Salah satu kejutan indah yang ditampilkan oleh teman-teman sesama penulis penggemar sastra di PDS HB Jassin kemarin saat acara ngobrolin buku 50 Cerita Inspiratif “Resep Rahasia Cinta” adalah sebuah Monolog yang dibawakan oleh sahabat Dema Soetego dan didukung oleh Rias.
Awalnya saya tak paham saat Rias muncul ke panggung dengan diiringi lagu dolanan jawa “aku nduwe pithik” dan membawa mainan ayam jago. Tak paham bahwa mereka akan membawakan monolog dari salah satu tulisan saya di buku Resep Rahasia Cinta itu yang berjudul ” Seekor Ayam Jago Bernama Lucky”.
Saya mulai sadar, ketika terdengar rekaman suara sahabat Dema Soetego mengudara . Ooh.. beliau sedang membacakan salah satu tulisan saya tentang persahabatan antara Winda dengan Lucky, ayam jagonya.
Lalu saya melihat Mbak Dema mulai memasuki panggung mengikuti alur kejadian yang saya tuliskan di kisah itu. Wow luarbiasa!!!
Di sini saya melihat bahwa Mbak Dema menangkap dan melakoni kembali ide-ide dan pikiran di tulisan Ayam Jago itu serta membroadcast intisarinya ke hadapan publik dalam bentuk monolog dengan sangat baik.
Mbak Dema meng-hi-light dengan sangat kuat message yang ingin saya sampaikan bahwa Persahabatan adalah hal terindah yang bisa dijalin manusia dengan mahluk hidup lain di sekitarnya, tanpa harus dibatasi oleh perbedaan suku, agama, bangsa, bahkan dengan hewan peliharaan kita.
Menurut saya, penampilan ini sangat luarbiasa. Bukan saja penghayatan dan komimentnya terhadap content, juga penampilan panggung dan keseriusannya dalam penggarapan serta kepenyertaan Rias serta mainan ayam jagonya. Semuanya membuat saya ‘surprise’ dan terharu.
Selain itu, monolog ini juga membuka mata saya bahwa ternyata karya-karya tulis itu bisa diadaptasi dan dikembangkan kembali dalam berbagai bentuk media dan seni pertunjukan seperti ke dalam film /pelayar putihan / ekranasi oleh sutradara Rudi Rukman , pembacaan prosa/puisi di panggung yang dilakukan oleh Mbak Fanny Jonathans , Mbak Rini Intama , Pak Imam Ma’arif , Bang Moktavianus Masheka , drama, video youtube seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh sahabat Herlina Syarifudin dan sejarang ini dalam ventuk monolog dari sahabat Mbak Dema Soetego.
Sungguh bentuk-bentuk adaptasi yang kaya. Terimakasih Mbak Dema.
Pagi tadi saya jalan kaki menelusuri taman. Taman perumahan ini, selain dimanfaatkan oleh penghuni perumahan untuk bersantai, duduk-duduk, olah raga, jalan kaki, mendorong kereta bayi dan ngajak binatang peliharaan jalan-jalan, di beberapa titik dijadikan tempat pembuangan sampah khusus hasil pemotongan cabang pohon.
Lho, kenapa gitu? Saya duga itu karena biasanya Petugas Kebersihan tidak mau mengangkut sampah tambahan hasil tebang pohon/ potong dahan dan daun-daun tanpa ngasih ongkos tambahan. Petugas cuma maunya hanya mengangkut sampah rumah tangga biasa.
Mungkin (ini mungkin lho, dugaan saya sendiri), karena itu, warga yang menebang/memotong dahan pohon tapi tidak mau keluar uang tambahan, membuang sampah tanaman itu ke taman. Dengan harapan petugas kebersihan tetap mengangkutnya tanpa meminta bayaran tambahan, karena itu sampah taman. (Penguman: saya sih tidak pernah membuang sampah ke taman ya).
Yang jelas, saya lihat ada tiga lokasi di taman ini yang sering saya lihat menjadi tempat pembuangan sampah pohon/ tanaman sisa potong/tebang.
Pagi tadi, di salah satu lokasi yang sering dijadikan tempat sampah pohon itu, saya melihat tidak ada sampah pohonnya. Tapi ada 3 buah pohon Pakis Tanduk Rusa yang diletakkan di situ.
Saya melirik. Lho? Itu pohon Pakis Tanduk Rusa dibuang atau bagaimana ya? Saya mendekat. Yang satu besar, masih segar yang satu kecil juga masih segar, dan satunya lagi panjang tapi kayaknya layu, mungkin yang ngambil asal tarik saja dari pohonnya.
Mm…menarik juga ini. Saya mikir, apakah ini sampah yang dibuang warga? Sayang banget kalau dibuang. Bolehkah saya memungutnya ?Tapi kalau dipungut, takutnya ada orang yang punya. Kalau ada yang punya dan saya ambil bawa pulang, berarti saya maling dong ?
