganti laptopnya?”. Ooh… sudah sebulan ya. Sungguh tak terasa. Tapi kali ini kebetulan saya juga sedang sangat sibuk. Jadi saya minta tunda ke bulan berikutnya. Demikian berkali-kali hingga berbulan-bulan lewat. Saya masih menggunakan laptop saya yang usang. 

Suatu hari, teman saya bertanya apakah boleh memberikan laptop baru yang belum saya ambil-ambil juga itu kepada rekan kerja saya yang lain? Kebetulan laptopnya rusak dan butuh laptop baru dengan spec yang serupa dengan saya. Teman saya itu berkata bahwa laptop penggantinya akan segera dibelikan dan diserahkan kepada saya. Ya saya setuju. 

Ketika laptop baru penggantinya datang, saya ditanya lagi kapan akan menukar laptop saya yang usang dengan yang baru. Sungguh apes, saat ditanya lagi-lagi saya sedang sangat sibuk waktu itu dan benar benar tidak sempat. Jadi saya meminta waktu lagi. Demikianlah sampai teman saya bosan  dan berhenti bertanya. 

Suatu kali ketika saya mengikuti sebuah meeting regional di Malaysia. Duduk di sebelah saya seorang teman yang dulunya pernah bertugas di Indonesia. Jadi ia sudah hapal betul perkara laptop tua saya itu. “Hi, you really love your notebook“, komentarnya neligat komputer saya yang semakin compang camping.  Saya cuma nyengir.Tapi boss saya yang duduk di sisi kanan saya rupanya ikut mendengar. Lalu melirik laptop saya dan berkata”Bukannya sudah ada yang baru?” *rada sensitive, soalnya menyangkut harga diri unit kerja.he he. Ya. Saya pikir setelah balik ke Indo laptopnya akan segera saya ganti dengan yang baru agar tidak malu-maluin.

Setelah pulang, saya lupa lagi dengan urusan menukar laptop ini. Bahkan hingga quarter berikutnya saya harus datang lagi ke meeting regional di negara yang sama, laptop tua saya itu belum juga tergantikan. 

Hingga beberapa minggu yang lalu. Sebuah email masuk menanyakan kapan saya akan menukar laptop. Saya menjanjikan sebuah tanggal tapi ternyata kemudian saya tidak bisa lagi karena persis di tanggal itu, laptop tua itu harus saya bawa dan perlukan untuk urusan pekerjaan di Taiwan. 

Pagi ini saya akan berangkat ke kantor. Semua keperluan sudah masuk ke dalam tas dan saya tinggal berangkat. Tiba tiba mendapat kenyataan kalau pak supir yang biasa mengantar saya kerja tidak datang. Padahal saya ada meeting super penting hari ini. 

Suami saya setuju akan mengantarkan saya ke kantor, tetapi saya harus menunggu sebentar karena ia sedang dalam perjalanan mengantar anak saya ke sekolah. Sementara menunggu, saya membuka laptop untuk membaca-baca materi yang akan dipresentasikan oleh team saya hari ini. Beberapa belas menit kemudian, suami saya datang. Saya bergegas nenutup laptop, memakai sepatu dan berlari menenteng tas saya langsung masuk kendaraan. 

Perjalanan ke kantor memakan waktu kurang lebih 45 menit. Tapi pagi ini sangat macet.Jadi saya nikmati saja sambil ngobrol dengan suami.Tibalah kami di kantor. Saya mengangkat tas saya. Heran. Kok tumben ringan sekali ya?. Sayapun curiga…  Astaga!!!. Komputer saya ketinggalan di rumah. Saya panik. Suami saya menegur keteledoran saya dan mengatakan tidak punya waktu lagi untuk mengambilkan dan mengantarkan laptop saya karena iapun sudah terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya sendiri. Saya sangat mengerti dan melangkah masuk ke kantor dengan lunglai.

Dalam keadaan begitu, saya berpikir akan meminjam laptop cadangan dari IT dan meminta copy semua bahan presentasi hari itu kepada team saya. Teman saya yang di IT mendengarkan cerita saya dan berkata “Ibu pakai saja laptop baru yang memang sudah dibelikan untuk ibu sejak lama“. 

