Penglipuran adalah tempat dimana kita bisa melihat bagaimana bentuk desa-desa di Bali jaman dulu. Karena di desa ini, baik tata ruang desa maupun perumahan masih dipertahankan secara traditional, sementara di desa-desa lain semuanya telah berubah mengikuti perkembangan jaman.
Tempatnya hanya 15 menit dari rumah, dengan akses jalan beraspal yang baik. Saat saya ke sana, desa masih kelihatan sama. Rapi dan bersih.
Tapi kali ini desa penuh dengan pengunjung, bercampur turis lokal/ domestik dan asing. Terutama turis domestik kelihatan cukup memadati desa. Kebanyakan rombongan tur sekolah dari berbagai kota di pulau Jawa.
Mungkin karena akhir-awal tahun juga biasanya musim liburan anak sekolah. Dan bersamaan pula dengan Galungan, hari raya besar di Bali. Karenanya pengunjung disuguhi aktifitas yang tidak biasa oleh Sekaan Barong anak-anak/remaja, yang menarikan tari Barong.
Setidaknya saya melihat ada 3 sekeha (3 kelompok) barong di sini. Sekaan Barong Macan, menarikan Tarian Macan & Kera, sekaan Barong Bangkal menarikan tarian Babi, dan Sekaan Barong Macan Kumbang & Rangda -belum sempat saya lihat menari karena keburu hujan.
Dari acara Ngobrolin Buku “Resep Rahasia Cinta” di Gedung Kompas, Jl Jayagiri 3 Renon- Denpasar, Bali.
Dihadiri beberapa teman penulis, sahabat, mahasiswa dan pelajar, acara ini dimotori oleh Bali Mangsi Foundation yang dikomandani oleh sahabat Gde Hariwangsa , pengantar acara Budi dan moderator Maria Ekaristi.
Acara ini diawali dengan sambutan Cok Yudistira dari Kompas, dilanjutkan dengan pemutaran film “Resep Rahasia Cinta” yang dikembangkan dari salah satu cerita di buku ini, disutradarai oleh Rudi Rukman
Pembahasan tentang isi buku tidak terlalu banyak. Audience lebih tertarik untuk mendiskusikan proses penerjemahan tulisan ke bentuk media lain seperti media audio visual, soal target audience, soal, proses editing, dll.
Sutradara Rudi Rukman bercerita tentang bagaimana ia mulai menggunakan cerita-cerita yang ada di buku “100 Cerita Inspiratif” dan ” 50 Cerita Inspiratif- Resep Rahasia Cinta” dan mengembangkannya ke dalam bentuk film. Step pertama tentu dengan cara mengadaptasi tulisan asli ke dalam bentuk Naskah Film yang ia pecah menjadi scene demi scene sesuai dengan durasi yang diinginkan. Saat ini ia bekerjasama dengan pihak Genflix dan sebuah Station TV Swasta untuk penayangannya.
Ia juga menceritakan strategynya agar bisa terus produktif dengan cara memproduksi low budget film dengan memanfaatkan sponsor-sponsor atau pihak usaha yang bisa diajak bekerjasama.
Pembicara Tamu, Agung Bawantara, penulis, pembuat film dan penggagas Denpasar Film Festifal, memberikan pencerahan kepada audience, bahwa dari bentuk tulisan ini sebenarnya banyak peluang penterjemahan ke dalam bentuk media lain seperti Film seperti yang dilakukan oleh Sutradara Rudi Rukman, bisa juga dalam bentuk cut video pendek, atau reels yang bisa ditayangkan di Facebook, atau Tik Tok, dan jika kita hanya mengambil audionya saja, bisa dijadikan materi untuk radio, atau juga bentuk pembacaan yang juga bisa ditayangkan di Youtube.
Dengan berkembangnya teknologi, sebagai penulis, sebetulnya kita bisa memanfaatkan berbagai bentuk media untuk menyalurkan ide-ide dan kreatifitas kita. Peluang bagi setiap penulis untuk mendiversifikasi karya-karyanya ke dalam multi media.
Potensi Untuk Bali. Agung juga melihat potensi Bali sebagai sentra produksi perfilman, tentunya dengan perbaikan sarana prasarana agar memadai.
Mendengar ini, Rudi Rukman menambahkan bahwa ia juga melihat peluang usaha penyedia talent di Bali, mengingat pengalamannya sendiri yang sering kesulitan dalam mendapatkan talent yang sesuai ketika shooting di Bali.
Pro – Kontra Diskusi semakin menarik, ketika penulis Gm Sukawidana menyampaikan pendapatnya bahwa ia lebih menyukai Resep Rahasia Cinta ini tetap dalam bentuk tulisan, sehingga memungkinkannya sebagai pembaca untuk tetap “berimajinasi liar” tanpa frame. Ketika tulisan ini diterjemahkan ke dalam bentuk film, ia merasa telah terlalu banyak menyimpang, sehingga kehilangan keasliannya.
Rudi Rukman, sang sutradara menanggapi, bahwa ia membutuhkan beberapa pengembangan untuk menyesuaikan kebutuhan penonton filmnya.
Saya sendiri mengakui bahwa tidaklah mudah menterjemahkan sebuah tulisan ke dalam bentuk platform media lain, misalnya Film. Hal ini terjadi, karena ketika seorang penulis menuliskan pikirannya ke dalam bentuk tulisan, pembaca akan menangkap alam pikir dan gagasan penulis dan menginterpretasikannya sendiri sesuai dengan latar belakang dan pengalamannya sendiri. Semua audio visual yang melintas di pikiran pembaca adalah hasil karangannya sendiri. Oleh karenanya, interpretasi pembaca bisa berbeda-beda.