Saya merasa perbuatan saya itu tidak benar. Lalu saya urungkan niat saya mengambil Pakis Tanduk Rusa itu. Itu maling namanya. Sayapun melanjutkan jalan lagi.
Di jalan, saya terbayang pohon Pakis Tanduk Rusa yang cantik itu. Bathin saya berkata , lha sebenarnya siapa pemilik tanaman itu? Mengapa diletakkan di situ? Apakah sudah dibuang atau bagaimana ya? Tapi kalau lokasinya di situ, semua warga tahu itu tempat orang membuang sampah tanaman. Berarti boleh dipungut dong sebenarnya? Bagaimana kalau saya pungut saja, toh yang punya sudah membuangnya ke situ?
Berpikir begitu, sayapun berputar lagi dan menuju tempat Pakis itu dibuang. Saya mendekat. Memotret tanaman yang masih terlihat bagus itu. Saya ingin mengambilnya. Tapi entah kenapa pikiran saya ragu. Ah… belum tentu pemiliknya bermaksud membuang tanaman ini. Bisa jadi ia cuma nitip dulu sementara di sini. Nah jjka saya ambil, berarti saya ini maling ya? Waduuuh… tidak benar itu.
Sayapun menjauh lagi. Coba lupakan sajalah niat buruk itu. Tidak baik. Mengambil sesuatu yang bukan milikmu , apalagi dengan niat memiliki itu adalah sebuah kejahatan. Orang tua saya, saudara saya, guru saya di sekolah, semua mengajarkan begitu. ASTEYA!!!!! Tidak boleh mencuri. Tidak boleh mengambil milik orang lain.
Di jalan, kembali saya berpikir, kalau saya ambil, sebenarnya saya kan tidak mencuri ya? Kan ngambilnya dari tempat sampah pohon? Itu MEMUNGUT namanya, bukan MENCURI. Sama seperti nelayan yang mengambil ikan di lautan. Ngambil milik Tuhan. Karena tidak ada manusia lain yang memilikinya.
Lho, tiba-tiba saya kangen ketemu petugas kebersihan taman. Mau minta ijin. Bolehkah saya mengambil pohon itu dan membawanya pulang? Tapi tidak ada petugas taman saya lihat pagi ini.
Saya mendekat lagi dan memandang pohon Pakis Tanduk Rusa itu. Alangkah indahnya. Saya ambil saja ya. Ini tidak ada pemiliknya. Tapi jika ternyata pemiliknya hanya meminjam tempat saja di taman untuk sementara, tetap saja saya mencuri namanya ya? Kecuali jika saya ketemu pemiliknya dan diijinkan mengambil. Weh… rasanya bingung sendiri.
Tapi kemudian saya ingat, satu ucapan Bapak saya, “Jika kamu ragu, tidak jelas dan yakin apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak, maka JANGAN kamu lakukan!!!! Itu akan menyelamatkanmu dan tetap membuat kamu selalu berjalan dalam kebaikan dan kebenaran”.
Ingat kalimat Bapak saya itu, sayapun membulatkan pikiran. Tidak boleh mengambil Pakis Tanduk Rusa itu. Tidak boleh!!!!
Saya melanjutkan perjalanan saya pulang. Menjelang jembatan, sekali lagi saya menoleh ke arah Pakis Tanduk Rusa itu yang sebentar lagi akan hilang dari pandangan mata saya.
Seorang pemulung dengan karung di punggung dan alat pengais dari besi di tangan kanannya rupanya mendekat ke arah pohon Pakis Tanduk Rusa itu. Saya menontonnya dari kejauhan. Ia berhenti sejenak, memandang ke tanaman hias itu sebentar. Lalu mengambil dan memasukkan pohon Tanduk Rusa itu ke dalam karungnya.
Saya tersenyum di dalam hati saya. Menengadah ke langit. Burung-burung berkicau dengan riang. Mereka selalu berkicau riang di telinga saya, seperti biasanya.
Teman-teman pernahkah mengidamkan sesuatu, namun kenyataan yang diterima sangat jauh dari harapan?
Pertengahan bulan November lalu saya membeli berbagai jenis umbi Caladium dan bonggol Aglonema lewat sebuah toko online. Wow! Banyak bentuk maupun warna daunnya yang eksotis. Ada yang hijau beludru, pink, merah, kuning, bahkan keemasan. Keren-keren deh pokoknya.Caladium nopakau, C. nagoya, C. white bone, CLD 039, Keladi Baret Merah, Caladium Big Boss, Alocasia dragon scale, alocasia black velvet, dsb.
