Tag Archives: Danau Batur

CERITA TEPI DANAU BATUR: KALIBUNGAH.

Standard
Kalibungah

Selagi ada di rumah Kakek di desa Songan minggu lalu, saya menyempatkan diri berjalan-jalan menyusuri tepian danau Batur. Suasana agak sepi. Udara pegunungan yang dingin membuat saya tidak merasa kepanasan, walau di bawah sinar matahari yang terik. Tetap nyaman-nyaman saja.

Mendekati vegetasi danau yang merimbun di tepian, tampak beberapa ekor Burung Bangau putih terbang dan hinggap di keramba. Oooh dunia yang damai.

Sementara dua orang pria tampak memancing dari tepian. Sayapun mendekat, menyapa dan ikut melihat-lihat hasil pancingannya. Wow. Beberapa ekor ikan Mujair yang cukup besar-besar juga. Ada kira-kira sebesar 2 x telapak tangan saya.

Usai mengobrol tentang ikan di danau, saya teringat pada Kalibungah. Jenis burung air, yang walaupun tidak bersifat endemik danau Batur saja, tetapi jaman saya kecil merupakan burung air yang sangat umum saya temukan disini. Sayapun bertanya kepada dua orang pemancing itu, apakah Kalibungah masih ada dan belum punah dari danau ini.

Tepat setelah saya bertanya itu, seekor Kalibungah menunjukkan dirinya di sela-sela tanaman Eceng gondok, seolah-olah paham jika saya sedang memanggil. Berenang-renang dengan riangnya sambil beberapa kali tampak menyelamkan kepalanya ke dalam air. Hati saya ikut senang bukan alang kepalang. Kalibungah ini masih tetap ada.
Sayang sekali, saya tidak sedang membawa kamera dengan lensa panjang agar bisa memotret dengan lebih dekat. Cuma kamera hape yang ala kadarnya.

Kalibungah alias Swamp Chicken (Galinula chlorophus) adalah burung air yang jika sedang berenang terlihat mirip bebek berwarna hitam, tetapi jika berjalan lebih mirip dengan ayam. Secara keseluruhan bulunya berwarna hitam kebiruan di bagian depan dan hitam kecoklatan di bagian belakang dengan sedikit bercak putih pada sayapnya. Paruhnya sendiri berwarna merah dengan sedikit ujung kuning.
Burung ini membuat sarang di rumpun talang -talang ataupun tanaman air lainnya.

Setelah beberapa saat, saya sadari ternyata populasi Kalibungah di area ini lumayan banyak juga. Ada beberapa ekor saya lihat berenang, bercanda dengan pasangannya dan ada juga yang sedang berjemur di bawah sinar matahari.

Berbagai dongeng tentang Kalibungah diceritakan sebelum tidur oleh nenek saya semasa kecil. Salah satunya adalah dongeng tentang anak Kalibungah yang nakal, yang tidak mendengarkan nasihat induknya agar jangan bermain jauh-jauh dari sarang. Induknya memberi batas pagar rumput talang-talang untuk area yang ia boleh bermain dan belajar berenang.

Tetapi karena bandel, anak Kalibungah ini terus bermain dan mengendap-endap keluar pagar, semakin jauh dan semakin jauh dari sarang dan tanpa disadari seekor ular besar mengintai dan ingin memangsanya. Ia belum bisa terbang dan membela diri. Untunglah induknya segera menyadari dan akhirnya menyelamatkan anak Kalibungah yang nakal ini pulang kembali ke sarangnya.

Kalibungah, membawa lamunan saya pada tempat tidur nenek saya yang hangat, di dekat dapur dimana bara api masih terus memerah di udara malam yang menggigil. Tempat kami menginap berdesak-desakan setiap kali pulang kampung.

Kangen.

CERITA TEPI DANAU BATUR: PANYOROGAN.

Standard
Panyorogan, Desa Songan, Kintamani.

Panyorogan adalah sebuah tempat di Desa Songan yang letaknya persis di tepi Danau Batur. Di sanalah letak rumah kakek saya. Tanah di mana saya bisa membuka jendela dengan pemandangan langsung ke danau.

