Category Archives: Life

PENARI YANG KABUR DARI PANGGUNG.

Standard
Ni Made Sri Andani – menari Topeng Tua.

Seorang kakak saya berkomentar di Sosmed, di foto saya yang sedang menari.

“Aniii….nu lana ingetanga igis-igis. Awas, dasaanè ngalaib ka sisi (malipetang) 🤣🤣”

Artinya kurang lebih, “Waaah… masih ingat (menari) juga rupanya dikit-dikit, ya. Awas, jangan sampai kabur & balik ke belakang panggung lagi 🤣🤣”.

Begitu komentarnya dalam bahasa Songan, sambil tertawa.

Note: Bahasa Songan adalah bahasa yang dicakapkan masyarakat Bali Mula di pegunungan Kintamani. Ada sekitar 40% perbedaan kosa kata dengan Bahasa Bali biasa.

Saya 🙄 🤣😂😍

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya ini menari sejak kecil. Selain tari pendet, panyembrama, tenun, margapati, panji semirang, nelayan, legong keraton, wiranata, oleg tamulilingan, saya mempelajari tarian laki-laki juga, seperti Tari Baris, Tari Jauk Keras, Tari Jauk Manis, dsb.

Suatu ketika, ada upacara di desa Songan. Bapak memberitahu jika malam nanti saya dan saudara-saudara akan ngayah menari di halaman pura. Ngayah artinya, melakukan pekerjaan di Pura (misalnya bersih-bersih, membuat banten, menari, mekidung, dsb) tanpa bayaran.

Pada jaman itu, jika di pura akan ada tari-tarian, maka halaman pura yang tadinya kosong, maka akan disulap dan didandani, dijadikan kalangan (panggung pertunjukan).

Kalangan, atau arena panggung akan dibuat dengan menancapkan tiang-tiang bambu membentuk ruang persegi panjang yang juga dibatasi lagi dengan bambu di sisi kiri, kanan dan depan untuk mencegah penonton merangsek masuk ke dalam kalangan. Dihiasi dengan janur dan pelawa (hiasan dedaunan) dan di atapnya digantungi dengan tamiang dan hiasan janur serta bunga lainnya. Sebagai alasnya diletakkan tikarr- tikar daun pandan yang berfungsi sebagai karpet, di mana penari akan menari di atasnya. Butuh cukup banyak tikar yang dusambung-sambung untuk menutupi selurih Kalangan, mengingat ukuran tikar biasanya hanya sepesekian dari ukuran Kalangan. Di sebuah ujung Kalangan, akan dipasang Langsè, sejenis gorden besar dan tinggi yang dibelah dua di tengah-tengah, darimana nantinya penari akan muncul dengan cara membuka Langsè itu.

Nah sekarang waktunya saya menari. Gamelan Jauk Keras telah berbunyi dengan kencang dan irana yang sangat cepat.

Pak dug pak dug pak dug.. Jreng!!!
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong 🎶🎶

Saya menarikan Tari Jauk Keras yang menggambarkan seorang penguasa yang penuh semangat, namun cenderung ambisius, kasar dan arogan. Tari ini menggunakan Topeng yang wajahnya berwarna merah.

Saya pun membuka Langsè, mulai membawakan bagian pembukaan dari Tari Jauk ini. Melihat penonton yang sangat banyak dari balik mata topeng yang saya kenakan. Gerakan tari ini sejak awal memang sudah sangat dinamis, cepat dan penuh tenaga. Lalu saya bergerak dan bergerak terus semakin ke depan mengikuti irama gamelan.

Setelah beberapa gerakan pembuka, sekarang tarian memasuki fase pengawak, alias ” Mapang” , dimana gerakan di fase mapang ini adalah gerakan yang paling keras dan kencang. Entah kenapa, mungkin karena pandangan dari balik topeng sangat sempit, saya kurang memperhatikan ke bawah, eeeh.. kaki saya yang tanpa alas, tersangkut di salah satu ujung tikar daun pandan yang dijadikan alas menari.

Waduww, kacau!!!. Saya kehilangan fokus. Perhatian saya terpecah ke kaki yang terasa sedikit perih. Ketika saya hendak kembali menari, tiba-tiba saya tidak bisa mengingat sampai di mana gerakannya tadi. Sementara musik terus berjalan dengan sangat keras dan bising.

Tari Bali adalah tari yang ketat. Antara gamelan dengan gerakan harus menyatu. Kapan harus menggerakkan tangan, kapan harus menggerakkan kaki, leher, kepala dan sebagainya tidak bisa seenak udel.
Astaga! Saya tidak bisa mengingatnya, kalau gamelan ini gerakannya harus bagaimana ya.

Dan saya benar-benar nge-blank!!!

Karena merasa malu terdiam terlalu lama di panggung tanpa mampu mengingat kembali gerakan, akhirnya saya memutuskan untuk lari, kabur, masuk kembali ke dalam langse.

Penonton pada bengong semuanya. Demikian juga tukang gamelan. Mereka pun menghentikan gamelannya. Dan heran, apa yang terjadi ?

Di belakang panggung, Bapak saya memenangkan dan membesarkan hati, setelah tahu mengapa saya kabur dari panggung. Karena kaki saya tersandung dan saya tak bisa fokus pada gerakan tariannya, dan tiba-tiba nge-blank tidak bisa mikir. Saya malu.

Kegagalan adalah sebuah hal yang biasa dalam hidup. Bukan untuk dirutuki dan untuk membuat kapok tak mau mencoba lagi. Kegagalan justru harus dipelajari, agar kita bisa melakukan perbaikan berikutnya. Anggap saja latihan.

Sesaat kemudian setelah saya tenang, Bapak saya menawarkan apakah saya mau mengulang lagi menari dari awal. Saya mengangguk. Saya harus mengulang lagi menari dan membuktikan kepada penonton, bahwa saya memang bisa menari.

Gamelan terdengar lagi, dan sayapun menari kembali. Melupakan kegagalan yang pernah saya alami. Saya bertekad untuk sukses. Dan saya berhasil menunjukkan kesuksesan menari malam itu.