​Ha!. Karena keadaan memaksa,  akhirnya saya terpaksa menggunakan laptop baru yang sudah nangkring berbulan -bulan lamanya di sana.  

Sekarang saya tak punya pilihan, harus mengganti laptop saya yang sudah renta dan compang camping itu dengan yang muda, segar dan lebih kinclong. Tentu saja saya sangat berterimakasih padanya, yang telah merekam perjalanan aktifitas pekerjaan dan pemikiran saya selama lebih dari 5 tahun terakhir ini. 

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Walaupun kita terlalu malas untuk mengikuti perubahan, rupanya selalu ada mekanisme alam yang mendorong kita terpaksa melakukan pembaharuan. 

Red Carpet of Happiness.

Standard

*Cerita senja dari sudut  Taipei*.

​​Suatu sore saya sedang berada di kota Taipei untuk sebuah urusan. Tentu saja mumpung lagi di sana, sekalian saya ambil kesempatan untuk melihat dan merasakan sekitar. 

Orang orang melintas. Ada yang berjalan sendiri, berpasangan atau bergroup. Ada yang bergandengan tangan, sambil ngobrol dan bahkan ada yang menyedot minumannya sambil berjalan. Semuanya terlihat riang. Entah kenapa saya merasa jatuh cinta pada kota ini. Jalanannya bersih. Penduduknya baik dan ramah. 

Saya lalu berjalan menyusuri pertokoan pinggir jalan. Tanpa terasa keluar dari jalan utama dan masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil.

Hi! Ada karpet merah digelar di sini. Hm…Ada apa ya? Orang-orang berkerumun di kiri kanan. Semua terlihat bergembira. Tertawa riang, tersenyum dan menengok ke kiri dan kanan. Semuanya sibuk dengan hapenya dan mengambil ancang-ancang untuk mengambil foto. 

Di ujung sebelah sana, terlihat sebuah panggung dengan poster film besar. Dengan tulisan berhuruf mandarin. Saya tak bisa membacanya. 

Hm…serasa akan ada celebrity yang lewat. Siapa ya? Siapa ya? Mungkin bintang film itu. Tentu saja saya tidak tahu. Semua orang kelihatan sangat antusias. Saya ikut merasa senang. Menyeruak di tengah keramaian orang dan berusaha mengambil posisi sedekat mungkin dengan bentangan karpet merah itu. Lalu ikut-ikut mengeluarkan hape dan mengambil ancang-ancang untuk memotret. 

Teman seperjalanan saya juga sama. Ia bahkan naik ke bangku di tepi jalan agar bisa lebih leluasa mengambil foto dari ketinggian. Setidaknya di atas kepala orang-orang yang berkerumun. Walaupun sama tidak pahamnya dengan saya, ia juga tetap memasang pose siap membidik seandainya ada sesuatu yang  bergerak di atas karpet merah. Tetap bergembira.

​Suasana semakin seru ketika acara dibuka. Serombongan   pendekar memperagakan ilmunya di atas karpet merah. Orang -orang bertepuk tangan. Bergembira. Ha!. Rupanya akan ada “Meet n Greet” dengan bintang utama sebuah film Kungfu dari China yang sukses di Taiwan. Karena tak lama setelah itu, turunlah para bintang film itu ke Red Carpet. Mereka berjalan sambil sesekali melambaikan tangannya. Orang orang memotret dan saya juga. Rasanya senang sekali bisa menjadi bagian dari kegembiraan itu. Ingin ikut memanggil, tapi saya tidak tahu namanya. Ha ha. 

​Tapi kalau dipikir-pikir ini aneh juga. Kami tidak tahu bintang film itu. Siapa dia? Apa pencapaiannya? Bagaimana reputasinya? Tidak pula nenonton filmnya. Juga tidak mengerti bahasanya. Jadi sebenarnya kami sedang bergembira dan mengelu-elukan sesuatu yang kami tidak tahu. Ha ha. ha.. saya jadi tertawa geli memikirkannya. 