Halaman belakang rumah kami adalah sebidang tanah pertanian yang langsung bersentuhan dengan air danau, di mana ada sebuah mata air panas muncul di bawah akar Pohon Mangga dan membentuk parit kecil yang mengalir ke danau.

Di lepas danau, tak jauh dari pantainya ada sebuah Batu Besar yang selalu menjadi patokan kedalaman air. Nenek saya selalu bilang, jika anak-anak bermain atau berenang di danau, tidak boleh melewati Batu Besar itu, karena selewat Batu Besar kedalaman danau sudah terlalu dalam. Kami selalu ingat kata-kata Nenek.

Persis di sebelah rumah, ada jalan desa yang digunakan penduduk untuk ke danau. Entah sekedar untuk mengambil air, untuk mandi, atau pintu keluar masuknya penduduk desa yang bepergian dengan menggunakan sampan atau boat. Penyorogan adalah sebuah pelabuhan kampung di masa lalu.

Sejak dibukanya akses jalan aspal ke Desa Songan melalui batu cadas letusan Gunung Batur di tahun 1983-1984, penduduk lebih banyak menggunakan akses darat ketimbang angkutan danau jika ingin keluar desa. Akibatnya, pelabuhan perahu di Panyorogan jarang dipakai dan lama kelamaan tidak terpakai sama sekali.

Hal lain yang membuat Panyorogan berubah, adalah permukaan air danau yang semakin naik. Menenggelamkan Batu besar yang merupakan penanda kedalaman danau dan bahkan menenggelamkan sebagian besar ladang kakek yang di tepi danau. Membuat rumah kami semakin dekat posisinya dengan air.

Dua tahun terakhir ini, pemerintahan Desa mengambil keputusan untuk membuat jalan baru ke Hulundanu untuk membantu menguraikan kemacetan di jalan utama desa, akibat semakin meningkatnya kunjungan orang luar ke Pura Hulundanu Batur. Untuk mewujudkan upaya itu, maka pemilik tanah di tepi danau mesti merelakan sebagian tanahnya untuk dijadikan jalan. Nah.. itu membuat halaman belakang rumah kakek kami semakin habis dan sekarang malah menjadi halaman depan karena menghadap ke jalan baru.

Tak apalah, demi kepentingan masyarakat banyak.

Sisa tanah yang sangat dekat dengan air sekarang tidak terurus dan ditumbuhi semak air, tempat burung-burung air bersarang, bertelur dan membesarkan anaknya. Selain itu sebagian penduduk juga membuat keramba ikan. Membuat danau semakin berkurang keindahannya, tetapi semakin produktif.

Ini adalah beberapa gambar yang saya ambil di sekitar Panyorogan.

Catatan. Dalam Bahasa Songan, kata Panyorogan sering dilafalkan sebagai “Panyorogang” dengan akhiran “ng” dan bukan “n”. Misalnya dalam percakapan ini.
Tanya : Cang ka jaa lajana jerone? (Memangnya kamu mau ke mana?).
Jawab: Cang ka Panyorogang (Akan ke Panyorogan).

Atau disebut dengan akhiran “i”. Bukan “an”.
Contoh:
A: Jaa lana kecaganga ubadi? (Dimana ketinggalan obatnya?).
B:. Di Panyorogi (Di Panyorogan).

Jiir Jra….. Jiir Jraa….

Standard

Bagi yang tahu istilah ini tentu tertawa. Tapi bagi yang tidak tahu arti “Jiir Jra” baiklah saya jelaskan sedikit, biar bisa ikut tertawa bersama.

“Jiir Jra” adalah kata kata ejekan atau sebuah bentuk bullying yang dilontarkan oleh teman teman di kota Bangli kepada anak-anak dari desa Songan, atau yang orangtuanya berasal dari desa Songan – Kintamani , macam saya ini.

Kata “Jiir Jra ” sebenarnya tidak ada. Tidak exist. Karena kata “Jiir Jra” adalah lafal salah yang diucapkan teman teman saat meniru para pedagang Ikan Mujair di Pasar Bangli yang berasal dari desa Songan dan sekitar tepi Danau Batur, saat menawarkan ikan dagangannya kepada khalayak ramai, yang sebenarnya berbunyi “Jair Jero, Jsir Jero….” yang artinya “Ikan Mujairnya Pak /Bu”. 🐟🐟.

