Monthly Archives: April 2021

Kisah Si Belalang. Dikasih Hati Minta Jantung.

Standard

Kapan hari saya ada bercerita tentang 2 ekor belalang di halaman rumah saya. Saya membiarkannya tinggal di halaman, karena saya pikir ia cuma mengambil sebagian kecil saja dari tanaman sayuran saya. Memberikan sedikit bagian dari yang saya miliki, toh tidak akan membuat saya jatuh miskin juga.

Dan sayapun bukan termasuk ke dalam golongan mahluk yang merasa berderajat tinggi yang tidak mau memakan sisa mahluk lain. Saya tidaklah keberatan untuk memakan sayuran sisa hasil gerogotannya. Yang penting nanti dicuci bersih dan bebas kuman.

Jadi santai-santai saja ya. Relax.

Tapi siang ini, lagi iseng-iseng lihat tanaman sayuran yang hampir habis masanya, tiba-tiba saya melihat puluhan anak belalang menclok di pucuk-pucuk pohon bayam dan kangkung. Astaga!!!. Mereka asyik menggerogoti daun-daun sayuran. Jadi pada bolong dan rusak. Ada beberapa puluh ekor. Sehingga kerusakan tanaman sayuran itu pun mulai terasa. Karena ada 7 ekor merusak di sini, 5 ekor merusak di sana dan di sana, 3 ekor di sana, di sana dan di sini, ada juga yg cuma 2 ekor tapi di mana-mana. Banyaaak sekali.

Saya membayangkan beberapa hari ke depan, setelah puluhan anak-anak belalang ini membesar. Apa yg akan terjadi ?. Mungkin tak cukup sayuran tersedia dari tanaman yang saya tanam di pekarangan yang sempit ini.

Belalang yang tadinya cuma dua ekor, dikasih tinggal di kebun dan disediakan sumber makanan yang cukup, sekarang malah beranak pinak sedemikian banyak dan meninggalkan tanda-tanda kerusakan kebun yang semakin nyata. Belalang ini namanya “dikasih hati malah minta jantung”. Tak sanggup saya menanggung hidup puluhan belalang di kebun halaman saya yang sempit ini.

Kadang jika terlalu baik sama orang lain, bisa jadi masalah “dikasih hati minta jantung” seperti ini menimpa kita juga.

Misalnya nih ya, melihat orang lain kesusahan atau kesulitan keuangan, kita berusaha menyisihkan uang dengan mengirit-irit pengeluaran dan mengorbankan keperluan kita demi bisa membantunya. Sekali kita kasih. Dua kali kita kasih lagi. Lama-lama dia menyangka kita ini banyak duit dan dengan entengnya minta uang lagi untuk ini dan itu dan memberikan list keperluannya pada kita. Lah ?!

Padahal waktu kemarin anak kita minta dibelikan sepatu baru gara-gara jempolnya sudah mentok dan membuat lubang di ujung sepatunya masih kita suruh sabar dulu. Atau saat adik kita minta bantuan kekurangan buat bayar SPP anaknya, kita malah nyuruh sabar nunggu waktu gajian dulu.

Saya jadi merenung. Kembali melihat ke anak-anak belalang yang jumlahnya sangat banyak ini. Mungkin satu-satunya cara adalah memindahkan anak-anak belalang ini ke tanah kosong di belakang rumah. Di mana di sana ada banyak rumput liar yang tumbuh. Biarlah anak-anak belalang ini berusaha mencari penghidupannya sendiri.

Dengan cara ini, tidak saja saya membantu membuat kebun kecil saya tetap sehat, tetapi juga membuat anak-anak belalang itu terlatih mencari rejekinya sendiri.

Seperti orang tua jaman dulu bilang, “Merthane nak mesambeh, Ning.” , artinya sesungguhnya rejeki itu tersebar di mana-mana. Yang dibutuhkan hanya usaha dan kerja keras kita untuk mendapatkannya.

Bagaimana Mengatakan Tidak Dalam Bahasa Bali.