Saya tertarik, karena harganya sangat murah dan promo pula (soalnya di tukang tanaman di Bintaro, harga tanaman hias model gini sungguh membuat kita narik nafas panjang-panjang). Plus gara-gara saya membaca iklan entah di mana, daripada membeli tanaman yang sudah tumbuh secara online, belum tentu hidup setelah nyampai di rumah, lebih baik beli umbi atau bonggol, yang pasti hidup.
Setelah menunggu pengepakan dan pengiriman, akhirnya nyampailah umbi-umbi keladi dan bonggol-bonggol aglonema yang akan sangat menawan bentuk dan warnanya nanti ini. Langsung di tanam di pot-pot kecil dulu dong ya.
Seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru oleh orang tuanya, setiap hari saya mengengok umbi-umbi dan bonggol-bonggol itu. Menunggu saatnya ia bertunas dan memunculkan daunnya yang indah.
Kira-kira dua minggu kemudian, di awal Desember, mulailah umbi-umbi Caladium cantik ini bertunas. Wow…senangnya hatiku.
Tapi tunggu dulu…. saya agak curiga. Kenapa warna daunnya seperti ini ya? Sejak daunnya masih menggulung, saya melihat bayangan bintik-bintik putih di daun itu. Saya langsung curiga. Jangan-jangan… hmmm 🤔🤔🤔
Benar saja kecurigaan saya. Ternyata daun keladi itu muncul tidak sesuai motif dan warnanya dengan yang ditunjukkan oleh pedagangnya di toko online itu 🥺🥺🥺.
Daunnya berwarna hijau terang, dengan tulang daun berwarna merah, lalu di lembar daunnya banyak bintik-bintik putih. Lah…kalau yang jenis begini ini, saya juga ada di rumah kami di Sukabumi. Juga ada di rumah Bapak saya di Bali. Jenis yang biasa dan mudah ditemui. Bahkan di Bali kami punya yang warnanya lebih full merah kecoklatan lagi.
Saya kecewa. Tapi okelah. Mungkin pedagangnya salah mengirimkan. Barangkali cuma satu ini. Mudah-mudahan yang lainnya sesuai pesanan.
Akhirnya yang lainpun satu per satu mulai muncul daunnya. Yang ke dua, ternyata sama seperti itu juga. Daun hijau, tulang daun merah dan bintik-bintik putih. Waduuuh… mengecewakan. Masak pedagangnya salah dua kali 🤔🤔🤔.
Tapi ternyata yang ketiga dan keempatpun begitu juga. Semuanya sama. Demikian juga yang berikutnya. Lho, salah semua?Waah… kalau begitu, bisa saya simpulkan bahwa pedagang telah mengirimi saya umbi yang tidak sesuai dengan yang ditunjukkan gambar di toko onlinenya.
Sedih juga rasanya. Kenapa begitu ya? Apakah tumbuhnya memang seperti itu dulu, baru nantinya berubah, atau bagaimana ya?
Hari ini saya coba meminta penjelasan dari penjualnya di kolom ulasan dari pembeli. Semoga direspon dengan baik.
Seorang teman bertanya, bagaimana sebaiknya jika kita ingin memberi sapaan untuk Wanita Bali dalam Bahasa Bali.
Baiklah saya share sepintas di sini ya.
Memanggil seorang wanita di Bali, secara umum sama dengan di daerah lain. Kita lihat-lihat dan perkirakan usianya. Seumuran dengan kita ? Jauh lebih tua dari kita? Jauh lebih muda dari kita? Jika tidak tahu, dikira-kira saja.
Jika memanggil wanita yang SEUMURAN dengan kita, umumnya kita boleh meMANGGIL NAMAnya saja, atau NANA URUT dalam keluarganya (Wayan, Putu, Made, Kadek, Nengah, Nyoman, Komang, Ketut)
Misalnya nama saya Ni Made Sri Andani, maka bisa saja panggil saya Andani, Dani atau Sri. Boleh juga memanggil saya dg nama urut dalam keluarga saya. Karena saya anak ke dua, saya boleh dipanggil Made, Ade atau Kadek.
Jika memanggil wanita yang kira-kira UMURnya DI ATAS kita, maka untuk sopannya kita tambahkan kata “MBOK” di depan nama nomor urut keluarganya. Kata “Mbok” ini kira-kira setara dengan kata ” Mbak” kalau di Jawa. Misalnya jika nama saya Ni Made Sri Andani, maka saya bisa dipanggil dengan Mbok Made , Mbok Ade atau Mbok Kadek.
Jika wanita itu tidak ada nama nomor urutnya, maka kita panggil dengan Mbok + namanya. Misalnya Mbok Sri, Mbok Andani.
Bagaimana jika wanita itu LEBIH MUDA dari kita? Kalau wanita yang akan kita panggil itu lebih muda dari kita, cukup PANGGIL NAMAnya saja.