Tapi karena mereka mungkin sulit meniru pengucapan “Jair Jero” itu (Orang Songan melogatkan huruf i dalam kata “Jair” dengan kemurnian i yang tinggi, benar benar i, tanpa campuran huruf e spt huruf i dalam kata mImpI. Sedangkan dalam logat Bali kebanyakan, huruf i dalam kata Jair diucapkan antara huruf i dan e huruf O seperti pengucapan huruf i dalam kata aIr. Demikian juga kata Jero. Disini dalam logat Songan diucapkan spt O dalam kata tOmat, sedangkan dalam logat bahasa Bali biasa huruf O di sini diucapkan seperti huruf O dalam kata dOremi). Perbedaan logat itulah yang dijadikan bahan tertawaan dan ditiru salah, maka jadilah yang keluar Jiir Jra … Jiir Jraaa..πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€. Salah. Padahal orang Songan sendiri tidak ada yang mengatakan Jiir Jra.

(Sebagai catatan, orang Songan adalah orang-orang Bali asli pegunungan yang memiliki bahasa yg berbeda dengan Bahasa Bali pada umumnya. Saya pikir sekitar 40 – 45% kosa katanya berbeda dengan Bahasa Bali biasa yg berasal dari Jawa. Jadi jika 2 orang Songan bercakap cakap dalam Bahasa kampungnya, tanpa penterjemah, besar kemungkinan orang Bali lain tidak menangkap maksudnya).

Dan kata Jiir Jra selalu dipakai untuk membully saya, saudara dan sepupu sepupu saya, karena kami orang orang dari desa Songan, dan memang dari Songan banyak pedagang Ikan Mujair. Jadi sepertinya Orang Songan identik dengan Ikan Mujair.Belakangan saya tahu bahwa ternyata yang sering dibully dengan kata kata Jiir Jra bukan hanya anak anak dari desa Songan saja. Tetapi juga dari semua desa desa yang letaknya di tepian Danau Batur.

Sebagai anak kecil, saat itu saya merasa sangat sedih setiap kali dibully dengan kata “JiirJra”. Karena yang melontarkan itu bukan hanya anak anak kecil saja, tetapi juga termasuk orang dewasa.
Saya mengadu kepada ibu saya. Tapi Ibu saya hanya tertawa. Demikian juga Bapak saya, sepertinya tidak mengindahkan ejekan Jiir Jra itu. Lama lama akhirnya saya sangat kesal, marah dan malu juga dihubung-hubungkan dengan Ikan Mujair dan dikata-katain Jiir Jra….Jiir Jra…. πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

Tapi kemudian ada juga yang membuat saya bangga dengan ikan Mujair ini. Karena saya perhatikan, ada banyak saudara, sepupu sepupu dan keluarga saya dan orang orang Songan yang memegang ranking 1, 2. 3 di sekolah sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan kuliah. Mereka disebut sebut memiliki Otak Mujair.

Ada banyak yang merupakan lulusan terbaik fakultasnya. Mereka juga disebut Otak Mujair.

Dan saya lihat ada banyak juga orang orang dari desa Songan yg meraih gelar Professor ataupun menduduki kursi kursi penting di kantor pemerintahan ataupun di perusahaan perusahaan swasta. Mereka disebut memiliki Otak Mujair.

Saya jadi mulai menyukai kata “Otak Mujair”. Dan senang sekali jika ulangan dapat skor 100, guru saya bilang “Bagus sekali. Benar benar Otak Mujair”. Saya senang walaupun teman teman saya ada yang teriak dari belakang, Jiir Jra. ..Jiir Jra. πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

Nah….kan berarti sebenarnya Jair itu sesuatu yang bagus ya. Dan saya sekarang tidak keberatan lagi diteriakin Jiir Jra …Jiir Jra.

