Monthly Archives: July 2018

Petualangan: Sendiri Di Tengah Hutan.

Standard

Pernahkah teman pembaca berada di tengah hutan? Sendirian? Tanpa ada satu manusiapun di sekeliling kita?Hanya kesunyian dan suara hutan?.

Saya sering melamun berada dalam suasana seperti itu. Indah, tenang dan damai dalam bayangan saya. Menyatu dengan alam. Tapi ketika lamunan itu menjadi kenyataan, dan saya sungguh -sungguh berada sendirian di tengah hutan, ternyata saya ngeper juga. Tak seindah yang saya bayangkan!.

Kejadiannya adalah ketika saya mengajak adik, anak dan 2 keponakan saya bermain ke Pondok Halimun di kaki Gunung Gede. Rencana awalnya sih cuma mau foto foto di kebun teh dan bermain di kali. Tetapi anak saya ingin mengajak kami naik ke lereng Gunung Gede menuju Curug Cibeureum.Waduwww… tentu saja saya tidak setuju, karena selain jauh, matahari juga sudah mulai sedikit miring ke barat.

Tahun sebelumnya ia sudah ke sana dan seingat saya, bolak balik membutuhkan waktu tidak kurang dari 4 jam.

Penyebab lain karena kami tidak dalam keadaan siap untuk mendaki dan memasuki hutan. Keponakan saya yang perempuan menggunakan sandal high heel, sementara keponakan yang laki, kakinya sedang luka kena pecahan keramik sehari sebelumnya. Sementara saya sendiri sangat mudah terserang kram kalau kelelahan.

Tapi tanpa menunggu persetujuan saya, anak dan 2 keponakan saya sudah melesat jauh di depan. Langkah mereka sangat ringan dan cepat. Tak punya pilihan, terpaksa saya dan adik saya mengekor di belakang.

Kami memasuki pos penjagaan pertama, menuliskan identitas dan mulai berjalan memasuki areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jalanan cukup landai dengan semak terbuka di sana sini. Sedikit demi sedikit jalanan yang dilapisi batu kali itu mulai menanjak. Saya berjalan sambil melihat lihat pemandangan sekitar. Pohon pohon dan belukar. Semak semak dan air sungai serta kali kecil yang mengalir jernih di sela bebatuan. Indah.

Bunga bunga liar dan kupu kupu aneka warna. Juga belalang dan capung. Saya terus melangkah. Jalanan semakin menanjak. Entah karena saya terlalu banyak memperhatikan kupu kupu dan bunga bunga liar, atau entah karena langkah kaki saya memang lambat, sekarang adik saya sudah berada sekitar 15 meter di depan saya.

Kaki yang kram

Jalanan berbelok dan menanjak. Saya mulai merasakan tanda tanda kelelahan pada kaki saya. Kram kaki!. Inilah yang saya takutkan.

Saya berhenti sejenak. Melatih kaki kanan saya dan menenangkannya agar tidak kram lagi. Beberapa saat kemudian, kaki saya bisa digerakkan dengan baik kembali. Sayapun melanjutkan perjalanan. Adik saya sudah tak tampak lagi di depan. Jalanan kembali menanjak dan sekarang saya melihat ada lahan terbuka tempat camping ground yang kelihatannya kurang terpelihara. Saya melintas. Aduuh kaki kanan saya kram lagi. Untung cuma sebentar.

Saya terus berjalan. Berusaha menyusul adik saya. Tetapi tak kelihatan sama sekali. Mungkin sudah terlalu jauh. Saya tetap melangkahkan kaki saya pelan pelan di jalanan yang menanjak itu.

Papan Petunjuk Yang Ada.

Sekarang saya melihat papan petunjuk. Ke kiri arah pendakian Gunung Gede, ke kanan ke arah air terjun Cibeureum. Saya jadi tahu jika saya harus ambil jalan ke kanan.

Saya berjalan ke kanan sesuai dengan petunjuk. Mendaki lalu menurun. Astaga! Kaki saya kram kembali. Kali ini saya paksa tetap berjalan. Mengingat jarak saya tertinggal sudah semakin jauh. Saya seret kaki saya dengan rasa salit yang amat sangat. Akhirnya saya tiba di sebuah area terbuka. Mungkin bekas camping ground. Saya melihat ada bangunan baru yang belum selesai dikerjakan. Saya berharap bertemu manusia di sana. Minimum buruh bangunan yang bekerja. Tapi kelihatannya tidak ada seorangpun di situ. Mungkin para pekerja sudah mulai libur karena puasa menjelang Ramadhan.

Tidak ada jaringan seluler sama sekali.

Saya berhenti agak lama di sana karena kaki kram saya sangat membandel. Melintir dan tak mau diatur. Sekarang malah ke dua duanya. Kiri dan kanan. Saya pijit pijit dan tepuk tepuk kaki saya. Stretching kiri kanan ke deoan ke belakang. Saya mencoba menelpon adik saya. Astaga! Saya baru sadar, ternyata di sini tidak ada jaringan sama sekali. Jadi????

