Monthly Archives: June 2017

Sok Tahu…

Standard


Diantara jenis kacang-kacangan, saya sangat menyukai Kacang Macadamia. Sayangnya karena kacang itu jarang dijual di pasaran Jakarta dan jika adapun hanya di tempat tertentu saja dan harganya mahal, oleh karenanya saya hanya mampu menikmatinya sesekali saja. Paling banter 3-4 biji itupun saya dapat dari Mix Nut yang dijual di pasar. 

Dari informasi yang saya dapatkan di internet, kacang ini dibudidayakan di Australia. Karena dari 8 species yg ada, konon 7 adalah asli Australia  dan cuma 1 yang asli Sulawesi. Dan sayangnya, udah punya cuma 1 jenis, kelihatannya nggak ada pula orang kita  yang melirik dan menangkap peluang untuk  membudidayakan dan membisniskan kacang yang menurut saya super enak ini di Indonesia. Jadinya mahal deh jatuhnya….😢😢😢

Satu kali saya berhasil mendapatkan 1 kg kacang Macadamia mentah. Karena masih mentah, tentu harganya sedikit lebih miring dari yang sudah diroasted. Saya pikir saya akan panggang sendiri nantinya. “Gampanglah itu” pikir saya. 

Nah… tadi sore saya mulai menanaskan oven untuk memanggang kacang. Dengan riang gembira, saya menuang 1/2 kg kacang ini ke dalam tray dan meratakannya dengan maksud agar kacang -kacang ini mendapatkan pemanasan yang merata dan matang bersamaan. 

Karena baru pertama kali memanggang kacang, saya sebenarnya tidak tahu persis berapa lama dan berapa derajat seharusnya kacang ini dipanggang. Saya melirik sebentar. Rasanya kacangnya cukup tebal. Saya set pemanggangan di suhu 180° selama 20 menit. Cukup lama ya? Jadi kacangnya saya tinggal ke kamar dulu. “Ntar juga ovennya berbunyi sendiri jika sudah selesai” pikir saya. 

Sambil menunggu waktu, sayapun membuka buka Facebook, WA dan melihat lihat foto foto di Instagram. Jika main SosMed nggak terasa waktu berlalu. Penanda waktu oven berbunyi. Saya tidak bergegas. Masih mantengin Facebook untuk beberapa saat. Tiba-tiba saja tercium bau angit. Gosoong!!!. Waduuuh… kacang Macadamia saya gosong. 

Mama!Mama!. Kacangnya mama hangus” kata anak saya yang besar. Saya cepat bangkit dan berlari memeriksa pemanggangan. Benar saja. Gosong!. Aduuuh… sedihnya. 

Saya masih mencoba menyelamatkan beberapa biji yang terlihat agak kurang gosong diantara yang gosong gosong itu. Rasanya seperti menggigit biji kopi yang disangrai. Pahit pahit gimana gitu. Anak saya nyengir melihat kelakuan saya. 

Sedih banget sih. Tapi saya pikir saya masih punya 1/2 kg lagi. Jadi bisa saya coba panggang lagi ah. Mungkin waktu panggangnya harus saya kurangi sebentar. Saya tuang kira-kira 1/4 kg lagi di atas tray. Lalu saya masukan ke pemanggangan. Tadi kan 20 menit plus kira kira 5 menit sebelum tercium bau gosong. Coba kali ini saya set 15 menit. Mudah-mudahan aman. 

Saya tunggu 15 menit kemudian dan ternyata kacangnya…gosong lagi!. Ngwek ngwek ngwek ngwek…

Setelah kejadian itu barulah saya mencari tahu lewat  Google bagaimana caranya memanggang kacang macadamia. Ternyata kebanyakan menyarankan di suhu sekitar 100°-125°  selama 10-15 menit. Oooh! Jadi begitu ya. Pantesan kacang saya cepat gosong. Saya manggut-manggut dengan hati gundah gulana. 

Sekarang saya menyesali sikap “Sok Tahu” saya…

Untungnya (masih tetap untung juga😀😀😀), saya masih punya kacang mentah 1/4 kg lagi. Jadi besok saya harus lebih berhati-hati. 

Dapur Hidup: Metik Daun Katu Berbonus Daun Cincau.

Standard
Dapur Hidup: Metik Daun Katu Berbonus Daun Cincau.

