Tag Archives: Lingkungan Hidup

Dapur Hidup: Seledri Sayuran Multi Fungsi.

Standard

 

2015-12-24-18.19.08.jpg.jpegSeorang saudara saya (kakak) saya bertanya, “Hai gimana kabar tomat-tomatmu?“. Rupanya saudara saya itu ikut-ikutan semangat berkebun sayur. Ia mengatakan kalau ia juga terinspirasi oleh tulisan saya tentang Dapur Hidup dan mulai menanami areal-areal kosong di sekitarnya dengan cabe dan tomat. Bahkan berencana akan segera menanam kol juga. Ha ha..yes!. Saya senang.  Jadi lumayan dong ya..saya bisa mengajak-ajak untuk giat berDapur Hidup.

Menjawab soal tomat, saat ini di lahan sempit pekarangan saya sedang tidak ada tomat. Sudah habis. Karena setelah 7x panen pohonnya sudah menua dan meranggas. Saya memutuskan untuk mencabutnya saja. Dan baru mulai membibit lagi.  Tanaman sayuran hijau seperti pakchoi dan selada serta kangkung juga masih kecil-kecil dan belum siap panen. Lalu apa yang ada di halaman rumah kali ini?

Setidaknya hari ini  saya masih punya pare dan timun untuk dipanen  Juga masih ada banyak tanaman bumbu dapur. Apa saja sih?. Salah satunya adalah Seledri (Apium graveolens).

Di Bali orang cenderung menyebut Seledri dengan nama Suladri. Karena awalan kata Su berarti bagus/baik,maka mendengar nama Suladri terasa sangat nyaman di telinga. Kesannya seperti sesuatu yang mengakibatkan hal baik.

Pada kenyataannya, tanaman ini memang memegang peranan penting di dapur. Walaupun fungsinya sebagai pelengkap rasa, seledri dibutuhkan di banyak masakan. Bikin soto enak ditaburi  seledri. Bikin bubur ayam juga enak ditaburin seledri. Bikin perkedel kentang juga pakai seledri. Bikin bakwan jagung, bakwan sayur pakai seledri. Bikin sup pakai seledri. Dan masih banyak lagi jenis masakan, hingga ke kripik kripik pun ada yang pakai seledri.  Seledri dengan rasanya yang khas, memberikan sentuhan tersendiri pada masakan yang kita sajikan.

Selain buat masakan seledri secara traditional juga banyak dimanfaatkan untuk kesehatan dan perawatan. Sejak kecil kita sering mendengar jika air remasan daun seledri digunakan untuk keramas, dengan maksud untuk membantu menyuburkan rambut. Tak heran jika ada beberapa shampoo juga menggunakan extract seledri di dalamnya. Ada juga wanita yang memanfaatkan tumbukan daun seledri untuk memasker wajahnya agar halus dan cerah.

Seledri juga sangat disarankan untuk dikonsumsi untuk memperkuat penglihatan, karena kandungan Vitamin A-nya yang tinggi.  Lalu kita juga mendengar jika banyak orang memanfaatkan daun seledri untuk menurunkan tekanan darah tinggi, penurun kolesterol, sebagai diuretika dan sebagainya. Karena manfaatnya yang banyak, tentu akan sangat menguntungkan jika selalu kita siagakan di halaman rumah ya. Saya memasukkan seledri sebagai salah satu tanaman Dapur Hidup saya.

20151224_165551.jpgBenih berupa biji bisa kita dapatkan dari Toko Trubus. Biji seledri berukuran sangat kecil-kecil dan ringan. Dan mudah beterbangan jika kita tidak hati-hati  membukanya. Teksturnya mirip biji ketumbar. Tetapi jika biji ketumbar bentuknya bulat-bulat, biji seledri bentuknya lucu, melengkung lengkung.

Biji-biji ini saya taburkan di dalam pot tanaman hias Lidah Mertua yang tetap saya jaga kelembabannya. Masa tumbuhnya sangat lama. Kalau tidak salah saya harus menunggu selama 3-4  minggu. Tiada kunjung kelihatan gejala-gejala kehidupan sedikipun. Hingga nyaris saya pikir tidak berhasil hidup. Setelah kurang lebih sebulan barulah saya lihat ada titik-titik hijau muncul dipermukaan tanah.  Dan pertumbuhannya pun lambat juga. Sangat berbeda dengan biji tanaman lain seperti Caisim atau Pakchoy yang hanya dalam hitungan  1-2 hari atau maximum 3 hari sudah ada muncul putiknya.

 

 

20150907_073823.jpgSeledri membutuhkan air yang banyak. Jadi kita harus rajin-rajin menyiramnya dan menempatkannya di tempat yang teduh. Jangan dipanggang di bawah terik matahari.

Seledri ini menurut saya adalah tanaman yang sejak benih sudah indah. Saya sangat menyukai bentuk daun seledri. Berbentuk trisula tumpul dan bergerigi. Dan keindahannya ini sudah tampak bahkan sejak tanaman ini masih bayi.

Setelah daunnya minimal 4 buah, saya mulai memindahkannya satu per satu. Sebagian saya tanam di polybag dan sebagian lagi ada juga yang saya tanam dengan system Hydroponik.

SeledriUntuk yang di polybag membutuhkan perhatian khusus, karena harus rajin disiram. Pupuk humus atau pupuk kandang tentu sangat baik. Bisa juga kita menyiramnya dengan air  bekas cucian beras. Untuk hydroponik saya hanya memberikannya pupuk organik cair.

Beberapa minggu setelah itu, tanaman seledri saya sudah mulai bisa dipetik jika dibutuhkan untuk masak. Nggak perlu lagi membeli daun seledri dari tukang sayur. Karena kini saya sudah bisa memetik yang lebih segar dari halaman.