Tapi mengapa kami sedemikian gembiranya?  Padahal kan sebenarnya tidak tahu apa-apa?. Hmmm…saya baru ngeh. Ternyata kegembiraan itu bisa datang ke dalam diri kita bahkan dari hal-hal yang sebenarnya tidak kita pahami. Lalu dari mana sesungguhnya kegembiraan itu datang? 

Dari kerumunan di sekitar Red Carpet itu!. Dari orang-orang di sekeliling kita!. Ya!. Saya pikir manusia menangkap gelombang kegembiraan dan kebahagiaan yang dipancarkan oleh orang-orang di sekitarnya. Lewat senyum, pancaran cahaya mata dan tingkah laku. Ketika kita menangkap pesan kebahagiaan itu dengan receptor yang ada dalam diri kita, seketika itu kita terstimulasi untuk ikut menyesuaikan pada gelombang kebahagiaan yang sama. Mungkin itulah sebabnya mengapa kita tetap bisa merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan oleh orang-orang lain, walaupun secara logika kita tidak mengerti apapun tentang penyebabnya. 

Karena kebahagiaan itu menular, berada di sekitar orang-orang berbahagia memungkinkan kita menerima gelombang kebahagiaan yang melimpah. Temukanlah karpet merah-karpet merah lain yang penuh dengan kebahagiaan sepanjang perjalanan hidup kita, sehingga hidup kita pun terbawa arus dan gelombang yang sama. 

Coretanku: Bentangkan Sayapmu. 

Standard

*pencils on paper.

Bentangkan sayapmu lebar lebar, sayang. 
Laksana kupu-kupu, hanya jika sayapmu kau bentangkan kau akan merasa ringan, hilang letih duka nestapa. Hanya jika sayapmu kau bentangkan, jantungmu kan segera memompakan semangat, yang membuatmu siap menghadapi kehidupan.Dan hanya jika sayapmu terbentang, kau akan bisa terbang. Menari diantara bunga-bunga di taman, melintasi savana dan mencium lidah awan. 

Bentangkanlah sayapmu. Karena hanya jika sayapmu terbentang,  dunia ikut tersenyum bahagia bisa menyaksikan keindahan pernak pernik warnamu. 

Tidak Sabar Menunggu Selada Red Ava. 

Standard

Karena sudah beberapa kali menanam selada hijau, saya penasaran ingin mencoba menanam selada berwarna merah. Selada yang sering saya temukan dihidangkan sebagai campuran salad di hotel-hotel berbintang. Nah…saya pikir keren juga nih jika dapur saya juga bisa menghidangkan salad dengan campuran sayuran ala hotel berbintang gitu. Produksi sendiri pula. 

Bibitnya dari mana? Saya coba cari di toko Trubus dan toko hidroponik seputaran Bintaro, lagi kosong. Ah, tapi saya tak mau kehabisan akal. Toko hidroponik online!. 

Selada Red Ava, reference gambar dari hidroponikshop.com

Singkat cerita dapatlah saya biji selada merah Red Ava yang re-packing. Isinya 40 butir harganya Rp 7 000 kalau saya tak salah ingat. Saya coba menyemaikan 5 butir di aras rockwool.. Lumayan, dari 5 yang hidup 4. Not bad lah ya. 

Ketika sudah mulai membesar dengan jumlah daun 4 lembar, saya memindahkannya ke dalam box hidroponik dengan system sumbu. Kemudian saya letakkan di teras belakang. Selanjutnya saya hanya melihatnya setiap pagi sebelum berangkat ke kantor dan memberinya pupuk saat weekend saja. 

Tanaman selada ini tumbuh makin besar. Ada warna merah bersawang-sawang di ujung daunnya. Saya berharap warna merahnya semakin tampak seperti foto referens. Sekarang selada ini sudah berumur kira kira 15 hari. Tapi kok warna merahnya belum keluar banyak juga ya? Malah lebih dominan warna hijaunya. Ada yang salahkah? 