Sayapun terus menari.

ART FUSION – Kebebasan Berekspresi di Pentas Seni.

Standard

ART FUSION.
Olah Kata, Tari dan Lagu .
Kebebasan Berekspresi di Tengah Pentas Seni.

Ni Made Sri Andani – I Bungkling.

Ketika Mbak Dyah Kencono Puspito Dewi menawarkan kepada saya untuk mengisi slot waktu pementasan di pentas seni “MERENGKUH BUMI”, di Teater Kecil di TIM, saya mengangguk setuju saja untuk tampil membacakan puisi.

Namun ketika hari semakin dekat dengan tanggal pementasan, saya melihat kembali chat dari Mbak Dyah serta melihat di poster bahwa selain puisi ada juga penampilan kesenian dalam bentuk lain.

Lalu terpikir oleh saya, kenapa saya tidak nenari saja? Saya menari Bali sejak bocah, baik di Pura, di Sekolah, di Balebanjar, Art Center dan sebagainya. Saya berguru kepada alm Ni Ketut Sudiari, bibi saya sendiri yang seorang penari, lalu pada guru tari Bali alm Wayan Gatri dari Tampaksiring, dan kadang berlatih dibawah arahan dan bimbingan maestro tari alm Pak Made Pasek Tempo yang sering berkunjung ke rumah jaman dulu. Hanya setelah di Jakarta, saya jarang menari.

Ha! Baiknya saya menari saja. Sayapun memutuskan untuk menari dan ngajak Yanuar, Deka, Lukman, Budi, Sri, Cory, Miyati – teman-teman saya di kantor yg juga suka menari untuk ikut menari juga.

Mbak Dyah bilang, tapi Mbak Dani tetap baca puisi juga lho ya.

“Oke!”, kata saya sambil berpikir, puisi apa yang akan saya bacakan nanti.

Selagi memikirkan tokoh tari “TOPENG TUA” yang akan saya tarikan nanti, saya mendapatkan inspirasi untuk menulis puisi tentang tokoh Topeng Tua itu sendiri. Menurut saya ini menarik.

Begitu puisi rampung, saya mencoba membacakannya di halaman rumah. Ternyata lebih nyaman jika dibawakan sambil menari. Lah… ternyata sebuah tarian, menginspirasi lahirnya sebuah puisi. Dan sebaliknya, sebuah puisi bisa menginspirasi gerakan yang melahirkan tarian baru.

Apalagi jika diselingi dengan gending yang berirama, gerakan terasa semakin menyatu. Mengingatkan saya akan kesenian ” ARJA”, sejenis Opereta tradisional dari Bali. Dimana kisah dusampaikan oleh pemainnya lewat gerakan tari dan lagu.

Demikianlah saya bernyanyi, menari dan membacakan puisi yang sekarang terasa menjadi sebuah kesatuan baru. Saya membuka pembacaan puisi “Werdha Lumaku” dengan menyanyikan dan menarikan gending traditional lawas “I Bungkling” dan menutupnya dengan sebuah pupuh Sinom dasar “Iseng-isengang Menyurat”. Sementara saat jeda di pertengahan puisi, saya menyanyikan “Legod Bawa” lagu tanpa syair, yang hanya mendendangkan nada-nada swaranya secara traditional.

Saya tidak tahu, apakah jenis pementasan gabungan seperti ini menyalahi pakem pementasan yang ada. Namun saya pribadi berpikir, selagi kita merdeka, kita bebas mengekpresikan ide-ide kita dalam bentuk apapun dan dalam bentuk campuran apapun, sepanjang kita tidak merugikan orang lain dan tidak menyalahi aturan undang undang yang berlaku 😃😃😃

Saya sendiri merasa senang, karena bisa mengekpresikan cinta saya pada gending-gending Bali lawas, yang tidak banyak lagi orang mengingatnya.

Salam lestari budaya daerah !

WERDHA LUMAKU

Standard

Sebuah puisi, karya Ni Made Sri Andani.

WERDHA LUMAKU.

Prajurit Tua
Terbangun dari duduknya
Memandang ia ke sekitar
Menyadari
jika puncak telah terlampaui
Lewat pendakian panjang
Menebas hutan semak belukar
Mengarungi lautan bergolak
Gurun tandus nan memanggang
Jalan berliku dan jurang terjal
Semua telah ia lampaui

Ooh prajurit tua
Telah ia jalani kehidupan
Menyesap segala rasa
Melukis dengan segala warna
Menggores segala bentuk dan grafis
Melampaui rasa nikmat, amarah dan ketakutan

Ia telah mengintai di semak belukar
Beribu-ribu jam lamanya
Mengatasi rasa sakit, terhina dan tefitnah
Menikam batalyon demi batalyon musuh hingga menyerah
Bertekuk lutut tak berdaya

Prajurit tua
Sekarang mengamati keriput di tangannya
Mata yang merabun
Rambut yang memutih

Benar !!!
Waktu telah merentakan tubuhnya
Penyakit telah melemahkan lututnya
Encok dan asam urat
Memperlambat langkahnya
Namun
Tiada yang mampu
merampas semangat juangnya

Lelaki tua yang tak pernah menyerah
Berkata ia kepada prajurit muda
Janganlah engkau menyerah sekarang
Setelah berjalan ribuan kilometer
Tanpa menyadari jika kesuksesan cuma tinggal sejengkal lagi di depanmu

Namun
Janganlah jua engkau berfokus diri
Pada kesuksesan duniawi
Tanpa menjunjung tinggi
Nilai-nilai kehidupan

Lelaki tua
Memandang ke belakang
Sekali lagi berkata pada prajurit muda
Yang terpenting dalam kehidupan
Bukanlah harta kekayaan
Tapi
Persahabatan
Kepercayaan
Rasa kemanusiaan
Empati dan Kasih Sayang
Serta Kejujuran.

Aku berbicara kepadamu
Bukan karena lebih pandai
Namun
Karena aku lebih dahulu
Lahir ke dunia ini.

Bintaro, Juni 2023.