Pohon Katunya batangnya sudah nyampai ke atap. Sudah mulai mengganggu” tegur suami saya ketika kami sedang duduk-duduk di halaman belakang. Saya mendongak. Ya. Bener juga. Daun daun Katu itu tampak menyentuh langit-langit beranda. Juga menutupi tanaman Pakchoy putih dan Spearmint saya dan membuatnya terhalang sinar matahari. “Besok saya panen” janji saya. Dan begitulah…..

Hari ini saya memangkas pohon katu yang tinggi itu. Hasilnya lumayan juga setelah dipilah-pilah dan dipilih-pilih. Walaupun lebih banyak yang ketuaan atau menguning. 

Sebaiknya saya memangkas tanaman ini atau mengambil daunnya secara berkala. Misalnya sebulan sekali atau 2 bulan sekali. Nah…saya luput melakukannya. Tapi nggak apa-apalah. Lebih baik telat daripada sama sekali tidak. 

Nah..selagi memilah milah itulah tiba tiba saya sadar saya telah ikut memutus satu tangkai pohon Cincau Hijau saat memangkas batang pohon Katu. Rupanya pohon Cincau itu ada yang melilit batang pohon Katu  jadi ikut terpotong deh saat ditarik. Kasihan amat. 

Sejenak saya terdiam. Hati saya kelu. Tapi akhirnya saya pikir selagi  terpotong tanpa sengaja, biarlah saya manfaatkan saja daun-daunnya. Saya petiki daun-daunnya satu per satu. Nanti akan saya buat minuman Cincau saja.  Segar juga!. Pikir saya.

Sementara daun Katu bisa dimasak dengan berbagai cara. Direbus dicocol sambal terasi, dimasak bening, ditumis atau dibyat campuran Bubur Kalimoto. 


Dan batangnya saya potong-potong, siap untuk ditanam kembali agar kelak semakin banyak daun Katu yang bisa dipetik dari halaman. 

Sedikit untuk mengenang sejarah keberadaan tanaman ini di rumah, saya mendapatkan stek batangnya pertama kali dari papanya Wilsa. Kebetulan saat itu saya diajak mampir ke rumah papanya oleh Wilsa teman saya itu. Papanya itu penggemar tanaman. Dan memenuhi halaman depannya dengan tabaman tanaman bermanfaat. Salah satunya adalah tanaman Katu ini. Terimakasih papa Wilsa. 

Loksado Writers & Adventure 2017: Paparan & Pengalaman Sastra Bagi Remaja.

Standard
Loksado Writers & Adventure 2017: Paparan & Pengalaman Sastra Bagi Remaja.

Membaca puisi di Minggu Raya Banjarbaru.

Saya penyuka karya sastra. Dan puisi termasuk di dalamnya. Atas kesukaan saya itu, ketika remaja, saya rajin mengikuti forum dan panggung lomba-lomba baca puisi yang diselenggarakan di kota saya. Saya akui bahwa forum dan panggung-panggung sastra seperti itu sangat mendongkrak kemajuan sastra di Bali. Karena minat remaja akan sastra menjadi sangat tinggi. Sayang sekali, aktifitas seperti itu, belakangan saya dengar tidak banyak lagi dilakukan pada saat ini. 
Dengan latar belakang seperti itu, saya tiba tiba terpikir untuk mengajak anak saya yang remaja untuk ikut ke Loksado Writers & Adventure 2017. Tentu dengan catatan jika panitya mengijinkan. Dan ternyata syukurnya memang diijinkan!. Saya senang sekali. Tujuan saya adalah untuk memperkenalkan anak saya dunia sastra dengan cara yang lebih baik lagi *menurut saya* ketimbang hanya dari apa yang ia dapat dari sekolahnya. 

Saya tahu, anak saya tentu mendapat pelajaran sastra dengan cukup baik dari sekolahnya. Tetapi akan sangat berbeda jika ia mendapatkan kesempatan terekspose langsung dengan forum sastra dan bertemu dengan para sastrawan senior di komunitasnya yang tepat. 

Demikianlah ceritanya saya membawa anak saya ikut ke Loksado. Ia sendiri setuju, walaupun ketika diawal ia mau karena tertarik melihat foto orang bermain rakit di sungai Amandit. 

