Monthly Archives: August 2021

SEGELAS AIR PUTIH.

Standard

Belakangan ini, matahari bersinar sangat terik setiap hari di Jabodetabek. Membuat jadi malas keluar rumah.

Ingin membersihkan daun-daun teratai yang menguning di halaman depan, rasanya kok malas sekali. Pipi rasanya gosong. Demikian juga saat ingin membereskan tanaman kailan yang menua di instalasi hidroponik, rasanya juga malas banget. Mau masak malas, mau cuci piring apalagi.

Seandainya saja ada Kompetisi Kemalasan Nasional dan misalnya saya jadi pemenangnya, barangkali untuk mengambil pialanya saja pun saya enggan, saking malasnya 😀. Sungguh. Malas rasanya mau ngapa-ngapain. Sungguh sinar matahari ini sangat terik dan membuat lelah.

Terlebih ketika saya merasa kurang enak badan, kepala belakang sedikit nyeri dan nggak nyaman. Kebetulan libur, jadi saya hanya berbaring saja di tempat tidur. Leyeh-leyeh saja. Sambil lihat-lihat Sosmed dan chat di WA.

Pas lagi bermalas-malasan begitu, seorang teman melemparkan ide di chat, untuk menggunakan hiasan topi papua – ikat kepala cantik yg dibuat dari bulu-bulu unggas saat besoknya mau ikut lomba 17 Agustusan. Wah… saya pikir idenya boleh juga ini.

Seketika saya melakukan searching topi papua dan menemukan sebuah toko yang menjual dan bisa mendeliver dengan cepat. Okay, saya setuju untuk membayar lebih agar bisa terdeliver hari ini. Lokasinya di Bekasi. Saya menyelesaikan pembayaran dengan cepat dan yes!. Tinggal tunggu barangnya datang.

Beberapa jam kemudian, seseorang mengetok pintu depan. Saya mengintip dari jendela. Rupanya seorang pria dari bagian pengiriman mengantarkan topi bulu yang saya order.

Buru-buru saya mengenakan masker, lalu keluar dan meminta pria itu meletakkan barang orderan saya itu di salah satu kursi di teras depan. Saya berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengannya. Buat jaga-jaga saja, mengingat saya ini penyandang co-morbid dan belum divaksin pula. Tak pernah ada yang tahu, secepat apa penularan bisa terjadi dan bisa saja dari orang-orang yang tak menunjukkan gejala yang sempat kontak dengan kita.

Pria itupun meletakkan barang itu seperti permintaan saya. Maksud saya, nanti setelah ia pergi, pembungkus barangnya akan saya semprot dulu dengan Maxkleen disinfectant spray, barulah akan saya buka.

Saya mengucapkan terimakasih. Tetapi pria itu tampak terdiam di dekat pagar.
Saya menunggunya pergi. Beberapa saat ia hanya terdiam. Sayapun ikut terdiam.

Tetapi saya memperhatikan wajahnya. Tampak pucat. Keringat bercucuran di dahi dan lehernya. Kelihatannya ia kurang sehat. Tangannya agak gemetar.

“Ibu, boleh saya minta air putih” katanya agak tersendat.

Ooh… orang ini kayaknya mengalami dehidrasi. Mengapa saya tidak sensitive dari tadi ya. Bukannya menawarkan minum, malah menunggu sampai orang itu meminta. Betapa tidak pekanya saya ini.

Seperti diingatkan, saya buru-buru masuk ke dalam untuk mengambil air putih. Lalu menyodorkan kepadanya. Ia meminumnya dengan gemetar. Saya merasa trenyuh melihatnya.

Ia pun bercerita tentang perjalanannya dari Bekasi di ujung timur ke Tangerang Selatan yang letaknya di wilayah barat dibawah terik matahari. Kepanasan dan kehausan, dan ia belum sempat makan, hingga merasa sakit kepala dan limbung.

Sebenarnya ingin hati saya menyuruhnya masuk ke dalam, mengingat halaman depan saya cukup panas. Mungkin jika ia saya suruh istirahat di dalam setidaknya udara ruangan yang sejuk karena AC akan membantunya lebih cepat pulih kembali.