Nah.. membuat Dapur Hidup nggak pernah rugi kan!. Yuk kita semangat membuat Dapur Hidup sekaligus menghijaukan halaman rumah kita.

Go green yuk! Go green!.

Dapur Hidup: Kejutan Dari Si Timun Putih.

Standard

Hai! Saya memanen timun dari halaman. Memanennya tanpa rencana. Gara gara saya baru ngeh kalau ada buah timun yang sudah cukup besar ternyata bergelantungan di tembok bagian atas ketutupan daun yang rimbun. Anak saya yang kecil yang pertama kali melihat dan memberi tahu saya.

Buah timun baru petik dari pohon. Lengkap dengan getah dan duri-durinya. Rasanya jauh lebih segar dari buah timun yang dibeli dari pasar maupun supermarket.

20151206_094050.jpg

Bagaimana ceritanya kok bisa nanem timun di halaman rumah?.  Terus terang sjak awal saya sangat tertarik pada tanaman cucurbitaceae. Timun, pare, oyong, melon, semangka, belewah, beligo, timun suri, labu siam, labu parang dan sebagainya.Saya suka melihat lihat dan  membaca-baca artikel tentang keluarga tanaman ini. Sayang sekali saya tidak punya lahan yang cukul luas agar bisa menanamnya. Tanaman ini butuh area yang luas karena merambat kemana mana. Sementara halaman rumah saya terbatas. Dan sudah penuh pila saya tanami dengan cabe, tomat, terong, pare, kemangi, bawang daun, jahe, kunyit, seledri dan lain lain kebutuhan dapur sehari-hari.

Tapi saya tidak mau menyerah. Jadi dimana akan  saya tanam biji timun ini?  Di pot yang akan saya letakkan di pinggir tembok. Dan saya rambatkan batangnya ke tembok. Mulailah saya membuat rambatan kawat ke tembok.
Tanam biji timun putih. Dua biji, dua biji di setiap lubang dekat kawat. Untuk antisipasi jika ternyata ada yang mati.
Hanya dalam beberapa hari sidah tumbuh. Dan tumbuh terus dengan cepat merambat di tembok. Hanya sayangnya setelah berbunga kok  pada rontok. Tak ada satupun yang saya lihat menjadi buah. Setiap hari saya periksa tapi kok pada rontok semua.

Rupanya buah yang di batang bagian atas tidak kelihatan oleh saya, karena tertutup daunnya yang rimbun. Hari ini tiba tiba anak saya melihat ada buahnya. Benar-benar sebuah kejutan yang menyenangkan di hari Minggu.

Dengan semangat kamipun menyibak nyibak daun tanamam itu. Eh..ternyata ada lebih dari satu. Sebenarnya agak ketuaan sedikit kelihatannya. Kami lebih suka mengkonsumsi timun muda. Sayang waktu ukuran dan umurnya tepat untuk dipanen kami tidak melihatnya. Nggak apa apalah. Nggak terlalu tua juga kok.

Bagaimana cara memetiknya? Tinggi begitu. Anak saya mencoba memetik sebuah dengan galah. Tapi …prakkk! Timunnya retak karena jatuh ke halaman yang ditutup cone block. Yaaah…. sayang ya.
Oke. Anak saya tidak kehilangan akal. Pakai galah disambung serokan ikan yang sudah dicuci terlebih dahulu. Asyiiiik!.

Sekarang buah timun bisa dipetik tanpa pakai acara jatuh. Tapi ada juga sih yang karena ditarik, batangnya ikut tertarik ke bawah dan anak saya bisa menggapai dan memetiknya langsung dengan tangan.
Lumayan dapat 6 buah. Seneng banget hati saya.

Timun (Cucurbitae sp) adalah salah satu tanaman dari keluarga timun-timunan yang umum dikonsumsi manusia. Tanaman merambat ini memiliki daun yang lebar seukuran daun pohon labu siam. Batangnya merambat dengan bantuan sulur sulur. Bunganya kecil-kecil berwarna kuning. Yang sejak awal sudah terpisah mana yang jantan dan mana yang betina.

Buah timun paling enak dimakan mentah mentah. Buat lalapan, teman nasi goreng atau buat acar. Kalau siang hari dan panas panas begini enak juga diserut dibikin minuman. Tambah syrop gula sedikit. Jadilah es mentimun!. Hmmm….segarnya.

Manfaat lain dari timun…bisa juga digunakan untuk mengompres mata yang lelah. Atau digunakan untuk menyegarkan kulit wajah biar segar dan kinclong.

Selain itu mentimun juga berfungsi untuk kesehatan. Banyak orang menganjurkan penderita hypertensi untuk mengkonsumsi mentimun karena khasiatnya yang sangat baik untuk menurunkan tekanan darah.

Intinya, nggak rugilah menanam timun di pagar ataupun dirambatkan di tembok rumah. Banyak untungnya. Minimal mengurangi sedikit belanja dapur, menghijaukan halaman rumah dan sekaligus membantu meningkatkan kwalitas udara di lingkungan tempat tinggal kita. Go green.

Yuk kita tanam mentimun. Kita bikin Dapur Hidup!.

Dunia Pinggir Kali: Burung Peking Di Awal Musim Penghujan.

Standard

Wildlife nextdoor.

Musim kemarau yang panjang tahun ini akhirnya berakhir. Hujan mulai turun menghapuskan panas terik yang mendera selama beberapa bulan sebelumnya.  Saat itu hampir semua tanaman terganggu dan nyaris layu jika tidak rajin-rajin menyiraminya. Tetapi sekarang rasanya lebih lega. Sesekali saya menengok ke kali di belakang rumah. Untuk melihat kehidupan burung-burung liar di sana selama pergantian musim. Apakah mereka masih ada di sana?

