Beberapa hari terakhir ini, masyarakat Bali dihebohkan oleh pemberitaan tentang seorang wanita bernama Lisa Marlina yang mengatakan lewat account Twitternya @lisaboedi , kalau di Bali itu nggak ada pelecehan sexual, karena kalau dilecehkan ya senang-senang saja. Selain itu ia juga mengatakan kalau di Bali itu pelacur dan pelacurannya available di setiap jengkal.
Sontak kicauan wanita ini membuat para wanita Bali terkejut dan heran.
“Wanita Bali senang-senang saja kalau dilecehkan?????”
“Pelacuran di setiap jengkal tanah Bali?????”.
Dari mana datanya?. Apakah Lisa sudah datang ke tanah Bali dan check faktanya di lapangan?. Dan menemukan bahwa statementnya itu mengandung kebenaran atau tidak?
Keterkejutan dan respon diberikan dari para netizen baik di Bali maupun dari luar Bali. Ujung-ujungnya Ni Luh Djelantik, seorang wanita designer sepatu asal Bali mengadukan kasus ini ke Kepolisian.
Sebagai seorang Wanita Bali, tentu saja saya sama heran dan terkejutnya dengan Wanita Bali yang lain, akan apa yang dikatakan oleh Lisa Marlina di dunia maya. Karena sebagai Wanita Bali yang tumbuh dan besar di Bali (walau sekarang sebagian besar saya tinggal di Jakarta dan hanya bolak balik saja pulang ke Bali), saya tidak setuju jika kami Wanita Bali disebut senang jika dilecehkan. Karena kenyataannya tidak.
Kemudian sebagai orang Bali, saya juga tidak setuju dengan pernyataan Lisa Marlina, jika di Bali ada sedemikian banyaknya pelacur dan pelacuran, saking banyaknya hingga setiap jengkal tanah Bali pun ada. Karena kenyataannya tidak. Dan saya ingin Lisa membuktikan kepada saya ucapannya itu.
Karena menurut saya apa yang dilakukan oleh Lisa Marlina ini termasuk dalam perbuatan fitnah besar, alias RAJAPISUNA dalam Bahasa Balinya.
Rajapisuna (Fitnah, Memfitnah) adalah memberikan sebuah pernyataan buruk tentang orang lain yang tidak terbukti kebenarannya.
Rajapisuna dan Sad Atatayi – Enam Bentuk Kejahatan Manusia.
Rajapisuna ini dalam tatanan masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu dan sangat cinta akan kedamaian termasuk salah satu dari enam point SAD ATATAYI (Enam Bentuk Kejahatan, Sad= enam, Atatayi = Kejahatan), yang sangat dilarang untuk dilakukan.
Enam Kejahatan dalam Sad Atatayi itu adalah:
1/. Agnida – membakar, meledakkan, nge- bom milik orang lain.
2/. Wisada – meracuni orang dan mahluk lain.
3/. Atharwa – menggunakan ilmu hitam untuk menyerang /menyengsarakan orang lain.
4/. Sastraghna – mengamuk, membunuh orang dan mahluk lain.
5/. Dratikrama – melecehkan, memperkosa orang lain.
6/. Rajapisuna – memfitnah orang lain.
Sangat jelas, bahwa melakukan Rajapisuna merupakan salah satu kejahatan yang dianggap serius di Bali, karena termasuk di dalam daftar SAD ATATAYI.
Dalam kenyataannya, memang terjadi beberapa kasus pelanggaran dan tindakan kejahatan juga yang dilakukan oleh orang Bali, tetapi jumlahnya relatif sangat kecil dibandingkan dengan yang disiplin mengamalkan pelarangan Sad Atatayi ini. Saya rasa kita juga bisa melihat data di Kepolisian, berapa % yang dilakukan orang Bali dan berapa % yang dilakukan pendatang.
Sad Ripu – Enam Musuh Dalam Diri Manusia.
Nah, bagaimana seseorang bisa melakukan perbuatan jahat yang termasuk dalam daftar Sad Atatayi ini?. Sebatas apa yang saya pahami dalam agama Hindu, bahwa perbuatan ini terjadi jika kita kurang mampu mengendalikan musuh -musuh yang ada di dalam diri kita sendiri yang disebut dengan SAD RIPU yaitu:
1/. KAMA – nafsu
2/. LOBHA – loba, serakah.
3/. KRODHA – amarah
4/. MADA – mabuk, kegila-gilaan.
5/. MOHA – kebingungan, keangkuhan.
6/. MATSARYA – iri hati, dengki.
Orang Bali, tidak percaya bahwa jika ada orang yang berbuat buruk itu karena dipengaruhi setan (mahluk lain di luar dirinya). Tetapi yakin jika perbuatan jahat itu disebabkan oleh kemampuan diri orang itu sendiri yang rendah dalam menaklukkan sifat sifat buruk yang ada dalam dirinya itu sendiri (Sad Ripu). Jadi tidak menyalahkan Setan.
Nah dalam kasus Rajapisuna di atas, perbuatan memfitnah orang lain bisa terjadi karena kelemahan manusia dalam mengendalikan Sad Ripu, misalnya karena Krodha (Amarah) dalam dirinya, dan atau karena Matsarya (Irihati, dengki), atau mungkin juga karena Moha dan sebagainya.
Itu pandangan saya, sebagai salah seorang Bali tentang kasus Lisa Marlina ini.
Lalu bagaimana kita menanggapinya?.
Menurut saya, karena Ni Luh Djelantik, seorang Wanita Bali telah mengambil inisiatif melaporkannya ke pihak Kepolisian, ya biarkanlah pihak kepolisian yang memprosesnya hingga selesai. Walaupun akhirnya Lisa Marlina telah mengucapkan maaf (- tentu dimaafkan), dan mengaku itu mistypo, tetapi proses hukum tentu tetap berlanjut.
Selain proses hukum duniawi, ada juga Hukum Kharma- Phala yang berlaku. Setiap orang yang melakukan perbuatan (Kharma) baik maupun buruk, pasti akan mendapatkan buah dari perbuatannya itu dengan setimpal (Phala). Hukum Kharma-Phala itu berlaku untuk semua mahluk di seluruh alam semesta, tak peduli di manapun ia sembunyi.
Dan tentunya kita tak perlu ikut marah marah juga, karena jika kita marah, itu artinya Lisa Marlina telah berhasil dan sukses menggeret kita untuk kalah melawan Sad Ripu, yakni membiarkan Krodha (amarah), yang ada di dalam diri kita sendiri menjadi menguat dan menguasai diri kita.
Mari kita sikapi dengan tenang dan damai. Jangan biarkan Sad Atatayi orang lain ikut mencemari kebersihan hati dan pikiran kita. Jangan biarkan Rajapisuna, membuat kita tak mampu mengendalikan Krodha amarah dalam diri kita. Tetaplah tenang, damai dan terkendali.
“Ragadi musuh meparo, ri ati ya tonggwaniya tan madoh ring awak….”
(Musuh yang sesungguhnya itu ada di dalam diri kita, di hati tempatnya, tak jauh dari tubuh kita sendiri).
Mari kita berdamai dengan diri kita sendiri.
Om Shanti, Shanti, Shanti.
Semoga semua mahluk selalu merasakan damai di hati, damai di bumi dan damai seluruh alam semesta.