Sedangkan sutradara, mengolah interpretasinya sendiri dari membaca tulisan itu, lalu mengarangkan audio visualnya untuk disuguhkan ke penonton. Tentu saja tidak ada jaminan 100% apa yang ditangkap oleh pembaca dari buku akan sama persis dengan yang ditangkap ketika pembaca menjadi penonton film.
Untuk itu Agung Bawantara menengahi dengan mengatakan pendapatnya, bahwa memang tidak ada media yang sempurna. Semua dengan kelebihan dan kekurangannya. Itulah pula sebabnya, mengapa semua platform media itu tetap eksis dan tetap ada penggemarnya.
Sayang sekali diskusi ini harus berakhir, karena sudah terlalu siang, meninggalkan beberapa audience yang masih ingin bertanya tetapi tak kebagian waktu.
Saya mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada Bali Mangsi Foundation dan Maria Ekaristi yang sudah mengorbankan waktu dan tenaga untuk merancang dan merangkai acara Ngobrol Buku ini, dan Pak Cok Yudistira yang sudah memberikan ijin penggunaan Gedung Kompas untuk acara ini.
Seorang teman bertanya, bagaimana sebaiknya jika kita ingin memberi sapaan untuk Wanita Bali dalam Bahasa Bali.
Baiklah saya share sepintas di sini ya.
Memanggil seorang wanita di Bali, secara umum sama dengan di daerah lain. Kita lihat-lihat dan perkirakan usianya. Seumuran dengan kita ? Jauh lebih tua dari kita? Jauh lebih muda dari kita? Jika tidak tahu, dikira-kira saja.
Jika memanggil wanita yang SEUMURAN dengan kita, umumnya kita boleh meMANGGIL NAMAnya saja, atau NANA URUT dalam keluarganya (Wayan, Putu, Made, Kadek, Nengah, Nyoman, Komang, Ketut)
Misalnya nama saya Ni Made Sri Andani, maka bisa saja panggil saya Andani, Dani atau Sri. Boleh juga memanggil saya dg nama urut dalam keluarga saya. Karena saya anak ke dua, saya boleh dipanggil Made, Ade atau Kadek.
Jika memanggil wanita yang kira-kira UMURnya DI ATAS kita, maka untuk sopannya kita tambahkan kata “MBOK” di depan nama nomor urut keluarganya. Kata “Mbok” ini kira-kira setara dengan kata ” Mbak” kalau di Jawa. Misalnya jika nama saya Ni Made Sri Andani, maka saya bisa dipanggil dengan Mbok Made , Mbok Ade atau Mbok Kadek.
Jika wanita itu tidak ada nama nomor urutnya, maka kita panggil dengan Mbok + namanya. Misalnya Mbok Sri, Mbok Andani.
Bagaimana jika wanita itu LEBIH MUDA dari kita? Kalau wanita yang akan kita panggil itu lebih muda dari kita, cukup PANGGIL NAMAnya saja.
Misalnya nama saya Ni Made Sri Andani, maka jika yg memanggil merasa umurnya lebih tua dari saya, cukup panggil nama saya saja. Andani, Dani, Sri, atau nama nomor urut saya saja, Made, Ade, Kadek.
Jika kita sudah cukup akrab dengannya, maka untuk memanggil wanita yg usianya lebih muda dari kita, kita bisa memanggilnya dengan sebutan GEG atau GEK (aslinya berasal dari kata ‘Jegeg’ yang artinya Cantik) yang jika diterjemahkan setara dengan kata “Dik” dalam bahasa Indonesia.
Misalnya jika nama saya Ni Made Sri Andani, orang-orang yang lebih tua dari saya bisa memanggil saya Geg Made, Gek Ade, Gek Sri, Geg Andani.
Demikianlah kira-kira.
Jangan terbalik ya. Jangan memanggil wanita yang lebih tua dari kita dengan sebutan “GEG!”. Karena itu sama saja dengan memanggilnya ‘Dik!’. Kecuali jika kita memang ingin mengatakan Mbak Cantik, maka kita boleh memanggilnya ‘Mbok Gek’. Tetap ada kata ‘Mbok’ nya.
Dan sebaliknya jangan memanggil wanita yang lebih muda dari kita dengan sebutan “MBOK”.
Kebalik itu 😀.
Atau jika kita ingin memanggil wanita itu dengan kata ‘IBU’ di dalam Bahasa Indonesia, maka dalam Bahasa Balipun panggilan itu masih ok. Misalnya Bu Made. Bu Andani , dst.
Saya dikirimin buku “Lukisan Kabut”, sukumpulan puisi karya Pak GM Sukawidana, yang dilahirkan sekitar tahun 2020 -21. Tadi pagi seusai olah raga saya berkesempatan membaca-baca isinya.
Begitu membuka sampulnya, saya langsung berpikir, waaah…tumben nih Pak Guru kita melepaskan diri dari magnet upacara-upacaranya. Judulnya Lukisan Kabut dengan cover berwarna kelabu dengan ilustrasi sepasang manusia berlindung dan berdoa di bawah pohon kehidupan, dengan latar belakang malam yang walau kelam namun tetap ada cahaya purnama yang terang, karya Gung Man Wied. Ada bayangan kelabu menghampiri perasaan saya.