Penciptaan puisi ini terinspirasi dari tari ” TOPENG TUA” yang mengisahkan seorang Ksatria di masa tuanya.
Saya sangat menyukai karakter Topeng Tua itu, sehingga darinya saya menuliskan puisi ini, yang saya bacakan dalam mengisi Pentas Seni, “Merengkuh Bumi” di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Jakarta, pada hari Minggu siang, tanggal 11 Juni kemarin.

Ni Made Sri Andani, membacakan puisi Werdha Lumaku di Taman Ismail Marzuki.

PUPUK UREA YANG HILANG.

Standard

Ini kisah pagi minggu yang lalu.
Saya sedang semangat merapikan tanaman di halaman. Pasalnya sejak beberapa bulan, tanaman-tanaman hias ini tidak pernah saya sentuh. Banyak yang sudah berubah bentuk.

Ada Sirih gading yang sudah menjalar kemana-mana Ada Singonium yang sudah merambat keluar dari potnya. Ada beberapa tanaman Spider Plant yang berpuluh-puluh anakannya sudah menggantung harus segera dipisah.

Pot & media tanam sudah saya beli minggu yang lalu. Hari ini tinggal memisahkan anakan tanaman-tanaman ini dari indukannya ke pot-pot yang baru.

Saya ada juga membeli 2 kg pupuk urea dan 2 kg pupuk npk. Eeh, tapi di mana ya?

Saya cari-cari di tempat pot tidak ada. Di belakang bale tempat biasa menyimpan peralatan tanaman, juga tidak ada. Di laci teras belakang juga tidak ada. Hmmm…di mana ya?

Barangkali di rak barang-barang yang digudangkan. Tidak ada juga! Di mana ya?
Suami saya dan Bapak Supir yang kebetulan ada di rumah juga ikut membantu mencari-cari, tapi tidak ada. Adduhh…di mana ya. Kalau barang-barang itu hilang, lumayan juga ya. Soalnya bukan hanya pupuk urea dan npk, tetapi ada juga gunting dahan yang baru dan sekop kecil. Duuhhh!

Lalu saya mulai nge-chat Mbak yang biasanya membantu pekerjaan saya di rumah, yang kebetulan hari ini nggak masuk. Barangkali beliau tahu. Lama, belum dibalas juga.

Melihat kegelisahan saya, suami mulai bertanya, apa mungkin ketinggalan di toko? Lupa tidak terbawa? Ooh ya!. Bisa jadi juga sih. Saya lalu bertanya, siapa yang menurunkan barang-barang itu dari kendaraan ya?

“Saya !”Kata Pak Supir sambil tersenyum.

“Lha? Terus nggak lihat ada pupuk, gunting dan sekop kecil?”

“Guntingnya warna apa, Bu?

“Merah putih. Sekopnya warna hijau”

“Saya lihat ada gunting, Bu. Tapi warna kuning”

“Lha, bukan yang itu”

Pak Supirpun tertawa dan kembali ikut bingung mencari-cari. Tapi pupuk, gunting dan sekop itu tetap tidak ada.

“Kalau tidak ada di kendaraan, berarti memang ketinggalan di toko” , komentar suami saya.

Saya coba mengingat-ingat . Ya. Barang-barang itu, pupuk, gunting dan sekop kecil memang terpisah dari pot dan media tanam. Karena tempat displaynya di dekat kasir. Sedang pot dan media tanam ada di bagian depan toko yang luas itu Saya jadi ingat, barang-barang yang tidak ketemu itu saat diletakkan di meja kasir.

“Kita tanya saja ke toko. Mungkin ketinggalan di situ. Kan tokonya dekat ini” saran suami.

Oh ya, sebenarnya bisa saya telpon ke toko. Struk pembeliannya masih ada di dompet. Mungkin ada nomer telpon tokonya di situ. Ah, benar. Ada nomer telpon call centernya.

Sayapun menelpon. Menceritakan bahwa minggu yang lalu saya membeli beberapa pot, media tanam, pupuk, gunting dahan dan sekop. Tapi pupuk, gunting dan sekop saya ketinggalan di meja kasir.

Sang penerima telpon menanyakan siapa kasirnya saat itu. Saya lihat di struk pembelian, nama kasirnya adalah Agil. Lalu beliau memberikan nomer Agil dan mempersilakan saya menghubungi Agil secara langsung. Ah, senang hati saya.

Sayapun langsung menelpon Agil. Tidak diangkat. Coba telpon lagi tidak diangkat. Telponnya tidak aktif. Akhirnya saya nge-chat Agil. Setidaknya, nanti jika beliau sudah aktif, chat saya terbaca olehnya.

Isi chat saya, bahwa saya adalah ibu yang berbelanja pot, dan keperluan kebun lainnya minggu lalu, saya ketinggalan sebagian barang belanjaan saya di meja kasir. Lalu saya detailkan apa saja barang yang tertinggal. Hingga setidaknya 7 baris panjang chat saya.

“Sudah saya chat” kata saya kepada suami dan Pak Supir dengan perasaan lega.

Saya membayangkan kembali kejadian-kejadian yang berlangsung di toko itu. Rasanya seperti menonton film.
Saya melihat diri saya sedang membayar di kasir. Agil memasukkan kode barang ke dalam mesir kasir, sementara saya berdiri di depannya. Pupuk urea 2 kg. Pupuk NPK 2 kg. Bibit ketumbar 1 pack. Gunting dahan 1 bh. Sekop kecil 1 bh. Agil memasukkannya sambil menumpuk barang-barang itu di meja kasir.

Lalu Agil meminta Salesman toko yang melayani saya untuk membacakan jenis-jenis pot yang saya dan suami saya beli saat itu, lalu saya menyebut 4 karung media tanam. Saya membayar sejumlah yang disebutkan.

Agil memasukkan pupuk, benih, sekop dan gunting itu ke dalam sebuah plastik besar lalu mengasongkannya kepada saya.
Lalu Agil menyuruh Salesman itu untuk mengantarkan pot-pot ke kendaraan saya. Dan juga meminta Salesman untuk mengambilkan 4 karung media.