1. Paparan Sastra

Sejak tiba di Bandara Sorkarno-Hatta di Jakarta, anak saya mulai berkenalan dan diterima dengan baik oleh para sastrawan senior yang kebetulan berangkat satu pesawat dengan kami subuh itu. Gap usia yang cukup jauh syukurnya tidak membuat anak saya terasing. Ia kelihatan biasa saja. Bahkan terlihat berusaha ngobrol dan bergaul. Saya cukup lega. Setidaknya ia bisa membawa diri. 

Antologi puisi. Dari Loksado Untuk Indonesia.

Berikutnya, ketika panitya membagikan buku Antologi puisi. Ia melihat sepintas lalu mulai membaca puisi puisi yang ada di dalamnya. Bahkan ketika ditanya cukup satu buku baca gantian dengan mama, anak saya ingin memiliki buku Antologi puisi itu sendiri. Dan.. ia serius membacanya. Nah..kini saya tahu minimal ia suka. 

Yang lebih penting adalah, karena ini adalah sebuah forum sastra, tentu banyak sekali diskusi dan pembahasan tentang puisi dan karya sastra lain sepanjang acara itu, baik yang formal maupun yang tidak formal. Ia juga mendengar tentang Haiku. Tentang Senryu . Dan tentang format format karya sastra yang lain.  Hal ini tentu menambah khasanah, wawasan dan cara pandang anak saya terhadap karya karya sastra. 

Baca puisi di Loksado Writers & Adventure 2017.

Di forum itu, anak saya juga terekspose dengan pembacaan puisi dengan berbagai gaya yang dilakukan oleh para sastrawan yang hadir di sana. Bisa saya pastikan ini sangat menginspirasi anak saya. Bagaimana membacakan puisi dengan baik, bagaimana berdeklamasi dan bahkan belajar memahami bahwa karya sastra pun bisa berfusi dengan karya seni lain seperti vokal, seni gerak tubuh dan sebagainya. Anak saya terlihat sangat terkesan misalnya saat seniman Isuur Loeweng berkolaborasi dengan Bagan Topenk Dayak membawakan sebuah puisi dengan luar biasa mengesankannya. Tak habis habisnya kami membicarajan dan memujinya. 

Hal lain yang ia pelajari adalah, bahwa puisi tidak hanya bisa menjalankan tugasnya sebagai sekedar karya sastra yang indah saja, tapi sangat mungkin menjadi media penyalur pesan sosial dan aspirasi masyarakat yang selama ini mungkin buntu atau terpinggirkan. Terlebih ketika ia juga ikut diajak berkunjung dan berbaur dengan masyarakat setempat, dengan sendirinya ia pun belajar. Melihat, mendengar dan menangkap fakta untuk kemudian ia proses dalam alam pikir dan jiwanya untuk kemudian ia sambungkan sendiri dengan puisi. 

2. Pengalaman Sastra

Pak HE Benyamin, sang motivator.

Adalah HE Benyamin, sastrawan Kalimantan Selatan yang berhasil menyentil keberanian anak saya untuk tampil membaca puisi di panggung forum itu. Awalnya saya bujuk -bujuk tidak mau. Tetapi berkat kalimat-kalimat motivasi Pak HE Benyamin yang menyihir, eeh….. anak saya nekat maju ke panggung. Sayapun kaget dan terharu. Luar biasa!. Bayangkan! Di hadapan sekian banyak sastrawan dan seniman sastra baik dari Kal Sel maupun dari berbagai daerah Indonesia itu, anak saya berdiri. Membacakan puisi untuk pertama kalinya. Puisi yang juga baru pertama kali ia lihat dan baca.  Judulnya ” Perempuan Dan Kopi Hutan”. Karya Cornelia Endah Wulandari. 

Membacakan puisi Perempuan & Kopi Hutan. Karya Cornelia Endah Wulandari.

Hasilnya?. Saya harus mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Pak HE Benyamin untuk proses pergulatan keyakinan diri yang dialami anak saya hingga akhirnya berani maju dan bergata di depan panggung. 

Perempuan & Kopi Hutan. Cornelia Endah Wulandari. Foto milik Agustina Thamrin.

Dan tentu saja pastinya buat Mbak Cornelia Endah Wulandari yang puisinya menjadi batu loncatan pertama bagi anak saya untuk menyebur ke dunia sastra. 