​​Selada merah Red Ava ini meninggalkan penasaran di hati saya. Tapi saya akan tetap menunggu perkembangannya seminggu dua minggu ke depan ini, berharap semburat pigmen merahnya keluar lebih banyak. 

Bertanam rupanya membutuhkan kesabaran untuk melihat hasil. Karena alam membutuhkan proses dan tidak menyediakan hasil instant. 

Aduuuh! Saya Kejeblos.

Standard

​​Malam hari sepulang dari kantor saya diantar suami pergi ke apotik di depan perumahan untuk membeli obat demam.Anak saya juga mau ikut. Kami parkir di tepi jalan dekat gerbang perumahan dan bukan di halaman apotik. Karena menurut suami saya, nanti ribet lagi kalau harus muter kendaraan masuk ke perumahan. Mendingan parkir saja di sini dan saya disuruh jalan kaki saja sedikit ke apotik. Toh hujan juga sudah reda. Ya sih. Suami saya ada benarnya juga. Jadi saya patuhlah ya  sama apa kata suami dan lalu segera membuka pintu kendaraan. 

Begitu turun,  saya melihat ternyata ada genangan lumpur di depan saya. Bekas galian kabel listrik PLN. Waduuh… panjang juga ya. Rasanya sulit deh lewat sini untuk beejalanke depan.   Saya bermaksud melompat, tapi takut terpeleset karena licin bekas hujan selain lubangnya cukup panjang juga. Pilihannya ya muter lewat belakang kendaraan. Tapi rasanya kok males ya berkeliling. 

Saya berbalik melihat lubang galian itu sejenak sambil mikir-mikir barangkali  saya bisa melompat saja agar lebih cepat sampai di apotik ketimbang harus muter ke belakang.

Dalam kegelapan malam saya melihat samar-samar ada bagian yang padat di tengah lubang itu yg dikelilingi genangan air dan lumpur. Saya pikir mungkin itu batu, dan jika saya coba meloncat dengan menginjakkan satu kaki saya pada benda padat itu, mungkin saja saya bisa lewat di sana dengan cukup mudah.  Lalu sayapun berjingkat. Hap!. JEBBBB! Aduuuh! Saya kejeblos!.Kaki kiri saya masuk jauh ke dalam lumpur. 

Tak terkira kagetnya. Kejeblos hampir selutut dalamnya.Tak saya sangka. Aduuh. Dan lebih apesnya lagi, saya tak mampu menarik kaki saya dengan mudah dari lumpur itu. Timbunan lumpur di atas kaki saya terasa sangat berat dan lengket. Saya mencoba menarik kaki saya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Berkali kali. Tidak berhasil. 

Anak saya berusaha nembantu menarik tangan saya. Tapi masalah saya bukan di tangan. Tapi di kaki. Kemudian saya sadari kalau saya sulit mengangkat kaki saya karena saya berusaha mengangkat kaki beserta sandal jepit yang saya pakai. Jadi yang susah ditarik itu rupanya si sandal jepit. 

Akhirnya saya memutuskan untuk menarik kaki saya dan meninggalkan sebelah sandal jepit itu terkubur di dalam lubang galian itu.  Nah!Ternyata memang lebih mudah. Sekarang kaki kiri saya bisa keluar.Tapi tentu saja penuh lumpur hingga ke lutut. 

Esok paginya saya berangkat ke kantor dan melihat jejak kaki saya di dalam lumpur. Ha ha…lucu juga cetakannta. Saya geli atas kebodohan saya sendiri.Apa yang saya pikir batu itu ternyata hanya gundukan tanah gembur, yang akan sangat lembek saat digenangi air hujan. Menjadikannya sebagai tumpuan kaki tentu saja bukan ide yang baik. Tapi itulah yang telah terjadi. 

Saya bertumpu pada benda yang salah. Saya tak mampu melihat perbedaan batu yang memang asli padat dengan tanah yang terlihat padat. Semua terjadi karena saya memaksakan diri untuk melihat dalam kegelapan dan sebenarnya saya tidak sungguh-sungguh memastikan bahwa itu memang batu sebelum saya meloncat.