Pikiran saya tiba tiba bergerak buruk. Saya menoleh ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang. Tak ada satu bayangan manusiapun di situ. Bagaimana jika ? Ooh pikiran saya sangat buruk. Seandainya ada seseorang berbuat jahat pada saya saat itu.. merampok, memperkosa atau membunuh saya di tempat itu… siapakah yang akan tahu? Fuiih… saya cepat cepat menghapus pikiran buruk itu dari kepala saya. Lalu sayapun berjingkat. Terus berjalan. Saya harus berani. Demi anak saya yang sudah jauh berlari di depan.

Bulu Tengkuk Yang Merinding

Ada bangunan bangunan tua yang sudah rusak di situ. Batu batu yang cukup besar. Mungkin dulunya tempat ini adalah camping ground juga. Atau bangunan penjagaan team Konservasi Hutan barangkali . Saya tak tahu persis. Kaki saya mulai agak membaik. Langkah kaki saya lebih ringan.

Sekarang saya memasuki jalan setapak yang dinaungi oleh dahan dahan dan ranting pohon dari kiri kanan jalan setapak. Cahaya matahari meredup. Senja temaram di bawah kanopi hutan. Bulu tengkuk saya sedikit meremang.

Saya mengunci pikiran saya dan mensugesti diri saya sendiri bahwa saya tidak boleh takut dan tidak ada apapun yang boleh menguasai diri saya selain saya sendiri. Perlahan saya mulai sedikit tenang.

Apakah Saya Tersesat?

Namun ternyata itu hanya sebentar saja. Saya melihat tiang lapuk penunjuk jalan yang tak ada keterangannya. Rasa ragu ternyata sulit dibendung. Benarkah jalan yang saya lalui ini menuju Curug Cibeureum?. Bagaimana kalau saya tersesat? Ke mana anak dan keponakan saya pergi? Ke mana adik saya?. Saya sangat khawatir akan keselamatan anak-anak di depan. Rasa galau yang amat sangat menguasai hati saya.

Akhirnya saya berteriak memanggil manggil nama anak saya. Berharap suara saya bergema di seluruh hutan dan gunung itu dan terdengar oleh anak saya. Namun tak ada satupun yang menyahut. Hanya kesunyian dan suara hutan. Saya merasa sangat hampa. Semoga anak-anak baik baik saja.

Kekhawatiran akan nasib anak anak membuat saya kuat kembali. Demi anak anak. Saya tak boleh berhenti. Berjalan lagi, tibalah saya di tepi sebuah sungai.

Menyeberang Sungai.

Ada batu penyeberangan yang bisa saya injak satu per satu agar aman tak terbawa arus. Kalau saja ini pagi hari

Lewat sungai jalanan menanjak. Kaki saya mulai terasa lelah lagi. Ada pohon tumbang. Saya meloncatinya. Lalu berjalan lagi sambil berteriak memanggil manggil nama anak saya.

Saya menguatkan hati saya. Saya harus terus berjalan.

Oh… ada sungai lagi. Rasa ingin membuang air kecil tak tertahankan. Saya menyeberang dan akhirnya memutuskan membuang air seni di sana dengan sebelumnya memohon maaf. Ha ha… saya merasa di manapun berada tetap harus bersopan santun. Huh. Daripada daripada….

Medan Yang Semakin Sulit.

Selepas sungai, jalanan menanjak lagi. Disebelahnya jurang. Kanan…kiri..kanan.. Aduhai… medannya makin sulit. Batu batu di jalanan licin berlumut. Menanjak dan terus menanjak makin curam. Saya melangkah dengan sangat hati hati agar tidak tergelincir. Langkah saya makin berat.

Di atas ada tanah agak longsor di tepi jalan yang terjal. Saya melewatinya dengan sulit.

Saya Menyerah!!!

Kali ini kaki saya tiba pada bagian kram yang sangat serius. Rasa sakit menjalar sampai ke pangkal paha. Ke dua kaki saya tak bisa saya koordinasikan. Memelintir dan sakit tak terperi. Saya berusaha tetap merangkak ke atas. Perlahan lahan. Batu demi batu. Akhirnya saya tiba pada puncak kesakitan dan kelelahan. Saya menyerah!!!

Keringat saya mengucur. Jantung saya terasa berdegup lebih kencang. Saya memutuskan untuk duduk dan diam. Sambil meluruskan kaki saya. Baru saya sadari, saya sangat haus. Dan apesnya saya tidak membawa bekal air minum.

Dalam kelelahan saya mulai ragu. Apakah jalan yang saya lalui ini benar menuju Air Terjun? Kalau iya, masih seberapa jauh lagikah? Mengapa tidak ada plang penunjuk jalan yang menyebutkan Air Terjun sekian kilometer lagi, misalnya?. Saya menengok ke atas, kelihatannya puncak tinggal sedikit lagi. Tapi di manakah air terjun itu?.