3. Tantangan Dan Ujian Sastra

Berhasil membacakan puisi karya HE Benyamin di Minggu Raya Banjar baru. Bersama Pak HE Benyamin.

Tak selesai sampai di sana, bahwa Loksado telah memberikan kesempatan kepada anak saya untuk terekspose dengan dunia sastra dan sekaligus memberi ‘new experience’ baginya. Menjelang kepulangan kami ke daerah mading-masing, teman teman Kalimantan mengajak kami mampir di Minggu Raya. 
Awalnya saya tak mengerti. Karena tempat itu kelihatannya hanya tempat nongkrong-nongkrong saja di tepi jalan dengan suara deru motor yang meraung raung. Ternyata kembali Pak HE Benyamin memberi tantangan kepada kami semua (termasuk anak saya), untuk menguji nyali. Beranikah dan mampukah membaca puisi di tepi jalan? Di tonton orang yang berlalu lalang? Dan diantara suara kendaraan yang menggelegar?. 

Syukurlah, anak saya pun mau mengambil tantangan itu. Mau, bisa dan berani!. Horeeee!. Akhirnya luluslah ia di forum sastra Kalimantan Selatan yang unik itu. Sesuatu hal yang membanggakan tentunya. Bagi dirinya sendiri dan saya sebagai orangtuanya. 

Aku sudah membaca puisi. Minggu raya Banjar baru.

Anak saya mendapatkan pin tanda kelulusan.  Saya juga ikut membaca dan mendapat pin yang sama. 

Buku Antologi Puisi HE Benyamin. Pohon Tanpa Hutan.

Dan juga hadiah buku Antologi Puisi “Pohon Tanpa Hutan” langsung dari Pak HE Benyamin – penulisnya. Aduuuh…senang & bangganya. 
Nah! Untuk segala apa paparan, pengalaman, tantangan dan ujian sastra yang diterima anak saya yang remaja ini, tentunya saya sebagai orangtua sangat berterimakasih kepada semua rekan rekan sastrawan yang hadir baik dari Kalimantan Selatan maupun dari daerah lain, kepada Pak Budhi dan Mbak Agustine serta masyarakat Loksado. 

Sudah menjadi cita cita kita bersama agar Sastra dan penulisan terus berjaya di negeri kita, dan tentunya sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai orangtua untuk memupuk minat dan kecintaan  anak anak dan remaja kita terhadap sastra sejak dini.  Seperti kata pepatah, jika tak kenal maka tak sayang. Oleh karenanya kita perlu meperkenalkannya dengan baik. 

Besar harapan saya, kecintaan anak saya terhadap sastra dan penulisan, kelak semakin meningkat. Jikapun tidak, maka sebagai ibu saya sudah berusaha meletakkan dasar yang sebaik-baiknya yang bisa saya lakukan. 

Salam Sastra. 

Menyimak “Motion in Transparancy” Dalam Karya-Karya Hester Van Dapperen.

Standard
Menyimak “Motion in Transparancy” Dalam Karya-Karya Hester Van Dapperen.

Entah suatu kebetulan,  minggu lalu saya menginap di sebuah hotel kecil di pinggiran kota Amsterdam yang sedang menggelar karya seni kontemporer di lobbynya. Dari sekian banyaknya karya-karya yang dipajang, mata saya tertumbuk seketika pada lukisan lukisan karya Hester Van Dapperen. 

Sangat menarik hati saya,  karena karya karya Hester ini di mata saya  terlihat sangat unik dan baru. Saya belum pernah melihat lukisan di atas media transparant seperti ini. Terlebih Double Canvas. Technique lukis baru dimana, dua canvas transparant dilukis dan ditumpuk  jadi satu  dengan jarak tertentu. Teqhnique ini memberikan efek “kedalaman” yang sangat baik. Dimensi yang lebih kaya. 

Memandangnya, entah kenapa saya melihat Hester seolah memotret pergerakan manusia di perkotaan yang riuh, bersosialisasi namun juga  sekaligus dingin dan individualistik. Barangkali juga karena pilihan warna yang dipakai yang terkesan dingin, didominasi hitam, putih dan kelabu dengan sedikit sentuhan pink pucat. Berkesan seakan meninggalkan pesan tersembunyi.  Yuk kita simak beberapa diantaranya. 