Lalu saya mencoba untuk bangkit dan menarik kaki saya yang kejeblos (masih untung saya punya semangat). Berusaha menarik kaki beserta sandalnya sekaligus, tanpa berpikir sandal jepit itu justru menjadi beban tambahan yang menyulitkan bagi kaki saya untuk  bergerak naik. 

Hmmm…..sound familiar ya? 

Memang demikianlah adanya perkara kejeblos itu. Kejeblos apapun juga dan di manapun juga. Mau kejeblos dalam lumpur, kejeblos urusan keuangan, kejeblos urusan karir hingga kejeblos urusan asmara dan sebagainya. Urusannya sama saja. Penyebabnya pasti tidak jauh dari hal-hal ini :  Kurang Hati-Hati, Mengikuti Emosi, Kurang Perhitungan, Kurang Waspada, Mata Gelap. 

Lalu jika kita ingin bangkit kembali dari keterpurukan, masalah yang membuat beban berat bagi kita untuk bangkit lagi juga biasanya adalah hal-hal kecil yang sesungguhnya tidak super penting amat untuk dipertahankan. Mungkin sebaiknya kita cut, buang dan ikhlaskan saja, agar tidak mengganduli langkah kita ke depan yang lebih baik. 

Dapur Hidup: Mengenal Si Penambang Daun.

Standard

Salah satu keuntungan dari kegiatan Dapur Hidup yang saya tekuni setahun terakhir ini adalah mendapatkan banyak pelajaran dan pengetahuan baru. Berhubung saya tidak memiliki latar belakang pendidikan Pertanian, pengetahuan tentang tanam menanam saya dapatkan satu persatu dengan cara “learning by doing” plus membaca buku serta memanfaatkan internet. Salah satu pengetahuan baru yang ingin saya share kali ini adalah tentang si Penambang Daun. 

Penambang Daun!. Kedengarannya aneh ya? . Ya memang. Karena saya menterjemahkannya langsung dari bahasa Inggris “Leaf Miners”. Saya tidak tahu apa nama hama tanaman yang menyerang daun ini dalam Bahasa Indonesianya, jadi saya terjemahkan saja menjadi Penambang Daun. 

​Sebenarnya sudah cukup lama saya melihat kejadian ini pada daun daun tanaman sayuran saya. Saya melihat ada jejak putih kadang lurus, kadang melingkar bahkan zigzag di daun cai sim yang saya tanam di polybag. Awalnya saya pikir itu jejak keong kecil yang kadang suka terlihat di tanah dekat tanaman. Tapi kenapa daunnya tidak bolong bolong ya? Jika ada keong yang melintas di sana, tentu sekalian ia nenggerogoti daun daun sayuran itu. Tapi ini tidak.

​Berikutnya saya lihat lagi jejak spiral di daun tomat. Lalu di daun kangkung.Saya mulai berpikir, apa jangan jangan itu bekas pupuk yang saya kasih ya. Saya tidak terlalu memikirkannya lagi. Hanya memotong daun yang terkena dan membuangnya. Tidak seberapa. Paling 1-max 2 lembar daun. Itupun jarang. 
​Sampai kemudian minggu yang lalu, saya menemukan jejak serupa pada daun benih Kailan yang saya tanam dengan system hydroponik. Nah… ini penyebabnta apa ya? Yang jelas bukan jejak keong karena tidak ada keong di situ. Dan juga bukan bekas pupuk. Wong benihnya masih kecil belum saya kasih pupuk sama sekali. Akhirnya saya penasaran dong, bongkar bongkar buku dan cari bantuan internet. 

Nah sekarang saya tahu. Rupanya jejak di daun tomat ini ditinggalkan oleh larva sejenis lalat (Liriomyza sativae). Larva ini menggali terowongan di dalam daun yang dari luar terlihat seperti jejak berkelok kelok. 