Saya melihat diri saya berjalan keluar dari pintu toko, melintasi tumpukan display pot-pot di bagian depan toko lalu menuju ke kendaraan. Suami saya yang berdiri di dekat kendaraan segera mengambil alih bungkusan tas plastik yang saya bawa lalu berkomentar,

“Wow! Berat juga ini. Harusnya jangan ngangkat yang berat-berat begini” kata suami saya.

“Ya. Paling tidak 4 kg beratnya. Itu pupuknya saja. Belum yang lain-lain” jawab saya.

“Ya. Makanya jangan angkat-angkat yang berat begini. Harusnya tadi minta tolong Salesmannya saja yang ngangkatin. Ntar kan bisa kita kasih uang” omel suami saya.

Lalu ia mengangkat plastik itu dan meletakkannya di bagasi kendaraan. Saya lihat, setelah itu saya masuk ke dalam kendaraan dan tidak lagi memperhatikan salesman yang mengangkat pot dan media tanam.

Setelah memutar ulang kejadian itu di kepala saya, saya ingatkan kembali ke suami saya bahwa ia menerima plastik berisi pupuk itu dan berkomentar jika itu terlalu berat buat saya. Nah sekarang ia ingat. Pupuk itu sudah masuk kendaraan. Tapi sekarang sudah tidak ada di kendaraan. Artinya pasti sudah ada di rumah, walau entah di mana diletakkan oleh entah siapa.

Tepat ketika suami saya mengatakan ia ingat akan kejadian itu, tiba-tiba terdengar notifikasi di WhatsApp. Balasan chat saya dari Mbak yang setiap hari membantu pekerjaan rumah tangga

” Ibu, pupuknya saya taruh di dalam box di bawah keranjang setrikaan”.

Lah, baru jawab. Setelah sejam lebih terjadi drama yang heboh. Dan ternyata pupuk itu memang ada di dalam box di bawah keranjang setrikaan.

Waduuuh…
Bagaimana ini? Mana sudah melayangkan complaint ke pihak toko peralatan tanaman pula.

Cepat-cepat saya menelpon customer servicenya kembali. Mengabarkan jika pupuk-pupuk itu sudah ditemukan di rumah saya dan saya meminta maaf atas kesalahan saya yang sudah komplain padahal saya yang kurang teliti dan kurang sabar dalam mencari tahu.

Demikian juga pesan chat yang saya kirim ke Agil. Untungnya belum dibaca oleh Agil. Cepat-cepat saya delete semua. Aduuuh, maaf. Maaf.

Saya menegur diri saya sendiri ,” Lain kali, periksa dan teliti dulu diri sendiri dan pastikan tidak ada yang salah di pihak kita, sebelum menyalahkan orang lain.
😢😢😢

DRIVER DENGAN KAKI YANG DIAMPUTASI.

Standard

Jam makan siang tiba.
Saya jadi ingat kejadian kemarin, di jam makan siang yang sama.

Saya memesan Ayam Bakar lewat aplikasi online Go Food. Setelah sedikit chit-chat dengan Kakak Driver, tak berapa lama, saya melihat di status bahwa makanan sudah siap dan Kak Driver yang mengantarkan juga sudah dekat.

Saya memutuskan untuk turun dan mengambil sendiri makanan pesanan saya itu. Di lift, saya sempat melirik ke aplikasi dan terlihat bahwa Kakak Driver posisinya sudah di gedung tempat saya berada. Melangkahlah saya keluar dari lift dan menuju ruang depan lobby, dimana biasanya para Driver Go food atau Grab food menunggu.

Begitu pintu kaca lobby saya buka, beberapa drivers online food yang duduk menunggu serta merta menyapa saya.
“Mbak Shanti, bukan?” Saya menggeleng. Bukan.

“Bu Bintang ya?” Driver yang lain menebak. Saya menggeleng. Bukan.

” Kak Yunita, bukan?” Driver yang lain lagi bertanya.

Saya menggeleng, dan tetap menggeleng ketika para drivers itu lanjut gantian bertanya. Tak ada satupun yang menyebut nama saya.

Mata sayapun menyapu bungkusan makanan yang dibawa masing-masing kakak drivers itu. Dari beragam resto dan tempat makan, mulai yang terkenal hingga tak ada merknya.

Saya jadi teringat, driver yang mengantarkan pesanan makanan saya ini mesti membawa makanannya dlm bungkusan plastik merah. Karena, beberapa kali saya pernah mengorder dari resto ini, tas plastiknya selalu berwarna merah. Tapi memang tidak ada seorangpun dari driver ini yang menenteng tas plastik merah. Besar kemungkinan memang drivernya belum sampai di situ.

Kembali saya melirik aplikasi. Dan kembali menemukan bahwa driver sudah tiba di gedung ini sejak tadi. Kemana gerangan beliaunya? Saya mencoba mencari-cari tapi tidak ketemu.

Kembali lagi beberapa drivers yang berkerumun di situ menyapa saya. Mencari siapa, order makanannya apa, dari resto apa. Dan kembali lagi mereka kecewa, karena mereka bukan orang yang saya cari.

Saya kembali clangak-clinguk mencari-cari. Sangat yakin bahwa Sang Driver ini sudah tiba di gedung ini, tapi kemana ya?. Saya menduga barangkali ia berusaha nyari-nyari saya juga, cuma belum ketemu. Apa mungkinkah dia ke toilet dulu membawa serta makanan saya ke toilet juga ? 😀. Ha! Itu pikiran buruk. Ah, mengapa tidak saya telpon saja? Ya bener. Harusnya saya telpon saja.

Tepat ketika saya mengangkat telpon ke dekat telinga, tiba-tiba saya melihat seorang driver datang tertatih-tatih , berjalan pelan dengan tongkat untuk membantunya berjalan. Jalannya sangat pelan. Dan ia membawa bungkusan dengan platik merah.

Sesaat saya termangu. Ini adalah driver yang mengantarkan pesanan makanan untuk saya. Karena plastiknya merah. Pantesan nyampainya telat di lobby. Rupanya ia tidak bisa berjalan seperti layaknya orang lain. Tetapi mengapa dia berjalan dengan bantuan tongkat?

