Tag Archives: Marketing

I Ketut Mardjana dan Kesuksesan Toya Devasya.

Standard
I Ketut Mardjana dan Kesuksesan Toya Devasya.

The Man Behind The Gun!. Tentu istilah itu tidak asing bagi kita semua. Yap!. Orang bilang, sukses tidaknya sebuah karya, tergantung dari siapa orang yang berada di baliknya. Saya setuju sekali dengan itu, karena melihat kenyataan banyak sekali usaha yang tadinya biasa biasa saja, ketika ditangani oleh orang tertentu yang memiliki kemampuan managerial sangat tinggi, maka usaha itupun menjadi maju dan sukses.

Beruntung sekali saya mendapat kesempatan bertemu dan berbincang dengan Bapak Ketut Mardjana saat beberapa hari yang lalu saya dan anak-anak bermain ke Toya Devasya, salah satu obyek pariwisata yang sedang naik daun di tepi danau Batur, di Bali. Pak Ketut adalah orang yang berada di balik kesuksesan tempat pariwisata Natural Hot Spring di tepi danau Batur ini.

Sebetulnya Toya Devasya sendiri sudah cukup lama berdiri. Kalau saya tidak salah ingat, mungkin sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, perkembangan pesat baru hanya terjadi 2 tahun belakangan ini saat Pak Ketut terjun langsung menanganinya sendiri, setelah beliau pensiun.

Beliau melakukan banyak sekali perombakan, memperbaiki konsep, membangun corporate culture, mempertajam cara pemasaran, memperkuat network dan terus berinovasi untuk memastikan kesuksesan Toya Devasya. Untuk saat sekarang, menurut Pak Ketut selama weekdays saja jumlah rata-rata kunjungan per hari ke Toya Devasya mencapai sekitar 500 orang, di mana setengahnya terdiri atas wisatawan domestik dan setengahnya wisatawan asing. Jika weekend atau musim liburan, kunjungan bisa meningkat dua kali lipat dari biasanya. Selama liburan menjelang akhir tahun ini, jumlah pengunjung bahkan mencapi 1500 an orang, dan pengunjung saat weekdays berkisar 500- 700 orang per hari.

Wah… lumayan banyak juga ya. Penasaran dong saya jadinya, bagaimana cara beliau mengelola usahanya ini.

Beliau dan istri menemani saya ngobrol tentang Toya Devasya sambil makan rujak pada sebuah senja yang indah di tepi danau Batur.

Toya Devasya sebagai sebuah brand.

Bagi seorang pebisnis, brand atau merk tentu merupakan aset utama yang harus ditangani dengan hati hati – bahkan namanya pun tetap harus dipikirkan dengan baik. Toya Devasya, sebagai sebuah brand pariwisata, diciptakan Pak Ketut dengan menyerap element yang membangun tempat wisata itu sendiri yakni air (Toya).

Dulu, di tempat di mana Toya Devasya sekarang berdiri, terdapat mata air suci panas yang diyakini penduduk sekitar sebagai anugerah Tuhan (Devasya) memberikan efek penyembuhan dan pengobatan berbagai penyakit bagi orang yang percaya dan memohon kesembuhan. Jadi Toya Devasya (namanya mirip bahasa Jepang – kata teman saya lho), artinya dalam bahasa Bali / Sanskerta adalah Air Anugerah Tuhan.

Saat ini pada kenyataannya, kolam renang /swimming pool dengan air panas dari mata air alami ini adalah penyumbang terbesar pemasukan tempat wisata ini. Walaupun pengunjung banyak juga yang datang untuk menikmati fasilitas lain seperti spa, villa, restaurant, camping, hiking dan sebagainya. Menurut Pak Ketut saat ini Toya Devasya telah memiliki 6 kolam renang air panas, satu diantaranya Olympic size. Dua diantaranya berada tepat di sebelah danau. Walaupun sudah ada 6, namun pengunjung tetap ramai dan Pak Ketut berencana menambahkan 2 kolam renang baru lagi. Jadi nantinya akan ada 8 kolam renang. Sebuah strategy yang sangat briliant dengan tetap berfokus pada wisata air yang merupakan “bread & butter”nya Toya Devasya.

Gajah di Toya Devasya dan Filosofinya.

Secara berseloroh saya bertanya kepada Pak Ketut, mengapa sih ada banyak gajah di mana mana di Toya Devasya?. Gajah duduk, gajah berdiri, gajah berbaring, gajah mina, dan sebagainya. Pokoknya semuanya gajah. Apakah ada alasan khusus?.

Pak Ketut tertawa waktu saya menanyakan ini. Tentu ada alasan khususnya.

Pertama, kata Pak Ketut, gajah adalah lambang dari Ganesha, manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya membebaskan manusia dari segala aral yang melintang.

Alasan lain, gajah memiliki kebaikan-kebaikan yang patut ditiru oleh manusia. Contohnya?

Gajah memiliki telinga yang lebar, mengajarkan kita untuk selalu mendengarkan dengan baik, apa apa saja kebutuhan konsumen, apa keluhannya dan sebagainya sehingga kita bisa memberikan produk atau jasa yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Mulut gajah kecil, mengajarkan kita untuk tidak rakus. Mengambil seperlunya dan tetap menyisakan untuk yang lain. Gajah juga memiliki mata yang kecil dan tajam, mengajarkan kita untuk tetap fokus dan tidak ngawur. Gajah memiliki belalai yang panjang untuk menghirup air dan menyemprotkannya ke alam sekitar, mengajarkan manusia untuk hidup mencari rejeki bukan hanya untuk diri sendiri saja, tetapi juga agar berguna bagi orang orang dan masyarakat sekitar. Dan perut gendut gajah adalah lambang kesuksesan dan kebesaran, pak Ketut berharap semoga Toya Devasya bisa terus berkembang dan makin besar dari tahun ke tahun. Aiiiih… keren banget penjelasannya Pak Ketut ya.