Apakah penyakit ini berbahaya? Saya lihat jawababnya di buku sih tidak. Tetapi jika banyak tentu saja akan membuat tanaman jadi kelihatan kurang cantik.  Selama ini apa yang saya lakukan dengan memetiki daun yang terinfestasi sudahlah benar. Karena jumlahnya sedikit. 

Nah bagaimana jika serangannya banyak? Dan kita tak punya waktu untuk memetikinya satu per satu?. Disarankan untuk menyemprot dengan pestisida alami daun Nem atau bisa juga dengan memanfaatkan serangga tertentu yang suka memangsa larva. Wah… mudah-mudahan serangannya tidak sering terjadi dan tidak banyak. 

Posisi (Memang Terbukti) Menentukan Prestasi.

Standard

Pasti sudah sering mendengar pepatah ini “Posisi Menentukan Prestasi”. Maksudnya tentulah bahwa prestasi yang dicapai seseorang itu sangat ditentukan oleh bagaimana posisi orang itu  saat melakukan eksekusi.  Semakin bagus posisinya, tentu semakin bagus prestasinya. Oleh karenanya    banyak orang berlomba-lomba mencari posisi yang terbaik.  

Saya sendiri, belum pernah memikirkan pepatah itu baik-baik, walaupun sering mendengarnya juga. Nah sekarang saya teringat, gara-gara melihat kenyataan itu sendiri terjadi di depan mata saya. 

​Saya menanam beberapa box kangkung dengan system hydroponik tanpa listrik. Karana jumlahnya cukup banyak sementara halaman saya sempit, terpikir oleh saya untuk membuat rak bertingkat yang terbuka yang bisa menampung box-box tanaman sayuran termasuk kangkung saya itu. 

Singkat cerita, rak itu sudah jadi dan box box berisi benih  sayuran itupun saya letakkan dengan rapi di dalamnya. Semua sayuran mengalami perlakuan yang sama dalam hal treatment air dan nutrisi. Benih yang kecil mulai tumbuh.

Beberapa hari kemudian, saya melihat terjadi perbedaan yang cukup signifikan atas pertumbuhan tanaman itu dari satu box ke box lainnya. Hmm…mengapa ya? 

​​Tanaman dari box yang diletakkan di sisi yang paling terekspose dengan cahaya matahari mengalami pertumbuhan yang paling pesat. 


​Sedangkan yang diletakkan di posisi lebih ke dalam (lebih jauh dari cahaya matahari) tampak lebih kecil dan lebih lambat pertumbuhannya. Posisi box tempat tanaman ini bertumbuh  sangat menentukan tingkat keberhasilannya dalam bertumbuh. 

Jadi memang benar ya pepatah “Posisi Menentukan Prestasi” itu?. Menurut pendapat saya iya. 
Setiap posisi, di manapun itu tentu memiliki “tetangga sebelah”samping kiri, samping kanan, depan, belakang, atas, bawah. Posisi tertentu, membuat kita terekspose pada tetangga tertentu yang bisa jadi berbeda jika posisi kita berbeda. 

Ibaratnya si tanaman kangkung yang tumbuh pesat karena bertetangga dengan cahaya matahari yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhannya, seseorang juga sangat mungkin maju pesat karena dia berada di lingkungan orang-orang sukses. Setidaknya usahanya untuk sukses lebih mudah ketimbang orang yang berada di lingkungan orang orang yang gagal. Mengapa? Karena ia mendapatkan pemahaman, dukungan dan motivasi serta networking yang baik dengan pusat-pusat kesuksesan. 

Demikian juga sebaliknya.Jika seseorang tidak terkespose dengan kesuksesan dan lebih banyak berada di lingkungan orang-orang yang gagal, maka usaha yang dikeluarkan agar bisa sukses menjadi lebih berat. Karena tak ada orang yang memberi informasi, dukungan dan pertolongan. Ia harus mencari tahu sendiri, mencoba dan berusaha keras agar sukses. 

Memberi peluang kepada anak-anak dan  orang-orang yang kita sayangi di sekeliling kita untuk terekspose dengan hal-hal positive yang mendukung kesuksesannya di kemudian hari sangatlah penting.