Standard

Dalam sebuah percakapan entah dalam bahasa apapun, tidak selalu kita menyetujui apa yang diucapkan lawan bicara kita. Dan menyatakan ketidak setujuan tentu saja merupakan hal yang sah-sah saja.

Nah bagaimana cara kita mengucapkan ketidak setujuan kita dalam Bahasa Bali?.

Di dalam bahasa Bali kata “tidak” memiliki beberapa kata. Antara lain Sing atau Tusing, Ten atau Nenten. Dan jika diperluas lagi, kata tidak juga masih berkerabat dekat dengan kata Bukan (Boya) dan Tiada (Tuara).

1/. Sing.

Kata “Sing” berasal dari kata “Tusing” yang artinya “Tidak” dalam Bahasa Indonesia. Kata ini dianggap sebagai Bahasa kasar yang dipergunakan sehari hari untuk orang yang seumuran atau di bawah umur kita. Contohnya: Sing ada = Tidak ada. Sing nyak = tidak mau. Sing kengken = Tidak apa apa. Sing dadi = tidak boleh. Sing maan = tidak dapat. Sing taen = tidak pernah. Dan sebagainya.

Kta Sing bisa saja diganti dengan Tusing jika kita berbicara dengan lebih lambat. Sing ada berasal dari Tusing ada. Sing dadi berasal dari Tusing dadi.

2/. Ten atau Nenten.

Sama dengan Sing, kata Ten juga berarti Tidak. Ten berasal sari kata Nenten yang artinya Tidak. Tapi kata Ten dalam bahasa Bali memiliki tingkatan yang lebih halus dari kata Sing. Kata ini diucapkan jika lawan bicara kita lebih tua dari kita, atau seseorang yang kita hormati. Kata Ten juga sering digunakan dalam keluarga yang dalam kesehariannya memang biasa menggunakan kata kata halus.

Karena kata Ten ini sifatnya halus, maka kata penyertanya juga harus halus. Contoh penggunaannya misalnya, Ten wenten = tidak ada, Ten dados = tidak boleh/ tidak bisa, Ten purun =tidak berani/tidak mau (jika yg bersangkutan yg tidak mau), Ten kayun = tidak mau (jika pihak ke tiga atau pihak ke dua yg tidak mau), Ten napi = tidak apa apa, Ten polih = tidak dapat, ten naenin = tidak pernah.

3/. Boya.

Kata “boya” artinya tidak atau bukan. Digunakan jika kita ingin menyangkal atau tidak menyetujui perkataan lawan bicara kita. Contoh penggunaannya misalnya, “Boya ja tiang ngerereh uratian ida dane, niki tiyang nak wantah ngortiang sane kasujatiane”. Artinya, bukannya saya mencari perhatian anda semua, saya hanya menyampaikan kebenarannya saja. Atau contoh lain, ” Eda ja ngalih gae ane boya boya” artinya janganlah mencari kerjaan yang tidak tidak.

4/. Tuara

Tuara dalam Bahasa Bali sebenarnya memiliki arti kata “tiada”, tetapi kerap juga diartikan sebagai “tidak”. Contoh penggunaan, “Tuara ngelah apa” artinya tidak punya apa apa. Contoh lain, Tuara ngidaang = tidak mampu, tuara dingeh = tidak dengar.

5/. Eda.

Kata ” Eda” sebenarnya berarti jangan atau Tidak boleh aluas dilarang. Eda ngambul = jangan ngambek atau tidak boleh ngambek, Eda ngeling = jangan nangis, tidak boleh nangis, Eda merunyuh = jangan resek atau tidak boleh resek.

DemikiNlah sedikit ulasan tentang kata Tidak dalam Bahasa Bali. Semoga berguna bagi yang tertarik belajar Bahasa Bali sehari-hari.

MURID YANG TAK MENGERJAKAN PR.

Standard

Diantara sedemikian banyaknya orang yg berduka atas kepergian Pak Umbu Landu Paranggi, mungkin saya adalah salah satu yang sesungguhnya tidak memiliki kontak sangat intens dengan beliau, tetapi merasakan keterhubungan yang sangat kuat. Sehingga kepergian beliau, meninggalkan rasa kehilangan yang sangat mendalam pada diri saya.