Ia terus berjalan mendekati saya. Dan berencana untuk naik tangga beberapa tingkat, karena saya berada di depan lobby yang posisinya lebih tinggi setara dengan 1/2 lantai dari posisi driver itu. Setidaknya ia harus naik 6- 7 anak tangga.

Sayapun tersadar seketika. Dan memberi kode meminta agar ia jangan naik. Biar saya saja yang menjemput turun. Sayapun menuruni tangga dengan cepat. Mengambil makanan pesanan saya. Melirik kakinya sepintas. Terbalut perban, kelihatannya diamputasi sebelah. Saya tak berani melirik terlalu lama. Banyak hal berkecamuk di pikiran saya. Bagaimana ya caranya dia naik sepeda motor dengan kaki seperti itu?

Hidup ini walau banyak memberi harapan, kebahagiaan dan hiburan, tetapi sering juga memberi tantangan untuk dihadapi dan ditaklukan. Ketika kita dalam situasi harus menghadapi bagian yang menantang itu, kita memberikan reaksi yang beragam. Ada yang pasrah, menyerah arau ada juga yang terus berjuang untuk menaklukannya. Jika kita perhatikan sekeliling di sekitar kita, kebanyakan malah mungkin mengeluh, menyerah dan menyalahkan nasib ataupun orang lain.

Tapi kali ini, saya melihat perbedaan…
Apa yang saya saksikan di depan mata saya ini sungguh berbeda. Seorang pria, dengan kondisi kaki yang teramputasi, tidak menyerah hanya berdiam diri di rumah, atau hanya berbaring di tempat tidur saja dan tidak berbuat apa-apa. Ia tetap berjuang dan menjalani kehidupannya seperti orang lain yang normal, walau dalam keterbatasannya. Ia tetap bersemangat.

Hidup seolah memberi contoh kepada saya. Orang yang memiliki keterbatasan fisik saja terus semangat dan berjuang untuk hidupnya, mengapa saya yang masih dikaruniai anggota tubuh yang lengkap masih kadang-kadang mengeluh dan ngedumel juga saat menerima cobaan dan kesulitan.

Memikirkan itu, saya jadi merasa malu sendiri.

HARI YANG BARU.

Standard
Jalan pagi di taman

Memasuki minggu ke 3, menjalani tantangan berolah raga pagi min 30 menit sehari. Ini hari pertama di putaran ini yang harus dijalani dengan penuh semangat.

Sembari berjalan saya merenung-renung. Ini hari Senin. Saya menghitungnya sebagai awal putaran menghadapi tantangan bergerak badan setiap hari selama 7 hari berturut-turut, entah itu jalan kaki, lari kecil, senam, main basket dan sebagainya. (Belakangan ini sih saya hanya jalan kaki ringan saja). Saya mulai setiap hari Senin sebagai hari pertama, agar saya mudah menghitungnya. Senin adalah hari pertama putaran minggu yang baru. Yap!

Setiap minggu selalu ada hari barunya. Dan setiap pagi adalah permulaan hari baru. Dan pagi datang setiap hari, bukan hanya pada hari Senin 😀.

Tentu saja karena Bumi berotasi dan kembali ke posisi yang sama yang berhadapan dengan Matahari setiap 24 jam sekali. Tepatnya 23 jam, 56 menit dan 4 detik.

Mengapa setiap hari selalu ada hari baru?

Pagi hari yang baru, membuat kebanyakan mahluk hidup, termasuk manusia, kembali bersemangat dan bergairah, setelah semalaman beristirahat karena seharian kemarin lelah, penat berpikir, berbicara, serta beraktifitas lain. Ibaratnya sebuah perangkat yang sudah kepenuhan dengan data dan bercampur virus, diatur ulang alias dire-set ke titik awal.

Sebenarnya alam sudah mengatur sedemikian rupa, agar semua mahluk di bumi ini untuk setiap hari terbangun di pagi hari dengan suasana hati yang nyaman. Sinar matahari mulai terang tapi nggak panas nyelekit. Bunga-bunga bermekaran, burung-burung bernyanyi. Oh indahnya.

Tentu semua itu diptakan agar manusia semangat dan bergairah menjalani harinya. Setelah itu ya silakan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sendiri- sendiri. Melempar perkataan dan tindakan ke alam sekitar dan juga merespon terhadap apa yang lingkungan sekitar sajikan untuk kita.

Ada yang melempar dan membagikan senyum, kasih sayang, kebaikan dan kepedulian terhadap sesama. Ada juga yang melempar dan membagikan amarah, kesal, iri hati, kesombongan, kejahatan dan sebagainya. Tinggal kita memilih, apa yang akan kita lemparkan dan bagikan ke lingkungan alam sekitar.

Demikian juga alam dan lingkungan sekitar, yang berisi tanah, bebatuan, sungai, jalanan, gunung, perbukitan, pepohonan, binatang, manusia, pasangan, anak keluarga, kerabat para sahabat, teman-teman, orang-orang lain, semua itu berinteraksi dengan kita. Merekapun sama, ada yang melempar dan membagikan kebaikan, cinta, kasih sayang, kepeduluan, perhatian, bantuan, penghiburan dan segala hal baik lainnya, tetapi ada juga yang melempar kemarahan, keketusan, kejutekan, iri hati, kesombongan. Kadang alam juga mengirim banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus dan sebagainya.

Karenanya, pagi kita yang sudah di re-set oleh alam dalam posisi cerah, semangat dan bergairah, bisa jadi semakin cerah dan bahagia jika kita melempar dan mendapatkan hal-hal yang baik, kasih sayang, kepedulian, perhatian, pertolongan terhadap sesama dan sebagainya. Dan kita juga merespon kejadian sepanjang hari dengan ketenangan, kesabaran, ketekunan, keikhlasan hati, tetap berterimakasih dan bersyukur.

Sebalknya hari kita bisa berubah menjadi rungsing, mengesalkan dan bahkan mungkin menyakitkan, jika yang kita lemparkan & kita terima adalah hal hal yang menyedihkan, kemarahan, kekesalan dan hal buruk lainnya. Dan kita meresponnya juga dengan kepanikan, ketakutan, kebencian, kecemburuan, kemarahan dan sejenisnya. Jadinya lelah, stress dan jenuh.