Misalnya nama saya Ni Made Sri Andani, maka jika yg memanggil merasa umurnya lebih tua dari saya, cukup panggil nama saya saja. Andani, Dani, Sri, atau nama nomor urut saya saja, Made, Ade, Kadek.
Jika kita sudah cukup akrab dengannya, maka untuk memanggil wanita yg usianya lebih muda dari kita, kita bisa memanggilnya dengan sebutan GEG atau GEK (aslinya berasal dari kata ‘Jegeg’ yang artinya Cantik) yang jika diterjemahkan setara dengan kata “Dik” dalam bahasa Indonesia.
Misalnya jika nama saya Ni Made Sri Andani, orang-orang yang lebih tua dari saya bisa memanggil saya Geg Made, Gek Ade, Gek Sri, Geg Andani.
Demikianlah kira-kira.
Jangan terbalik ya. Jangan memanggil wanita yang lebih tua dari kita dengan sebutan “GEG!”. Karena itu sama saja dengan memanggilnya ‘Dik!’. Kecuali jika kita memang ingin mengatakan Mbak Cantik, maka kita boleh memanggilnya ‘Mbok Gek’. Tetap ada kata ‘Mbok’ nya.
Dan sebaliknya jangan memanggil wanita yang lebih muda dari kita dengan sebutan “MBOK”.
Kebalik itu 😀.
Atau jika kita ingin memanggil wanita itu dengan kata ‘IBU’ di dalam Bahasa Indonesia, maka dalam Bahasa Balipun panggilan itu masih ok. Misalnya Bu Made. Bu Andani , dst.
Sepulang dari berjalan pagi, di dekat lapangan olah raga sebelah rumah saya melihat seekor kucing cukup besar berwarna orange sedang duduk di pojok lapangan yang ketinggiannya sekitat 1 meter dari jalanan. Terlihat santai dan sangat menikmati hari. Enjoy life!
Belum sempat memperhatikan lebih banyak, tiba-tiba saya melihat seekor kucing orange lain yang lebih muda dan kecil, mengintip dan mengendap-endap bersiap untuk menyerang Kucing orange yang sedang bersantai itu. Astaga! Kucing besar yang lebih tua itu tidak sadar dirinya akan diserang.
Belum sempat saya berpikir, kucing muda itu sudah melompat dengan sigap, berdiri depan kucing yang tua dan langsung mengerang mengancam. Mau tidak mau ia terpaksa bangkit dari duduknya dan menghadapi penyerangnya yang lebih muda itu.
Saya jadi ingin tahu, apa yang akan terjadi. Mengeluarkan hape dari saku dan merekam.
Mulailah adegan seringai menyeringai dan ancam mengancam dari kedua ekor kucing orange itu. Saya sendiri bingung, apa ya yang dipertengkarkan?
Setelah keduanya saling bentak, saling mengancan dan saling bertahan sambil mengadukan kepalanya, saya melihat kucing yang lebih besar mengalah. Pandangannya beralih ke tempat lain. Perlahan ia memindahkan kakinya, lalu melangkah pergi dengan gagah. Pelan pelan tapi pasti. Sesekali ia menoleh ke belakang ke arah kucing muda itu. Lalu menghilang di balik gardu listrik.
Saya lihat kucing muda itu sekarang mengambil alih pojok lapangan tempat kucing besar itu bersantai. Ia mencium lantai tempat kucing besar itu tadi duduk dan mulai melingkarkan badannya di situ.
Ooh… rupanya memperebutkan pojok lapangan, lokasi untuk bersantai. Saya mulai sedikit paham.
Tapi beberapa detik kemudian, ia bangkit lagi lalu berjalan meninggalkan pojok lapangan itu dengan santai. Kembali saya tidak paham.
Lho??!! Kok ditinggal? Lalu tadi itu bertengkar untuk apa?
Saya heran melihatnya. Kalau memang pojok itu tidak akan dipakai, mengapa harus diperebutkan dan dipertengkarkan? Dasar kucing!
Saya berhenti merekam. Kejadian itu berlangsung sekitar 11 setengah menit. Sungguh saya jadi penasaran , apa sesungguhnya motivasi kucing muda itu mengajak kucing yang lebih tua bertengkar?
Apakah memang ingin memperebutkan lokasi duduk di pojokan lapangan ? Atau ingin menjajal kemampuan bertengkar? Ataukah hanya sekedar mendapat pengakuan, bahwa teritori itu miliknya? Atau mau membuktikan slogan “kecil-kecil cabe rawit?”. Tak paham saya. Untung saja kucing besar itu baik hati dan mengalah. Kalau ia mau, saya yakin dengan mudah ia bisa membanting dan menggigit kucing muda itu hingga babak belur. Tapi tidak ia lakukan.