Bagaimana jika jalan ini ternyata tidak menuju air terjun? Semakin jauh saya berjalan tentu saya semakin tersesat. Sementara matahari semakin temaram. Sudah pukul setengah empat sore. Jika saya salah jalan, tentu akan lebih sulit buat saya pulang dengan kondisi kaki seperti ini. Hari akan segera gelap. Melanjutkan perjalanan bukanlah pilihan saya saat ini.

Tapi saya percaya, adik saya yang di depan menyusul anak-anak adalah seorang wanita pemberani. Saya mengenalnya sejak kecil. Dan saya tahu ia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan anak-anak kami.

Saya menunggu dan berteriak lagi memanggil nama anak saya. Suara saya seperti tertelan dalam kesunyian rimba. Tiba- tiba ada suara bergerusak di pepohonan di sisi kiri saya. Saya terkejut. Gentar juga. Saya waspada dan menunggu. Ternyata tidak ada apa apa. Oooh! Lega rasanya.

Tetapi kejadian itu membuat saya menjadi lebih peka. Teringat bahwa di sini masih berkeliaran Macan Tutul yang walaupun sebenarnya pemalu, tetapi jika kepepet bisa menyerang manusia juga. Bagaimana jika tiba tiba ada Macan datang dan menyergap saya di sini? Atau lihatlah pohon pohon yang batang dan rantingnya melambai itu. Bagaimana jika ada ular besar tiba tiba memagut dan menelan saya hidup hidup di sini? Whua..😭 Bergidik saya memikirkan kemungkinan itu.

Ternyata sendirian di tengah hutan itu tidaklah seindah dan setenteram yang saya bayangkan.

Saya mengirim pesan kepada adik saya dan anak saya, walaupun saya tahu jaringan tidak ada. Saya akan turun. Tak ada gunanya meneruskan perjalanan ataupun menunggu sendiri di situ. Karena hari sudah gelap juga. Siapa tahu ada muzizat dan pesan saya ini terkirim kepadanya. Saya hanya bisa berdia semoga mereka baik baik saja semyanya dan nenikmati petualangannya ke Curug Cibeureum.

Serangan Pacet.

Akhirnya dengan mengikhlaskan dan memasrahkan diri kepadaNYA, sayapun berjalan turun. Ternyata dengan berat badan yang lumayan, berjalan turun juga bukan pekerjaan yang mudah 😀.

Turunan demi turunan, kelokan demi kelokan. Saya menyeberang balik dua sungai yang sebelumnya saya seberangi. Menembus jalanan sempit yang dipenuhi semak dan rumput. Saya berjalan terus dengan cepat sambil menunduk. Bulu kuduk saya meremang.

Tiba tiba ada yang terasa gatal dan nggak nyaman di betis saya. Astaga !!!. Ternyata kaki saya dikerubungi pacet!!!. Lintah yang hidup di dedaunan. Menempel dan mulai mengisap darah saya. Saya sangat panik dan berusaha melepaskan pacet pacet itu. Semakin panik, ternyata semakin sulit dilepas. Lepas dari kaki malah ada yg langsung menempel di tangan saya.

Waduuuh… ini lah masalah riil yang benar benar saya hadapi di hutan ini. PACET!!. Bukan hantu, pemerkosa, macan ataupun ular. Pacet ini benar-benar gila. Menempel, melubangi kulit dan mengisap darah saya. Dan saya rasa itu juga yang ia lakukan jika bertemu dengan mamalia lain yang melintas di sini.

Akhirnya setelah menenangkan diri saya mulai bisa mencabut pacet itu satu per satu dari kaki saya. Darah saya tetap mengucur keluar dari bekas gigitannya.

Setelah tenang saya melanjutkan jalan menurun. Cahaya senja makin meredup. Kembali melewati jalanan yg ditutupi ranting ranting pohon. Agak gelap di sini. Suara tupai. Dan anak burung Kedasih.

Sekarang saya mulai menikmati kesunyian hutan ini. Apa yang saya takuti? Mengapa saya harus terus menunduk dan takut? Bukankah seharusnya saya menikmati kedamaian ini?.Saya memotret bunga bunga liar dan daun daun pakis di sekeliling. Alangkah indahnya flora hutan yang beragam ini.

Ketakutan datang ketika kita mengambil jarak dan membiarkan diri kita menjadi orang asing di lingkungan itu. Namun jika kita menebas jarak dan membiarkan diri menjadi bagiannya, ketakutan itu ternyata menghilang.

Akhirnya saya tiba di pos penjagaan. Akhirnya bertemu dengan manusia. Bertemu dengan Igor, pria yang mengabdikan waktunya untuk konservasi fauna di taman nasional itu. Saya berbincang dengannya tentang berbagai jenis ular yang hidup di hutan itu sambil menunggu anak anak yang akhirnya pulang setelah berhasil mencapai Curug Cibeureum.

Sungguh sebuah perjalanan yang menarik!.