Namun demikianpun, alam tetap memahami kelelahan itu dan menyediakan malam agar kita beristirahat dan kembali melakukan re-setting terhadap mental fisik kita dengan mengikuti iramanya.

Sekarang saya mulai menyadari, mengapa sebagian orang yang diberkahi dengan kesadaran ini melakukan Surya & Chandra Namaskara, penghormatan terhadap Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan Matahari dan Bulan yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia di planet Bumi ini.

Pagi ini perangkat diri saya telah dire-set ulang ke posisi senang dan bahagia. Semoga hari ini saya bisa melempar kebaikan ke sekitar dan merespon sekitar dengan baik dan penuh syukur.

MENGGANTI KAOS KAKI USANG.

Standard

Berjalan kaki kali ini terasa ada yang aneh. Langkah terasa agak berat tak seperti biasanya dan jalanpun menjadi sedikit lebih lambat.  Telapak kaki terasa licin dan mudah bergerak maju ke ujung sepatu setiap kali kaki melangkah dan telapak bergesekan dengan sol sepatu. Beberapa kali jari kaki saya mencengkeram seolah sedang ngerem 

Saya belum pernah merasakan ketidaknyamanan seperti ini sebelumnya. Sejenak kemudian saya baru menyadari, jika perasaan licin itu disebabkan oleh kaos kaki baru yang saya pakai.

Saya memang mengganti kaos kaki dengan yang baru, mengingat beberapa kaos yang biasa saya pakai mulai berumur.

Sebenarnya kaos kaki yang lama itu masih pada bagus-bagus, masih bersih, tebal dan sebenarnya enak di kaki, hanya saja karena sudah bertahun-tahun dipakai, pas di bagian pergelangannya mulai ada yang sedikit kendor sebelah. Mungkin material yang bersifat elastiknya ada yang mulai getas dan rapuh. Begitulah. Namanya juga sudah berumur ya. Sebelum para kaos kaki ini benar-benar kendor dan nantinya pada melorot, maka saya gantilah dengan kaos kaki generasi baru.

Barangkali kaos yang baru ini terbuat dari materi yang berbeda. Saya tidak tahu namanya.  Lebih tipis dan lebih  licin dari yang sebelumnya. Awalnya saya pikir ini lebih bagus. Soalnya tampilannya kelihatan lebih bagus dan halus.  Tapi ternyata saking tipis dan licinnya malah menggelincir di dalam sepatu dan membuat kaki berasa nggak nyaman. Dan langkah terasa berat dan tak leluasa.

Sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Yang sebelumnya sangat enak dan nyaman baik buat diajak jalan pelan ataupun lari. Terbuat dari material yang lebih kasar, tebal dan tidak licin. Rupanya untuk kaos kaki buat jalan gini memang lebih tepat dibuat dari materi yang kasar dan tebal begini, sehingga tidak banyak bergerak di dalam sepatu.

Lah… saya baru menyadari hal ini. Artinya memang apa yang saya lakukan ini, mengganti kaos kaki tua yang tebal dan kasar dengan yang baru tapi tipis dan licin, bukanlah pemecahan yang terbaik.  Saya mencoba memecahkanmasalah yang saya prediksi akan datang, dengan cara mengundang masalah baru yang malah lebih buruk.

Setidaknya  jika ingin mengganti sesuatu yang sudah usang, pastikan bahwa penggantinya memiliki kwalitas yang lebih baik, atau minimal sama dengan yang sebelumnya. Sehingga kita bisa bergerak dengan nyaman dan cepat sesuai dengan target yang kita inginkan.

Sebuah pelajaran berharga.

GUGUR BUNGA.

Standard

Pagi ini saya jalan di taman. Terkejut melihat hamparan rumput yang menguning bertabur bunga-bunga Tabebuya yang berguguran. Rumput terlihat sangat cantik indah. Namun di sisi lain membersit kesedihan & rasa pilu di hati, melihat bagaimana bunga-bunga kuning yang sebelumnya memancarkan semangat dan gairah tinggi itu harus jatuh, layu, menjadi coklat dan membusuk di tanah.

Lahir, tumbuh, berkembang, berbiak , lalu layu dan akhirnya gugur ke tanah, adalah sebuah siklus kehidupan. Dan juga sebuah keniscayaan. Setiap mahluk hidup pasti mengalami atau pasti akan mengalaminya. Tidak ada yang bisa luput darinya. Bagaikan grafik, mulai dari titik nol, menanjak, mencapai puncak, lalu menurun hingga kembali ke titik nol.

Ketika fase menanjak hingga ke puncak, setiap mahluk menanggapinya dengan penuh harapan dan suka cita. Namun ketika fase menurun itu tiba, tidak begitu mudah bagi setiap orang untuk siap menerima dan menyadari bahwa sesungguhnya ini adalah sebuah siklus kehidupan yang harus dijalani. Mungkin termasuk saya sendiri ha ha ha 😀😀😀.

Saya mungkin salah satu dari orang yang belum siap menjadi tua. Walau usia semakin ke sini semakin jauh melewati garis meridian. Walau kadang dengkul atau sendi terkadang kaki kaki mulai terasa kaku, tapi setiap hari rasanya masih memiliki angan tinggi yang ingin saya gapai, impian dan semangat yang menggebu-gebu untuk maju dan melakukan sesuatu, belajar sesuatu yang baru untuk menambah pengetahuan tentang hidup.

Tahun lalu itu saya kaget sendiri, lho… kok tiba-tiba sudah memasuki usia pensiun saja, padahal rasanya baru kemarin mulai melamar pekerjaan wk wk wk 🤣🤣🤣.

Namun, karena siklus hidup adalah sebuah keniscayaan, dan tak satupun mahluk bisa menolaknya, ya saya harus menerimanya dengan lapang dada. Mungkin seperti bunga- bunga cantik Tabebuya ini yang heran tiba-tiba menyadari dirinya.