1/. Lopen.

Lopen/Walking. Hester Van Dapperen.

Dilukis dengan cat acrylic di atas materi transparant double canvas. Sesuai dengan judulnya “Lopen” alias Walking, kita melihat sosok sosok tinggi yang bergerak serasa di jalan kota. Di latar belakangnya kumpulan burung dara bertengger di kawat listrik dan orang orang yang berjalan dengan arah yang berseberangan. Menarik sekali. 

2/. Mijn Schaduw.

Mijn Schaduw. Hester Van Dapperen.

Dengan materi yang sama, Hester menggambarkan bayangan manusia yang sedang bergerak. Arah sinar entah datang dari mana mana dengan derajat berbeda beda pula, sehingga bayanganpun terlihat berbaring ke beragam arah. Teqhnique double canvas di sini memberikan dampak pluralisme yang semakin membaur dan tak teratur. Tidak seoptimal pada lukisan lain, misalnya pada Lopen. Namun demikian, secara umum lukisan ini tetap tampak menarik dan sesuai dengan judulnya Mijn Schaduw (My Shadow).
3/.Transparant in Roze, Grijs en Zilver.

Transparant in Roze, Grijs en Silver.

Pada lukisan ini  Hester menerapkan warna tambahan rossy pink  dan silver yang membuat overall tampilannya menjadi lebih feminine dan berbahagia ketimbang lukisan-lukisannya  yang lain. Saya suka komposisi warna ini. Keanggunan terpancar keluar tanpa harus dijelaskan. 

4/. Witte Dansers in Het Park.

Witte Dansers in Het Park. Hester Van Dapperen.

Karya ini penuh dengan muatan seni.  Betapa tidak. Selain komposisi dan paduan warnanya yang baik, karya ini seolah  juga menunjukkan gerakan-gerakan yang indah dari para penari dan busananya yang menarik. 

5/. Vroege Vogels

Vroege Vogels. Hester van Dapperen.

Karya yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi berjudul “Early Birds” ini, menceritakan sebuah ketergesaan. Orsng orang yang bergegas ke tempat kerja di pagi hari. 

Demikianlah karya karyanya yang terlihat oleh saya. Terlihat sangat indah dan anggun. Potret dinamika kehidupan urban dengan kehidupan modern. Ua menggambarkannya dengan sangat apik. Belakangan saya tahu bahwa Hester van Dapperen sang Contemporary Visual Artist itu ternyata juga adalah seorang Fashion Designer. Ooh…pantaslah saya seolah menangkap jejak jejak fashion dalam karya-karyanya itu. 

Keren!. 

Dapur Hidup: Cerita Tentang Jahe Merahku. 

Standard
Dapur Hidup: Cerita Tentang Jahe Merahku. 

Beberapa waktu belakangan ini rasanya saya terlalu banyak bepergian. Kebanyakan untuk urusan kantor. Walau ada juga sih sedikit untuk urusan personal. Minggu ini rasanya agak lega. Bisa punya waktu lebih banyak untuk suami dan anak anak. Dan tentunya untuk…. tanaman-tanaman Dapur Hidup 🌱🌱🌱 saya di halaman 😀😀😀. 

Cerita pertama dari kebun kali ini adalah tentang Jahe Merah. Tentunya sudah banyak yang tahu ya tentang Jahe Merah?. Varietas jahe yang warnanya merah (kebanyakan jahe berwarna kuning) dan rasanya super pedas ketimbang jahe lain. 
Saya sendiri sudah agak lama tahu tentang jahe ini, tetapi pertama kali tertarik membeli rimpangnya di pasar sekitar 2 tahun lalu. Gara garanya pengen belajar bikin acar jahe merah seperti yang sering kita temukan dalam kuliner Jepang. Setelah itu, saya beberapa kali lagi membeli bahan bakunya di pasar sebelum akhirnya memiliki serumpun tanaman Jahe Merah ini di halaman. 

Walaupun cuma di pot, tanamannya cukup subur juga. Satu per satu batangnya tumbuh dan meninggi. Mengembangkan daun daun memanjang mirip pedang  yang tumbuh berselang seling di kiri kanan batangnya. Saya membiarkannya tumbuh begitu beberapa saat. Senang saja melihat pohonnya subur. 

