
Saya mendapat kesempatan untuk mengikuti acara bedah buku ” Gajah Mina” dan bertemu dengan penulisnya Dr Dewa Putu Sahadewa secara langsung. Walaupun sayang Made Gunawan pelukis yang karya-karyanya menjadi inspirasi Dokter Sahadewa dalam menulis puisi-puisi di buku ini berhalangan hadir. Tetap saja saya beruntung, karena dalam masa pandemik ini, mengikuti prokes, yang diperkenankan hadir hanya maksimal 20 orang. Sisanya lewat Zoom.
Acara berlangsung di Kafe Sastra Balai Pustaka, dihadiri dan dibuka oleh Dirut Utama Balai Pustaka, Bapak Achmad Fachrodji, dimoderatori oleh Mbak Fanny J. Poyk. Selain Dokter Sahadewa, acara bedah buku ini juga menampilkan pembicara Narudin Pituin, seorang sastrawan, penerjemah dan kritikus sastra Indonesia.
Saat memberikan sambutannya, Pak Fachrodji sempat menceritakan bagaimana upaya-upaya yg telah beliau lakukan untuk membuat Balai Pustaka hidup dan berjaya kembali, serta akan membuat kegiatan Lomba Berpantun National untuk menghidupkan kembali kejayaan kesusastraan Indonesia. Upaya yang menarik.
Selain itu, saya juga melihat beliau sangat mengapresiasi penerbitan buku Gajah Mina ini yang dianggapnya sangat menarik dengan meng-kolaborasikan puisi dengan lukisan dan sketsa.
Dokter Sahadewa sendiri lebih banyak mengupas tentang bagaimana cerita awalnya hingga buku Gajah Mina ini bisa terbit. Bermula dari melihat sendiri lukisan Made Gunawan yang berjudul “Pohon Kehidupan”. Beliau sangat terkesan dengan lukisan ini, walaupun pada saat itu belum kenal secara langsung dengan pelukisnya. Ia menilai Made Gunawan sebagai seorang pelukis yang sangat handal, memadukan unsur-unsur traditional dengan unsur modern. Dan dari lukisan Pohon Kehidupan itu, ia menilai bahwa lukisan itu sangat puitis. Tidak ada unsur-unsur negative ataupun kesedihan di dalamnya. Yang ada hanya unsur-unsur yang positive, riang gembira, anak-anak bermain, bergelayutan. Intinya menebarkan energy positive.
Demikianlah Dokter Sahadewa merasa berada di frequency yang sama dan sangat tertarik untuk bersama-sama menebarkan energy positive, karena prinsip hidupnya memang sama. Menebarkan energy positive.
Setelah bertemu dengan Made Gunawan dengan difasilitasi oleh Mas Hartanto, dimana niat awalnya ingin belajar melukis, akhirnya Dokter Sahadewa malah jadi semangat menulis dan berkolaborasi sangat intens dengan Made Gunawan, lalu terbitlah buku Gajah Mina ini.
Dalam mengekspresikan fantasynya setelah melihat-lihat lukisan dan sketsa Made Gunawan, Dokter Sahadewa mengaku tidak mendiskusikan ataupun menanyakan arti dari sketsa-sketsa itu pada Made Gunawan. Dan Made Gunawan pun tidak ada berkomentar negative tantang puisi-puisinya. Malah saling berinteraksi positive.
Dan interaksi dan kolaborasi alias Pasatmian ini sungguh merupakan hal yang sangat bagus. Karena sekarang, penggemar puisi jadi ikut menikmati karya lukisan dan sketsa. Dan sebaliknya, penggemar lukisan jadi ikut menikmati puisi. Yah. Luarbiasa memang kolaborasi ini.
Setelah itu, dengan spontan kami beramai-ramai ikut membaca puisi. O ya.. saya lupa bercerita, jika di awal tadi, sebelum acara Bedah Buku dimulai, sebenarnya ada Pak Branjangan menyanyikan puisi “Ikan Menari”. Beneran. Saya takjub, gimana beliau cuma dalam waktu singkat, nggak ada lima menit melihat-lihat puisi, tiba- tiba bilang ke saya “saya mau menyanyikan puisi ini” sambil nunjuk puisi “Ikan Menari” dan beneran beliau nyanyi deh. Dan bagus banget.
Saya sendiri memilih puisi “Sop Kepala Ikan” untuk saya bacakan, karena menurut saya puisi itu sangat unik. Saya sangat suka. Mbak Fanny, Mbak Jeny dan teman- teman yang lain juga pada ikut membaca puisi dengan spontan. Sementara Pak Branjangan mengiringi dengan petikan gitarnya. Wow…romantis banget rasanya.
Saya juga sempat menyimak komentar- komentar positive dari teman- teman yang mengikuti acara Bedah Buku ini lewat Zoom, seperti dari Warih Wisatsana dan Pak Nono. Ya, mengkolaborasikan dua jenis Art yang berbeda bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi Dokter Sahadewa dan Made Gunawan telah melakukannya dengan sukses.