Tetangga sebelah sedang membetulkan rumahnya. Banyak puing sisa pengerjaan bangunan berserakan. Selain itu bunyi ketak-ketok tukang yang bekerja saya rasa juga ikut mengganggu kehidupan liar di tepi kali.  Tapi rupanya kekhawatiran saya tidak terlalu beralasan. Memang ada jenis burung yang tak terlihat sepanjang November ini – seperti misalnya Burung Kipasan (Rhipidura javanica). Saya tidak melihat dan tidak mendengar suaranya sama sekali.  Demikian juga Burung Caladi Tilik (Dendrocopos moluccensis). Tetapi masih cukup banyak yang exist dan tertangkap oleh kamera saya. Salah satunya adalah Burung Peking (Lonchura punctulata).

Burung Peking 1

Kali ini rumput benggala tak banyak tumbuh di pinggir kali.  Syukurnya masih ada serumpun yang sedang berbunga dan berbiji.  Cukup untuk mengundang kedatangan Burung Peking yang giat bekerja di pagi hari.

Alangkah sibuknya burung ini  memanen biji-biji rumput benggala dan bermain-main di batangnya. Kepala dan lehernya coklat tua, dengan punggung juga berwarna coklat namun masih lebih terang. Perutnya berwarna putih bermotif mirip sisik. Sebenarnya burung kecilini sangat cantik. Gerak geriknya juga sangat menyenangkan untuk ditonton.

Burung Peking biasanya lebih senang bergerombol. Mencari makan tidak sendirian, tapi beramai-ramai dengan kelompoknya. Tapi kali ini saya melihatnya hanya bermain-main sendiri dengan anteng. Sayang jika tidak diabadikan.

 

Urban Farming: Hijaunya Selada.

Standard

 

Saya pernah heran mengapa tidak umum orang menumis selada? Padahal sawi jenis lain biasa ditumis orang. Ada yang memberi komentar karena harga selada relatif lebih mahal dibanding sawi jenis lain. Oh ya? Saya baru ngeh. Dan  setelah saya doule check memang benar sih lebih mahal. Tapi mengapa ia harus lebih mahal?  Nah…sekarang saya sedikit agak tahu jawabannya.

Rupanya harga biji selada (Lactuca sativa) jauh lebih mahal dibandingkan harga bibit sawi lain misalnya Caisim. Saya membeli sebungkus biji selada di Trubus harganya sama dengan harga sebungkus biji sawi Caisim. Tapi setelah dibuka,  ternyata jumlah biji selada di dalamnya cuma 1/4 atau bahkan 1/5 jumlah biji Caisim. jadi memang mahal.

Lalu setelah ditabur, hampir semua biji Caisim tumbuh. Tapi hanya sangat sedikit dari biji selada yang tumbuh.
Wah…kalau begini panteslah selada mahal. Terus berikutnya, pertumbuhan Caisim alangkah cepatnya. Sementara Selada lebih lambat.

Walau demikian, selada tetapbermanfaat ditanam.Dan saya tetap semangat mencoba menanamnya dengan system hidroponik. Satu dua mulai ada yang bisa dipanen. Daunnya hijau royo royo nenggiurkan. Terutama yang muda, sangat segar dan renyah. Bagus untuk lalap ataupun untuk bahan salad. siapa yang tidak mau menikmati sayuran  hijau segar langsung dari halaman?
Bertanam sayuran di halaman memang tak pernah ada ruginya.
Yuk kita bikin Dapur Hidup!.

Dunia Pinggir Kali: Anak Biawak.

Standard

Wildlife next door.

Sudah lama saya tidak melihat Biawak alias Asian Water Monitor (Varanus salvator) yang biasanya berkeliaran di kali belakang rumah. Sarangnya kelihatan tak berpenghuni karena tak terlihat jejak-jejaknya lagi di sana. Entah kemana perginya. Hati saya sangat sedih. Saya menduga kalau biawak itu pada ditangkapin dan dijadikan sate oleh orang-orang yang tidak perduli pada kelestarian lingkungan.

Syukurnya sejak bulan Oktober lalu saya mulai ada melihat penampakan seekor anak Biawak kembali.  Mudah-mudahan yang ini bisa berkembang dengan selamat hingga dewasa dan tua.

Anak Biawak 2Anak biawak merayap di tembok kali.  Ukurannya masih sangat kecil. Bisa dibandingkan dengan daun di sebelahnya. tak berbeda jauh dengan ukuran tokek.

Anak Biawak 1Ia merayap ke atas. Kepalanya sangat mirip kepala ular tapi bertelinga. Warnanya kekuningan di timpa sinar mathari. Garis-garis di lehernya serta bercakbercak di punggung serta ekor dan kakinya membentuk design yang sangat khas.

Anak Biawak 3Sejenak ia memalingkan mukanya sebelum berupaya merayap semakin naik.

Anak Biawak 4Sekarang ia ingin tahu ada apa di balik tembok. Atau inginmenjajalkemampuannya memanjat tebing?

Anak Biawak 5Ia berjalan di atas tembok kali. Sayang tidak menemukan apa yang ingin ia cari. ia pun berbalik lagi dan memanjat tembok berikutmya.

Anak Biawak 6Lihatlah! Lidahnya bercabang dua. Ia mendeteksi panas dan menyambung pesan akan bau mangsanya ketika ia menjulurkan lidah bercabangnya ke udara.

Biawak memakan kodok, ikan, tikus, burung ataupun ular yang ia temukan di pinggir kali.

Yuk kenali dan cintai lingkungan hidup kita!

Yogyakarta: Burung-Burung Liar Di Alun-Alun Utara.