Mempertengkarkan sesuatu, yang sebetulnya nggak benar-benar ingin kita gunakan juga? Yang penting menang. Perkara nanti yang diperebutkan itu kita pakai atau nggak kita pakai, itu urusan belakangan.
Ego, terkadang membuat kita mengedepankan nafsu serakah dan keinginan berkuasa kita dengan tidak menghargai dan menghormati hak-hak orang lain yang sesungguhnya mungkin lebih butuh ketimbang kita.
Salah satu hal paling menarik yang bisa saya nikmati setiap kali berjalan pagi di perumahan adalah melihat-lihat tanaman tetangga. Bunga-bunga yang indah warna warni, buah-buahan yang ranum menggelantung di pohonnya, sayur-sayuran segar hidroponik yang dipajang di luar pagar. Semuanya bikin ngiler.
Seperti pagi ini, pandangan saya tertuju pada deretan kangkung, pakcoy dan bayam singapur, di instalasi hidroponik tetangga yamg dipajang di depan rumahnya. Seger banget. Kebayang segarnya hidangan sayuran hijau di meja makan, yg diolah dari sayuran baru petik.
Lalu berikutnya ada pohon mangga manalagi yang berbuah banyak dan rendah sejangkauan tangan. Tinggal loncat dikit rasanya nyampai itu. Rasanya pengen meminta & pengen memetik.
Manusia memang dibekali bakat “celamitan” dari sononya. Jangankan sayur, buah dan bunga. Wong rumput tetangga saja yg terlihat lebih hijau dipengeni.
Tetapi sebenarnya sadar nggak sih saya , bahwa untuk membuat rumput itu menjadi sedemikian hijau segar dan rapi, juga untuk membuat tanaman hias itu tumbuh subur berbunga warna-warni mewangi, dibutuhkan kerja keras pemiliknya untuk menanam, merawat, menyiram, memupuk, menyiangi???. Itu butuh modal, waktu dan kerja keras woiiii…
Demikian juga sayuran hidroponik dan mangga yang bikin ngeces itu. Semua ditanam dan dirawat oleh pemiliknya dengan sepenuh hati dan sepenuh pengharapan.
Lha, lalu siapa saya ini yang hanya sekedar seorang tetangga yang kebetulan lewat tanpa pernah berkontribusi apa-apa kok tiba-tiba menginginkan sayuran dan mangga tetangga itu ? Ingin meminta dan memetik…
Tak jauh dari pohon mangga itu, saya lihat ada Mbak asisten rumah tangga di rumah tetangga saya itu sedang menyapu. Sayapun berkomentar,
“Wow. Banyak sekali buah mangganya Mbak” .
Si Mbak dengan nada kurang ramah “Ya Bu. Tapi masih pada hijau”
Rupanya si Mbak tahu soal jiwa celamitan saya. Langsung ketus. Padahal saya nggak bilang minta lho.
Pengalaman Hidup : Kisah 10 TAHUN Menjadi Ombudsman Perusahaan.
Kemarin saat membuka laman Facebook. Muncul foto lawas saya bersama beberapa teman team promoters saat istirahat dari sebuah Sales & Marketing meeting session di sebuah hotel di tepi pantai Senggigi, Lombok 10 tahun yang lalu.
Foto itu menunjukkan kegembiraan suasana. Tetapi di balik foto itu, ingatan saya melayang pada sebuah hal penting dalam sejarah hidup saya. Karena pada hari itu, 8 Sept 2012, untuk pertama kalinya saya ditetapkan sebagai OMBUDSMAN alias Ombudsperson perusahaan Wipro Unza Indonesia menggantikan Ombudsman sebelumnya yang pindah tugas ke negara lain. Sebuah role tambahan, di luar tanggung jawab saya sebagai Marketing Director saat itu.
Sejak itu saya menjalankan tugas saya sebagai OMBUDSMAN Perusahaan hingga tanggal 15 Agustus 2022 yang lalu. Saya pensiun alias berhenti sebagai Ombudsman setelah menunaikan masa tugas saya selama 10 tahun.
Sepuluh tahun!!! Cukup lama juga ya. Tak terasa. Tentu banyak sekali yang saya alami selama menjalankan fungsi itu. Menangani berbagai kasus pelanggaran terhadap Code of Business Conduct & Ethics, serta Spirit of Wipro Value, nilai-nilai yang ditanamankan oleh perusahaan dan group. Ngapain aja kerjaannya sebagai Ombudsman? Ya banyak. Mulai dari menerima keluhan maupun laporan pelanggaran, menginvestigasi, menganalisa masalah, pembuktian, membuat kesimpulan, memberi rekomendasi kepada komite untuk pemecahan masalah dan penyelesaiannya yang tepat & adil . Jujurnya, pekerjaan seperti ini sangat mirip dengan kerjaan detektif saat menginvestigasi😀.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, tentu saja jumlah kasus yang saya tangani sangat banyak. Kasus besar, kasus kecil, kasus ringan, sedang hingga pelanggaran berat yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Jenis kasusnya juga beragam. Mulai dari kasus pemalsuan bon bensin, kwitansi hotel, pemalsuan data, penggelapan uang, penerimaan hadiah atau kado dari vendors, pelecehan verbal , pelecehan sexual, double job, penyalahgunaan wewenang & jabatan, sikap dan tindakan yang tidak adil /un-fairness, penyogokan, pemerasan, dsb.