Tetapi kali ini saya agak ragu. Pertama karena musim pandemi begini, saya harus sangat berhati-hati jika kontak dengan orang lain. Siapakah yang tahu orang ini bebas dari virus atau tidak. Sementara saya beresiko tinggi jika sampai tertular.

Selain itu saya hanya sendirian di rumah. Apakah cukup aman jika saya membiarkan orang lain masuk ke dalam rumah saat tidak ada satupun orang lain di rumah. Siapa yang tahu orang ini berniat baik atau bisa saja punya niat tersembunyi.

Tapi orang ini terlihat sangat kelelahan dan menderita. Sejenak saya bimbang. Bathin saya bertengkar. Saya merasa sangat iba, tapi di sisi lain, saya juga harus waspada. Saya ingat pesan Bapak saya untuk selalu berhati-hati, di manapun berada. Karena hanya kewaspadaanmu sendirilah yang akan berhasil menyelamatkan dirimu sendiri.

Akhirnya saya sarankan agar ia istirahat di teras depan saja. Toh angin juga mulai bertiup dan membawa udara segar melintas.

Ia menjawab, “Terimakasih Ibu. Tidak usah. Ijinkan saya berteduh di bawah pohon ini saja sebentar dulu” katanya, sambil menepi di bawah pohon kersen.

Ooh…dia malah bilang tidak usah di teras pun. Mungkin orang baik-baik.

Lalu saya ingat, jika tadi ia ada bilang belum sempat makan. Saya mengambilkan beberapa buah pear dari atas meja makan , mencucinya dan memberikan untuknya, agar bisa langsung dimakan. Sayang saya sedang tidak punya makanan lain. Gara-gara tadi tidak memasak. Mudah-mudahan bisa membantunya.

Sesaat kemudian orang itu pamit. “Terimakasih ya Ibu. Gelasnya saya taruh di atas pagar” katanya sambil melambaikan tangannya. Sayapun membalas lambaian tangannya.

Saya mengambil gelas air putih di atas pagar di bawah pohon kersen itu.

Angin menggerakkan dahan-dahan pohon kersen. Udara mengalir dengan sangat baik. Sesungguhnya udara di halaman saya ini tidak terlalu panas ketimbang di udara jalanan.

Namun anehnya, segitu aja saya tadi sempat mengeluh, tidak melakukan apa-apa dan bermalas-malasan. Padahal ini sungguh tidak ada apa-apanya ketimbang keadaan Bapak pengantar barang tadi itu yang harus berjuang di bawah terik matahari, menahan lapar dan haus demi bisa mengantarkan “topi papua” itu ke rumah.

Sementara udara sesungguhnya tidak terlalu panas di halaman karena ada pohon penaung. Saya masih bisa beristirahat di ruangan yang ber-AC. Masih bisa makan dan minum dan bersantai.

Dimanakah rasa syukur saya, atas segala kemudahan dan kenikmatan hidup yang saya miliki.

Segelas Air Putih ini, seolah mengingatkan.

Bedah Buku 100 CERITA INSPIRATIF Oleh Kritikus Sastra Indonesia Narudin Pituin.

Standard

Narudin Pituin, seorang Kritikus Sastra Indonesia membedah buku 100 CERITA INSPIRATIF dan menguploadnya di Sosmed.

Saya meminta ijin untuk bisa share tulisan beliau tentang buku pertama saya itu di bawah ini.

**********************************

VERSTEHEN 100 CERITA INSPIRATIF ANDANI:
PEMBACAAN HERMENEUTIKA

Oleh Narudin

Buku 100 Cerita Inspiratif (2021) karya Ni Made Sri Andani ini merupakan buku yang secara hermeneutik mengembangkan konsep memahami (verstehen). [1] Memahami yang dimaksud ialah bukan semacam pengetahuan atau sains, melainkan pandangan seorang manusia dalam usaha memahami keadaan sekitar yang bersifat individual dan sosial. Atau seperti dikutip dalam “Verstehen: The Sociology of Max Weber” (2011) oleh Frank Elwell, verstehen merupakan pemeriksaan menafsir atau ikut terlibat tentang fenomena sosial.