Standard

Tekukur 5Minggu yang lalu saya ada di Yogyakarta dan kembali ke Jakarta pada hari Sabtu pukul 7 malam. Hari itu kebetulan urusan saya sudah selesai sekitar jam 2.30 siang.  Agak kelamaan kalau menunggu di airport. Jadi saya dan teman-teman ingin mengisi waktu dengan melihat-lihat sudut kota Yogyakarta.  Setelah berembug, kami memutuskan untuk melihat Keraton. Tapi sayangnya ketika kami tiba, Keraton sudah tutup. Yaaah…kecewa deh penonton.

Empat orang teman saya memutuskan untuk melihat-lihat batik produksi rumahan yang dipromosikan tukang becak. Saya sendiri lebih berminat untuk mengamati burung -burung liar di sekitar Alun-Alun Utara. “Melihat burung liar di lapangan?” Seorang teman saya kaget, bagaimana saya yakin di sana ada banyak burung yang bisa dipotret?. Saya tertawa. Ya..barangkali karena saya memang tertarik pada satwa liar (terutama burung-burung liar), jadi ketika kendaraan kami melewati Alun-Alun itu, dari kejauhan mata saya sudah menangkap ada beberapa ekor burung perkutut hinggap di lapangan berpasir itu.  Sementara bagi yang kurang berminat, tentu saja keberadaan urung-burung liar itu akan luput dari pandangannya. Karena mata kita cenderung mencari apa yang ingin kita lihat.

Satu orang teman saya yang lain, akhirnya memutuskan untuk menemani saya berjalan-jalan di sekitar Alun-Alun. jadilah saya berdua dengan teman saya itu memasuki lapangan yang tanahnya kering dan tandus dengan dua pohon beringin terpagkas itu. Selain dua pohon beringin yang ada di tengah lapangan, ada beberapa pohon beringin lain juga yang mengelilingi lapangan itu. Memberikan akomodasi yang cukup bagi para burung. Tak heran saya mendengar kicauan burung yang riuh serta belasan burung-burung yang berpindah dari satu pohon ke pohon yang lainnya.

1/. Burung Tekukur.

Saat memasuki lapangan, saya melihat ada belasan ekor burung tekukur sedang sibuk berjalan-jalan atau mencari makan.  Kebanyakan dari mereka berpasangan. Mengais-ngais dan mencari sesuatu di tanah dan rerumputan yang kering. Saya hanya duduk nongkrong mengamati tingkah lakunya. Burung Tekukur alias Kukur, alias Spotted Dove (Streptopelia chinensis) sebenarnya merupakan salah satu burung yang banyak disangkarkan orang. Melihatnya terbang bebas di alam membuat hati saya terasa sangat bahagia.Karena kelihatannya burung-burung itu juga sangat berbahagia. Sebenarnya mereka bisa hidup mandiri. Mereka bisa mencari makanannya sendiri- berupa biji-biji rumput maupun biji pepohonan tanpa perlu bantuan kita, manusia untuk membelikannya makanan setiap hari.

Burung-burung ini tampak santai. Ia membiarkan saya untuk tetap berjongkok mengamati tingkah lakunya dari jarak sekitar  4-5 meter. Hanya ketika saya bergerak terlalu dekat, merekapun terbang.

Sangat mudah mengenali burung ini, bahkan dari jarak yang cukup jauh. Secara umum berwarna kelabu semu coklat kemerahan dengan sayap coklat berbercak-bercak. Leher bagian belakangnya berkalung hitam putih. Kepalanya kelabu kebiruan.Paruhnya berwarna kelabu. Kakinya berwarna pink.  Melihat kalungnya, tentu kita tidak akan tertukar dengan burung jenis lain.

Suaranya sangat merdu dan penuh kedamaian bagai siapa saja yang mendengarnya “ Tekkkukuurrrrr….. tekkukuurrrrrr…“.

Melihat banyaknya yang terbang berkelompok maupun berpasangan dari satu pohon beringin ke beringin yang lainnya, saya pikir jumlah populasi burung Tekukur di area ini mungkin puluhan mendekati ratusan.

2/. Burung Perkutut.

Burung ke dua yang jumlahnya cukup banyak juga di sekitar alun-alun ini adalah Burung Perkutut. Sama dengan Burung Tekukur, Burung Perkutut  juga merupakan salah satu burung yang sangat digemari untuk dipelihara. Suaranya yng merdu “Kwarrrr ketengkung…Kwarrr ketengkung…” membuatnya diburu orang. Baik untuk didengarkan sendiri maupun untuk dilombakan. Sayang sekali ya….banyak burung ini yang nasibnya berakhir di sangkar.

Burung Perkutut alias Titiran alias Zebra Dove (Geopelia Striata) rupanya agak mirip dengan Burung Tekukur, tetapi jika kita perhatikan tentu saja banyak bedanya.  Ukuran tubuh Burung Perkutut lebih kecil dari burung Tekukur. Warnanya merupakan campuran kelabu dan coklat kemerahan. Burung Perkutut tidak memiliki kalung bintik hitam putih di leher belakangnya.  Sayapnya juga tidak berbercak-bercak, tetapi motifnya cenderung membentuk alur-alur lurik mirip motif zebra, sehingga tidak heran disebut juga dengan nama Zebra Dove.

Populasinya di area ini juga lumayan banyak. Sama seperti Tekukur, mereka mencari makan dan terbang berpasang-pasangan. Syang banyak gambar yang saya ambil sangat blur.

3/.Burung Punai.