Nah itulah cerita saya tentang Ikan Mujair.
Ikan Mujair alias Mozambique tilapia (oreochromis mossambicus), adalah ikan air tawar yang banyak terdapat di danau Batur, Kintamani. Ikan ini bagus untuk dikonsumsi karena setiap 100 gramnya mengandung 26 gram protein, selain Vit B3, Niasin, Selenium dan Kalium. Sangat bagus untuk pertumbuhan otak bagi kanak- kanak dan untuk memaintain kesehatan otak bagi orang dewasa dan lanjut usia.
Jiir Jra…. Jiir Jraβ€¦πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

(Cerita ini saya tulis, karena hari ini saya ingin memasak Ikan Mujair Nyatnyat, tapi stock Ikan Mujairnya di Tukang Sayur kosong, yang ada hanya Ikan Gurami. Saya jadi teringat akan masa kecil saya dan ikan Mujair).🐟🐟🐟

Liburan Di Bali: Toya Devasya.

Standard
Liburan Di Bali: Toya Devasya.

Jika pulang ke Bali, biasanya saya hanya tinggal di rumah orang tua saya saja di Bangli. Rumah masa kecil yang selalu memberi rasa nyaman. Sesekali saya juga mampir ke rumah ibu saya di Banjar Pande atau ke rumah kakek saya di tepi danau Batur, atau bertemu keluarga ataupun teman yang ngajak saya mampir ke rumahnya. Sangat jarang kami pergi ke tempat wisata. Sebagai akibat, anak-anak saya tidak begitu nyambung jika teman-temannya bercerita tentang tempat- tempat wisata di Bali. “Rumah di Bali kok nggak tahu tempat wisata di Bali?”. Ya…karena kalau di Bali biasanya cuma di rumah saja.

Liburan kali ini saya mengajak anak anak jalan-jalan. Ke mana sajalah, termasuk salah satunya ke Toya Devasya, salah satu tempat wisata air panas di tepi danau Batur di Kintamani. Natural Hotspring!.

Toya Devasya ini bisa kita tempuh kurang lebih dalam 1.5 jam dari Denpasar. Arahnya ke utara, ke Kintamani. Naik teruuus… hingga kita tiba di Penelokan, di tepi kaldera gunung raksasa purba.

Penelokan. Sesuai namanya Penelokan (asal kata dari ” delok” artinya lihat/ tengok; Penelokan = tempat melihat pemandangan), dari sini kita bisa memandang ke dalam kaldera yang di dalamnya terdapat danau Batur dan Gunung Batur yang sungguh sangat indah.

Nah dari sana itu kita menuruni jalan yang ada menuju tepi danau. Tiba di desa Kedisan, kita berbelok ke kiri. Kembali menyusuri jalan sambil melihat-lihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Di kanan adalah danau biru dan bukit bukit yang menghijau. Lalu di sebelah kiri, gunung Batur dengan landscape batu batu lahar gunung berapi. Kira kira limabelas menit perjalanan, tibalah kita di Toya Bungkah, nama tempat di mana Toya Devasya ini berlokasi.

Walaupun sudah agak sore, Toya Devasya tampak ramai. Parkiran hampir penuh dengan kendaraan tamu-tamu yang entah menginap, sekedar makan di restaurant ataupun berenang. Saya dan 5 orang anak keponakanpun masuk ke sana.

Anak-anak dan keponakan yang kecil segera berenang. Ada 6 buah kolam renang di sana. Besar dan kecil. Melihat kolam renang sebanyak itu dan semuanya ramai, saya pikir besar kemungkinan orang-orang datang ke sini memang untuk berwisata air.

Keponakan saya yang lain sibuk hunting foto dan bermain drone di dekat danau.

Saya sendiri dan anak saya yang besar, melihat-lihat pemandangan sekitar. Dari anjungan Kintamani Coffee Housenya saya bisa melihat danau luas yang menghampar berdinding bukit. Di atasnya awan awan putih menutup Gunung Agung di belakangnya. Angin danau berhembus sejuk. Sungguh tenang, damai dan permai di sini. Tempat yang nyaman untuk hanya sekedar menikmati senja, membaca buku, ngopi-ngopi hingga bermain drone.

Kompleks Toya Devasya ini kelihatannya cukup luas. Dan terakhir kali saya kesini barangkali telah lebih dari 5 tahun yang lalu. Jadi penasaran juga, ingin tahu ada fasilitas apa saja di tempat wisata yang lagi naik daun di Danau Batur ini.