Andani tak melihat keadaan sekitar itu secara umum—ia menggunakan segala kemampuan bawaannya demi mengomentari keadaan alam sekitar itu secara khusus dan pribadi sifatnya, serta berupaya agar tulisan-tulisannya menginspirasi orang banyak.

Dari 1000 tulisan cerita inspiratif ia pilih menjadi 100 cerita inspiratif—yang berasal dari blog-nya selama 10 tahun. Dengan demikian 100 cerita inspiratif ini termasuk ke dalam jenis “sastra digital”—yang menghendaki keringkasan dan kebermanfaatan yang bersifat segera bagi “warga digital” pula.

Verstehen Andani disusun dalam suatu narasi atau cerita yang bersifat detail dan “idiosinkratik”, yakni ditulis khas sesuai pengetahuan dan keyakinan bawaannya. Kadang-kadang narasi-narasinya tak terduga dengan sekian tema yang banyak. Ambil beberapa cerita inspiratif ini, sekadar contoh: “Ketika Pedas Ketemu Air Hangat”, “Ada Sambal di Telpon Genggamku”, “Isah, Kisah Pembantu Rumah Tangga yang Tinggal Selama Seminggu”, sampai cerita inspiratif “Kencing Kucing”.

Bagaimana masalah sederhana pedas yang berjumpa air hangat dipahami oleh Andani? Hangat dan pedas hampir sama, tetapi mengapa pedas bisa hilang akibat hangat? Ini suatu fakta sehari-hari, tetapi Andani menaikkan derajat yang nyata kepada hal yang mungkin (transcending the real into the possible), dalam tradisi teori Hermeneutika. Begitu pula dengan kasus ada sambal di telepon genggamnya—hal sepele, namun begitu mengganggu kenyamanan hidup. Teks ditulis oleh Andani, lalu ia menuangkan pengalaman, serta mengomunikasikannya kepada orang banyak, pada mulanya lewat blog, kemudian ia cetak dalam bentuk sebuah buku ini.

Andani pun menggunakan sudut pandang orang ketiga selain sudut pandang orang pertama, seperti dalam cerita inspiratif “Isah, Kisah Pembantu Rumah Tangga yang Tinggal Selama Seminggu”. Cerita ini sederhana, tetapi disusun secara realis hingga faktanya terasa ke dalam lubuk hati pembaca dan turut bersimpati kepada tokoh Isah yang ususnya menderita. Hingga sampai pada kisah “Kencing Kucing” yang lucu, namun mengandung pesan yang bijaksana. Jangan dulu menyalahkan orang lain sebelum kita memeriksa kesalahan kita sendiri.

Sebagai penutup—ini cerita yang paling disukai oleh Andani, sesuai pengakuannya sendiri—yaitu berjudul “Di Bawah Langit di Atas Laut”, cerita ke-100 dalam buku ini.

Kisah ini sebuah perjalanan yang senantiasa diingat oleh Andani sebagai perjalanan tubuh dan roh atau tamasya jasmani dan rohani. Latar tempat dan latar waktu rupa-rupanya bukanlah hal yang utama dalam kisah ini, melainkan kisah renungan yang cukup dalam terhadap fenomena alam di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial sehari-hari. Andani mengagumi alam besar (makrokosmos) dan alam kecil (mikrokosmos). Keduanya dipahami (verstehen) oleh Andani sesuai dengan pengetahuan dan pengalamaan bawaannya.

Terhadap alam besar, ia merasa takjub dengan kebesaran penciptaannya. Ia mengatakan alam semesta berada di dalam-Nya. Ini pandangan panteistik. Pernah pula ilmuwan Ibnu Sina berkata bahwa alam semesta ini berada di dalam Tuhan sehingga menimbulkan dua istilah wujud: wujud mungkin ada (semua ciptaan-Nya) dan Wujud Wajib Ada (Tuhan). Lalu, Andani berpesan agar manusia bebas dari segala ikatan duniawi atau badan kasar, yang hanya menumpang saja di alam ini. Kebahagiaan sejati menurutnya ialah membebaskan roh dari segala ikatan duniawi—sebab setelah mati segala kemewahan atau jabatan atau kekayaan tak dibawa.