Burung Punai

Selain ke dua jenis burung di atas, sebenarnya saya berpikir masih ada beberapa jenis burung lain yang menghuni pohon-pohon beringin di sekitar area itu. Barangkali jenis merpati lain , burung jalak dan sebagainya. Tapi saya tidak bisa melihat dengan baik.Hanya mendengar ocehan suaranya yang berbeda.  Suatu kali saya melihat serombongan burung yang awalnya saya pikir Tekukur menclok di pohon beringin di tengah alun-alun.  Saya mengarahkan kamera saya ke puncak pohon, lalu jeprat jepret ala kadarnya di beberapa bagin puncak pohon itu tanpa memeriksa lagi hasilnya. Belakangan saya baru sadar bahwa yang tertangkap oleh kamera saya justru gerombolan Burung-Burung Punai alias Green Pigeon (Treron Capellei) bukan Burung Tekukur.  Ada belasan jumlahnya bertengger di sana. Salah satunya adalah seperti yang tampak di foto di atas ini. Wahhhh…sungguh saya jadi menyesal tidak mengambil foto yang lebih baik dan lebih banyak lagi.

4/. Burung Gereja.

Burung Gereja

Berbaur dengn para Burung Perkutut dan Burung Tekukur, tak mau kalah adalah gerombolan Burung Gereja (Passer domesticus). Burung-burung kecil ini ikut sibuk mengais-ngais makanan di sela-sela rumput dan pasir Alun-alun ini. Suaranya yang bercerecet lumayan  menghibur, meramaikan suasana sore Alun-Alun Utara Yogyakarta.

5/. Burung Cerukcuk.

Burung CerukcukMenjelang pulang, tepat sebelum saya masuk ke kendaraan yang akan mengantarkan saya ke bandara, saya melihat seekor Burung Cerukcuk ( Pycnonotus goiavier) di atap bangunan tak jauh dari tempat kami parkir. Burung penanda pagi ini tampaknya hanya beristirahat sebentar di sana lalu terbang menyusul temannya dan menghilang di balik rimbunan daun-daun beringin.

Sore yang sangat menyenangkan di Yogyakarta. Senang bisa menyaksikan kehidupan liar masih ada di seputar kota. Semoga pemerintah setempat memberi perhatian terhadap kehidupan burung-burung ini,  agar kebebasannya tidak terganggu oleh tangan-tangan jahil yang ingin menangkap dan memperjual-belikannya.

Yuk kita cintai Lingkungan Hidup kita!.

 

Burung Cucak Hijau Yang Mampir Di Halaman.

Standard

Cucak Ijo 5Hari Minggu siang. Panas musim kemarau sangat terik. Anak saya yang baru kembali dari luar bercerita bahwa ia melihat seekor burung yang sangat bagus sedang bermain di kolam kecil di halaman depan.Warnanya hijau. Suaranya sangat bagus. Kicauannya sangat rame.Saya melihat ke luar. Burung itu sudah terbang. “Mungkin burung madu?” tanya saya.”Bukan!“kata anak saya.  Burungnya lebih besar dari burung madu. Anak saya merasa belum pernah melihat burung seperti itu.  Saya mencoba memikir-mikir, burung apa kira-kira yang dilihat anak saya itu.

Cucak Ijo 9Selang kira-kira dua jam berikutnya. Panas matahari mulai sedikit berkurang, walaupun terasa masih menyengat juga. Si Mbak yang lewat di halaman depan memberi tahu saya kalau ada seekor burung hijau sedang bermain di halaman. Saya dan anak saya segera keluar. Seekor burung nampak sedang meloncat-loncat di pinggir kolam. “Ya..itu burung yang tadi”  kata anak saya.

Cucak Ijo

Ooh..itu Burung Cucak Ijo alias Cica Daun (Chloropsis sonnerati). Baru pertama kali ini saya melihat burung ini di alam bebas. Selama ini saya hanya pernah melihatnya  ada di dalam sangkar pedagang burung. Sangat mengejutkan juga bisa melihatnya tiba-tiba di depan mata. Saya rasa kemarau yang panjang membawa burung itu mampir ke kolam saya untuk minum.

Cucak Ijo 11Saya dan anak saya menonton tingkah lakunya dengan takjub. Berloncatan di dekat aliran air. Lalu pindah berjumpalitan ke dahan pohon Bintaro. Sibuk berloncat-loncat di sana. Lalu pindah lagi ke dahan pohon Frangipani. Berloncat-loncatan lagi sambil berjumpalitan dan berkicau. Kelihatan benar jika hatinya sedang riang. Ia tidak takut sedikitpun pada saya dan anak saya. Membuat anak saya gemes ingin menangkapnya.”Jangan!!!. Biarkan dia bebas di alam” kata saya.

Cucak Ijo 3Lihatlah betapa riangnya ia berkicau dengan bebas merdeka. Jika kita menangkapnya dan memasukkannya ke dalam kandang yang sempit, sebenarnya kita sedang merampas kebebasannya. Merampas kemerdekaannya. Juga merampas kebahagiaannya. Memeliharanya dalam sangkar, walaupun kita merawat dan memberinya makan, tetap tidak bisa menggantikan kebahagiaannya. Mengapa kita harus menyakiti mahluk lain? Biarkanlah kebahagiaan itu tetap dimiliki burung-burung di alam bebas. Anak saya bersungut-sungut.Tapi tidak berani membantah kata-kata saya. Akhirnya kembali kami hanya menonton.

Cucak Ijo 8Burung Cucak Ijo sesuai dengan namanya memang secara keseluruhan berwarna hijau.  Sayapnya ada sedikit semu kuning kehijauan. Leher bagian bawah/kerongkongannya berwarna hitam gelap dengan bintik biru. Matanya berwarna hitam, dengan paruh gelap dan demikian juga dengan kakinya.  Makanannya biasanya adalah serangga.

Saya pikir burung ini sebenarnya bukan jenis burung langka. Akan tetapi penangkapan tak terkendali untuk diperdagangkan akan membuat burung ini cepat menghilang dari alam bebas.

Bukittinggi: Hanya Sebatang Pohon Karet.

