
Hari ini saya mendapatkan berita duka kepergian sahabat saya, Penyair Agustina Thamrin ke alam baka. Walaupun saya tahu belakangan ini ia memang dirawat karena sakit, namun kepergiannya tetap saja tak mampu membendung tetes air mata saya.
Saya mengenalnya tanpa sengaja, lewat timeline Facebook seorang sahabat, Penulis Ersa Sasmitha. Kami saling berkomentar dan saya menyukai tulisan tulisannya. Kamipun berteman. Saling mendukung dan memberi semangat.

Dari sana saya sedikit mengetahui dirinya, bahwa ia adalah seorang penyair Kalimantan Selatan yang memiliki latar belakang sebagai seorang instruktur vokal/ paduan suara. Karya karyanya terbit dalam beberapa buku tunggal dan antologi bersama karya penyair penyair lain.
Dan berikutnya juga saya tahu bahwa ia sudah punya cucu dari anak pertamanya. Sungguh seorang Oma yang masih tetap semangat dan enerjik.
Suatu kali di tahun 2017, ia mengundang saya untuk menghadiri pertemuan penyair di Loksado, Kalimantan Selatan yang melahirkan Antologi Puisi Hutan Tropis.
Lah…tapi saya ini bukan seorang penyair. Saya hanya seorang penyuka puisi. “Tapi kan dirimu ini penulis” katanya ditelpon. “Biar ada jua yang menulis tentang Meratus dan Rimba Kalimantan” lanjutnya lagi.”Pasti akan ada banyak sekali bahan tulisan menarik di Loksado” Saya jadi mikir mikir.
Saya tertarik dengan semangat wanita ini. Bersama rekannya Budi, ia ingin sekali mewujudkan forum Sastra Nasional terselenggara di banua. Dan ia benar benar serius mempersiapkannya.

Akhirnya pada bulan Mei 2017, saya meminta ijin cuti dari pekerjaan dan menemui Agustina Thamrin di Banjar. Ia menjemput saya di Bandara. Itu pertama kalinya kami bertemu. Saya mengenalinya dari kejauhan. Ia melambaikan tangsn. Sosoknya yang tinggi langsing, sangat mudah dikenali. Kamipun mengobrol dan ia mengajak kami sarapan Soto Banjar sebelum melanjutkan perjalanan ke Loksado.
Selama di Loksado, ia menemani hari hari kami dengan event event Sastra dan Seni yang sangat menarik. Juga mengajak kami berkunjung langsung ke kampung suku Dayak Meratus, berbincang dengan para tetua adat Meratus. Ia seorang yang sangat ramah dan bersahabat.
Sungguh pengalaman mengikuti ajang sastra yang sangat berkesan yang dituan rumahi oleh para Penyair Kalimantan Selatan termasuk di dalamnya Agustina Thamrin.
Saya tahu itu hanyalah salah satu kegiatan Sastra yang pernah ia jalankan. Masih banyak lagi kegiatan- kegiatan Sastra lainnya yang ia jalani dan ikuti.
Tapi dari semua hal yang saya tahu tentang dirinya, saya sangat terkesan dengan semangat hidup Agustina Thamrin. Walaupun jika dari obrolan serta curhatannya pada saya, banyak masalah yang ia hadapi dan jalani, tetapi ia selalu berusaha kuat dan tegar. Ia tidak mau membiarkan dirinya terjebak dalam kesulitan. Ia tetap berkarya. Menulis dan terus menulis, bercanda dengan dunia. Dan bahkan saat terakhirnya iapun sempat bercanda pada dirinya “Seperti ayam tulang lunak. Diriku tak bertenaga” untuk menceritakan betapa lemahnya diri. Sungguh seorang wanita yang perkasa.
Pernah saya berpikir akan mengambil cuti lagi ingin kembali ke Banjar bertemu Agustina Thamrin. Tetapi dengan kepergiannya ini, tentu keinginan saya itu jadi ikut pupus.
Selamat jalan sahabatku, Agustina Thamrin. Puisi- pusimu akan terus bergema dari hutan hutan Kalimantan.
GUNG GARANTUNG.
Titir tujuh kali malam dibalut dupa.
Tarian menghentak tanah.
Gung aku menari dalam riang riang bumbung malam.
Gung aku memanah langit.
Petir menggodam akar menjadi sungsang tumbang.
Hujan turun menyeringai pada hutan lembab.
Air hitam beraroma payau merendam berpulau pulau.
Gung menyipat hiyang nining batara Maratus.
Penerang hati berselendang bunga bunga dupa dupa.
Nyanyian balai balai diceruk hadat Tambun Bungai.
Gung titir tujuh malam suara mengepung kota kota yang bersimbah darah.
Aku merintih lelah dengan sebatang ranting terakhir.
Kupungut dari rimbunan tulang belulang kematian.
Gung biarkan aku menari Tandik Ngayau menebas perikeadilan yang pupus dan yang lampus.
Banjarbaru, 2017. Agustina Thamrin.