Mengikuti rasa ingin tahu, saya dan anak sayapun turun dari anjungan kopi, melihat lihat berkeliling sambil nunggu anak-anak selesai berenang. Kaypooo lah dikit ya πŸ˜€

Persis di bawah anjungan, ada kolam renang yang rupanya lebih banyak diminati oleh wisatawan asing. Patung patung gajah segala rupa menghiasi areal ini termasuk kolam renangnya. Yang menarik adalah, diantara sekian kolam renang yang ada, dua diantaranya berada persis di tepi danau. Memungkinkan kita untuk menikmati pemandangan danau sambil berenang ataupun berendam di air panas.

Tak jauh dari sana saya melihat counter untuk snack dan barbeque. Wah…ini penting, karena biasanya habis berenang renang perut terasa lapar πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€. Tapi saya membayangkan tempat ini juga bakalan penting jika kita bikin acara bakar bakaran bersama teman teman ataupun keluarga. Misalnya pas acara malam tahun baru gitu.

Saya berjalan lagi. Rupanya bagi yang ingin menghabiskan malam di tempat indah ini, Toya Devasya juga menyediakan Villa -villa yang dilengkapi dengan private hotspring pool.

The Ayu Villa. Waduuuh… keren ya.

Saya ditawarkan untuk menginap. Dan anak-anak juga pengen banget. Tapi sayang, besok paginya kebetulan ada acara adat yang harus kami ikuti. Jadi kami tak bisa menginap. Lain kali deh. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa menginap di sana.

Disisi barat tak jauh dari kolam renang, saya melihat ruangan restaurant yang juga dilengkapi degan fasilitas untuk ruang meeting dan bahkan panggung indoor.

Selain berenang dan menginap, Toya Devasya juga dilengkapi tempat melakukan Yoga dan Spa yang berfokus pada methode Ayurveda dengan menggunakan bahan-bahan alam. Saya sempat melongokkan kepala saya ke sana. Ada beberapa kamar therapy yang kelihatannya nyaman juga.

Tempat ini rupanya luas juga. Saya melihat ada tempat khusus untuk camping dengan tenda tenda yang disediakan (lupa motret). Saya membayangkan malam tahun baru yang seru di tempat ini. Lalu ada anjungan untuk olah raga air di danau seperti kayaking ataupun tour di danau.

Ada panggung terbuka di sana, yang biasa dipakai untuk pertunjukan pada malam malam istimewa.

Nah…tibalah kami di spot foto yang paling sering saya lihat diupload oleh orang-orang di sosmed. Saya tentu tak mau ketinggalan. Lalu ikut-ikut berphoto di sana. Sebetulnya ada beberapa photo yang diambil sih. Sayangnya sudah terlalu sore dan langit mulai redup. Jadi hasil fotonya tak ada yang bagus he he πŸ˜€.

Matahari terbenam. Malampun tiba. Pak Ketut Mardjana, sang pemilik Toya Devasya beserta istri, mengajak kami makan malam bersama di anjungan Coffee Shop.

Hidangan khas Kintamani yang selalu ngangenin. Ikan Mujair Nyatnyat, Telor Goreng Crispy, Kacang Tanah Goreng, Soup Ikan Kecut… wah…mantap sekali. Makanannya sangat enak. Semua makan dengan lahap. Apalagi anak-anak yang baru habis berenang.

Malam semakin larut, kamipun pamit membawa kenangan indah akan tepi danau Batur dan Toya Devasya.

Terimaksih banyak Pak Ketut dan ibu atas keramahannya. Lain kali kami berkunjung lagi😊.

Songan, Kampung Halamanku Ketika Aku Pulang.

Standard

image

Ini sebetulnya hanya catatan kecil dari acara pulang kampung sehari. Sangat singkat. Sangat padat.Β  Tak sempat mampir ke mana-mana. Hanya pulang ke desa Songan di Kintamani, Bangli. Jadi sebenarnya tidak ada sesuatu yang aneh dan baru bagi saya.

Walaupun demikian, begitu memasuki wilayah kaldera dan menyaksikan hamparan danau biru nan luas beserta gunung Batur di sebelahnya, tetap saja saya merasa takjub terkagum-kagum akan keindahannya.

Berdiri di hulu danau dan melihat pemandangan desa yang sangat memukau, membuat saya berkali kali mengucapkan rasa syukur atas anugerahNYA. Ikan-ikan kecil berkerumun di bawah permukaan air dekat tepian danau.Β  Sesekali meloncat dengan riangnya, membuat cipratan kecil yang berkilau diterpa sinar matahari.