Tetapi setelah membuka-buka halaman buku ini, ternyata Pak GM tak sepenuhnya meninggalkan upacara- upacaranya. Bahkan masih tetap terasa sangat kuat. Beliau salah satu penulis yang saya kagumi, atas kecintaan dan konsistensinya menunjukkan warna Bali yang tak pernah pudar. Setitikpun tak tergerus oleh waktu ataupun dipengaruhi oleh sekitar.
Yang sedikit berbeda mungkin seperti pengakuan beliau, di buku Lukisan Kabut ini ada cukup banyak puisi-puisi yang mencerminkan dan mengekspresikan berbagai peristiwa “muram”. Ya .. terasa. Sebetulnya kurun waktu 2020-21 itu adalah kurun waktu di mana sang Covid-19 merajalela dan sungguh membuat wajah Bali menjadi bermuram durja. Puisi “Upacara Api” misalnya. Tanpa menuliskan secara explisit tentang Corona, tetapi suasana Corona sangat terasa di sini.
“….. tabuh lesung di halaman/ halau gerhana/wabah sudah merebak/mengapa matahari kehilangan kendali? /orang-orang penuh dengan kecemasan/ menangkar diri dalam kabut ketidakpastian…. “
Mdmbaca penggalan ini, saya merasakan situasinya. Merasakan bagaimana kecemasan telah menguasai dan kita semua berusaha melindungi diri, memakai masker dan tidak keluar rumah jika tidak penting-penting amat, entah kapan Corona ini akan berakhir, yang digambarkan dengan sangat menarik oleh Pak GM srbagai “menangkar diri dalam kabut ketidakpastian”.
Wabah ini sungguh membawa kemuraman. Padahal sebelum wabahpun sudah banyak terbentuk kemuraman-kemuraman lain yang mengabu-abukan wajah Bali. Mulai dari soal sengketa muara hingga tanah sawah dan tegalan yang menghilang dicaplok mulut investor yang mengancam kelestarian dan keberadaan adat, budaya dan upacara di Bali.
Keresahan ini masih terasa sangat kental di puisi-puisi tentang seputaran denpasar, tukad badung teluk benia dan sekitarnya. Seperti misalnya potongan baris puisi “Menangkar Kunang-Kunang di Tukad Badung” ini
“…dengan pelepah pisang/dibuat perahu/pada bagian tiangnya/ada bendera merah putih kecil/dihanyutkan menuju muara/ “sampaikah nanti berlabuh di muara teluk benoa/setelah teluk benoa ditimbun oleh para investor”/ begitu penuh harap….”
Perut saya terasa kelu membaca ini.
Ada satu hal lagi yang menarik hati saya, Pak GM ini adalah seorang penyair yang sangat setia kawan, sering bermurah hati menuliskan kenangan untuk para sahabatnya. Ada banyak puisi yang beliau dedikasikan untuk nama -nama tertentu yang pastinya adalah para sahabat maupun orang dekat beliau. Saya perhatikan hal ini juga pada buku-buku beluau di terbitan sebelumnya.
Salah satu contohnya adalah puisi yang ditulis oleh Pak GM untuk menziarahi almarhumah penyair Agustina Thamrin. Kebetulan saya juga cukup mengenal baik almarhumah. Membaca ini tentu saja saya merasa tersambungkan. Merasakan dan membayangkan kesunyian itu, merasuk ke dalam pikiran saya hingga tak kuasa membendung air mata.
Demikian juga pada puisi yang didedikasikan untuk mahaguru Umbu Landu Paranggi. Ada beberaa nama lain lagi dan diantaranya ada yang saya kenal juga.
Ini buku yang sangat menarik untuk dibaca dan disimak.
Membahas Buku BALI. SENI BUDAJA BALI. BALINESE ARTS AND CULTURE Karya DR. MOERDOWO
Sebenarnya buku tua yang diterbitkan di Surabaya tahun 1960 ini (tua banget ya… mengingat saya aja belum lahir tahun itu) diberikan kepada saya beberapa bulan yang lalu. Saya sempat membuka-buka dan membaca isinya sepintas. Cuma karena saat itu terganggu oleh kesibukan yang lain, saya belum sempat membacanya dengan baik.
Akhir pekan ini saya memeriksa rak buku lagi, dan melihat buku besar ini di tumpukan buku, lalu keingetan jika saya belum tuntas membacanya. Saya lanjutkan baca deh.
Buku ini adalah sebuah buku yang bagus tentang Bali yang pernah saya baca, dan terlihat jika penulisnya yang walaupun bukan orang Bali, cukup menguasai budaya Bali dengan baik.
Beliau menuliskan dengan baik, bahwa bagi orang awam yang tak paham Bali atau pertama kali mengunjungi Bali, kesan pertama yang ditangkap seolah-olah Agama Hindu di Bali tampak sebagai Polytheisme, karena yang terlihat adalah banyaknya Dewa-Dewa, upacara-upacara yang membingungkan mereka yang baru pertama mengetahui Bali. Tetapi begitu mengenal Bali lebih jauh, barulah mereka memahami bahwa orang Bali menganut paham Monotheisme yang absolute, di mana Tuhan adalah yang maha tunggal dan tidak ada duanya. Dan Agama sangat mempengaruhi segala segi kehidupan masyarakat Bali, termasuk kebudayaan dan keseniannya.
