
Golden Temple di kota Amritsar, Punjab, India adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi. Selain karena sangat terkenal, Golden Temple merupakan tempat suci Sikh India terbesar, sangat tua dan utama, dimana puluhan hingga ratusan ribu peziarah dan tourist berkunjung ke tempat ini setiap harinya. Golden Temple dalam bahasa setempatnya bernama Harmandir Sahid atau Darbar Sahid, hanya karena bangunan utama Temple ini dilapisi emas murni, sehingga oleh pengunjung disebut dengan Golden Temple.
Saya tiba di Golden Temple sekitar pukul 11 siang di sebuah parkiran rooftop. Lalu berjalan kaki menyelusuri jalanan bebas kendaraan yang dikiri -kanannya penuh dengan toko kerajinan India. Susah untuk memaksa mata agar tidak menoleh kiri dan kanan melihat berbagai kain sulaman India dan sari dipajang.
Setelah berjalan kaki beberapa saat, akhirnya tibalah kami di gerbang selatan dari Golden Temple. Melihat gerbangnya saja, saya sudah terkagum-kagum. Temple ini sangat besar sekali. Sayang kubah gerbang pintu selatannya sedang direnovasi. Merupakan salah satu peninggalan dengan gaya arsitektur jaman Mugal , Golden Temple dibangun oleh Guru Arjan (Guru ke 5 Sikh) dan diselesaikan oleh Guru Ram Das pada tahun 1577, di tempat di mana Guru Nanak (Guru pertama Sikh) bermeditasi dahulunya. Saat dibangun temple ini belum berlapis emas. Kemudian Maharaja Ranjit Singh melapisinya dengan emas.
Lepas Sepatu dan Pakai Tutup Kepala Bagi Semua Orang.
Di pojok sebelum memasuki gebang, penjaga memberi tahu bahwa kami tidak diperkenankan menggunakan alas kaki dan diwajibkan untuk menutup kepala. Berlaku sama, baik untuk pria maupun wanita. Sayapun segera menitipkan sepatu pada penjaga lalu bergegas menutup kepala saya dengan selendang.
Bertelanjang kaki saya berjalan ke arah gebang yang jaraknya lumayan jauh juga dari tempat penitipan sepatu. Sebelum memasuki gerbang, ada tempat pembersihan diri. Saya membasuh muka dan tangan saya. Lalu saya berjalan menerobos parit air yang dimaksudkan untuk mencuci kaki pengunjung yang masuk ke dalam Temple itu.
Temple di Tengah Danau.
Begitu memasuki gerbang, WOW!!!!. Saya terpesona oleh pemandangan di depan saya yang sangat menakjubkan. Di dalam bangunan bergerbang empat yang sekarang terlihat seperti benteng itu terdapat sebuah danau. Sebuah Temple warna emas berdiri dengan anggun di tengah sebuah danau buatan itu yang diberi nama Amrit Sarovar (Danau Amerta, atau Kolam Sari Nektar).
Sangat ramai sekali. Antrian untuk masuk ke dalam bangunan temple itu sendiri sangat berjejal dan panjang sekali. Ribuan orang banyaknya. Masalahnya yang hadir di sini bukan hanya umat yang ingin sembahyang tetapi juga banyak tourist yang datang untuk mengagumi keindahan Golden Temple ini. Perbandingan antara peziarah dan tourist saya dengar mencapai 75% vs 35%.
Saya berpikir keras, bagaimana caranya agar bisa masuk ke bangunan itu dan berdoa di sana. Tapi akhirnya saya urungkan niat, karena pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Bisa bisa sampai sore baru kebagian.
Sementara di luar bangunan, saya lihat orang orang yang datang seketika membungkuk memberi penghormatan lalu bersimpuh dan bersujud memanjatkan doa. Sayapun ikut bersimpuh di tepi kolam dan berdoa di sana saja.
Menerima Berkah Makanan.
Sekitar pukul 12.30 kami diajak makan siang di Temple. Saya dijelaskan bahwa Temple menyediakan makan untuk siapa saja yang berkunjung ke Golden Temple, tidak memandang apapun agama ataupun suku bangsanya. Dikasih semua. Atas dasar kemanusiaan, persaudaraan dan persamaan. Dan GRATIS !!!!!. Wow!!😮😮😮 Bagaimana bisa ya? Kan jumlah pengunjung temple ini ada puluhan ribu jumlahnya setiap hari?. Sungguh sebuah Kedermawanan tingkat tinggi yang sedang ditunjukkan kepada saya, salah seorang pengunjungnya. Tak ada tempat suci lain yang seperti ini.
Akhirnya saya ikut arus ribuan orang yang bertelanjang kaki menuju dapur umum. Di sana kami mencuci kaki lagi dan tangan kami. Lalu menerima pembagian piring dan mangkuk untuk tempat air.
Saya memasuki ruangan besar beralaskan semen. Dimana orang orang duduk berbaris rapi menikmati hidangan yang dibagikan petugas. Mereka makan dengan tertib. Lalu berdiri dan berbaris keluar ketika sudah selesai. Meninggalkan barisan kosong yang segera diisi oleh orang lain yang baru masuk dengan tertib.
Saya duduk bersila di barisan yang panjang. Petugas menuangkan bubur putih dan dal, sejenis bubur yang terbuat dari kacang kacangan. Ada 3 jenis menu di piring saya. Saya pun makan dan minum dengan nikmat. Setelah usai, saya keluar.
Ada petugas lain lagi yang menerima piring dan sendok yang kotor . Saya sungguh tercengang melihat dan mengalami semua itu.
Pelayanan, Keikhlasan dan Ketulusan Hati.
Untuk melayani ribuan pengunjung yang datang ke sana, ada puluhan atau mungkin ratusan orang yang menyumbangkan tenaganya untuk mengupas bawang, mengolah kacang, memasak , melayani membagikan piring, membagikan makanan, membagikan air, mengumpulkan peralatan makan yang kotor, dan mencucinya. Semuanya swadaya. Dan menurut seorang yang mengabdikan tenaganya di situ, walau sebanyak apapun pengunjung yang datang, selama ini tak pernah ada yang tidak kebagian makanan. Bahkan pada saat ada perayaan pun di mana 200 000 peziarah datang untuk sembahyang di sana, makanan tetap cukup. Luar biasa !.
Saya pulang dengan rasa kagum dan hormat yang tinggi. Bahagia sekali karena sudah diberi kesempatan untuk berkunjung dan berdoa di sana. Lebih bahagia sekali karena melihat dan mengalami sendiri, bagaimana di tempat suci itu, asas kemanusiaan dan persamaan lebih diutamakan di atas hal lain. Sungguh tidak ada ego dan fanatisme agama yang berlebih. Yang ada hanya ketulusan dalam memberi, keikhlasan dalam menerima kunjungan dan persamaan dalam menangani pengunjung tanpa memandang agama, suku maupun gendernya. Semua dilayani sama.
Di jalan, banyak sekali saya menemukan orang- orang yang sudah sepuh membawa buntelan (mungkin isinya pakaian dan barang keperluan sehari hari lain) kelihatannya datang dari jauh dengan berjalan kaki guna bisa berdoa di sana. Haru!.