Pertama kali saya mengenal beliau sekitar tahun 1985. Saat itu saya sedang senang-senangnya membaca puisi dan beberapa kali berinteraksi dg beliau berkaitan dg urusan baca-membaca puisi ini. Beliau banyak berkomentar positive dan mengapresiasi, serta menyemangati saya, yang membuat saya selalu merasa nyaman dengan dunia sastra, walaupun saya ini bukan siapa-siapa. Penyair bukan, penulis novelpun bukan. Hanya seorang penggemar dan penikmat tulisan-tulisan orang lain.

Puisi yg paling memberi kenangan pada Pak Umbu adalah puisinya Pak Taufiq Ismail yang berjudul “Beri Daku Sumba”. Saya membacanya berulang-ulang, tidak hanya saat di kamar, saat kerja di Lab, di Klinik Hewan, hingga saat di toiletpun saya juga membacanya. Sampai-sampai saat itu saya sangat hapal di luar kepala. Pernah saya ditanya, mengapa saya sangat menyukai puisi itu.

Karena puisi itu memberi saya inspirasi. Puisi itu membuat saya berangan-angan. Setelah lulus, saya akan bekerja sebagai Dokter Hewan di Pulau Sumba, tempat dari mana Pak Umbu berasal. Tempat dimana padang-padang terbuka dan matahari membusur api di atasnya – kata Pak Taufik.

Namun entah kenapa, setelah beneran saya lulus menjadi Dokter Hewan, cita-cita saya untuk ke Sumba itu malah buyar. Saya malah hijrah ke Jakarta, gara-gara cinta. Sementara, sebaliknya kakak saya Putu Sri Andari (beliau juga kenal Pak Umbu) yg tidak pernah bercita-cita ke Sumba, malah mendapat tugas di pulau itu sebagai dokter PTT. Dari sana ia memberi berita tentang langit yang super biru, padang-padang yang luas dengan bukit-bukit yang jauh, dan ternak yang banyak memenuhi bukit.

Pak Umbu juga mendorong saya agar rajin menulis dan mengirimkan karya-karya saya ke koran atau majalah. Menurut beliau jika tidak dikirim ke media, maka hanya kita yang tahu. Hanya sastra di dalam laci.

Ya, sebenarnya sesekali saya menulis, tapi tulisannya tak pernah saya kirimkan kemana-mana. Paling-paling hanya saya kirim dan untuk dimuat di majalah kampus saja.

Oh ya…pernah sih ikut lomba penulisan cerpen di Majalah Femina dan nggak menang 🀣🀣. Pernah sekali menang dalam lomba penulisan cerpen yg berthemakan “perempuan”, saya lupa penyelenggaranya siapa, saking sudah lamanya. Selebihnya tidak ada karya saya yg layak dibanggakan.

Saya pikir tentu Pak Umbu agak kecewa atas usaha saya yang ala kadarnya dan angin-anginan dalam belajar menulis. “Menulislah dan publikasikan. Jangan hanya sekedar menjadi pembaca”. Saya sangat ingat dengan nasihat beliau itu. Tetapi ya angan-angan tetaplah angan-angan. Saya sangat malas dan tidak produktif.

Saat itu, jika bertemu Pak Umbu, saya merasa seperti anak sekolahan yang takut bertemu Guru karena tidak mengerjakan PR. Walaupun beliau sebenarnya tidak pernah nge-push gimana-gimana juga sih. Jadi mungkin itu cuma perasaan saya saja.

Akhir tahun 1994, saya menikah dan meninggalkan Bali, pindah ke Jakarta serta mulai tenggelam dalam kesibukan ibukota. Tak banyak bergaul dengan dunia Sastra di Jakarta dan bahkan dengan teman-teman di Balipun saya kehilangan kontak. Hingga kemudian mulai ketemu satu per satu dengan teman-teman lagi berkat Media Sosial.