Terhadap alam kecil, Andani merasa dirinya mahakecil semacam butiran atom atau butiran yang kecil sekali. Ia memandang tak berbeda dirinya dari unsur kapal, samudra, dan benda-benda lainnya di alam ini pada level sub-atomik—dengan batasan tegas porsi dan komposisinya berbeda. Di lain pihak, ada pula perbedaan tingkat, tingkat bendawi, botani, hewani, hingga tingkat insani. Perbedaan ini menegaskan mana benda mati dan mana makhluk hidup—dan mana makhluk hidup yang punya pikiran dan perasaan, yaitu manusia.

Lalu Andani berkata, jika mati saya tiba, semua unsur pembentuk diri saya akan kembali lagi ke alam. Jadi apa yang harus aku takutkan jika mati tiba? Mati dan hidup hanyalah dipisahkan oleh sebuah kesadaran yang berbeda. Di lain pihak, dikatakan bahwa apa yang telah dikerjakan di alam ini akan di bawa pada alam berikutnya, yakni alam setelah mati.

Andani menutup ceritanya dengan menyebut perjalanan ini menyenangkan dan akan dikenang.

Verstehen (memahami) dalam 100 cerita inspiratif Andani dapat diambil segi baik manfaatnya. Dalam sastra ini disebut sebagai fungsi komunikatif. Sedangkan secara fungsi puitis, cerita-cerita ini dapat termasuk prosa sastra digital yang bersifat ringkas dan segera. Deskripsi cerita di dalamnya tak bisa disebut ringan jika sudah masuk ke wilayah transcending the real into the possible, seperti telah disinggung di atas.

Secara semiotik, [2] Andani telah mencoba mengomunikasikan pengalaman-pengalamannya kepada pihak pembaca dengan bahasa yang ia kuasai—masih perlu disunting. Dan memang tujuan buku ini, menurut Andani sendiri, agar memberi inspirasi pada banyak orang, dari pribadi dan pengalaman dia, dituangkan ke dalam teks atau cerita, lalu disampaikan kepada publik ramai.

***
Dawpilar, 15 Mei 2021

*) Kritik sastra di atas berasal dari acara bedah buku 100 Cerita Inspiratif (2021) di Kafe Sastra, Balai Pustaka, Jakarta, 19 Juni 2021.

CATATAN KAKI:

[1] Baca buku Narudin berjudul Epistemofilia: Dialektika Teori Sastra Kontemporer, Pasuruan: Qiara Media, 2020, halaman 24-27.

[2] Baca buku Narudin berjudul Semiotika Dialektis, Bandung: UPI Press, 2020, halaman 20-24.

Ni Made Sri Andani Sahadewa Warih Wisatsana Wayan Jengki Sunarta Darma Nyoman Putra Agoes Kaboet Soetra Jefta Atapeni  I Ketut Putrayasa Made Edy Arudi Idk Raka Kusuma Rini Intama Chye Retty Isnendes Tien Marni Rizka Amalia Dewa Gede Kumarsana Andi Mahrus Anwar Putra Bayu Ipit Saefidier Dimyati Imam Qalyubi Sunu Wasono Djoko Saryono M Tauhed Supratman Wannofri Samry Saifur Rohman Syahrul Udin Nani Syahriani Asfar Nur Kosmas Lawa Bagho Taba Heriyanto Giyanto Subagio Laora Laora Tika Supartika Na Dhien Kristy Setyo Widodo Tati Dian Rachmika Il Mustari Irawan Enung Nurhayati Elang Munsyi Hermawan An Endut Ahadiat Ermanto Yohanes Sehandi Shafwan Hadi Umry Salim Bella Pili Rafita Ribelfinza Gunoto Saparie  Nia Samsihono

*********************************

Terimakasih ulasannya Pak Narudin.