Jika saya tengok ke belakang dan napak tilas perjalanan saya sebagai seorang Ombudsman, satu hal ingin saya katakan, saya sangat senang dan bersyukur berada di perusahaan ini, yang memiliki Value alias nilai-nilai baik yang diyakini dan ditanamkan kepada seluruh karyawannya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai atau value yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang bukan hanya sekedar dicatat dalam buku panduan ataupun plakat yang digantung di dinding.
Dengan guidance yang jelas dan transparant, sosialisasi yang baik tentang mana yang boleh dan tidak boleh, training yang memadai, konsultasi gratis, test & refreshment, membuat kita yang ingin jadi orang baik dalam kehidupan ini, menjadi lebih mudah.
Ibaratnya jika kita ingin tubuh kita bersih, maka jika kita berenang dan mandi di mata air yang bersih dan jernih tentu tujuan kita lebih mudah tercapai, ketimbang jika kita ingin badan kita bersih tapi berenang dan mandi di kolam yang airnya kotor dan keruh.
Berada di lingkungan yang bersih, dimana setiap orang dituntut untuk menerapkan nilai nilai kejujuran /integritas yang tinggi, respek terhadap orang lain/menghormati setiap orang tanpa memandang jabatan, gender, bangsa, agama, suku maupun rasnya, berusaha membantu agar orang lain sukses, tentu jauh lebih mudah. Sangat mudah, karena kita tinggal ikut jalur saja. Dan setiap orang di sekeliling kita itu pun bersih atau setidaknya paham bahwa ia dituntut bersih. Mungkin ada satu dua orang yang tidak bersih, tetapi lingkungan yang waspada tentu akan melaporkan lewat jalur yang disediakan.
Bisa dibayangkan jika kita hidup di lingkungan dimana budaya sogok menyogok , suap menyuap, sikap kasar, merendahkan orang lain, kolusi, nepotisme, korupsi dan berbagai pelanggaran lain dianggap biasa dan normal, walaupun jika kita ingin hidup bersih sendiri dan menolak ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan maksiat itu tentu jauh lebih sulit. Bisa-bisa kita dikata-katain dan dianggap SOK suci, sok bersih, pahlawan kesiangan, dsb.
Dipercaya menjadi seorang Ombudsman, memberi saya banyak pelajaran bagaimana seharusnya saya menempatkan diri saya.
Setidaknya saya harus belajar membuat diri saya terjangkau alias “reachable”. Agar orang-orang mudah menghubungi saya saat mereka butuh, merasa cukup dekat dengan saya sehingga berani curhat, mengeluhkan uneg-uneg dan melaporkan penyimpangan-penyimpangan yang mereka ketahui atau curigai tanpa beban.
Juga memberi saya pelajaran bagaimana agar saya sabar, tabah, teliti, tekun dan hati-hati serta harus melihat segala sesuatu dengan pikiran dan hati yang neutral dan berimbang, agar bisa melihat permasalahan drngan lebih menyeluruh. Ini sangat penting agar berikutnya bisa memberikan rekomendasi keputusan yg tepat dan adil.
Dan juga memberi saya pelajaran agar menjadi orang yang tabah dan berani, tanpa terpengaruh oleh kedudukan atau jabatan orang yang harus saya periksa interview dan interogasi.
Dan pelajaran yang terpenting lagi dalam hidup saya dari menjalankan tigas sebagai Ombudsman ini adalah melakoni apa yang saya katakan. Walk The Talk!
Sekarang saya sudah pensiun dari tugas saya sebagai Ombudsman. Tapi kenangan, pengalaman dan pelajaran yang saya dapatkan tak akan bisa saya lupakan sepanjang hidup saya.
Saya memiliki sebuah gambar Ganesha buatan seniman dari Bali.Gambar itu saya gantung di dinding teras. Lama kelamaan ia mulai pudar termakan waktu & terpapar cahaya. Terlebih ketika beberapa bulan yg lalu ada tukang ngecat tembok, kurang hati-hati, mengakibatkan gambar Ganesha saya semakin rusak. Hati saya sangat sedih. Tapi saya tak pernah menceritakan kesedihan akan gambar Ganesha ini kpd siapapun sebelumnya.