Lalu beberapa orang teman menyampaikan ke saya “Hai, dicariin Umbu tuh” atau “Heh. Dikasih salam sama Umbu”, atau “Pulang oi!!. Ditanyain Umbu”. Terus terang saya sangat senang dan terharu. Tidak menyangka, jika seorang Maha Guru spt beliau masih mengingat saya yg sungguh bukan siapa-siapa ini. Murid yang gagal.
Saya lalu mengenang-ngenang beliau. Sungguh seorang guru yang sangat baik dan rendah hati.

Bulan Nov 2014 beliau sempat masuk rumah sakit. Seorang teman menyampaikan ke saya. ” Sri, kamu ditanyain sama Umbu. Beliau ada di RS. Telpon dong”. Saya diminta menelpon oleh teman saya itu, sembari ia memberikan nomer telpon Ana putrinya. Akhirnya saya bisa berbicara dengan beliau lewat telpon saat itu. Sangat berharap beliau sehat kembali. Dan syukurlah, beliau sembuh seperti sediakala.

Di penghujung tahun tahun 2017, saya sedang transit di bandara di Singapore untuk urusan pekerjaan. Tiba-tiba ada panggilan Video Call masuk dari Gung Karmadanarta sahabat saya. Rupanya sedang persiapan sebuah acara di Taman Makam Pahlawan Penglipuran di Bangli, bersamaan dengan diterbitkannya buku “100% Merdeka” karya Satria Mahardika yg menceritakan kisah kepahlawanan Kapten TNI AAG Anom Mudita, serta pertempuran demi pertempuran yang dijalaninya. Lalu Gung Karmadanarta tiba-tiba bilang, “Mbok Ade, nggak pulang? Ditanyain Umbu”, sambil menyerahkan hapenya ke Pak Umbu. Ooh.. rupanya ada Pak Umbu di Bangli. Sedang bersama sahabat saya itu.

Ha… saya sangat senang. Akhirnya saya bisa ngobrol sambil bertatap muka dengan beliau walaupun lewat layar hp dan latar belakang suara pesawat yang sedang take off dan landing dengan bising. Kami bertukar khabar. Beliau menanyakan khabar saya, kegiatan saya dan tentunya apakah saya masih sering membaca puisi dan apakah sudah meluangkan waktu untuk menulis.

Saya mengaku apa adanya. Saya memang nenulis. Tapi di blog. Saya ngeblog. Bukan menulis puisi atau karya sastra yg benar dan grande. Saya hanya menulis tulisan receh, tulisan remeh-temeh tentang kejadian saya sehari-hari πŸ˜“πŸ˜“πŸ˜“.

Saya lihat beliau tidak terkejut. Tidak terlihat kekecewaan di raut wajahnya. Beliau tetap memberi saya semangat. Tetaplah menulis, apapun bentuk tulisannya.

Sungguh obrolan yang sangat mengharukan. Saya senang melihat beliau sehat dan tetap berenergy. Lalu saya berjanji, jika saya punya kesempatan pulang ke Bali, saya akan mengunjunginya.

Dan sedihnya, setelah itu mungkin saya ada sekitar 8 x pulang ke Bali, namun saya belum memenuhi janji saya untuk bertemu beliau. Hingga dini hari itu, saya membaca pesan dari seorang sahabat, beliau sudah pergi meninggalkan kita semua. Kembali saya menemukan diri saya sebagai si anak sekolah yang tidak mengerjakan PR 😭😭😭

Ketika teman-teman mengupload foto-foto bersama beliau, saya hanya memandanginya dengan bercucuran air mata. Tak satupun foto beliau atau foto dengan beliau yang saya miliki. Walau demikian, saya tetap menyimpan kenangan akan beliau di hati saya.

Selamat jalan Pak Umbu.

Menjadi Asing Di Negeri Sendiri.

Standard

Suatu siang, selepas sebuah acara saya bermaksud untuk memperbaiki laptop saya ke pusat komputer di Serpong. Entah kenapa laptop saya itu tiba-tiba tidak bisa connect ke Wifi yang ada. Saya coba periksa sendiri tidak ketemu masalahnya. Yang muncul hanya sebuah notifikasi bahwa ada issue di hardware. Wehhh…terpaksa deh ke tukang service.