Nah kemarin begitu tiba di rumah, saya melihat kejanggalan pada pohon Jahe Merah saya. Daun-daunnya kok menguning ya?. Ada dua kemungkinan, saya pikir. Jika bukan karena kekeringan selama saya tinggalkan, bisa jadi juga karena diserang penyakit tanaman. Saya tidak tahu penyebab pastinya. 

Akhirnya saya memutuskan untuk membongkar rimpangnya dan menanam ulang kembali nantinya. Panen deh ini judulnya 😀😀. 


Ternyata lumayan juga lho hasilnya setelah dibongkar, dicuci dan dikeringkan. Saya tidak menyangka akan sebanyak ini hasilnya. 

Lalu buat apa Jahe Merah sebanyak itu? Yang jelas, sebagian pasti akan saya tanam kembali. Lalu sebagian lagi untuk bikin acar, minuman jahe dan sisanya untuk keperluan bumbu masak biasa. 

Jahe seperti kita tahu membawa sifat panas ke dalam tubuh. Jika udara dingin, kita minum air jahe hangat. Entah dalam bentuk air jahe murni, atau dicampur bahan lain seperti susu, madu, kayu secang dan sebagainya. Demikian juga saat kurang enak badan, masuk angin. Kita minum air jahe. Jahe seperti memompakan kembali energi panas ke dalam tubuh, sehingga tubuh rasanya bangkit aktif kembali. Tak heran kita mengenal beragam jenis minuman traditional yang berbahan baku jahe. Misalnya, wedang jahe, wedang ronde, bajigur, bandrek, wedang uwuh, madu jahe, susu telor madu jahe, dan sebagainya. 

Jahe juga banyak digunakan sebagai penetralisir bau amis pada ikan ataaupun daging. 

Di Bali, masyarakat menggolongkan jahe sebagai makanan “Rajas” karena sifatnya yang menstimulir semangat dan mood. Kerap kali ditambahkan dalam bumbu dengan maksud untuk menstimulir nafsu makan, ataupun sebagai balancer dari bumbu/bahan makanan lain yang bersifat dingin untuk menjaga kesetimbangan tubuh. Semua tentunya di luar fungsi utamanya sebagai bumbu pemberi rasa. 

Masih banyak lagi gunanya jahe, yang membuat saya merasa memang tanaman ini sangat penting kita tanam di halaman rumah. 

Yuk tanam Jahe !. Kita bikin Dapur Hidup. 

Loksado Writers & Adventure 2017 : Jangan Santan Umbut Kelapa.

Standard

Berkunjung ke Loksado sungguh memberi banyak pengetahuan baru bagi saya. Bukan saja tentang hal yang baru saya lihat, baru saya alami dan rasakan, baru saya dengar dan bahkan baru pertama kali saya kecap. Agak lebay kah saya? Tentu tidak!. 

Jangan Santan Umbut Kelapa.

Serius. Bagi saya Loksado itu ternyata membawa pengalaman baru kuliner juga. Selain Soto Banjar yang kesohor itu, ternyata ada lagi makanan yang sungguh mati saya doyan banget. Namanya Jangan Santan Umbut Kelapa. Nah..ikut penasaran kan?. 
Awalnya saya menyangka itu Sayur Lodeh biasa. Bukan. Kata Ibu yang masak. Namanya “Jangan Santan” katanya. Oh. Oke. Buat saya malah lebih mudah. Karena kata Sayur pun dalam bahasa Bali halus disebut dengan “Jangan” juga. Jadi Jangan Santan = Sayur Santan. Oke. Oke. Ini gampang buat saya mengingat.

Kemudian saya melihat ada irisan benda putih putih di dalamnya. Apa itu? Rebung bambu kah? . Saya cicip. Waah… enak banget. Bukan rebung. Lebih enak dari rebung malah. Tapi apa ini? 

Ini namanya Umbut Kelapa. Saya tetap heran dan penasaran. Umbut Kelapa ? Apa itu? Lalu saya dijelaskan oleh ibu itu bahwa Umbut Kelapa adalah pucuk pohon kelapa yang akan tumbuh jadi daun daun kelapa. Biasanya diambil dari pohon kelapa yang ditebang. Ooh!. Saya terkejut bukan alang kepalang. Waduuh… agar bisa diambil umbutnya, sebuah pohon kelapa harus ditebang dulu ya. Pasti sangat mahal harganya. “Ya..memang mahal. Sekilonya bisa lima puluh ribu atau lebih” jelas ibu itu.  Saya manggut manggut. 