Niat saya hanya ingin mengganti gambar Ganesha itu dg yg baru. Barangkali akan saya gambar sendiri jika saya sudah punya waktu.
Sementara itu, pada saat yg bersamaan, di Pune, sebuah kota kecil di India yg jaraknya kurang lebih 4 500 km dari Jakarta, seorang sahabat melihat seorang seniman kaligrafi jalanan sedang melukis. Tiba tiba sahabat saya ini terpikir untuk memesankan buat saya sebuah gambar Ganesha dengan kaligrafi nama saya Ni Made Sri Andani dalam aksara Devanagari – bahasa Marathi. Dan menghadiahkannya untuk saya. Padahal ia tak tahu menahu tentang kesedihan hati saya akan gambar Ganesha saya yg rusak itu.
Apakah itu sebuah kebetulan? Ko- insiden? Entahlah. Yang jelas saya sangat senang menerimanya. Gambar Gabesha ini juga istimewa karena menggunakan beberapa atribut Krishna, seperti hiasan bulu nerak dan seruling.
Bagi saya, selain bisa menggantikan gambar Ganesha saya yg rusak sebelumnya, berarti teman saya ini juga mendoakan segala kebaikan untuk saya dan tidak ada rintangan yang berarti dalam perjalanan hidup saya.
Buku 50 CERITA INSPIRATIF dengan judul RESEP RAHASIA CINTA, adalah buku kumpulan tulisan tentang kejadian sehari-hari yang menarik, menginspirasi, atau memberi pelajaran maupun renungan dalam menjalani kehidupan.
Dengan sengaja saya memilih 50 dari sekitar 1150 tulisan tentang kejadian sehari-hari yang saya catat di blog https://nimadesriandani.wordpress.com/ antara tahun 2010 – 2022. Sebagian besar tulisan yang dipilih adalah yang bercerita tentang Cinta dan Kasih Sayang dan selebihnya adalah tentang hal-hal lain yang menginspirasi, baik dan berguna untuk pengembangan diri dan mental kita.
Mengapa tentang Cinta dan Kasih Sayang? Karena cinta dan kasih sayang adalah perasaan mendasar yang ada di hati mahluk hidup, yang memberi rasa suka, senang dan bahagia, walaupun terkadang melibatkan kesedihan dan pengorbanan di sisi lain. Sangat menarik mengamati sekitar kita, bagaimana rasa cinta itu ditunjukkan lewat perhatian dan kepedulian terhadap yang dicintainya dan memetik hal-hal positive dan intisari pelajarannya.
Di buku ini, kita akan menemukan berbagai kisah cinta dan kasih sayang. Mulai dari kisah kasih sayang dan perhatian anak pada ibunya yang sudah tua, kasih sayang ibu pada anak lewat sentuhan dan pijatan, kasih sayang dan perhatian pada saudara kandung, kasih sayang dan perhatian pada diri sendiri, bagaimana menghilangkan rasa cemburu, ekspresi cinta saat hari Valentine yang berbeda bagi setiap orang, kasih sayang pada sesama manusia dan sebagainya.
Kisah tidak terbatas pada kasih sayang sesama manusia, tetapi juga kasih sayang manusia pada hewan peliharaan dan pada mahluk hidup lain. Juga kisah cinta dan kasih sayang diantara binatang itu sendiri yang menginspirasi. Di buku ini misalnya kita bisa menemukan kisah menarik, bahkan seekor kucingpun rela berkorban demi memperjuangkan cintanya.
Selain cerita-cerita tentang Cinta dan Kasih Sayang, saya juga memasukkan tulisan-tulisan lain yang menginspirasi.
Misalnya saat menonton payung parasails di pantai Sanur, yang memberi saya inspirasi bahwa jika ingin pikiran kita berkembang dan maju, maka kita harus terbuka. Misalnya untuk menerima gagasan-gagasan baru ataupun ide-ide orang lain. Jangan kungkung pikiran dalam ego yang sempit dan picik. Saya tuliskan dalam kisah yang berjudul “Payung Yang Terkembang”.
Juga ada inspirasi tentang dunia tanpa sekat tinggi, tanpa batasan kesukuan, agama maupun status sosial. Dimana kita bisa memandang langit yang tunggal dan maha luas, memahami bahwa dunia tidaklah sesempit yang kita kira, namun selebar semesta tanpa batas. Renungan ini saya dapatkan ketika saya berkunjung ke rumah seseorang, dan saya tuliskan dalam kisah “Adalah Langit Yang Maha Luas”.
Masih banyak lagi kisah-kisah menarik lainnya. Semua yang saya tuliskan itu berdasarkan kejadian-kejadian nyata yang saya amati di sekeliling saya. Tentunya sangat menarik dan menginspirasi bagi saya sendiri, sehingga saya tuliskan, agar bisa saya ingat kembali dan ambil pelajarannya.