Standard

Burung Cerukcuk 2Saya sedang menikmati sarapan pagi saya di sebuah hotel di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pagi hari yang sangat menyenangkan. Matahari baru saja menyembul dari balik atap bangunan, mengusir kabut pagi. Saya mengambil posisi duduk di pinggir, sedemikian rupa sehingga tidak terkena sinar matahari langsung namun masih  bisa memandang langit dan taman hotel yang hijau dan asri. Pelayan restaurant menawarkan secangkir teh hangat dan saya mengangguk berterimakasih.  Saya menyukai kota berhawa sejuk ini.

Beberapa puluh ekor burung walet tampak bercericip di langit, terbang berputar-putar mengelilingi sebuah menara. Terbang berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Alangkah riang gembiranya kawanan burung itu. Saya hanya memandanginya saja. Ikut bersyukur akan kegembiraan pagi. Tidak berniat untuk memotretnya karena saya tidak  tahu bagaimana teknik memotret burung terbang di angkasa.

Burung Cerukcuk 3

Di halaman tampak tumbuh sebatang pohon karet (Ficus elastica) yang jika ditilik dari ukuran dan jumlah lumut serta tanaman epifit yang tumbuh di batang dan cabangnya menampakkan usianya yang tentu bukan baru setahun dua tahun.  Pohon itu tampak sangat artistik dengan ketuaannya. Di pucuk-pucuk cabangnya tampak banyak sekali buah-buah kecil bermunculan dari sela-sela daunnya yang kaku. Sumber makanan yang berlimpah bagi burung-burung. Saya pikir sebentar lagi tentu saya akan menyaksikan kehadiran burung-burung pemakan buah di sini. Benar saja. Tak seberapa lama seekor burung kecil muncul dan hinggap di dahan. Sayang saya belum siap dengan kamera saya.

Burung Cerukcuk 4

Berikutnya beberapa ekor Burung Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) mampir. Seekor tampak cukup dekat dengan posisi saya duduk.  Nah, yang ini tentu ada kesempatan buat saya memotret. Burung itu memakan buah-buah karet yang melimpah. Pindah dari satu cabang ke cabang yang lain.  Barangkali mereka memilih hanya buah-buah yang masak dan ranum. Setelah menelan 4-5 buah karet, kedua ekor burung itu terbang.

Berikutnya datang lagi 4 ekor burung Cerukcuk lain. Mereka juga melakukan kegiatan yang sama makan dan pergi. Lalu bergantian lagi dengan beberapa ekor burung yang lain.

Walaupun Burung yang sama sudah cukup sering saya lihat di belakang rumah saya,namun saya tetap senang melihat burung ini di sini. Setidaknya memberi saya pemahaman yang baik bahwa penyebaran Burung ini ternyata memang sangat luas di tanah air – setidaknya saya bisa mencatat minimal mulai dari sisi barat pulau Sumatera, sepanjang pulau Jawa,  pulau Bali , pulau Lombok.

Burung PekingNamun rupanya yang membutuhkan pohon karet itu bukan hanya burung Cerukcuk. Banyak burung-burung kecil juga berdatangan.  Misalnya di cabang utama pohon itu tumbuh beberapa rumpun anggrek merpati. Nampak beberapa ekor burung Peking (Lonchura punctulata) entah mencari makan, entah bersarang di sana.

Burung Bondol Tunggir Putih

 

Demikian juga di cabang yang lain. Saya melihat Burung Bondol Tunggir Putih (Lonchura striata). Semua ikut bernaung dan ikut makan di sana.  Saya memandangnya sambil menghabiskan teh hangat saya. Saya mendengar bahwa hotel itu sedang direnovasi saat ini. Semoga pohon karet itu tidak ditebang. Sehingga ia tetap bisa menjadi penyangga kehidupan bagi mahluk-mahluk lain yang berkunjung ke sana.

Hanya sebatang pohon karet.  Namun walaupun hanya sebatang, buahnya sangat berlimpah. Alangkah banyaknya buah pohon karet itu. Dan alangkah banyaknya jumlah burung yang dihidupinya. Baik untuk mencari makan, untuk berteduh ataupun hanya untuk sekedar mengistirahatkan sayapnya sejenak.

Walaupun hanya sebatang, namun betapa sangat penting keberadaannya. Jika kita bisa menyelamatkan keberadaan pohon, walaupun hanya sebatang, tetap sangat besar artinya bagi keberlangsungan mahluk hidup lain di sekitarnya.

Menyetrum Ikan.

Standard

Menyetrum Ikan 2Seorang laki-laki berjalan di bantaran kali belakang rumah sambil menyandang  dua buah alat panjang mirip pancing. Saya melihatnya dari jarak agak jauh. Berbaju biru dan bercelana hitam, lengkap dengan sepatu boot berwarna hijau. Ia mengenakan topi berwarna jingga. Lelaki itu terus berjalan menyusuri kali sambil sesekali melihat ke kiri ke kanan dengan pandangan awas. Saya agak menaruh curiga.  Apa yang dicari oleh lelaki itu? Mengapa ia lewat di bantaran kali itu?

Saya tahu sih, bantaran kali ini adalah tanah negara. Siapapun warga negara berhak untuk lewat di situ. Namun jika bukan warga yang tinggal sekitar situ atau jika tidak ada tujuannya,  tentu orang malas lewat di sana. Apa yang akan dilakukannya? Terus terang  kecurigaan saya itu bukan tanpa alasan.

Saya tahu ada beberapa orang penduduk asli yang suka memanfaatkan bantaran kali untuk  mengatasi kesulitan hidupnya, misalnya dengan menanam sedikit sayuran spt kangkung, bayam, singkong,  atau menyabit rerumputan untuk makanan kambing, mengambil kayu mati untuk kayu bakar, dsb.