“Lho?! Kok aku berbaring di rerumputan ini ya?. Bukannya biasanya aku bergelantung di pucuk pucuk pohon, memamerkan sumringah warna bungaku ya?”

Sang rumput pun menjawab,” Lha iya, memang waktumu sudah tiba”

Si bunga-bunga Tabebuya nyengir mendengar komentar si rumput.
“Oh ya, benar juga ya. Tak ada yang bisa mengalahkan sang waktu”

Ha ha..itu cerita karangan saya sendiri, saat memandang hamparan rumput penuh dengan bunga-bunga gugur ini.

Tapi yang jelas, saya memang harus menyadari bahwa siklus kehidupan itu adalah sebuah kepastian. Bahkan sesungguhnya sejak kecilpun orang tua saya sudah mengajarkan tentang tahapan hidup yang disebut dengan CATUR ASRAMA yang perlu dilewati dengan sebaik-baiknya. Harusnya saya tidak perlu kaget ataupun terheran-heran lagi.

Saat kecil orang tua saya menekankan bahwa saat itu saya sedang dalam fase BRAHMACHARYA, dimana saya mesti fokus pada tugas saya untuk belajar dan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Jadi jangan banyak pacar-pacaran atau memikirkan menikah dulu. Pastikan sekolah lulus dengan sukses.

Lalu ketika kuliah sudah selesai, saya memasuki fase GRAHASTA, dimana saya sudah berumah tangga dan mencari nafkah untuk menjaga dan menghidupi keluarga saya. Orang tuapun kembali memberi peringatan, agar saya fokus pada kehidupan berumah rangga, menghidupi & membesarkan anak, termasuk dengan cara bekerja.

Dan sekarang saya tiba pada fase kehidupan WANAPRASTA, masa pensiun dimana saatnya secara bertahap menyerahkan keputusan dan tanggung jawab pada generasi berikutnya. Untuk kemudian memasuki fase SANYASIN, fase akhir dalam kehidupan dimana saya harus mulai mengurangi keinginan dan keterlibatan duniawi serta menyiapkan diri untuk kembali kepadaNYA.

Jadi semua arahan yang diberikan oleh orang tua sebenarnya sudah sangat jelas.
Saya hanya perlu memastikan bahwa saya menjalani setiap tahap kehidupan ini dengan sebaik-baiknya saja.

Kembang Tabebuya yang berguguran.

HAPE YANG HILANG.

Standard

Suatu malam, sepulang kerja, saya menyadari jika telpon genggam saya tidak ada. Tidak ada di ransel yang biasa saya pakai sehari-hari. Tidak ada juga di tas laptop kantor. Hmmm…dimana ya?

Saya tidak percaya jika handphone itu tidak ada. Maka saya periksa ulang kedua tas itu. Saya bongkar dan keluarkan isinya. Sekalian bersih-bersih isi tas.

Banyak barang dan sampah yang memang harus dikeluarkan dan dirapikan. Mulai dari bon bensin, bon mini market, tukang sayur, struk pengiriman JNE dan JNT, struk ATM, uang receh sisa kembalian, kartu nama sudah tertekuk kotor, biji tanaman, bunga kering, bedak, lipstick, sisir, obat, masker, tissue, parfum, pulpen, dompet, charger, powerbank dan sebagainya. Ada banyak benda-benda lain. Tapi hape saya tidak ada di situ.

Dengan hati sedih dan gelisah, saya pilah-pilah semuanya dan masukkan kembali ke tas dengan rapi, dan sampahnya saya buang. Oh… beneran hape saya tidak ada.

Saya lalu memeriksa jok kendaraan yang saya pakai pulang pergi ke kantor hari itu. Walaupun tak yakin jika hape saya tertinggal di sana, siapa tahu ada mujijat, tiba-tiba hape saya muncul di situ. Kan pasti menyenangkan, pikir saya berkhayal. Sayangnya setelah senter sana, senter sini, periksa ini itu, ternyata memang hape saya tidak ada tertinggal di situ. Dengan sedih saya harus menerima kenyataan pahit itu.

Ooh hape yang telah menjadi belahan hati. Betapa jiwa saya serasa terbang, kehilangan dirimu.

Hape yang telah membuat saya terhubung dengan keluarga dan sahabat. Yang telah mengabadikan puluhan ribu moment indah dalam hidup saya. Yang jadi penghibur lewat games dan video. Yang telah menjadi penampung curhat dan tulisan saya, membantu transaksi pembelian dan perbankan. Betapa sedih dan merananya hidup tanpa hape.

Hape saya beneran hilang. Tidak ada di tas, tidak ada di kamar dan tidak ada di kendaraan. Sementara saya ini tidak kemana-mana. Hidup saya hanya berada di rumah, di kendaraan dan di kantor. Satu-satunya tempat yang belum saya periksa adalah kantor. Mungkinkah hape tertinggal di kantor?

Sangat kecil kemungkinannya, karena seharian saat kerja di kantor, saya sama sekali tidak ingat ada menggunakan hape itu. Walau demikian, saya masih berharap. Semoga saja.

Malam itu saya sulit tidur. Serasa lama menunggu pagi tiba. Ingin cepat-cepat sampai kantor.

Esok paginya, saya tiba di kantor. Ruang kerja saya tertutup. Tapi tidak terkunci. Segera saya memeriksa ruang kerja. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada hape saya di situ.
Kepada Office Boy yang bertugas membersihkan ruangan saya hari itu saya bertanya,  barangkali tahu tentang keberadaan hape saya. Ternyata tidak ada yang tahu.

Dengan sedih saya menceritakan soal kehilangan hape itu kepada sahabat-sahabat saya di kantor. Mereka mendengarkan dengan seksama dan mulai menginterogasi dan meminta saya mengingat-ingat, kapan terakhir saya menggunakannya, dimana? Kemarin saya ngapain saja seharian, apa saja yang terjadi? Mana saja ruang kantor yang saya masuki selain ruang kerja saya sendiri? Ruang meeting ? Toilet? Pantry?

