Monthly Archives: December 2020

Sepuluh Tahun Saya Menulis.

Standard

10 Years Blogging.

Kapan hari, saya mendapatkan notifikasi dari WordPress, mengingatkan bahwa Desember 2020 ini tepat sudah 10 tahun saya nge-blog di https://nimadesriandani.wordpress.com/

Buat beberapa orang yang sudah puluhan tahun menjadi penulis, angka 10 tahun mungkin tidak ada apa apanya. Tetapi buat saya, bertahan untuk tetap menulis tanpa bayaran dan terus berusaha menulis tanpa stop setiap tahunnya selama 10 tahun ya lumayan membangggakan hati.

Hingga saat ini, saya sudah mempublikasi sekitar 1100 tulisan yang isinya beragam, kebanyakan tentang hal hal keseharian yang memberi saya inspirasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan yang berimbang sebagai seorang ibu rumah tangga, wanita bekerja dan seorang manusia biasa yang memiliki banyak ketertarikan mulai dari menjahit merenda, memasak, bercocok tanam, di dapur dan sebagainya. Sungguh semuanya itu mampu memberikan kebahagiaan bagi saya.

Blog saya saat ini sudah dibaca sebanyak 3 688 828 kali dengan 4 766 e-mail subscribers, selain sekitar 1 100 orang yg nge-like link pagenya di Sosmed.

Hal yang paling berkesan bagi saya dalam menulis adalah ketika kita menulis, maka banyak hal-hal positive yang sesungguhnya terjadi tanpa kita sadari.

Pertama, ketika akan menulis, tentu ada sesuatu yang melintas di pikiran yang sangat membuat kita semangat untuk menulis. Semangat itu sendiri sudah merupakan hal yang positive bagi diri kita sendiri. Kita menjadi lebih bahagia secara natural dan siap menggunakan otak kita untuk memilih dan mengatur kata kata dan kalimat demi kalimat yang ingin kita tuliskan.

Kedua, karena kita menulis dan tentunya kita tidak mau tulisan kita juga isinya ala kadarnya, maka kita cenderung berpikir. Cenderung menimbang nimbang rasa. Membuka hati dan membuka isi kepala, check dan crosscheck apa yang kita pikirkan dan rasakan, challenge lagi apakah ide itu benar atau tepat dan layak dipublikasi. Tentu kegiatan berpikir seperti ini, membantu otak kita tetap bekerja untuk mengurangi pikun.

Ketiga, setelah tulisan itu jadi dan terpublikasi, kita bisa melihat response orang lain baik sebagai silent reader ataupun pemberi komentar. Itu memberikan kita rasa terhubung satu sama lain. Setidaknya percakapan, diskusi ataupun drama yang kita tuliskan itu tidak hanya ada di dalam kepala kita sendiri saja. Orang lain yang ikut membacapun kini ikut memikirkannya juga. Dan jika tulisan itu berupa ide atau inspirasi dari sebuah kejadian, maka orang lainpun kini bisa ikut menyimak ide dan inspirasi itu untuk diimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, dengan menulis kita juga jadi mengasah diri kita untuk selalu memetik hikmah dan pelajaran dari setiap topik atau kejadian yang kita tuliskan.

Kelima, dengan menulis kita jadi menambah teman, baik teman teman sesama penulis dan juga teman teman baru yang awalnya membaca tulisan kita lalu menjadiksn kita teman.

Keenam, dengan menuliskan pengalaman kita, kejadian sehari hari dan sebagainya, maka kita sesungguhnya mencatatkan perjalanan hidup kita dan suatu saat bisa kita baca baca lagi untuk dikenang. Membantu memperpanjang memory kita.

Demikianlah hal hal positive yang saya dapatkan selama 10 tahun menulis.

Yuk teman teman, kit terus menulis!.

MEMILIH DALAM GELAP.

Standard

Hari Pemilihan Kepala Daerah.

Cukup sering kita menemukan berita miring yang menyedihkan tentang Kepala Daerah, entah Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan sebagainya, entah itu tertangkap KPK karena kasus inilah, itulah. Terus ramai ramai menghujat dan membully. Ya, sudah pasti itu kesalahan sang pelaku yang memang terbukti melakukan hal yang melanggar hukum.

Tapi sebenarnya kalau dipikir, sekian % ada juga sih kesalahan kita sebagai masyarakat. Siapa juga ya yang dulu memilihnya?. Walaupun bisa jadi sebelumnya orang itu tidak punya reputasi buruk, namun tidak menutup kemungkinan, barangkali orang yang kita pilih itu memang dari sono sudah ada bibit bibit nakalnya. Tapi kita pilih juga. Terus saat ia terbukti melakukan sesuatu yang akhirnya diendus oleh KPK kita menggerutu sendiri,”Sialan tuh orang !”.