Sambil melaju ke pertokoan saya baru ingat jika saya sedang menggunakan baju daerah karena baru pulang dari acara itu. Pakai kain dan kebaya. Waduuh… bagai mana ntar ya jika saya masuk ke mall dengan pakaian daerah begini?. Sudah kebayang nanti orang-orang mungkin akan melihat saya dengan tatapan aneh. Saya bermaksud pulang untuk mengganti pakaian saya dulu. Tapi kata Pak Supir yang mengantarkan saya jika kita pulang sebenarnya jadi muter dan lama. Sementara ini kita bisa cepat lurus ikut jalur tol bisa langsung ke BSD. Ya juga sih. Saya perlu cepat juga karena setelah dari tukang service komputer saya masih ada acara lain lagi.

Berkain, kebaya dan bersanggul, adalah salah satu cara bangsa Indonesia dalam berbusana. Sebenarnya sungguh sayang jika busana ini kemudian tersingkirkan dan hanya dipakai untuk acara acara tertentu saja. Busana sehari-hari digantikan dengan busana asing. Bahkan sebagian bangsa kita juga meninggalkan kain dan kebaya karena dianggap ketat dan mencetak bentuk tubuh. Aah… kalau yang ini menurut saya tentu tergantung dari pikiran ngeres orang itu saja.

Sebenarnya sangat mengenaskan nasib busana kita ini. Hanya gara-gara pikiran buruk segelintir orang, dibuat stigma dan akhirnya beramai-ramai meninggalkannya dan berpindah ke busana asing. Ia menjadi asing di negerinya sendiri.

Akhirnya saya memutuskan untuk tetap ke mall dengan berkain dan kebaya. Betul saya mungkin terlihat aneh di mata orang lain. Sejak saya turun, beberapa orang terlihat menoleh. Biarlah. Saya tidak peduli. Lalu di pintu masuk, saat Satpam mengukur temperatur saya, beberapa orang juga terlihat melirik. Demikian juga ketika saya melintas beberapa toko dan naik ke lantai tiga, beberapa SPG dan pengunjung tampak memperhatikan saya. Dengan tatapan aneh. Biarlah!.

Saya bangga akan busana saya. Saya cinta negeri saya ini. Walau saya tampak asing di negeri saya sendiri.

Dari Bedah Buku “Gajah Mina” Di Kafe Sastra Balai Pustaka, Jakarta.

Standard
Bedah Buku “Gajah Mina”, Kafe Sastra, Balai Pustaka, Jakarta 4 April 2021

Saya mendapat kesempatan untuk mengikuti acara bedah buku ” Gajah Mina” dan bertemu dengan penulisnya Dr Dewa Putu Sahadewa secara langsung. Walaupun sayang Made Gunawan pelukis yang karya-karyanya menjadi inspirasi Dokter Sahadewa dalam menulis puisi-puisi di buku ini berhalangan hadir. Tetap saja saya beruntung, karena dalam masa pandemik ini, mengikuti prokes, yang diperkenankan hadir hanya maksimal 20 orang. Sisanya lewat Zoom.

Acara berlangsung di Kafe Sastra Balai Pustaka, dihadiri dan dibuka oleh Dirut Utama Balai Pustaka, Bapak Achmad Fachrodji, dimoderatori oleh Mbak Fanny J. Poyk. Selain Dokter Sahadewa, acara bedah buku ini juga menampilkan pembicara Narudin Pituin, seorang sastrawan, penerjemah dan kritikus sastra Indonesia.

Saat memberikan sambutannya, Pak Fachrodji sempat menceritakan bagaimana upaya-upaya yg telah beliau lakukan untuk membuat Balai Pustaka hidup dan berjaya kembali, serta akan membuat kegiatan Lomba Berpantun National untuk menghidupkan kembali kejayaan kesusastraan Indonesia. Upaya yang menarik.

Selain itu, saya juga melihat beliau sangat mengapresiasi penerbitan buku Gajah Mina ini yang dianggapnya sangat menarik dengan meng-kolaborasikan puisi dengan lukisan dan sketsa.