Akhirnya ingatan saya terbantu. Kemarin pagi, ketika tiba di kantor, saya terburu-buru turun dari mobil. Supir menghentikan mobil di area Parkir 1 di dekat lift gedung kantor, agar saya berjalan tak terlalu jauh. Tas saya sempat tertarik dan sedikit terbuka. Saya melihat power bank saya terjatuh. Buru-buru saya ambil dan masukkan kembali ke dalam tas. Nah, apakah ada kemungkinan hape saya juga ikut terjatuh saat itu tanpa saya ketahui?

Ya. Bisa jadi! Walau saya tidak melihat ada hape terjatuh, tapi siapa tahu jika ia teejungkir masuk ke kolong mobil yang berhenti sejenak karena menurunkan saya? Saya kurang memeriksa. Dan supirpun berlalu begitu saja, setelah menurunkan saya di dekat lift.

Lah, jika begitu kejadiannya, bisa jadi hape itu telah ditemukan oleh seseorang. Dan orang itu bisa jadi karyawan yang bekerja di gedung ini, pengunjung, pengantar, tukang ojek atau siapa saja. Kecil kemungkinannya hape itu akan bisa saya temukan. Mulas rasanya perut saya memikirkan itu.

Pak Supir menyarankan saya mencoba fitur “temukan perangkat saya” dengan menggunakan e-mail.  Karena saya gaptek, seorang sahabat membantu saya.

Ah, syukur, kelihatannya hape dalam keadaan hidup. Namun sayang rupanya saya tidak menyalakan lokasi di Google, sehingga lokasi perangkat tidak terlacak. Tapi saya bisa membuat hape itu terus berdering.

Saya coba. Beberapa kali dering itu seakan coba dimatikan dari ujung sana. Ahh.. sudah pasti, hape saya ada di tangan seseorang. Tapi siapa? Bagaimana caranya menemukan pemegang hape itu, tanpa tahu siapa dan di mana lokasinya. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Betapa susahnya.

Tapi karena kemungkinan besar hape itu ditemukan oleh salah seorang karyawan di gedung ini, sahabat saya berinisiatif turun ke pos satpam untuk menanyakan barangkali ada orang yang melapor menemukan hape kemarin. Ia hanya menanyakan jenis Hp saya yang hilang itu.

Tak lama kemudian, sahabat saya meminta saya menelpon ke nomor yang hilang. Ahh..nyambung. Rupanya hape saya selamat. Disimpan dengan baik oleh satpam. Terimakasih Tuhan.

Saya bersyukur dan sangat berterimakasih. Tetapi juga sekaligus terharu. Seperti mimpi. Hape yang hilang saya temukan kembali.

Di sini, di ibukota ini, ternyata masih banyak orang yang jujur dan tulus hati.
Orang yang menemukan hape saya itu memilih untuk melapor Satpam dan menyerahkan ke Satpam ketimbang mengambilnya untuk dirinya sendiri atau dijual.

Satpam yang dengan sengaja membantu men-charge hape saya yang waktu ditemukan dalam keadaan tidak ada baterainya, dengan harapan agar jika sipemilik menghubungi, bisa terkoneksi.

Juga para sahabat yang sangat antusias membantu dengan tulus, ditengah kesedihan saya yang gaptek ini.

Sesungguhnya, ibukota ini, penuh dengan orang-orang yang baik dan peduli sesama.

MONOLOG “SEEKOR AYAM JAGO BERNAMA LUCKY”

Standard

Monolog oleh Dema Soetego feat Rias.

Salah satu kejutan indah yang ditampilkan oleh teman-teman sesama penulis penggemar sastra di PDS HB Jassin kemarin saat acara ngobrolin buku 50 Cerita Inspiratif “Resep Rahasia Cinta” adalah sebuah Monolog  yang dibawakan oleh sahabat Dema Soetego dan didukung oleh Rias.

Awalnya saya tak paham saat Rias muncul ke panggung dengan diiringi lagu dolanan jawa “aku nduwe pithik” dan membawa mainan ayam jago. Tak paham bahwa mereka akan membawakan monolog dari salah satu tulisan saya di buku Resep Rahasia Cinta itu  yang berjudul ” Seekor Ayam Jago Bernama Lucky”.

Saya mulai sadar, ketika terdengar rekaman suara sahabat Dema Soetego mengudara . Ooh.. beliau sedang membacakan salah satu tulisan saya tentang persahabatan antara Winda dengan Lucky, ayam jagonya.

Lalu saya melihat Mbak Dema mulai memasuki panggung  mengikuti alur kejadian yang saya tuliskan di kisah itu. Wow luarbiasa!!!

Di sini saya melihat bahwa  Mbak Dema menangkap dan melakoni kembali ide-ide dan pikiran di tulisan Ayam Jago itu serta membroadcast intisarinya ke hadapan publik dalam bentuk monolog dengan sangat baik.

Mbak Dema meng-hi-light dengan sangat kuat message yang ingin saya sampaikan bahwa Persahabatan adalah hal terindah yang bisa dijalin manusia dengan mahluk hidup lain di sekitarnya, tanpa harus dibatasi oleh perbedaan suku, agama, bangsa, bahkan dengan hewan peliharaan kita.

Menurut saya, penampilan ini sangat luarbiasa. Bukan saja penghayatan dan komimentnya terhadap content, juga penampilan panggung dan keseriusannya dalam penggarapan serta kepenyertaan Rias  serta mainan ayam jagonya.  Semuanya membuat saya ‘surprise’ dan terharu.

Selain itu, monolog  ini juga  membuka mata saya  bahwa ternyata karya-karya tulis itu bisa diadaptasi dan dikembangkan kembali dalam berbagai bentuk media dan seni pertunjukan seperti ke dalam film /pelayar putihan / ekranasi  oleh sutradara Rudi Rukman , pembacaan prosa/puisi di panggung yang dilakukan oleh Mbak Fanny Jonathans , Mbak Rini Intama , Pak Imam Ma’arif , Bang Moktavianus Masheka , drama, video youtube seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh sahabat Herlina Syarifudin  dan sejarang ini dalam ventuk monolog dari sahabat Mbak Dema Soetego.

Sungguh bentuk-bentuk adaptasi yang kaya. Terimakasih Mbak Dema.