Nah…disinilah letak permasalahannya….

Saya sudah memenuhi kewajiban saya untuk memilih Kepala Daerah di tempat tinggal saya hari ini. Dalam pikiran saya, saya ingin memilih seorang Kepala Daerah yang memiliki Integritas yang tinggi, memiliki Leadership yang kuat, Managerial Skill yang juga mumpuni yang akan membawa daerah tempat tinggal saya mengalami kemajuan yang berarti baik dari sisi pembangunan mental dan fisik.

Tapi sejujurnya saya tidak mengenal satupun diantara kandidat itu, bagaimana kiprah dan performance-nya di posisinya sekarang dan bagaimana potensi kejujuran dan kesungguhannya dalam bekerja dan memimpin daerah. Ada 6 orang (3pasang pemimpin dan wakil) di kartu yang harus saya coblos.

Saya termenung sejenak. Ibu Hajjah ini, itu siapa? Bapak Haji anu itu siapa?? Bapak Drs ono itu siapa lagi???? Bingung!!!! Tak kenal, tak sayang dan memang nggak tahu.
Yang mana diantaranya yang memang terbukti punya reputasi bagus, terkenal kecerdasannya sejak jaman sekolah hingga kini, selalu menjadi bintang dan pemenang karena ide ide canggihnya dalam memecahkan masalah dan menggagas inovasi baru ?. Nggak kedengeran.

Atau siapa yang diantara 6 orang ini terkenal track recordnya memiliki kemampuan memimpin team yang bagus, sehingga setiap team yg dipimpinnya selalu kompak mampu mendeliver apa yang ditargetkan untuk mereka? Nggak kedengeran juga.

Atau ada nggak diantara 6 orang ini yang memang terkenal bersih, sederhana, humble dan fokus dan serius dengan pekerjaannya ketimbang yang flamboyan, nggak jelas juntrungannya, sibuk dengan pencitraan diri?. Nggak tahu juga.

Oke deh…atau setidaknya ada nggak diantara 6 orang ini yang terkenal dengan pandangan besarnya dalam bernegara di atas kepentingan daerah ataupun wilayahnya? Mampu mngedepankan kepentingan bangsanya ketimbang golongannya sendiri?Aah…nggak tahu juga saya.

Saya rasa semuanya tidak cukup melakukan sosialisasi diri pada masyarakat setempat. Saya tidak tahu siapa calom pemimpin saya. Serasa mencoblos dalam gelap.

Dan saya pikir orang yang seperti saya cukup banyak. Inilah masa mengambang yang sangat rentan terhadap penyuapan dan penyogokan. Dan tentunya semua kembali ke hati nurani masing- masing. Semoga Pilkada kali ini bersih.

Akan halnya saya, dalam kebutaan informasi, akhirnya saya hanya mengandalkan rekomendasi dari teman dan tetangga yang saya anggap memiliki reputasi bersih dan objective dalam kesehariannya. Semoga pilihan saya kali ini benar.

Selamat Mencoblos teman teman.
Mari kita ciptakan iklim pilkada yang sehat dan bersih.

Tentang Si Kaya dan Si Miskin.

Standard

Mencuatnya berita tentang 2 mentri yang berturut-turut ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan suap oleh KPK, membuat teman teman dunia maya ikut sibuk berkomentar mengungkapkan kekeselan hatinya. Seorang teman bahkan menyebut bahwa koruptor itu sebetulnya Miskin. Miskin harta, miskin moral, miskin mental, miskin uang dan sebagainya. Saya setuju. Karena minimal jika akhlaknya tidak miskin, tentu ia tidak akan mau menerima suap ataupun bentuk korupsi yang lain.

Nah…apa yang kelihatan kasat mata sebagai orang kaya, belum tentu sesungguhnya kaya. Bisa jadi ia memang kaya karena warisan, karena kerja keras, karena menang undian, karena banyak utang, atau… karena korupsi, mencuri atau merampok.

Saya jadi teringat kejadian di masa lampau. Saya terlahir di sebuah keluarga yang tidak kaya. Tetapi tentu saja kurang bersyukur juga jika saya mengaku keluarga saya miskin. Tanpa mengurangi hormat saya pada Bapak, sesungguhnya Ibu saya yang seorang pekerja keraslah yang membuat kami lima bersaudara semua bisa menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi dengan baik..