2016-01-13-07.50.09.jpg.jpegBurung -burung bangau beterbangan dan hinggap di atas flora mengambang di permukaan danau sambil mencari makan. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Lalu ada keramba ikan. Nelayan yang asyik di atas perahunya. Dan ladang ladang sayur yang subur. Pemandangan danau dengan latar belakang bukit bukit yang hijau di satu sisi dan atau Gunung Batur yang kemerahan, membuat desa saya itu sedemikian indah bak lukisan dari negeri entah di mana. Saya mengambil beberapa kali gambar dengan kamera ponsel saya untuk mengenang wajah desa Β ketika saya pulang kali ini.

Di sini kehidupan terasa berjalan tenang dan damai. Tanah yang begitu subur, diperkaya dengan berbagai mineral dan nutrisi yang dihadiahkan oleh debu vulkanik Gunung Batur membuat daerah itu menjadi kawasan pertanian sayur mayur dengan hasil yang melimpah di setiap musimnya. Tinggal sedikit usaha menyingsingkan lengan baju, olah tanah dan rawat tanaman, hasil panen pasti akan segera menghapus kelelahan. Begitu suburnya tanah di area ini, walaupun di sana-sini juga dihiasi dengan batu lahar hasil letusan Gunung.

image

Begitu juga danau yang biru. Seolah tak rela penduduknya kelaparan, tak hentinya menyediakan ikan yang berlimpah. Jika lapar, tak punya lauk untuk di masak, tinggal ambil pancing atau jala. Kami menangkap ikan. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Demikianlah danau dan gunung Batur menyayangi orang-orang di kampung kami. Semoga setiap orang menyadari dan hanya mengambil secukupnya dari apa yang dianugerahkan tanpa harus merusak lingkungan sekitarnya.

image

Setiap orang memiliki kampung halaman dan mencintainya. Demikian juga saya. walau akhirnya tinggal jauh, rasanya memang tiada tempat yang lebih damai selain di kampung halaman sendiri. Semoga desaku selalu tenang dan damai.

Danau Batur: Burung Kokokan.

Standard

Bangau Danau BaturAdakah yang lebih indah dari pemandangan tepi danau di pagi hari? Duduk memandang segarnya Danau Batur selalu memberi saya keteduhan jiwa yang tak bisa saya Β gantikan dengan apapun. Di pagi hari, air danau selalu kelihatan lebihΒ  tenang dan hanya beriak kecil. Sinar matahari memantul keemasan dari permukaannya yang mirip cermin raksasa itu. Sementara bukit-bukit hijau menjulang memagari danau. Di Β sebelahnya Gunung Batur Β berdiri tegak menjadi penyeimbang atas kedalamannya. Saya memandangnya dengan decak kagum. Di tepi danau penduduk tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang mencari ikan, ada yang mencangkul, menyiram ladang dan banyak juga yang membersihkan ladangnya dari rumput liar. Kesibukan pagi yang indah.

Bangau Danau Batur 1

Setelah nyaris setengah abad perjalanan hidup saya, saya masih tetap mencintai kampung halaman saya. Walaupun nasib telah membawa langkah kaki saya berjalan ribuan kilometer, namun kampung halaman selalu menjadi magnet yang menarik saya untuk selalu pulang Β dan pulang kembali. Laksana burung-burung Kokokan yang pergi terbang jauh entah kemana, namun ada waktunya akan pulang kembali ke sarangnya.

Bangau Danau Batur 2

Hmm.. Burung Kokokan! Β Saya berdiri di dermaga kayu yang letaknya di Kedisan. Tak jauh dari sana tampak rumput-rumput danau tumbuh berkelompok membentuk koloni-koloni yang mirip rakit-rakit kecil tempat burung-burung air bertengger. Beberapa ekor kokokan tampak berdiri diam menunggu. Sesekali mematuk sesuatu di air danau. beberapa ekor Kokokan yang lain terbang Β dari gundukan rumput ke rumput yang lainnya.