Di buku ini juga ada ditampilkan cuplikan-cuplikan dari lontar Whraspati-Tattwa yang merupakan salah satu sastra penting dalam kehidupan religi di Bali.
Pak Moerdowo memaparkan jika masyarakat Bali memiliki konsep berjenjang dalam mencapai pemahaman akan hakikat Tuhan yang disebut dengan Catur Marga (4 Jalan Menuju Tuhan) yakni Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Raja Marga, yang walaupun beliau hanya menyebutkan 3 jalan saja (kurang satu jalan) tetapi menurut saya beliau memaparkannya sudah dengan sangat baik. Dengan membaca buku ini, orang jadi paham, bahwa jika hanya dengan bersembahyang yang rajin saja (Bhakti Marga) tanpa berbuat baik dan benar (Karma Marga) tidaklah cukup. Dan tentunya untuk menjalankan kehidupan religi yang sebenarnya kita juga perlu menjalani Jnana Marga dan Raja Marga.
Selain itu Pak Moerdowo juga ada membahas tentang aspek-aspek lain dari kehidupan orang Bali , seperti Tri Sadhana (tiga jalan yang harus ditempuh jika ingin mencapai kamoksan/melepaskan diri dari kesengsaraan abadi) yakni mengetahui dan memahami segala agama dan pengetahuan suci, melepaskan diri dari pengaruh dan kekuasaan hawa nafsu indriya dan mampu melepaskan ikatan keduniawian.
Dan tentu saja semuanya itu tidak mudah dilakukan, sehingga untuk membantu menjalankannya sehari-haru, orang Bali menggunakan pedoman hidup moral dan ethika yang diantaranya adalah Ahimsa (tidak membunuh/menyakiti); Brahmacarya (hidup dengan kesucian), Satya (dapat dipercaya/tidak bohong); Awyawharika (tidak bertengkar/ribut); Asteya (tidak mencuri, korupsi atau mengambil bukan milik); Akrodha (tidak mudah marah); Guru Sucrusa (sayang/hormat pada Catur Guru); Socha (membersihkan pikiran dan bathin); Aharalegawa(tidak rakus/loba/tamak); Apramada (setia pada kewajiban).
Ada banyak aspek kehidupan lagi yang dibahas di buku ini. Juga tentang hari hari raya dan bagaimana orang Bali menghornati segala bentuk ciptaan Tuhan (sarwa prani), bahkan pohon-pohon dan binatangpun sangat dihormati di Bali dan ada hari rayanya.
Pak Moerdowo juga membahas tentang kehidupan sosial dan aktifitas berkesenian di Bali. Mulai dari Seni Pewayangan, Tari-Tarian, Lukisan , Seni Pahat dan sebagainya.
Buku ini dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah pemaparan dalam Bahasa Indonesia. Bagian ke dua adalah pemaparan dalam Bahasa Inggris. Dan Bagian ke 3 dipenuhi dengan foto- foto jadul hitam putih yang menggambarkan aktifitas sosial, keagamaan dan kebudayaan Orang Bali.
Saya suka dengan buku tua ini. Dan penulisnya tentunya. Karena saya pikir secara umum Pak Moerdowo cukup menguasai Bali, sehingga pemaparannya tentang Bali sesuai dengan apa yang dipahami oleh Orang Bali sendiri.
Setelah saya pelajari, rupanya sebelum menuliskan buku ini, Pak Moerdowo beserta istri pernah tinggal bersama keluarga Bali untuk melakukan research dan study. Ooh… pantesan pemahamannya tentang Bali sangat baik. Bukan hanya sekedar sedalam permukaan kulit saja.
Sungguh. Ini buku yang sangat bagus tentang Bali. Saya sangat berterimakasih sudah diijinkan ikut membaca dan memiliki buku ini.
Kami bertemu di Tebeku. Tapi di mana dan apa itu Tebeku?
TEBEKU adalah Teba milik Jro Gde Sujayasa, sahabat kami di desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung, BALI.
Tebeku, berasal dari kata Teba + ku = Teba milik saya. TEBA (dibaca tebe, huruf e dan a dibaca seperti membaca e dalam kata dekat), dalam Bahasa Bali artinya area atau kawasan paling rendah dari halaman rumah, yang berfungsi sebagai tempat cuci-cuci, bersih-bersih dan buang sampah serta kotoran. MCK – Mandi – Cuci – Kakus, istilahnya.
Tempat yang sebenarnya sangat umum dan semua rumah tangga di seluruh dunia pasti memilikinya. Karena aktifitas yang dilakukan penghuni rumah di kawasan Teba adalah aktifitas normal, regular dan manusiawi. Mungkin bedanya hanya di masalah pengaturan tata ruang saja.
Masyarakat Bali secara umum menganut konsep Tata Ruang yang disebut dengan “Tri Mandala” alias Tiga Wilayah. Dimana setiap ruang dibagi menjadi 3 mandala (area) yakni Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Konsep tata ruang Tri Mandala ini diimplementasikan di mana saja, mulai dari tingkat desa, banjar, pekarangan rumah, bakan kamar tidur maupun tempat tidur.
Utama Mandala, adalah areal yang utama, umumnya bertempat di hulu dan posisinya dibuat lebih tinggi. Area ini digunakan sebagai area suci, tempat memuja dan menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jika itu pekarangan rumah, maka Utama Mandala adalah area dimana Merajan ataupun Sanggah tempat sembahyang keluarga terletak.