Dalam pandangan saya ketika itu sangat jelas, Orang Kaya adalah orang orang yang sukses dari hasil kerja keras/kerja pintar yang entah dilakukan oleh dirinya sendiri, orang tuanya, atau mungkin kakek buyutnya. Jadi orang yng kaya itu memang beneran kaya.
Sedangkan Orang yang miskin, adalah orang yang belum sukses mendapatkan harta dari hasil kerjanya.

Ketika pindah ke Denpasar, saya bergaul dengan lebih banyak teman. Dan tentunya lebih banyak anak orang kaya. Entah itu yang ortunya pemilik Artshop, pemilik Bank, pemilik Restaurant, pemilik Tempat Penginapan, dan sebagainya. Bahkan sempat terkagum-kagum melihat uang berkarung karung diturunkan dari kendaraan ortu teman yang punya banyak cabang Money Changer. Ck ck ck…luar biasa ya. Tak terbayang suksesnya ortu teman saya itu. Orang orang kaya yang sukses dari hasil kerja kerasnya.

Tak lama setelah tamat kuliah, saya bekerja di sebuah Bank Swasta dan ditempatkan sebagai Account Officer dan menangani beberapa nasabah premium. Dari data itu saya melihat di daftar ternyata banyak orang orang kaya di kota itu rupanya punya pinjaman bejibun. Ada yang masih lancar pembayarannya, dan ada yang tersendat- sendat dan tidak sedikit juga yang maceeetttt.

Nah sebagai karyawan saya harus mengingatkan pembayaran, meninjau kembali jaminan, membantu restrukturisasi utang dan sebagainya untuk membuat nasabah itu sehat kembali pinjamannya. Kadang ada yang mudah diajak berdiskusi, ada juga yang galak dan kasar (saya stress kalau harus menghadapinya. Bingung juga dia yang berutang kok dia yang lebih galak ya?), ada yg nilai jaminannya berupa tanah yang sudah tergerus air laut, ada yang jaminannya kok lebih kecil daripada utangnya (nah…ini apa yang dilakukan oleh karyawan sebelumnya yang membuat akad kredit ini? Bingung saya). Intinya bermacam macamlah persoalan pekerjaan yang saya hadapi saat itu.

Tapi ada satu hal yang menarik dan merubah persepsi saya tentang Si Kaya.
Ternyata Orang – orang kaya pemilik restaurant, hotel, dan sebagainya itu hutangnya di bank juga banyak. Jika Asset dan Hutangnya diseimbangkan, kemungkinan sisa assetnya cuma sedikit. Tidak sekaya seperti yang terlihat.

Bahkan ada yang minus juga kekayaannya. Assetnya bernilai lebih rendah daripada utangnya, misalnya jika tanah yang dijaminkannya tergerus sungai, atau bangunannya sudah sangat buruk, atau mungkin dulu saat penilaian terjadi kesalahan dan sebagainya.

Saya bahkan sempat berpikir, bisa jadi saya lebih kaya daripada nasabah bank di tempat saya kerja yang misalnya utangnya 5 M tp assetnya hanya 4 M. Dia tekor 1 M. Sementara gaji saya hanya 110 ribu rupiah jaman itu (tahun 1990), tetapi saya tidak punya utang. Hayooo lebih kaya siapa ? 😀😀😀

Jadi tidak semua orang kaya itu sesungguhnya memang benar benar kaya. Mungkin saja diantaranya ada yang punya banyak utang.
Sejak itu persepsi saya tentang orang kaya dan orang miskin berubah total. Saya tidak terkagum kagum lagi pada yang ortunya punya ini punya itu. Sesungguhnya tidak semuanya sehebat itu.
Demikian juga pada teman yang ortunya kelihatan biasa biasa saja, ternyata simpanannya di Bank segunung, dan bisa jadi juga cadangan Logam Mulianya banyak namun tak berbunyi. Siapa yang tahu.

Tidak silau pada si kaya dan tidak under estimate si miskin juga. Biasa aja lah…

Nah apalagi ini yang kaya karena suap, atau karena korupsi, mengambil yang bukan hak miliknya. Itu bukan Orang Kaya namanya. Karena sesungguhnya, kekayaan itu bukan hak miliknya. Miliknya hanyalah sebatas yang ia dapatkan dengan usaha dan kerja yang benar. Sedangkan yang bukan haknya itu adalah milik orang lain. Pastinya dia sesungguhnya lebih miskin dari kelihatannya.
Benar kata teman saya itu. Mental kere.
Itu saja.