Namun ada juga yang berusaha mengambil  sesuatu dengan merusak keseimbangan alam. Saya pernah menemukan ada lelaki tak dikenal yang agak mencurigakan. Ketika saya tanyakan maksudnya,  ternyata ia sedang berusaha memasang jaring dan  menangkap burung-burung liar yang ada di situ. Akhirnya saya tegur dan lelaki itupun pergi, tapi saya tidak tahu apakah hari berikutnya ia datang lagi atau tidak.  Saya juga pernah mendengar ada orang yang berusaha menangkap biawak yang hidup di kali itu untuk dijadikan…sate!. Menyedihkan, bukan? Masalahnya adalah… biawak itu jumlahnya semakin sedikit dari waktu ke waktu. Apakah sedemikian pentingnya ya untuk memakan sate daging biawak sehingga tega memburunya?

Menyetrum Ikan 1

Karena hal-hal di atas itulah, maka saya menjadi seorang pencuriga jika ada orang tak dikenal terpergok oleh saya berada di sana. Lalu saya melihat punggungnya. Astaga!.  Ia membawa kotak mirip ransel. Di dalamnya ada benda persegi  mirip accu atau sumber listrik dan ada kawat-kawatnya.Waduuuh! Apa yang akan dilakukannya?. Karena penasaran saya mendekat dan menyapa lelaki itu.

Menyetrum Ikan 3

Wah…alat apa itu, Mas?” tanya saya menunjuk benda di punggungnya. Semoga ia tidak menjawab bahwa benda itu adalah bom. Lelaki itu menghentikan langkahnya dan melihat ke arah saya. Dan ke kamera yang saya bawa.  Pandangannya agak gugup  -mungkin wajah saya kelihatan lebih galak dari apa yang saya maksudkan. Atau jangan-jangan ia menyangka saya seorang wartawan yang akan meliput kegiatannya? Entahlah.

Lelaki itupun menjelaskan bahwa itu adalah alat untuk menangkap ikan dengan setrum. Sayapun mulai menginterview, mengapa dan bagaimana caranya ia akan menggunakan alat itu, ikan apa yang didapat dan apakah tidak akan membunuh semua ikan di sungai itu *.. anyway, saya tahu kebanyakan isinya hanya ikan sapu-sapu. Tapi ikan sapu-sapu kan tetap mahluk hidup juga*, dan apakah itu tidak membahayakan dirinya ya? Kesalahan kecil jika bermain dengan listrik bertegangan tinggi di air tentu bisa berakibat fatal bukan?

Menyetrum IkanAkhirnya ia menjelaskan kepada saya, bahwa ia akan terjun ke sungai dengan alat itu karena menurutnya arus listrik yang digunakannya tidak terlalu tinggi dan aman untuk dirinya. Alat panjang berbentuk pancing itu nantinya berguna untuk menyetrum ikan yang menurutnya hanya pingsan saja, sehingga mudah diambil. Dan menurutnya tidak semua ikan akan tersetrum, hanya yang di daerah sasaran saja.

Saya tidak bisa memahami penjelasannya dengan baik. Menurut saya jika ada arus listrik di air, bukannya akan dirasakan oleh mahluk hidup di sekitarnya juga ya? Bukankah air adalah pengantar listrik yang sangat baik?  Terus jika ikan dewasa yang bisa disetrum, bagaimana dengan ikan-ikan kecilnya? Tentu akan mengalami dampak setrum yang lebih buruk lagi bukan? Pada mati dong? bagaimana dengan masa depan ikan -ikan itu? Menurut saya kegiatan menyetrum ikan ini bisa jadi sangat mengganggu ekosistem dan keberlangsungan para ikan di sungai kecil ini.  Ia mengatakan hanya menyetrum dan mengambil ikan besarnya saja.  itupun hanya pingsan sebentar saja, lalu sadar kembali.

Akhirnya lelaki itu menunjukkan ke saya ikan-ikan yang telah berhasil ditangkapnya dan dimasukkan ke dalam dungki (tempat penyimpanan ikan).  Saya melongokkan kepala saya ke dalam. Isinya tidak banyak,  kebanyakan ikan gabus. Memang kelihatannya ia tidak menangkap ikan sembarangan sih, hanya yang dewasa saja. Padahal  menurutnya ia sudah bekerja sejak jam enam pagi menyusuri sungai dari arah Sektor IX Bintaro Jaya.  Kalau melihat ikan dan jumlahnya, kelihatannya sih ia tidak melakukan sesuatu yang aneh ya. Sayang saya tidak bisa memotret ikan-ikan itu dalam jarak seperti itu, karena lensa yang saya bawa saat itu kebetulan lensa tele.

Menyetrum Ikan 4Saya tidak punya pemahamam  tentang peraturan pemerintah tentang penangkapan ikan dengan cara setrum ini.  Terus terang saya ingin tahu, apakah ada peraturannya, penjelasan serta pasal-pasalnya. Dan hari ini ketika saya coba Googling, ternyata malah ada beberapa berita kecelakaan gara-gara menyetrum ikan  yang saya baca, yang  menyebabkan tewasnya tukang setrum itu sendiri.  Kasusnya bukan satu,malah ada beberapa. Saya jadi semakin prihatin.

Kalau begini sih, sudah jelas. Mau ada peraturan atau tidak, sebaiknya memang jangan menggunakan alat setrum untuk menangkap ikan.

Berkawan Dengan Alam: Mangkok Daun Jati Kering.

