Suatu malam saya pulang kemalaman dari kantor. Jadinya telat masak deh. Takut anak-anak kelaparan menunggu, sayapun mampir ke ruko Melia Walk di Graha Raya buat beli lauk. Mau dibungkus dan dibawa pulang saja. Praktis.
Saya memesan dan menunggu antrian. Karena agak lama, sambil menunggu sayapun berjalan-jalan di sekitar ruko itu untuk melihat-lihat barangkali ada cemilan lain yang bisa saya belikan buat anak-anak.
Saat berjalan, seorang anak kecil dengan ransel di punggung melintas tak jauh dari saya. Ia juga menenteng 3 box yang isinya kue. Sambil melangkah masuk ke dalam restirant sebelah, ia menawarkan kuenya kepada pengunjung restoran. Sayang tidak ada yang berminat tampaknya. Anak itu berjalan lagi. Saya memperhatikan langkah kaki kecilnya. Anak itu terlihat tetap optimis, walaupun ditolak.
Merasa iba, akhirnya saya memanggil. “Bawa kue apa, dek?” Tanya saya. Anak itu membuka dagangannya. Rupanya ada donut, dan kue bulat yang isinya coklat. “Berapa harganya?”. “Dua ribu Bu” jawabnya dengan riang. Saya pun memilih kue kue itu.
“Saya beli delapan buah ya” kata saya. Anak itu tampak semangat memasukkan kue kue yang saya pilih ke dalam kantong plastik. Wajahnya yang gelap tampak riang penuh harapan.
Saya jadi teringat akan anak saya sendiri. Mengapa ya anak ini masih berkeliaran di luar rumah menawarkan dagangan, padahal malam sudah cukup larut begini?Saya pun jadi ingin tahu.
Anak itu bernama Kiki. Umurnya baru 10 tahun. Kelas 4 SD. Menurut ceritanya, ia sudah berdagang kue setiap malam sejak ia kelas 1 SD. Saya nerasa prihatin mendengarnya.
“Lalu kapan belajarnya?” Tanya saya. “Sore, Bu. Sepulang sekolah” jawabnya dengan pasti. Tetap dengan nada riang dan optimist. Entah kenapa, saya merasa menyukai anak itu. Dan semakin penasaran.
Rupanya anak itu mengambil barang dagangan dari bibinya yang sehari-hari membuat kue. Untuk setiap buah kue yang terjual, ia diberikan bibinya Rp 1 000. Kiki bercerita bahwa ia biasanya membawa 4 box kue yang totalnya 60 buah. Rata-rata ia hanya mampu menjual 2 box atau sekitar 30 kue semalam. Jadi untung yang bisa ia dapatkan sehari sekitar Rp 30 000. Lumayan ya.
Semakin ingin tahu, sayapun bertanya lagi untuk apa ia gunakan uang keuntungan itu. “Buat mama belanja dapur. Saya juga kadang ngambil. Lima ribu atau sepuluh ribu kalau ada perlu” katanya dengan muka senang. Oh!. Kerongkongan saya terasa tercekat mendengarnya. Rasa sedih dan tak percaya mendengar ucapannya itu. “Mama saya di rumah saja. Tidak bekerja” katanya saat saya tanya apa pekerjaan mamanya.
Sejenak pikiran sedih melintas di kepala saya. Memang bapak anak ini ke mana ya? Apakah orang tua mereka berpisah?. Atau……?.
“Bapak saya di rumah. Sedang tidak punya pekerjaan sekarang. Lagi nyari nyari, Bu. Tapi belum dapat” katanya seolah meralat pikiran saya. Saya tercengang dibuatnya. Anak ini sangat tulus. Tidak sedikitpun ia menyalahkan orangtuanya yang nganggur yang membuat ia terpaksa harus bekerja sampai malam untuk menanggung keluarga. Ia seolah paham, bahwa itu hanya nasib buruk yang sedang menimpa ayahnya, sehingga daripada hanya bisa menyalahkan ia lebih memilih untuk membantu memecahkan masalah.
“Saya kasihan sama mama. Jadi saya bantu cari uang dengan jualan kue” katanya. Tak terasa air mata saya mengambang. Dada saya rasanya sesak. Kalimat anak itu sungguh menyentuh hati saya sebagai seorang ibu. Ingin rasanya saya memeluknya saat itu.
“Saudaramu ada berapa?” Tanya saya lagi. Dia bercerita jika ia punya satu orang kakak laki yang sekolahnya SMA tapi sudah tidak sekolah lagi saat ini. Dan tiga orang lagi adik-adiknyang masih kecil. “Kakakmu juga berjualan kue?” Tanya saya. Ia menggeleng. “Tidak, Bu. Dia nanti mau bekerja. Sekarang lagi cari -cari pekerjaan”. Saya semakin sedih mendengarnya.
“Jadi, nggak ada orang yang bekerja di rumahmu selain kamu?” Tanya saya semakin pilu. Anak sekecil ini harus berjuang seorang diri setiap malam untuk memastikan dapur keluarganya mengepul. Mengapa yang lain tidak ikut berjualan kue juga? Bathin saya meronta. Tapi tentu saja saya tak punya jawaban dan pemecahannya.
“Pernahkah kamu merasa sedih? ” tanya saya. “Pernah Bu. Kalau dagangannya nggak laku” jawabnya dengan lirih. Oooh. Rasanya saya benar-benar ingin merangkulnya. Cerita anak ini sangat mengharukan, walaupun belum tentu ia merasa apa yang ia sampaikan semengharukan begitu.
Akhirnya saya usap-usap kepalanya. Saya sampaikan pendapat saya bahwa ia anak yang sangat baik dan berbakti pada orang tua. Sejak kecil sudah berusaha dan bekerja keras. Kelak ia akan terbiasa menghadapi persoalan hidup dengan mudah. Semoga besarnya akan menjadi orang yang sukses dan berhasil dalam hidup. Anak itu mengamini doa saya.
Sayapun membayar harga kue itu dan meninggalkan sedikit tambahan rejeki untuknya malam itu.
Ia sudah melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan di usianya untuk membantu keluarganya. Semoga kelak ia menjadi orang yang sukses dalam kehidupan.
Melia Walk malam itu memenuhi pikiran saya dengan cerita si Kiki. Kiki barangkali hanya salah satu dari anak di Jakarta ini yang harus berjuang untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya yang sedang mengalami kesulitan untuk hidup. Entah berapa banyak lagi yang menjalani kehidupan serupa di luar sana.