Lalu memasaknya gimana? Rupanya serupa juga dengan Sayur Lodeh biasa. Bawang merah, bawang putih, terasi, garam diulek. Lalu digeprek lengkuas, sereh dan daun salam. Dan tentunya Santan ya…buat kuahnya. 

Sungguh. Sayur ini enak banget. Habis sepiring oleh saya. Terasa kurang. Bolehkah saya nambah ya? Sebenarnya tak ada yang melarang. Tapi ini bersantan. Apa-apa nggak ya jika makan sayur santan ini banyak? Terlalu banyak lemak nggak ya? 

Lalu saya melirik ke piring dokter Handrawan Nadesul yang kebetulan duduk di samping saya. Kelihatannya beliau juga sangat menikmati sayur bersantan itu. Anteng menyuap dan mengunyah dengan pelan.  Sayapun merasa tenang. 

Kalau beliau yang seorang dokter ahli kesehatan yang umurnya dibatas saya,  terlihat baik-baik dan santai saja menikmati apapun yang dihidangkan tanpa terlihat berpantang, mungkin nggak apa-apa juga barangkali buat saya makan Jangan Santan Umbut Kelapa ini sedikit agak banyak. 

Hiyaaa… mari kita nambah 😍😍😍😍😍

Yuk kita wisata Kuliner ke Kalimantan Selatan. Cintai masakan Indonesia!. 

Loksado Writers & Adventure 2017: Salungkui dan Tengkuluk.

Standard
Loksado Writers & Adventure 2017: Salungkui dan Tengkuluk.

Dari perjalanan ke Loksado, tentu saja saya membawa banyak kenangan dan potrat potret. Nah diantara kenangan itu, yang belakangan jadi topik hangat dan diinisiasi oleh Bu Sulis Bambang adalah “Salungkui”. 

Wanita Dayak Meratus mengenakan Salungkui untk menutup kepalanya saat pergi ke ladang.

Saya rasa diantara teman teman pembaca sebagian tentu sudah tahu, dan sebagian lagi barangkali  penasaran ya apa itu Salungkui?. Bagi yang belum tahu, bisa saya jelaskan sedikit bahwa Salungkui adalah penutup kepala terbuat dari kain yang dilipat ke belakang yang umum digunakan oleh wanita Dayak. Saya temukan umum digunakan di daerah pegunungan Meratus. Nah jika Salungkui ini digunakan untuk kaum wanita, kaum pria Dayak juga memiliki penutup kepala yang disebut dengan Laung. 

Saya mengenakan Salungkui bersama Bang Hengky yang mengenakan Laung di Balai Adat Haruyan.

Merasa diri memiliki foto sedang mengenakan Salungkui, saya upload dong ya ke time line face book saya.  Biar keren. Ada beberapa foto sih. Karena kebetulan saya sempat memakai Salungkui ini 3 x selama kunjungan saya di Loksado. Pertama, di malam acara pertemuan dengan para pemuka adat Dayak Meratus, Bapak Penghulu Adat mencotohkan bagaimana caranya memasang Salungkui. Lalu kesempatan ke dua, Ibu Penghulu Adat mengenakan Salungkui sebelum kami diijinkan memasuki balai adat Haruyan. Dan yang terakhir, kembali saya dipasangkan Salungkui oleh Ibu Penghulu Adat saat menghadiri pertemuan dengan pemda Kalimantan Selatan di Penginapan Amandit.  He he..lumayan ya. Terimakasih banget saya atas kesempatan berharga itu. 

Saya memakai Salungkui bersama Pak Adri dan Pak Handrawan memakai Laung.