Dokter Sahadewa sendiri lebih banyak mengupas tentang bagaimana cerita awalnya hingga buku Gajah Mina ini bisa terbit. Bermula dari melihat sendiri lukisan Made Gunawan yang berjudul “Pohon Kehidupan”. Beliau sangat terkesan dengan lukisan ini, walaupun pada saat itu belum kenal secara langsung dengan pelukisnya. Ia menilai Made Gunawan sebagai seorang pelukis yang sangat handal, memadukan unsur-unsur traditional dengan unsur modern. Dan dari lukisan Pohon Kehidupan itu, ia menilai bahwa lukisan itu sangat puitis. Tidak ada unsur-unsur negative ataupun kesedihan di dalamnya. Yang ada hanya unsur-unsur yang positive, riang gembira, anak-anak bermain, bergelayutan. Intinya menebarkan energy positive.

Demikianlah Dokter Sahadewa merasa berada di frequency yang sama dan sangat tertarik untuk bersama-sama menebarkan energy positive, karena prinsip hidupnya memang sama. Menebarkan energy positive.

Setelah bertemu dengan Made Gunawan dengan difasilitasi oleh Mas Hartanto, dimana niat awalnya ingin belajar melukis, akhirnya Dokter Sahadewa malah jadi semangat menulis dan berkolaborasi sangat intens dengan Made Gunawan, lalu terbitlah buku Gajah Mina ini.

Dalam mengekspresikan fantasynya setelah melihat-lihat lukisan dan sketsa Made Gunawan, Dokter Sahadewa mengaku tidak mendiskusikan ataupun menanyakan arti dari sketsa-sketsa itu pada Made Gunawan. Dan Made Gunawan pun tidak ada berkomentar negative tantang puisi-puisinya. Malah saling berinteraksi positive.

Dan interaksi dan kolaborasi alias Pasatmian ini sungguh merupakan hal yang sangat bagus. Karena sekarang, penggemar puisi jadi ikut menikmati karya lukisan dan sketsa. Dan sebaliknya, penggemar lukisan jadi ikut menikmati puisi. Yah. Luarbiasa memang kolaborasi ini.

Setelah itu, dengan spontan kami beramai-ramai ikut membaca puisi. O ya.. saya lupa bercerita, jika di awal tadi, sebelum acara Bedah Buku dimulai, sebenarnya ada Pak Branjangan menyanyikan puisi “Ikan Menari”. Beneran. Saya takjub, gimana beliau cuma dalam waktu singkat, nggak ada lima menit melihat-lihat puisi, tiba- tiba bilang ke saya “saya mau menyanyikan puisi ini” sambil nunjuk puisi “Ikan Menari” dan beneran beliau nyanyi deh. Dan bagus banget.

Saya sendiri memilih puisi “Sop Kepala Ikan” untuk saya bacakan, karena menurut saya puisi itu sangat unik. Saya sangat suka. Mbak Fanny, Mbak Jeny dan teman- teman yang lain juga pada ikut membaca puisi dengan spontan. Sementara Pak Branjangan mengiringi dengan petikan gitarnya. Wow…romantis banget rasanya.

Saya juga sempat menyimak komentar- komentar positive dari teman- teman yang mengikuti acara Bedah Buku ini lewat Zoom, seperti dari Warih Wisatsana dan Pak Nono. Ya, mengkolaborasikan dua jenis Art yang berbeda bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi Dokter Sahadewa dan Made Gunawan telah melakukannya dengan sukses.

Terakhir Pak Narudin, Sang ahli Semiotika dan Kritikus Sastra Indonesia pun mengajak audience untuk ikut jalan pikirannya dalam membedah puisi-puisi dan lukisan serta sketsa, dengan menganalisa dari sudut Icon-icon dan symbol-symbol yang tertangkap dari baik tulisan maupun lukisan serta index yang menghubungkan keduanya. Analysa yang menarik juga ya. Saya jadi ikut belajar banyak.

