
Pada sebuah acara bulanan, tanpa diduga tiba-tiba saya didaulat di depan audience untuk share tentang Wanita Bali dan kaitannya dengan emansipasi. Karena sangat mendadak, sebenarnya saya tidak memiliki sesuatu yang terstruktur dengan rapi di otak saya yang bisa saya sampaikan seketika. Akhirnya saya hanya menceritakan apa yang saya tahu dan pendapat saya secara personal sebagai seorang Wanita Bali.
Banyak pertanyaan yang pernah terlontar sebelumnya kepada saya dari teman-teman yang penasaran tentang posisi wanita di Bali. Mengapa Wanita Bali mau bekerja berpanas-panasan menjadi buruh di jalanan? Para lelakinya kemana? Kok dibiarkan saja? Mengapa para lelaki di Bali lebih santai dibanding para wanitanya? Mengapa para wanita tidak menerima warisan di Bali? Kan tidak adil? Mengapa wanita mau menerima? Apakah Wanita Bali masih mengalami kekerasan dalam rumah tangga? Wah.. pertanyaannya banyak sekali!
Terus terang saya agak terkejut saat pertama kali mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Karena secara pribadi, saya sebagai salah seorang wanita Bali tidak pernah merasakan ketimpangan ketimpangan itu. Kalaupun ada perbedaan hak dan kewajiban antara wanita dan pria di bali, tetapi saya merasa semuanya masih dalam frame yang adil. Namun tak pelak pertanyaan pertanyaan itu membuat saya berpikir bahwa barangkali banyak orang diluar Bali, tidak terekspose dengan baik mengenai fakta sesungguhnya tentang Wanita Bali. Saya merasa emansipasi secara umum telah berjalan cukup baik di Bali. Wanita Bali mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan sama baiknya dengan para pria di Bali, juga mendapatkan kesempatan pekerjaan dan upah sama baiknya dengan para pria dan bahkan kesempatan memimpin agamapun (yang belum tentu bisa terjadi di suku lain) tetap terbuka lebar lebar bagi wanita di Bali.
Walaupun saya tentu tidak mampu menjawabnya dengan sangat detail satu persatu, mungkin ada baiknya saya ceritakan sedikit mengenai apa yang saya alami, pikirkan, rasakan dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wanita Bali. Saya tidak tahu persis, apakah semua yang saya alami ini juga merupakan perwakilan yang cukup representative untuk mewakili gambaran wanita Bali secara umum.

Wanita di Bali bekerja sama kerasnya dengan para lelakinya.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, saya menemukan fakta bahwa hampir semua wanita bali dewasa di lingkungan saya (ibu saya, kakak saya, tante saya, nenek saya, sepupu perempuan saya, keluarga perempuan saya, teman perempuan saya dan tetangga perempuan saya,dll) memang hampir semuanya bekerja. Hampir hampir tidak ada yang menganggur . Hampir hampir tidak ada yang hanya menyandang predikat sebagai ibu rumah tangga saja. Semuanya bekerja. Bekerja full ataupun sambilan. Tapi tetap bekerja!. Bekerja apa saja. Bekerja kantoran, baik swasta maupun sebagai pegawai negeri, menjadi professional (dokter, bidan, tukang jahit, polisi dsb). Jika mereka tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal, maka pilihan pekerjaan akan lari ke sektor non formal. Apa saja. Yang penting bekerja dan menghasilkan uang. Entah jadi pedagang di rumah, warung, di pasar traditional, tukang jahit, bikin canang, bekerja di ladang, membungakan uang, hingga menjadi buruh di sawah atau di jalananpun di lakoni. Pokoknya bekerja halal dan menghasilkan uang!
Mengapa kebanyakan wanita di Bali bekerja?