Bangau Danau Batur 3

Kokokan alias Burung Blekok Sawah, alias Javan Pond Heron (Ardeola Speciosa), adalah salah satu burung air yang keberadaannya cukup banyak di perairan Indonesia. Hidupnya terutama di badan-badan air yang banyak ikannya seperti danau, rawa maupun persawahan. Makanannya adalah ikan, Β udang, kodok dan sebagainya. Β Bagi saya burung ini sangat menarik karena keindahan bentuk tubuhnya. Langsing dengan leher dan paruh yang panjang.

Bangau Danau Batur 4

Berukuran cukup besar, sehingga cukup mudah dikenali dari kejauhan. Burung Kokokan memiliki paruh berwarna kuning dengan ujung hitam, sedangkan di pangkal paruh, warnanyaΒ  biru hijau mirip pelangi. Kepala dan tengkuknya berwarna coklat terang kekuningan. Leher dan dadanya berwarna putih dengan garis garis coklat terang. Punggungnya berwarna coklat tua dan sisa tubuh yang lainnya serta sayapnya berwarna putih. Sehingga, jika ia terbang, warna dominant yang terlihat hanyalah putih.

Bangau Danau Batur 5

Pada sore hari, saya lihat burung-burung Kokokan ini bersitirahat di sebatang pohon Beringin yang tak jauh dari tepi danau.

Danau Batur: Burung Layang-Layang Asia.

Standard

burung Layang-Layang AsiaSuatu pagi ketika saya akan pergi ke Desa Trunyan, perjalanan kamiΒ  terputus akibat pohon tumbang. Sambil menunggu petugas membereskan pohon itu, saya mengajak adik saya untuk berhenti di ujung Desa Kedisan saja. Ada apa di sana? Saya bercerita kepada adik saya bahwa saat melintas sebelumnya saya melihat kawanan Burung Layang-Layang Asia terbang mencari makan di sekitar area itu. Mungkin ada baiknya kita berhenti sebentar dan mengamati tingkah lakunya.

burung Layang-Layang Asia 3

Burung-burung itu tampak sibuk terbang menyambar-nyambar di atas permukaan air danau, atau di atas lahan-lahan yang sedang diolah dan dipupuk kotoran sapi. Β Mereka sedang berburu serangga yang banyak terdapat di sana. Melimpahnya jumlah serangga di tepi danau membuat Β burung -burung itu tampak betah di sana. Saya sangat menyukai gerakan rerbangnya. Mengepakkan sayapnya, melayang, menyambar, berputar-putar,melingkar. Gesit sekali. Dan bentuk tubuhnya sangat indah dan aerodynamics. Beberaapaa ekor yang kelelahan tampak berisitirahat dengan bertengger di kawat listrik di atas ladang di tepi jalan. Mereka tak tampak terganggu oleh lalulintas atau bahkan suara mesin pompa air yang digunakan saat petani menyiram tanaman tomat di bawahnya.

burung Layang-Layang Asia 2

Burung Layang-Layang Asia atau Barn Swallow ( Hirundo rustica) adalah jenis burung Layang-layang dari keluarga hirundinidae dan masih sangat dekat tampilannya dengan saudaranya Burung Layang-Layang Batu (Hirundo tahitica) yang sering saya tulis di sini,di sini dan di sini. Tampilannya pun sangat mirip. Sepintas lalu agak susah membedakannya. Ukuran tubuhnya sama. Demikian pula warna bulu dominantnya. Nyaris sama. Namun mata yang terlatih akan bisa melihat bahwa burung ini memang bukan Burung Layang-Layang Batu.

Burung layang-layang.

Pertama yang sangat jelas adalah ekornya yang panjang dan menggunting. Lebih panjang dari ekor burung layang-Layang Batu. Burung Layang Layang Batu tidak memiliki dua tangkai bulu ekor ini. Β Ynag ke dua, warna putih dada burung layang-layang Asia jauh lebih bersih ketimbang warna putih kotor burung layang-Layang Batu. Ke tiga, burung Layang-Layang Asia memiliki garis biru metalik yang sangat Β jelas di batas dada dengan lehernya yang tidak dimiliki oleh jenis burung layang-Layang Batu. Pada Burung Layang-Layang Batu, warna di daerah ini hanya coklat karat saja.

burung Layang-Layang Asia 4

Kalau saya deskripsikan, burung ini berwarna biru metalik pada bagian kepala, punggung hingga ekornya. rahang bawah hingga lehernya berwarna coklat karat. Dada, perut dan ekor bagian bawahnya berwarna putih, dengan tanda biru metalik pada batas dada dan lehernya. Paruh dan matanya berwarna hitam. Demikian juga kakinya.

