
Belakangan ini, matahari bersinar sangat terik setiap hari di Jabodetabek. Membuat jadi malas keluar rumah.
Ingin membersihkan daun-daun teratai yang menguning di halaman depan, rasanya kok malas sekali. Pipi rasanya gosong. Demikian juga saat ingin membereskan tanaman kailan yang menua di instalasi hidroponik, rasanya juga malas banget. Mau masak malas, mau cuci piring apalagi.
Seandainya saja ada Kompetisi Kemalasan Nasional dan misalnya saya jadi pemenangnya, barangkali untuk mengambil pialanya saja pun saya enggan, saking malasnya đ. Sungguh. Malas rasanya mau ngapa-ngapain. Sungguh sinar matahari ini sangat terik dan membuat lelah.
Terlebih ketika saya merasa kurang enak badan, kepala belakang sedikit nyeri dan nggak nyaman. Kebetulan libur, jadi saya hanya berbaring saja di tempat tidur. Leyeh-leyeh saja. Sambil lihat-lihat Sosmed dan chat di WA.
Pas lagi bermalas-malasan begitu, seorang teman melemparkan ide di chat, untuk menggunakan hiasan topi papua – ikat kepala cantik yg dibuat dari bulu-bulu unggas saat besoknya mau ikut lomba 17 Agustusan. Wah⌠saya pikir idenya boleh juga ini.
Seketika saya melakukan searching topi papua dan menemukan sebuah toko yang menjual dan bisa mendeliver dengan cepat. Okay, saya setuju untuk membayar lebih agar bisa terdeliver hari ini. Lokasinya di Bekasi. Saya menyelesaikan pembayaran dengan cepat dan yes!. Tinggal tunggu barangnya datang.
Beberapa jam kemudian, seseorang mengetok pintu depan. Saya mengintip dari jendela. Rupanya seorang pria dari bagian pengiriman mengantarkan topi bulu yang saya order.
Buru-buru saya mengenakan masker, lalu keluar dan meminta pria itu meletakkan barang orderan saya itu di salah satu kursi di teras depan. Saya berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengannya. Buat jaga-jaga saja, mengingat saya ini penyandang co-morbid dan belum divaksin pula. Tak pernah ada yang tahu, secepat apa penularan bisa terjadi dan bisa saja dari orang-orang yang tak menunjukkan gejala yang sempat kontak dengan kita.
Pria itupun meletakkan barang itu seperti permintaan saya. Maksud saya, nanti setelah ia pergi, pembungkus barangnya akan saya semprot dulu dengan Maxkleen disinfectant spray, barulah akan saya buka.
Saya mengucapkan terimakasih. Tetapi pria itu tampak terdiam di dekat pagar.
Saya menunggunya pergi. Beberapa saat ia hanya terdiam. Sayapun ikut terdiam.
Tetapi saya memperhatikan wajahnya. Tampak pucat. Keringat bercucuran di dahi dan lehernya. Kelihatannya ia kurang sehat. Tangannya agak gemetar.
“Ibu, boleh saya minta air putih” katanya agak tersendat.
Ooh⌠orang ini kayaknya mengalami dehidrasi. Mengapa saya tidak sensitive dari tadi ya. Bukannya menawarkan minum, malah menunggu sampai orang itu meminta. Betapa tidak pekanya saya ini.
Seperti diingatkan, saya buru-buru masuk ke dalam untuk mengambil air putih. Lalu menyodorkan kepadanya. Ia meminumnya dengan gemetar. Saya merasa trenyuh melihatnya.
Ia pun bercerita tentang perjalanannya dari Bekasi di ujung timur ke Tangerang Selatan yang letaknya di wilayah barat dibawah terik matahari. Kepanasan dan kehausan, dan ia belum sempat makan, hingga merasa sakit kepala dan limbung.
Sebenarnya ingin hati saya menyuruhnya masuk ke dalam, mengingat halaman depan saya cukup panas. Mungkin jika ia saya suruh istirahat di dalam setidaknya udara ruangan yang sejuk karena AC akan membantunya lebih cepat pulih kembali.
Tetapi kali ini saya agak ragu. Pertama karena musim pandemi begini, saya harus sangat berhati-hati jika kontak dengan orang lain. Siapakah yang tahu orang ini bebas dari virus atau tidak. Sementara saya beresiko tinggi jika sampai tertular.
Selain itu saya hanya sendirian di rumah. Apakah cukup aman jika saya membiarkan orang lain masuk ke dalam rumah saat tidak ada satupun orang lain di rumah. Siapa yang tahu orang ini berniat baik atau bisa saja punya niat tersembunyi.
Tapi orang ini terlihat sangat kelelahan dan menderita. Sejenak saya bimbang. Bathin saya bertengkar. Saya merasa sangat iba, tapi di sisi lain, saya juga harus waspada. Saya ingat pesan Bapak saya untuk selalu berhati-hati, di manapun berada. Karena hanya kewaspadaanmu sendirilah yang akan berhasil menyelamatkan dirimu sendiri.
Akhirnya saya sarankan agar ia istirahat di teras depan saja. Toh angin juga mulai bertiup dan membawa udara segar melintas.
Ia menjawab, “Terimakasih Ibu. Tidak usah. Ijinkan saya berteduh di bawah pohon ini saja sebentar dulu” katanya, sambil menepi di bawah pohon kersen.
OohâŚdia malah bilang tidak usah di teras pun. Mungkin orang baik-baik.
Lalu saya ingat, jika tadi ia ada bilang belum sempat makan. Saya mengambilkan beberapa buah pear dari atas meja makan , mencucinya dan memberikan untuknya, agar bisa langsung dimakan. Sayang saya sedang tidak punya makanan lain. Gara-gara tadi tidak memasak. Mudah-mudahan bisa membantunya.
Sesaat kemudian orang itu pamit. “Terimakasih ya Ibu. Gelasnya saya taruh di atas pagar” katanya sambil melambaikan tangannya. Sayapun membalas lambaian tangannya.
Saya mengambil gelas air putih di atas pagar di bawah pohon kersen itu.
Angin menggerakkan dahan-dahan pohon kersen. Udara mengalir dengan sangat baik. Sesungguhnya udara di halaman saya ini tidak terlalu panas ketimbang di udara jalanan.
Namun anehnya, segitu aja saya tadi sempat mengeluh, tidak melakukan apa-apa dan bermalas-malasan. Padahal ini sungguh tidak ada apa-apanya ketimbang keadaan Bapak pengantar barang tadi itu yang harus berjuang di bawah terik matahari, menahan lapar dan haus demi bisa mengantarkan “topi papua” itu ke rumah.
Sementara udara sesungguhnya tidak terlalu panas di halaman karena ada pohon penaung. Saya masih bisa beristirahat di ruangan yang ber-AC. Masih bisa makan dan minum dan bersantai.
Dimanakah rasa syukur saya, atas segala kemudahan dan kenikmatan hidup yang saya miliki.
Segelas Air Putih ini, seolah mengingatkan.