Madya Mandala, adalah areal tengah, di mana aktifitas sehari-hari manusia dilakukan. Di area ini ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dapur dan ruang aktifitas lainnya terletak.
Nista Mandala, adalah areal yang paling rendah, dimana area TEBA yang saya jelaskan itu berada.
Menurut Jro Gede, walaupun Teba itu ada di wilayah paling nista, sebenarnya keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari Madya dan Utama Mandala. Bahkan peranannya sangat besar untuk mensupport dua mandala di atasnya itu.
Betapa tidak, selain berfungsi sebagai area cuci-cuci bersih-bersih, buang sampah dan kotoran, dan kandang binatang peliharaan, di Teba juga bertumbuh berbagai macam tanaman dan pepohonan yang bisa digunakan untuk keperluan upacara dan kebutuhan sehari-hari.
Mulai dari pohon Bambu, pohon Nangka, pohon Kelapa, pohon Duren, pohon Mangga, pohon Jambu, pohon Jerungka, pohon Manggis, pohon Melinjo, pohon Boni dan sebagainya. Dan biasanya subur-subur, karena selain banyak pupuk alami, posisi Teba juga seringkali dekat dengan sungai.
Tanpa Teba, pekarangan rumah tidak akan seimbang.
Ya ya…benar juga kata sahabat saya ini. Sebelumnya saya tidak pernah memikirkan fungsi Teba dengan serius seperti ini.
Nah areal Teba di pekarangan JRo Gde Sujayasa inilah yang disulap menjadi Teba yang indah oleh sahabat saya ini. Lalu diberi nama TEBEKU.
Ha! Tempatnya asyik juga. Areal belakang rumah yang kosong. Berbatasan dengan Sungai dan Pangkung (jurang) yang tak terlalu dalam. Ditata rapi sedemikian rupa, dibuat taman, diberi dasar rumput jepang yang halus, ditanami dengan tanaman indah berbunga serta tanaman hias lain.
Lalu ada Bale Bengong, Bale Lesung- tempat menumbuk Biji Kopi menjadi Bubuk Kopi dan Bale Paruman tempat ngobrol-ngobrol dan melakukan aktifitas lain. Sungguh artistik dan menarik.
“Teba jaman sekarang sudah beda dengan teba jaman dulu. Sekarang WC dan Kamar Mandi sudah dibuat dalam bangunan yang bersih, modern dan rapi. Sehingga Teba tidak lagi terlihat jorok dan kotor”. Jelas Jro Gde Sujayasa. Ya sih. Jadi sisa lahan Teba yang ada bisa dibuat taman.
Begitulah cerita saya tentang TEBEKU. Teba cantik, tempat bermain dan bercengkerama bersama para sahabat.
Aduuh…tadi saya ketiban cecak jatuh” cerita Siti kepada saya. “Apa ya Bu kira-kira artinya?” Lanjutnya bertanya dengan wajah agak khawatir. Saya nggak langsung menjawab karena sedang mengunyah buah.
Awalnya saya mau bilang, cecak jatuh kan wajar-wajar saja. Diantara sekian ekor cecak yang merayap di dinding atau di langit-langit sesekali kan pasti ada yang terpeleset dan jatuh juga. Terutama saat berlari atau meloncat mencoba menangkap nyamuk atau serangga kecil lainnya. Sesuatu yang sangat wajar dan tidak usah terlalu dipikirin.
Tetapi kemudian saya ingat, jika di Bali cecak dipercaya sebagai lambang ilmu pengetahuan. Lambang berkah dari Sang Hyang Aji Saraswathi, sebutan Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai penguasa Ilmu Pengetahuan. Jika ketiban cecak ya artinya akan beruntung mendapatkan ilmu pengetahuan baru. Akan tambah pintar atau akan mengetahui sesuatu yang bermanfaat untuk kebaikan diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat.
Juga sebagai lambang kebenaran informasi. Misalnya jija seseorang sedang menceritakan sesuatu kepada orang lain yang belum jelas kebenarannya dan tiba-tiba seekor cecak berbunyi “cek cek cek cek”, maka seketika bunyi cecak itu meningkatkan level kepercayaan si pendengar akan kebenaran dari cerita itu. Jadi, cecak memiliki posisi yang cukup tinggi di Bali. Tidak ada hal mengkhawatirkan tentang cecak. Semuanya baik.
Sayapun menceritakan kepercayaan Orang Bali tentang cecak ini. Sayangnya Siti tetap murung, walaupun sudah saya ceritakan tentang hal baik ini. “Tetapi kalau di Jawa, orang percaya kalau kejatuhan cecak itu alamat buruk, Bu. Akan ada musibah yang menimpa” katanya semakin murung. Saya jadi tertegun mendengarnya. Ooh sedihnya. Bagaimana cara saya menghibur Siti kalau begini ya?. Saya sendiri bukan orang Jawa yang memahami kebudayaan dan kebiasaannya dengan baik.
Mengapa berbeda banget ya antara kepercayaan masyarakat di Jawa dengan di Bali tentang cecak?. Padahal binatangnya ya cuma itu-itu saja. Sama -sama cecak. Bukan kadal. Bukan buaya.