Menurut catatan, burung ini termasuk burung migrant yang datang ke Indonesia Β pada bulan September – November. Menarik bagi saya untuk mengamatinya lebih jauh. Dan sangat kebetulan memang,bulan ini adalah bulan Oktober.

 

 

Welcoming October 2012 – Purnama Ke Empat.

Standard

Kartika, penedenging sari…

Semalam saya memotret bulan dan berhasil mendapatkan citranya dengan cukup baik. Walaupun tentu saja tidak sebaik yang bisa didapatkan dengan menggunakan lensa-lensa yang super canggih. Namun paling tidak, dengan segala upaya saya masih bisa melihat posisi beberapa titik penting dalam landscape permukaan Bulan seperti kawah Tycho, kawah Kepler dan kawah Copernicus. Demikian juga Mare Serenitatis, Mare Tranquilitatis ataupun Mare Fecunditatis. Semuanya terlihat baik dan cukup jelas, mengingat bahwa semalam adalah bulan penuh. Setengah permukaan bulan menghadap sepenuhnya ke permukaan bumi. Bulan Purnama ke empat atau disebut juga Purnama Kapat dalam perhitungan kalender Bali. Read the rest of this entry

Rinduku Pada Kuda.

Standard

β€œ..Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda/ Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh/ Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua/Dan bola api, merah-padam, membenam di ufuk yang teduh …”

PenggalanΒ  sajak yang berjudulΒ  β€œBeri Daku Sumba” di atas adalah karya Taufiq Ismail, seorang dokter hewan yang lebih dikenal sebagai penyair. Terus terang puisi dan penyair ini sangat mengilhami saya di tahun 1980-an. Mungkin karena saya menyukai keduanya. Puisi dan kuda.

Puisi inilah yang tiba-tiba melintas diingatan saya ketika suatu hari minggu sore saya ngobrol santai dengan para pemilik kuda yang mangkal menjajakan jasanya di sebuah lapangan rumput di area Graha Bintaro Jaya. Β Ngobrol ringan dan ngalor ngidul tentang kuda. Tentang breeding, makanan, umur dan kesehatan kuda, tentunya. Kuda-kuda yang kebanyakan Β berumur antara 5 sampai 9 tahun ini, beberapa diantaranya didatangkan dari Bandung atau daerah lain di indonesia. Namun sebagian ada juga yang kelahiran Jakarta. Kuda-kuda ini diantaranya dimanfaatkan sebagai kuda penarik delman atau dokar, dan sebagian lagi digunakan sebagai kuda tunggang. Β Beberapa orang anak sibuk mencoba menunggang kuda berkeliling lapangan dengan dibantu penjaga kuda. Saya hanya bisa mengamati keindahan kuda-kuda ini dari kejauhan saja. Read the rest of this entry

Serial Kampung Halaman – Songan, Desaku Yang Permai.

Standard

Ketika Β Mbak Evi, seorang sahabat blogger saya Β berkisah tentang kampung halamannya, saya juga jadi tergerakk untuk menulis tentang kampung halaman saya. Β Sebenarnya dalam kenyataannya saya memiliki dua kampung halaman. Β Yang pertama adalah Desa Songan. Desa darimana saya berasal danΒ  merupakan lokasi rumah kakek saya yang bermarga Kayu Selem Β (=Kayu Hitam, Blackwood). Dan yang kedua adalah Kota Bangli. Kota kecil dimana saya menghabiskan masa kanak-kanak saya hingga remaja. Di sanalah letak rumah ayah-ibu saya (keduanya telah tiada). Dan tak jauh dari sana, sekitar 2-3 km, terdapat rumah kakek saya dari pihak ibu yang bermarga Pande (= marga tukang emas,perak,besi; gold&silver smith). Jarak ke dua tempat ini sekitar 35 km. Namun kali ini saya akan menceritakan mengenai Desa Songan saja. Read the rest of this entry