Standard

Mangkok Dari Daun Jati KeringDalam dunia modern ini, tidak mudah bagi kita untuk menghindarkan diri dari penggunaan bahan-bahan plastik yang tidak ramah bagi lingkungan alam sekitar kita. Dengan segala kemudahan dan kepraktisannya,  membuat kita menjadi sangat bergantung pada keberadaannya.  Demikian juga dengan bahan glass. Walaupun sebagian glass bisa digunakan lebih lama daripada plastik dan lebih mudah didaur ulang, namun sebagian bahan gelas terutana gelas yang dilapis tetap tidak ramah lingkungan.  Namun di sini, di sebuah camp di pedalaman India, saya melihat upaya untuk memperkecil perusakan lingkungan oleh aktifitas manusia  dilakukan dengan sungguh-sungguh di camp itu.

Salah satu upaya kegiatan ramah lingkungan yang saya lihat dilakukan di sana adalah mengganti penggunaan mangkok-mangkok plastik dan kaca dengan mangkok daun jati kering.  Saya belum pernah melihat yang ini sebelumnya. Menarik juga!.

Saya memang melihat banyak pohon kayu jati (Tectonia grandis) di tanam di sana. Daunnya banyak dan sebagian ada yang menguning lalu gugur ke tanah di tiup angin. Melihat banyaknya pohon jati, seseorang mungkin ada yang memunguti daunnya. Mengeringkannya dengan baik,  lalu  cukup kreative membentuknya menjadi cekung serupa mangkok dan memanfaatkannya untuk menikmati makanan.

Kacang Ijo Dalam Mangkok Daun JatiSaya menemukannya ketika sore hari kami disuguhi snack yang terbuat dari kacang ijo kukus berbumbu bawang dan cabe kering.   Snack alami dari kacang-kacangan, dihidangkannya dengan memanfaatkan mangkok daun jati. Dan dimakan sambil berdiri di luar ruangan di bawah pohon-pohon yang rindang. Di antara desau angin sore pedesaan.  Diantara kicauan burung dan tupai yang sibuk berlarian ke sana kemari mencari biji-bijian. Tidak ada sebuah aturan protokoler  acara makan yang harus diikuti. Semuanya sangat natural. Aduuuuh..saya merasa sangat menyatu dengan alam.

Setelah makan, kami membuang daun jati kering itu ke tempat sampah dan kamipun kembali ke aktifitas kami masing-masing. Saya terkesan sekali dengan upaya mereka merawat lingkungan.

Sebenarnya, jika kita ingat-ingat,  sebelum plastik datang merajalela, di Indonesiapun kita banyak memanfaatkan bahan alam ramah lingkungan untuk aktifitas kita sehari-hari.  Seperti contohnya daun jati ini. Di Jawa, daunnya yang lebar-lebar secara traditional  sangat umum kita lihat digunakan untuk membungkus makanan.  Demikian juga di tempat lain. Daun pisang.  Sangat umum  digunakan sebagai pembungkus.  Lalu  daun talas dimanfaatkan untuk payung. Namun semakin ke sini,  semakin sedikit pemanfaatannya karena semuanya sudah tergantikan dengan plastik.   Barangkali karena semakin sulit dan mahal juga didapatkan, karena pohonnya juga semakin banyak yang ditebang. Kembali lagi kealasan bahwa plastik lebih  praktis, lebih murah dan lebih mudah di dapat.

Jaman dulu orang di Bali juga biasanya makan dengan menggunakan kau, ingka atau tamas. Namun semakin ke sini, semakin tergantikan oleh piring kaca atau plastik. Kau, yakni mangkok  yang terbuat dari batok kelapa barangkali sudah tidak ada yang menggunakannya lagi selain sebagai hiasan.  Ingka, yakni piring yang terbuat dari jalinan lidi kelapa saya lihat masih digunakan sesekali.  Tamas, yakni piring yang dibuat dari daun kelapa hanya digunakan untuk upacara saja.   Agar bisa dipakai berulang-ulang ingka dan tamas ini biasanya dilapisi dengan daun pisang. Sekarang lapisan daun pisang ini  lebih sering diganti dengan lapisan kertas coklat pembungkus makanan. yang menggunakannya pun tetap lebih sedikit daripada yang menggunakan piring berbahan plastik atau gelas.

Nah melihat mangkok daun jati kering ini digunakan untuk menjamu tamu-tamunya, saya benar-benar merasa hormat kepada tuan rumah.  Sangat berkawan dengan alam!.

Pohon Di Halaman Yang BersihSebenarnya sebelum saya datang ke sana, saya sudah disurati agar mengatur sedemikian rupa pakaian saya, karena tuan rumah mempunyai komitment yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Saya pikir tentu maksudnya supaya saya tidak menggunakan detergent selama di sana.  Maka sayapun hanya membawa pakaian seadanya. Sesedikit mungkin agar tidak menyusahkan tuan rumah. Saya bisa mengerti akan maksud baik tuan rumah terhadap lingkungan.

Dan ketika tiba di sana,  saya melihat ternyata lingkungan di tempat saya menginap itu memang benar-benar sangat asri. Penuh pepohonan besar yang rindang dan hijau. Di bawah pepohonan itu, halamannya tampak bersih dan tak ada sampah plastik. Ada beberapa tempat sampah yang disediakan. Isinya sampah organik semua. Di belakang camp itu, saat saya pergi ke danau,  saya melihat ada tempat sampah untuk membuang sisa-sisa makanan. Ada juga sampah plastik di dalamnya, namun jumlahnya sangat sedikit sekali. Hebat juga!.  Saya pikir,hal ini mungkin bisa dicapai karena semua bahan-bahan yang dibutuhkan termasuk bahan makanan semua di swadaya oleh masyarakat setempat.Sehingga kebutuhan akan bahan-bahan dari luar yang umumnya dibungkus plastik menjadi berkurang.

Namun secara keseluruhan, memang bisa kita acungi jempol untuk upayanya dalam mengurangi plastik seminimal mungkin guna menyelamatkan lingkungan.

Let’s Go Green!.