Pemaparannya kedengaran sangat akademik yang membuat saya yang tidak memiliki latar belakang sastra menjadi terpesona. Mengambil contoh beberapa lukisan-puisi yang dominan seperti misalnya Ikan Menari, Gajah Mina, semua Bunga Akan Layu Pohon Kehidupan, Anakku Berlari, Pandemi, Sop Kepala Ikan, Pohon Tua Memanggil Rohnya dan Kayonan. Semuanya dibahas dari sudut ikonisitas, symbolitas dan indeksikalitas yang ujungnya menghasilkan kesimpulan bahwa, pada dasarnya puisi-puisi Dokter Sahadewa dan lukisan Made Gunawan dapat dinikmati secara terpisah berdasarkan ikon-ikon yang ditangkap penikmatnya. Tetapi dalam buku ini keduanya saling berinteraksi. Yup!.Analisa yang keren!.

Tentang komentar ada nafas spiritual pada puisi-puisinya Dokter Sahadewa, Narudin Pituin juga mengungkapkan bahwa tiap sastrawan tentu memaparkan gagasannya sesuai dengan latang belakang adat, budaya, agamanya masing-masing. Sehingga ada puisi yang bernafaskan Hindu, bernafaskan Islam ataupun Kristiani sesuai latar belakang penulisnya.

Ya, saya setuju dengan pendapat Narudin dalam hal ini. Namun tak cuma latar belakang penulisnya, saya pikir, itu juga tergantung dari latar belakang pembacanya.

Salah satu contoh, ketika Dokter Sahadewa menjelaskan bahwa di Bali, pohon-pohon sangat dihormati dan dihargai sama dengan mahkuk hidup lain yang juga punya nyawa. Selain itu, pohon juga dipercaya menjadi tempat tinggal makhluk-makhluk lain yang tak kasat mata. Ketika latar belakang ini diimplementasikan pada karya “POHON TUA MEMANGGIL ROHNYA PULANG” reaksi beragam pun terjadi.

Narudin Pituin dengan latar belakangnya, memberi interpretasi kata “Roh” = mahluk halus penunggu pohon. Jadi pohon memanggil mahluk halus, jin, dedemit, kuntilanak untuk pulang. Ini membuat sebagian puisi berkesan mistik.

Sementara saya yang dilahirkan dan dibesarkan dalam adat istiadat, budaya dan agama Hindu di Bali menginterpretasikannya berbeda.

Bagi kami, Roh pohon, ya Roh pohon itu sendiri. Bukan jin atau kuntilanak. Karena kami di Bali percaya, bahwa setiap mahluk hidup termasuk Manysia Binatang dan Tumbuhan memiliki Roh, walaupun secara kasat mata terlihat berbeda akibat perbedaan fisik yang menghasilkan kemampuan berbeda yang disebut dengan Pramana.

Manusia diyakini memiliki Tri Pramana yakni Bayu (kemampuan gerak, tumbuh dan tenaga), Sabda (kemampuan berbicara) dan Idep (kemampuan memahami). Binatang memiliki Dwi Pramana yakni Bayu dan Sabda. Dan tumbuhan memiliki hanya satu Pramana yakni Bayu.

Dengan latar belakang ini, ketika saya menginterpretasikan puisi yang sama, “POHON TUA MEMANGGIL ROHNYA PULANG”, yang saya tangkap adalah memang yang dimaksud oleh Dokter Sahadewa adalah bahwa Pohon tua itu memang memanggil Roh nya sendiri untuk pulang. Bukan memanggil jin dan kuntilanak. Jadi di telinga saya ini bukanlah mistis. Nah, sekali lagi itu adalah interpretasi yang berbeda yang ditangkap oleh dua orang dengan latar belakang berbeda.

Saya merasa, pada akhirnya, sebuah karya seni, entah itu lukisan, puisi, tarian, musik dan sebagainya adalah sebuah interpretasi. Yang ditangkap oleh penikmatnya dari signal-signal yang tersajikan, sesuai dengan latar belakang baik penciptanya maupun penikmatnya.

Selamat dan Sukses untuk Dokter Sahadewa dan Made Gunawan. Gelombang besar energy positive yang diakibatkan kibasan sirip Gajah Mina sungguh terjadi. Salut!.