Cecak, hanyalah seekor binatang kecil pemburu serangga yang bernama latyn Hemidactylus frenatus, masuk ke dalam family Gekkonidae, Ordo Squamata, Class Reptilia dan Phylum Chordata – demikian jika dilihat dari sudut pandang seorang ahli taksonomi hewan. Ia berubah menjadi sebuah lambang ilmu pengetahuan dan kebenaran jika dilihat dari sudut pandang saya yang lahir dan besar di Bali. Dan berubah sebagai pembawa tanda musibah jika dilihat dari sudut pandang Siti, yang lahir dari keturunan Jawa dan besar di Jawa. Weeehhhh… binatang yang sama, tapi bisa beda-beda ya.
Semakin saya mikirin tentang cecak yang memiliki sudut pandang dan kepercayaan yang berbeda-beda ini, semakin banyak saya menemukan hal-hal lain yang juga memiliki perbedaan persepsi dan image, antara di pulau Jawa dengan di pulau Bali.
Contohnya adalah Bunga Kamboja. Jika di Jakarta, Bunga Kamboja sangat erat kaitannya sebagai Bunga Kuburan. Karena pohon Kamboja banyak ditanam di kuburan. Bunga kesedihan. Dan dianggap seram. Siti pun yang besar di Jawa mengatakan sama. “Bunga yang membuat takut”, katanya.
Sedangkan di Bali, bunga Kamboja dianggap sebagai bunga kebahagiaan hati. Justru ditanam di rumah atau di tempat suci. Bukan di kuburan. Sehingga tidak heran jika kita ke Bali, kita bisa melihat banyak wanita Bali dengan riang gembira menyelipkan bunga Kamboja di telinganya atau untuk menghiasi rambutnya. Selain dipakai sebagai hiasan rambut, bunganya dipakai sembahyang, untuk menari dan juga untuk pengharum ruangan. Bunga yang penuh dengan hal-hal positive.
Contoh lain lagi adalah bunga Kenanga. Saya sering mendengar teman-teman di Jakarta mengaitkan bunga Kenanga dengan hal-hal yang berbau mistis. Sedangkan di Bali, bunga ini dianggap sebagai perlambang wanita cantik yang bersikap baik sepanjang usianya. “Selayu-layu-layune miyik” -walau selayu/setua apapun tetap cantik dan harum namanya. Tidak ada kaitannya dengan dunia mistik sama sekali. Sedangkan di mata ahli parfum, bunga ini adalah penghasil ekstrak essential oils Cananga Odorata bahan pembuat parfum yang sangat mahal harganya.
Sebaliknya ada hal yang di Bali dihindari, di budaya lain dianggap biasa saja atau normal. Misalnya, orang Bali selalu menghindarkan menjemur pakaian tinggi-tinggi. Apalagi lewat di bawah jemuran. Itu benar-benar dianggap TABU. Demikian juga meletakkan bantal di kaki, atau menginjak bantal. Itu sangat Tabu. Mengapa? Karena bantal adalah tempat meletakkan kepala. Dan kepala sendiri bagi orang Bali adalah sangat sakral sifatnya. Selain karena pusat pengendali pikiran ada di kepala, kepala dianggap sebagai hulu, dengan cakra Sahasrara di ubun-ubun yang memungkinkan keterhubungan dengan alam semesta dan Sang Maha Pencipta. Karenanya kepala dianggap sangat suci. Jangan sampai kesuluban jemuran. Apalagi jemuran pakaian dalam. BIG NO! NO!
Kalau kita gali, tentunya masih banyak lagi contoh-contoh lain dimana suatu hal/ benda bisa dipersepsikan positive di sekelompok masyarakat tertentu, tetapi dipersepsikan negative di kelompok masyarakat yang lain. Dan sebaliknya. (Tidak hanya terbatas di Jawa & Bali saja, tetapi juga mungkin suku dan bangsa lain yang berbeda). Lalu kelompok manakah yang lebih benar ?
Terus terang saya jadi tidak tahu jawabannya. Karena semua itu hanya kepercayaan saja. Kepercayaan lokal yang dibentuk barangkali oleh pengalaman, pengetahuan ataupun persepsi yang dibentuk oleh masyarakat lokal selama bertahun-tahun, puluhan atau bahkan mungkin ratusan tahun. Bisa jadi berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kepercayaan. Namanya juga kepercayaan ya, hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya saja. Jika tidak percaya, ya otomatis itu bukan kepercayaan lagi namanya. Dan kita ini mahluk bebas merdeka. Boleh percaya boleh tidak. Believe it or not.
Perbedaan tidak harus membuat kita tercerai berai. Cukup kita tahu dan hormati kepercayaan orang lain. Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangeruwa.
Selagi ada di rumah Kakek di desa Songan minggu lalu, saya menyempatkan diri berjalan-jalan menyusuri tepian danau Batur. Suasana agak sepi. Udara pegunungan yang dingin membuat saya tidak merasa kepanasan, walau di bawah sinar matahari yang terik. Tetap nyaman-nyaman saja.
Mendekati vegetasi danau yang merimbun di tepian, tampak beberapa ekor Burung Bangau putih terbang dan hinggap di keramba. Oooh dunia yang damai.
Sementara dua orang pria tampak memancing dari tepian. Sayapun mendekat, menyapa dan ikut melihat-lihat hasil pancingannya. Wow. Beberapa ekor ikan Mujair yang cukup besar-besar juga. Ada kira-kira sebesar 2 x telapak tangan saya.