Saya berpikir, bahwa tatanan masyarakat Bali yang memang mengusung system Patrilinear yang kuat merupakan salah satu pemicunya. Sepintas lalu, tatanan ini jika dipandang dari luar akan terlihat agak tidak adil terhadap kaum wanita. Lelaki menerima warisan keluarga. Lelaki pula yang menerima tanggungjawab keluarga. Wanita mengikuti laki-laki. Saat seorang wanita Bali menikah, saat itu pula ia masuk ke keluarga suaminya dan memiliki hak & kewajibannya yang baru sebagai istri di keluarga suaminya. Ia tak perlu membawa harta keluarganya, karena toh ia akan mengelola harta warisan yang diterima suaminya . Jadi sebenarnya , tidak ada wanita di Bali yang merasa perlu mempermasalahkan soal harta warisan ini. Karena merasa telah cukup adil. Namun, hal yang lebih penting bagi wanita adalah bagaimana menjaga martabat & nama baik keluarganya sendiri di mata keluarga suaminya. Nah, disinilah rupanya letak permasalahan yang sesungguhnya.
Bagi sebuah keluarga yang anak perempuannya masuk ke dalam keluarga lain, dengan sendirinya anak perempuan itu akan menjadi representer alias perwakilan dari keluarganya. Baik buruknya martabat si anak perempuan akan dijadikan barometer oleh keluarga pihak laki untuk menilai martabat keluarga pihak perempuan. Oleh sebab itu, maka keluarga perempuan akan berusaha membuat anak perempuannya menjadi representer yang baik, yang akan membawa nama baik keluarga. Semua hal yang akan menjadi key parameter bagi penilaian seorang anak perempuanpun berusaha disiapkan dengan baik oleh keluarganya. Semua skill yang kelak dibutuhkan, tata karma, sopan santun dst hingga urusan menghasilkan pendapatan pun dipersiapkan dengan sebaik mungkin bagi anak perempuannya.
Saya masih ingat, bagaimana ayah saya selalu mem’push’ saya dengan keras soal tata karma dan tata susila serta mem’brainwash’ saya dan kakak perempuan saya tentang pentingnya mandiri sebagai perempuan. Belajar yang baik agar menjadi yang paling pintar di sekolah. Lalu bekerja dengan baik atau mencari ide sekreatif mungkin agar memiliki penghasilan sendiri dan tidak perlu meminta kepada suami di kemudian hari, apalagi menyusahkan suami dan keluarganya. Di mata ayah saya, jika anak perempuannya menjadi istri yang menyusahkan suami dan keluarganya adalah haram hukumnya.
“Jangan sampai hanya untuk membeli pakaian dalammu sendiripun engkau tak mampu dan harus menadahkan tangan pada suamimu” katanya berulang ulang setiap kali saya duduk didepannya. Atau kali berikutnya ayah saya akan mengatakan “ Bapak tidak ingin mendengar mertuamu nanti berkata ‘ Sekad cening dini, ludes kesugihan bapane telahang cening (maksudnya Nak, sejak kamu di sini habis harta kekayaanku telah kamu pergunakan)’. Pastikan engkau belajar dengan baik agar kelak nanti bisa mencari makan sendiri, jangan sampai menyusahkan suami atau mertua’’.
Saya dan kakak peremuan saya hanya terdiam saja setiap kali ayah saya bicara soal itu. Dan kamipun tahu, nasihat itu akan diulang ulang terus beratus- ratus kali hingga kami hapal dan bosan mendengarnya. Walhasil akibat dari brainwash itu semua, maka bagi saya dan kakak perempuan saya bersekolah & bekerja yang baik serta menghasilkan pendapatan sendiri adalah sebuah keharusan dalam hidup. Bukan sebuah pilihan. Saya rasa, itu pula yang dialami kebanyakan wanita lain di Bali, sehingga membuat lapangan pekerjaan apapun akhirnya diisi oleh para wanita tanpa ragu ragu dan malu, tanpa memikirkan lagi jenis pekerjaannya yang penting masih dalam koridor moral yang baik. Mulai dari pekerjaan yang sifatnya lebih feminine seperti perawat, menjahit, bekerja di salon dsb) hingga lapangan kerja yang normalnya di daerah lain di lakukan hanya oleh laki-laki (buruh bangunan, bekerja di sawah, buruh jalanan dsb. Jadi yang saya lihat di sini, akibat hokum Patrilinear ini, bukan saja telah mampu memicu emansipasi wanita dengan baik, bahkan dengan sangat sangat baik. Dimana para wanita di Bali bukan saja mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan dan pekerjaan yang setara dengan para lelaki, tetapi juga beremansipasi dalam paket sepenuhnya. Artinya, wanita tidak hanya beremansipasi dengan menuntut haknya yang baik baik saja, namun juga tidak menolak jika harus menerima pekerjaan yang sama beratnya dengan pria. Misalnya menjadi buruh jalananpun bersedia.