Nah yang menarik adalah salah seorang teman yang melihat saya mengenakan kain penutup kepala itu  berkomentar ” De, ne mara adane nak Bali asli” katanya (terjemahannya : De, ini baru namanya orang Bali asli). Mungkin teman saya itu tidak membaca contextnya secara keseluruhan dan mengira saya sedang nenggunakan “Tengkuluk”  yaitu penutup kepala traditional yang umum dan banyak digunakan oleh perempuan Bali pada jaman dulu. Sehingga timbullah dalam pikirannya, jika saya benar benar terlihat asli seperti perempuan Bali saat mengenakan apa yang dipikirnya oleh teman saya itu sebagai sebuah ‘tengkuluk’.  Ha ha.. saya tersenyum geli membaca komentar itu. 

Mengapa saat menggunakan Salungkui tutup kepala Kalimantan Selatan ini tiba tiba ada teman yang justru melihat tampilan saya sebagai “Bali banget?”. Jawabannya adalah karena kemiripan Salungkui dengan Tengkuluk Bali.

Di Bali, Tengkuluk atau sering juga disebut dengan Tengkiluk atau Lelunakan, sangat umum dipakai. Terutama di tahun-tahun saat saya masih kecil hingga remaja. Ibu ibu menutup kepalanya dengan tengkuluk adalah pemandangan sehari hari di pasar atau di jalanan. Bahkan hingga kini barangkali masih tersisa. 

Tengkuluk digunakan wanita di Bali untuk melindungi kepala dari sinar matahari ataupun debu, kotoran dsb mengingat banyak wanita yang bekerja di sawah ataupun ladang bahkan bangunan ataupun jalanan. Saya rasa mirip juga dengan wanita Dayak Meratus yang juga banyak bekerja di ladang. Selain itu, tengkuluk juga berfungsi sebagai alas beban mengingat wanita Bali senang membawa/mengangkat benda dengan menjunjungnya di kepala. Jika kita memakai Tengkuluk, dengan sendirinya tengkuluk bisa berfungsi ganda sebagai “sunan” juga alias bantalan kepala saat menjunjung. Membawa benda di kepalapun terasa lebih nyaman. 

Wanita Bali dengan Tengkuluk Handuk di kepalanya. Photo milik Jero Gede Partha Wijaya.

Mungkin sedikit bedanya dengan di Kalimantan Selatan di mana cara memakai Salungkui lebih standard, di Bali gaya wanita nemakai Tengkuluk lebih suka suka hatinya sendiri. Ada yang menutup penuh kepalanya dengan kain, ada yang melilit rambutnya sebagian, ada yang menggulung kainnya di kepala dsb.  Tidak ada yang terlalu standard. Hanya lipat lipat kain saja di atas kepala atau membungkus kepala. Dan bahannya pun sering suka suka. Selendang, pashmina, kain traditional, bahkan handuk mandi pun boleh -boleh saja. 

Salah satu cara pemakaian Tengkuluk atau Lelunakan yang mudah dilihat adalah pada busana penari Tenun yang sering dipentaskan di panggung panggung traditional di Bali. 

Nah…kembali lagi kita  pada Sangkului, yang setahu saya cukup seragam cara pemakaiannya, berikut adalah step by step  menggunakan Salungkui sebagaimana saya diajarkan oleh Ibu Penghulu Adat Haruyan:.

1/. Siapkan kain tapih/ kain panjang. 

2/.  Buka kain panjang dengan bagian memanjang ke atas dan ke bawah. Posisikan di depan wajah kita. 

3/. Dari arah depan tutup kepala kita dengan kain panjang itu hingga kurang lebih 1/5 kain ada di bagian belakang kepala, 1/5 di bagian atas kepala dan 3/5 berada di depan wajah memanjang ke bawah. 

4/. Tarik ujung kain yang ada di bagian belakang kepala. Bawa ke depan dan lipat ke kiri dan ke kanan. Untuk memperkuat, sebenarnya saya lebih suka mengikat saja ujung ujungnya di atas dahi saya biar nggak mudah copot. Tapi Ibu Penghulu Adat tidak menyarankan. “Tidak usah. Memang sedikit longgar, tapi tidak lepas” kata beliau. Jadi saya menurut sajalah kata beliau. 

5/. Setelah ujung kain yang dibelakang sekarang terlipat kiri kanan di atas dahi, tarik sisa kain yang menggantung ke bawah di depan wajah kita dan bawa ke belakang. 

6/. Rapikan agar bentuknya bertambah cantik. 

Selesai deh. 

Yuk kita coba pakai Salungkui. Kita cintai budaya di tanah air kita!.