Usai mengobrol tentang ikan di danau, saya teringat pada Kalibungah. Jenis burung air, yang walaupun tidak bersifat endemik danau Batur saja, tetapi jaman saya kecil merupakan burung air yang sangat umum saya temukan disini. Sayapun bertanya kepada dua orang pemancing itu, apakah Kalibungah masih ada dan belum punah dari danau ini.
Tepat setelah saya bertanya itu, seekor Kalibungah menunjukkan dirinya di sela-sela tanaman Eceng gondok, seolah-olah paham jika saya sedang memanggil. Berenang-renang dengan riangnya sambil beberapa kali tampak menyelamkan kepalanya ke dalam air. Hati saya ikut senang bukan alang kepalang. Kalibungah ini masih tetap ada. Sayang sekali, saya tidak sedang membawa kamera dengan lensa panjang agar bisa memotret dengan lebih dekat. Cuma kamera hape yang ala kadarnya.
Kalibungah alias Swamp Chicken (Galinula chlorophus) adalah burung air yang jika sedang berenang terlihat mirip bebek berwarna hitam, tetapi jika berjalan lebih mirip dengan ayam. Secara keseluruhan bulunya berwarna hitam kebiruan di bagian depan dan hitam kecoklatan di bagian belakang dengan sedikit bercak putih pada sayapnya. Paruhnya sendiri berwarna merah dengan sedikit ujung kuning. Burung ini membuat sarang di rumpun talang -talang ataupun tanaman air lainnya.
Setelah beberapa saat, saya sadari ternyata populasi Kalibungah di area ini lumayan banyak juga. Ada beberapa ekor saya lihat berenang, bercanda dengan pasangannya dan ada juga yang sedang berjemur di bawah sinar matahari.
Berbagai dongeng tentang Kalibungah diceritakan sebelum tidur oleh nenek saya semasa kecil. Salah satunya adalah dongeng tentang anak Kalibungah yang nakal, yang tidak mendengarkan nasihat induknya agar jangan bermain jauh-jauh dari sarang. Induknya memberi batas pagar rumput talang-talang untuk area yang ia boleh bermain dan belajar berenang.
Tetapi karena bandel, anak Kalibungah ini terus bermain dan mengendap-endap keluar pagar, semakin jauh dan semakin jauh dari sarang dan tanpa disadari seekor ular besar mengintai dan ingin memangsanya. Ia belum bisa terbang dan membela diri. Untunglah induknya segera menyadari dan akhirnya menyelamatkan anak Kalibungah yang nakal ini pulang kembali ke sarangnya.
Kalibungah, membawa lamunan saya pada tempat tidur nenek saya yang hangat, di dekat dapur dimana bara api masih terus memerah di udara malam yang menggigil. Tempat kami menginap berdesak-desakan setiap kali pulang kampung.
Panyorogan adalah sebuah tempat di Desa Songan yang letaknya persis di tepi Danau Batur. Di sanalah letak rumah kakek saya. Tanah di mana saya bisa membuka jendela dengan pemandangan langsung ke danau.
Halaman belakang rumah kami adalah sebidang tanah pertanian yang langsung bersentuhan dengan air danau, di mana ada sebuah mata air panas muncul di bawah akar Pohon Mangga dan membentuk parit kecil yang mengalir ke danau.
Di lepas danau, tak jauh dari pantainya ada sebuah Batu Besar yang selalu menjadi patokan kedalaman air. Nenek saya selalu bilang, jika anak-anak bermain atau berenang di danau, tidak boleh melewati Batu Besar itu, karena selewat Batu Besar kedalaman danau sudah terlalu dalam. Kami selalu ingat kata-kata Nenek.
Persis di sebelah rumah, ada jalan desa yang digunakan penduduk untuk ke danau. Entah sekedar untuk mengambil air, untuk mandi, atau pintu keluar masuknya penduduk desa yang bepergian dengan menggunakan sampan atau boat. Penyorogan adalah sebuah pelabuhan kampung di masa lalu.
Sejak dibukanya akses jalan aspal ke Desa Songan melalui batu cadas letusan Gunung Batur di tahun 1983-1984, penduduk lebih banyak menggunakan akses darat ketimbang angkutan danau jika ingin keluar desa. Akibatnya, pelabuhan perahu di Panyorogan jarang dipakai dan lama kelamaan tidak terpakai sama sekali.
Hal lain yang membuat Panyorogan berubah, adalah permukaan air danau yang semakin naik. Menenggelamkan Batu besar yang merupakan penanda kedalaman danau dan bahkan menenggelamkan sebagian besar ladang kakek yang di tepi danau. Membuat rumah kami semakin dekat posisinya dengan air.
Dua tahun terakhir ini, pemerintahan Desa mengambil keputusan untuk membuat jalan baru ke Hulundanu untuk membantu menguraikan kemacetan di jalan utama desa, akibat semakin meningkatnya kunjungan orang luar ke Pura Hulundanu Batur. Untuk mewujudkan upaya itu, maka pemilik tanah di tepi danau mesti merelakan sebagian tanahnya untuk dijadikan jalan. Nah.. itu membuat halaman belakang rumah kakek kami semakin habis dan sekarang malah menjadi halaman depan karena menghadap ke jalan baru.
Tak apalah, demi kepentingan masyarakat banyak.