Terakhir Pak Narudin, Sang ahli Semiotika dan Kritikus Sastra Indonesia pun mengajak audience untuk ikut jalan pikirannya dalam membedah puisi-puisi dan lukisan serta sketsa, dengan menganalisa dari sudut Icon-icon dan symbol-symbol yang tertangkap dari baik tulisan maupun lukisan serta index yang menghubungkan keduanya. Analysa yang menarik juga ya. Saya jadi ikut belajar banyak.
Pemaparannya kedengaran sangat akademik yang membuat saya yang tidak memiliki latar belakang sastra menjadi terpesona. Mengambil contoh beberapa lukisan-puisi yang dominan seperti misalnya Ikan Menari, Gajah Mina, semua Bunga Akan Layu Pohon Kehidupan, Anakku Berlari, Pandemi, Sop Kepala Ikan, Pohon Tua Memanggil Rohnya dan Kayonan. Semuanya dibahas dari sudut ikonisitas, symbolitas dan indeksikalitas yang ujungnya menghasilkan kesimpulan bahwa, pada dasarnya puisi-puisi Dokter Sahadewa dan lukisan Made Gunawan dapat dinikmati secara terpisah berdasarkan ikon-ikon yang ditangkap penikmatnya. Tetapi dalam buku ini keduanya saling berinteraksi. Yup!.Analisa yang keren!.
Tentang komentar ada nafas spiritual pada puisi-puisinya Dokter Sahadewa, Narudin Pituin juga mengungkapkan bahwa tiap sastrawan tentu memaparkan gagasannya sesuai dengan latang belakang adat, budaya, agamanya masing-masing. Sehingga ada puisi yang bernafaskan Hindu, bernafaskan Islam ataupun Kristiani sesuai latar belakang penulisnya.
Ya, saya setuju dengan pendapat Narudin dalam hal ini. Namun tak cuma latar belakang penulisnya, saya pikir, itu juga tergantung dari latar belakang pembacanya.
Salah satu contoh, ketika Dokter Sahadewa menjelaskan bahwa di Bali, pohon-pohon sangat dihormati dan dihargai sama dengan mahkuk hidup lain yang juga punya nyawa. Selain itu, pohon juga dipercaya menjadi tempat tinggal makhluk-makhluk lain yang tak kasat mata. Ketika latar belakang ini diimplementasikan pada karya “POHON TUA MEMANGGIL ROHNYA PULANG” reaksi beragam pun terjadi.
Narudin Pituin dengan latar belakangnya, memberi interpretasi kata “Roh” = mahluk halus penunggu pohon. Jadi pohon memanggil mahluk halus, jin, dedemit, kuntilanak untuk pulang. Ini membuat sebagian puisi berkesan mistik.
Sementara saya yang dilahirkan dan dibesarkan dalam adat istiadat, budaya dan agama Hindu di Bali menginterpretasikannya berbeda.
Bagi kami, Roh pohon, ya Roh pohon itu sendiri. Bukan jin atau kuntilanak. Karena kami di Bali percaya, bahwa setiap mahluk hidup termasuk Manysia Binatang dan Tumbuhan memiliki Roh, walaupun secara kasat mata terlihat berbeda akibat perbedaan fisik yang menghasilkan kemampuan berbeda yang disebut dengan Pramana.
Manusia diyakini memiliki Tri Pramana yakni Bayu (kemampuan gerak, tumbuh dan tenaga), Sabda (kemampuan berbicara) dan Idep (kemampuan memahami). Binatang memiliki Dwi Pramana yakni Bayu dan Sabda. Dan tumbuhan memiliki hanya satu Pramana yakni Bayu.
Dengan latar belakang ini, ketika saya menginterpretasikan puisi yang sama, “POHON TUA MEMANGGIL ROHNYA PULANG”, yang saya tangkap adalah memang yang dimaksud oleh Dokter Sahadewa adalah bahwa Pohon tua itu memang memanggil Roh nya sendiri untuk pulang. Bukan memanggil jin dan kuntilanak. Jadi di telinga saya ini bukanlah mistis. Nah, sekali lagi itu adalah interpretasi yang berbeda yang ditangkap oleh dua orang dengan latar belakang berbeda.
Saya merasa, pada akhirnya, sebuah karya seni, entah itu lukisan, puisi, tarian, musik dan sebagainya adalah sebuah interpretasi. Yang ditangkap oleh penikmatnya dari signal-signal yang tersajikan, sesuai dengan latar belakang baik penciptanya maupun penikmatnya.
Selamat dan Sukses untuk Dokter Sahadewa dan Made Gunawan. Gelombang besar energy positive yang diakibatkan kibasan sirip Gajah Mina sungguh terjadi. Salut!.