Semoga sahabat pembaca menemukan kisah-kisah yang saya tuliskan di buku ini juga menarik dan menginspirasi serta bermanfaat.
Sebenarnya buku ini sudah saya terima dari Bang Eki Thadan Metaforma beberapa bulan yang lalu. Baru sempat saya baca.
Judulnya sendiri emang dah unik. LAKI LAKI LAKU. Yang kayak gimana ini ? Penasaran dong ya?
Rupanya Antologi Bersama 11 Penyair Laki-Laki Indonesia, Wanto Tirta, Tampil Chandra Noor Gultom S.Sos., M.Hum, Sudarmono, Soekoso DM, Sam Mukhtar Chan, Rd Nanoe Anka, Prawiro Sudirjo Octavianus Masheka, Dian Rusdi, D’Eros Sudarjono dan Aris Nohara.
Hanya khusus laki-laki karena menurut Editornya, Bang Eki Eki Thadan, puisi-puisi di buku ini mestinya berkisah tentang potensi lelaki yang tidak diketahui kaum hawa.
Sebagai pembaca hawa yang awam, coba saya simak dan petik beberapa ya. Tentu saja semua yang saya tuliskan ini adalah interpretasi saya semata sebagai seorang pembaca.
Ha! Ternyata bermacam-macam gaya kaum adam ini berpuisi. Topiknya pun beda-beda, mulai dari pencarian, hasrat, cinta dan kerinduan, takdir sebagai laki-laki, berondong, pencarian jati diri, dan sebagainya.
Saya tertarik pada judul “Mamba Hitam” karya Aris Nohara. Black Mamba adalah sejenis ular berbisa yang sangat mematikan. Dan puisi ini dimulai dengan kalimat ” kata-kata melingkar di tubuh kawanmu/mendekapnya hingga sesak/dan begitu tak berdaya…”. Entahlah… dari judul dan pembukaannya saya merasakan kengerian dan duka yang dalam. Seseorang telah menderita atau binasa akibat kata-kata beracun orang lain yang diibaratkan sebagai ular mamba. Ngeriii.
Lalu ada puisi yang puitis romantis karya Octavianus Masheka berjudul Orkes Hujan Rindu. Saya pikir ini puisi yang disukai banyak perempuan. Bikin hati wanita klepek-klepek. Wanita mana sih yang tak bahagia mendengar kalimat “…. aku berdansa sendiri dalam melody rindu/membayangkanmu dalam pelukanku” oleh kekasihnya ?
Ha! Ini ada yang protes. “Sebuah Tanya” karya Prawiro Sudirjo. “Laki-laki itu ‘letoy’, lemah dan kaku kok laku? Iya Memang susah untuk memahami mengapa kok laku . Karya-karya Prawiro Sudirjo di buku ini bisa dibilang menohok.
Rd. Nanoe Anka datang dengan puisi-puisi cinta. Ada yang berjudul “Akulah Lanang Ing Jagad. Kelihatannya mantap ini. Kalimat-kalimatnya sangat convincing bagi kaum wanita untuk mengakui ya betul… kamulah arjuna impianku.
Wanto Tirta menuliskan 3 puisi yang saya pikir themanya menyentuh masalah spiritual, sosial dan kemanusiaan. Entahlah apa benar atau salah. Saya menangkap upaya pencarian makna diri yang cukup kuat di sini.
Penyair Sudarmono, menuliskan puisi-puisi yang berkaitan dengan pencarian cinta lelaki.
Eros dalam puisinya Seringkih Kristal berkata tentang takdir sebagai laki-laki yang harus terus dijalani. Ooh begitu ya? Saya baru terpikir jika laki-lakipun bisa menganggap bahwa jadi laki-laku itu adalah takdir. Bukan wanita saja yang berpikir begitu.
Ada pesan yang disampaikan oleh Soekoso DM untuk wangsa Hawa se Arcapada, agar tidak mendengarkan bisikan lelaki liar.
Sam Mukhtar berkisah tentang perjalanannya menuju senja . Ya…ketiga puisinya bercerita tentang lelaki di kala senja, yang membuat saya ikut-ikutan teringat bahwa senjapun sebentar lagi menghampiri diri saya juga.
Lalu Chandra Noor Gultom benar-benar khusuk dengan laki-laki laku itu seperti apa. Dijelaskan dalam puisinya Bukan Kuda Liar Sutera Pilihan dan juga Ksatria Tak Kan Gagap.
Dian Rusdi menuliskan lelaki sebagai sosok ayah dalam puisinya Senja dan Lelaki Matahari Itu Ayah.
Sekali lagi, ini adalah interpretasi saya sebagai seorang pembaca. Selebihnya, arti dan makna dari tiap -tiap puisi ini tentu hanya penyairnyalah yang tahu.