Sisa tanah yang sangat dekat dengan air sekarang tidak terurus dan ditumbuhi semak air, tempat burung-burung air bersarang, bertelur dan membesarkan anaknya. Selain itu sebagian penduduk juga membuat keramba ikan. Membuat danau semakin berkurang keindahannya, tetapi semakin produktif.
Ini adalah beberapa gambar yang saya ambil di sekitar Panyorogan.
Catatan. Dalam Bahasa Songan, kata Panyorogan sering dilafalkan sebagai “Panyorogang” dengan akhiran “ng” dan bukan “n”. Misalnya dalam percakapan ini. Tanya : Cang ka jaa lajana jerone? (Memangnya kamu mau ke mana?). Jawab: Cang ka Panyorogang (Akan ke Panyorogan).
Atau disebut dengan akhiran “i”. Bukan “an”. Contoh: A: Jaa lana kecaganga ubadi? (Dimana ketinggalan obatnya?). B:. Di Panyorogi (Di Panyorogan).
“Apa Bahasa Balinya Siang?” Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan kepada saya oleh beberapa orang teman. Ini membuat saya jadi tergelitik untuk menulis.
Bali mengenal beberapa istilah yang berkaitan dengan waktu. Saya mencoba menceritakannya mulai dari yang paling umum dulu ya.
DINA & WAI.
Hari dalam Bahasa Bali umum disebut dengan kata Dina. Jadi satu hari disebut dengan A Dina. A = satu. A dina, duang dina, telung dina, pitung dina dst (1 hari, 2 hari, 3 hari, 7 hari dst). Kata Dina juga umum disebutkan di depan nama-nama hari. Misalnya Dina Redite (hari Minggu), Dina Wraspati (hari Kamis), dsb.
Nama lain dari Dina adalah Rai. Atau umum diucapkan sebagai Wai. Kata Rai ini sesungguhnya berasal dari kata Rawi yang artinya Matahari. Dimana yang dimaksud dengan kata A Rai atau 1 Rai adalah waktu yang ditempuh sejak matahari (sang Rawi) pertama kali terbit di ufuk timur, hingga kembali terbit lagi di ufuk timur. Jadi jika menyebut satuan hari, yaitu A Wai, duang wai, tigang wai.
KEMARIN DAN BESOK.
Bagaimana mengatakan kemarin dan besok dalam Bahasa Bali?.
Ibi adalah kata yang umum digunakan untuk mengatakan kemarin. Kata lain dari Ibi adalah Dibi yang asal katanya dari Di + Ibi = Dibi (saat kemarin).
Sedangkan untuk mengatakan besok , orang umum mengatakan “Buin Mani”. Dua hari lagi / lusa = Buin Puan. Tiga hari lagi = Buin Telung Dina. Empat Hari lagi = Buin Petang Dini. Dan seterusnya.
Jika ingin menyampaikan dalam Bahasa halus, maka Besok = Benjang. Lusa = Malih Kalih Raina. Tiga hari lagi = Malih Tigang Raina.
LEMAH PETENG.
Siang – Malam di dalam Bahasa Bali disebut dengan Lemah – Peteng.
Lemah itu mengacu pada saat hari terang, sejak matahari terbit hingga terbenam. Sekitar jam 6 pagi hingga jam 6 sore.
Sedangkan Peteng itu mengacu pada saat hari gelap. Sejak matahari terbenam hingga terbit lagi. Sekitar jam 6 sore hingga jam 6 pagi esoknya. Disebut Peteng karena saat itu gelap. Peteng Dedet = Gelap Gulita.
Peteng sering juga disebut Lemeng. Sehingga jika menyebutkan satu malam, menjadi a lemeng. Kata a lemeng lebih umum ketimbang a peteng.
Kata halus dari Peteng adalah Ratri.
PAGI SORE
Di dalam satu hari kita tentunya mengenal pagi, siang, sore dan malam. Bagaimana mengatakannya dalam Bahasa Bali?.
Pagi disebut dengan Semeng dalam Bahasa Bali. Dan sering diimbuhi dengan -an untuk mengatakan keadaan, sehingga menjadi Semengan. Kata Semengan itu kira-kira mengacu dari sekitar jam 5 pagi hingga sekitar jam 9 pagi. Rahajeng Semeng adalah ucapN yang umum digunakan yang setara dengan Selamat Pagi.
Siang disebut dengan Tengai. Berasal dari kata Tengah Ai yang artinya Tengah Hari ( Ai/Rahi = Hari). Kata Tengai mengacu dari sekitar 10 pagi hingga pkl 3 sore. Tepat jam 12.00 siang disebut dengan Tengai Tepet.
Sore disebut dengan Sanja. Mengacu dari sekitar 4 sore hingga pukul 6 sore. Antara pukul 5-6 sore disebut dengan Sandya Kala yang artinya “persendian waktu) yakni pertemuan antara siang dan malam. Atau kadang juga disebut dengan “Saru Mua”, yang artinya saat dimana kita sulit mengenali wajah seseorang jika tanpa bantuan cahaya yang baik.
Malam disebut dengan Peteng, Lemeng atau Wengi. Mengacu mulai saat matahari terbenam atau pukul 7 malam – 4 pagi. Tepat pukul 12 00 disebut dengan Tengah Lemeng.
Dini Hari disebut dengan Das Lemah, mengacu sekitar pukul 4 -5 pagi saat binatang binatang terbangun dan memberi penanda pagi seperti misalnya Ayam Berkokok.