Mengapa ada yang berpendapat bahwa Wanita Bali bekerja lebih keras dari para Prianya?
Pertama kali mendengarkan pertanyaan ini, terus terang saya bingung. Aneh! Mengapa ada orang yang berpendapat seperti itu? Darimana datangnya? Belakangan barulah saya tahu, bahwa pertanyaan itu datang dari banyak potret pria Bali di desa yang mengelus elus ayam kesayangannya dipinggir jalan. Sedangkan di saat lain ada potret wanita Bali terlihat sedang bekerja mengolah aspal di bawah terik matahari jalanan. Sehingga gambaran yang timbul bagi penonton luar adalah, para wanita bekerja keras sementara para lelaki mengelus-elus ayam aduannya. Saya tertawa mengetahui pemahaman sepihak yang tidak adil bagi pria ini.
Masyarakat pedesaan di Bali, penduduknya sebagian masih berprofesi di bidang aggraria. Para lelaki bangun pagi-pagi buta saat hari masih gelap untuk bekerja di sawah dan mengatur aliran air sesuai dengan kesepakatan Subak (oranisasi pengaturan air secara traditional di Bali) dan segera kembali ke rumah begitu matahari menanjak naik. Karena tugas paginya telah selesai, tentu saja para lelaki sekarang boleh bersantai sejenak mengelus-elus ayam aduannya. Sementara saat itu barulah para wanitanya mulai beraktifitas. Rupanya suasana inilah yang tertangkap oleh banyak pengunjung dari luar Bali yang kebetulan melintas pada jam jam ini., termasuk para penangkap gambar atu photographer, sehingga tak pelak kesan bahwa pria Bali lebih santai dibanding wanitanya pun mudah terpupuk dari sini.
Padahal faktanya tidak demikian. Pria yang sedang bersantai mengelus ayam kesayangannya bukanlah berarti dia adalah seorang pria pemalas. Dia hanya pria yang sedang menikmati waktu luangnya sebelum berangkat bekerja keras lagi beberapa jamnya kemudian. Pria Bali juga bekerja sama kerasnya dengan para wanitanya, sama kerasnya dengan pria dari suku lain di Indonesia. Tidak ada perbedaan yang berarti.
Jadi, sebenarnya Emansipasi telah berjalan dengan alami di Bali. Terus terang dengan kondisi seperti ini, sejak kecil saya tidak pernah merasakan ketimpangan yang berarti bagi wanita di Bali. Kesetaraan telah ada di situ. Persamaan hak dan kewajiban juga telah ada di situ. Apalagi?
Lebih lanjut ketika berbicara emansipasi, pada akhirnya emansipasi memang telah diterima sebagai satu paket di Bali. Wanita di Bali bukan hanya mau menuntut bagian ‘enak & mudah’nya saja dari sebuah emansipasi, namun harus juga menerima satu paket berikut dengan ketidakenakannya (misalnya bekerja sama keras/kasarnya dengan para lelaki). Itulah nilai satu paket emansipasi.
Jadi kalau pria menjadi dokter, wanita juga mau menjadi dokter, pria menjadi polisi wanita juga menjadi polisi, pria menjadi pemimpin agama wanita juga menjadi pemimpin agama. Dan jika pria menjadi buruh jalanan, mengapa wanita harus tidak mau menjadi buruh kasar juga? Bukankah wanita menuntut kesetaraan dengan laki-laki? Saya pikir daripada melakukan pekerjaan yang mudah namun merendahkan martabat keluarga dengan melacurkan diri guna mencari uang, memilih menjadi buruh jalanan tetap jauh lebih terhormat.