Ungu adalah lambang spiritualitas.

Terus kalau warna ungunya ada penjelasannya juga nggak, Pak?. Ya!. Rupanya segala sesuatunya memang sudah dipikirkan oleh Pak Ketut sebelumnya. Warna ungu ternyata adalah warna spiritual. Orang Bali percaya, ungu adalah warna cakra yang terletak di ubun-ubun yang merupakan lokasi tertinggi pada tubuh manusia. Dan orang-orang yang memiliki warna aura ungu diyakini memiliki kemampuan spiritual yang tinggi. Jadi warna ungu dipilih oleh Pak Ketut bukan karena sebuah kebetulan.

Tempat Selfie di mana-mana.

Sebagai marketer yang peka, Pak Ketut sangat paham bahwa branding sangatlah penting. Beliau berhasil menangkap trend dan insight para netizen yang suka selfie dan mengupload foto ke media sosial. Pak Ketut memanfaatkannya untuk memperkuat branding Toya Devasya, dengan cara membangun pojok-pojok dan point point menarik untuk selfie. Dan…tentu saja super sukses!. Banyak sekali netizen yang mengupload foto selfie dengan latar belakang Toya Devasya seperti contoh foto di atas ke media sosial tanpa diminta. Jadi apa yang disebut oleh pak Ketut bahwa pasar sendirilah yang memasarkan Toya Devasya itu benar adanya. Sehingga tak heran jika sekarang Toya Devasya menjadi sangat memasyarakat. Terkenal baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Ah….sungguh seorang praktisi pemegang brand yang sangat handal!. Saya jadi banyak belajar ilmu memasarkan dari beliau ini.

Corporate Culture.

Sayapun larut dalam pembicaraan yang semakin menarik tentang organisasi, networking dan pemasaran hingga tentang Corporate Culture dari Toya Devasya yaitu CINTA KASIH.

Rupanya “Cinta Kasih” adalah singkatan dari 10 hal yang dijadikan budaya untuk setiap orang di Toya Devasya.

C = Customer Focus. Karyawan dituntut agar selalu focus untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen. Memahami kebutuhan konsumen dan berupaya keras untuk memenuhinya.

I = Integrity. Setiap karyawan dituntut untuk mendemonstrasikan integritas yang tinggi bagi diri sendiri maupun organisasi. Jujur dan komit. Mengatakan dengan jujur apa yang dilakukan atau diketahui dan berkomitment tinggi untuk melakukan apa yang telah dijanjikan akan dilakukan.

N = Networking. Pak Ketut sangat memahami betapa pentingnya networking dalam kesuksesan sebuah usaha. Untuk itu beliau sangat rajin memperluas jaringan, mebangun hubungan baik dan memanfaatkan jaringan yang ada sebagai perpanjangan tangan pemasaran.

T = Teamwork. Tan hana wong sakti sinunggal” kata Pak Ketut Mardjana. Saya terdiam sejenak. Tapi bener!. Tak ada orang yang bisa hebat sendiri tanpa bantuan orang lain. Kita tak bisa bekerja sendiri. Harus saling bahu membahu dan bekerja sama untuk mencapai kesuksesan bersana.

A = Accountable. Pak Ketut juga mengharapkan agar setiap orang dalam organisasinya bisa diandalkan dan bertanggungjawab atas pekerjaannya.

K= Knowledge. Karyawan diharapkan selalu mengasah diri, meningkatkan pengetahuan dan skillsnya.

A= Adaptive. Perubahan dunia yang sangat cepat juga menuntut karyawan untuk selalu mampu beradaptasi dengan setiap perubahan.

S = Spiritual. Walaupun aktifitas nyata yang dilakukan adalah kegiatan wisata, nsmun Pak Ketut tak melupakan unsur spiritual di dalamnya. Bahkan tak segan Pak Ketut pun memugar mata air panas suci dan menyediakan tempat melukat (menyucikan diri) bagi umat yang memang mau datang ke sana untuk tujuan itu.

I = Innovative. Seperti halnya di kategori apapun, konsumen sangatlah gampang bosan dan selalu mencari sesuatu yang baru. Apalagi ya yang baru sekarang? Nah, untuk itu Pak Ketut juga memastikan Toya Devasya selalu hadir dengan sesuatu yang baru setiap saat. Mulai dari kolam renang, lalu merambah ke restaurant, terus berlanjut ke villa, jumlah kolampun nambah, lalu bikin coffee house, camping, spa dan terus dan terus. Jadi selalu saja ada yang baru di Toya Devasya sehingga konsumen tidak bosan untuk datang dan datang lagi.

H = Harmony. Pak Ketut juga memastikan bahwa semua hal yang dijalankan agar berjalan dalam keseimbangan. Baik secara internal di Toya Devasya, maupun dengan lingkungan sekitarnya.

Pembentukan corporate culture yang baik, akan membangun organisasi yang professional, cepat berkembang dan tahan banting walau dalam kondisi apapun.

Nah…lumayan banget kan. Duduk hanya sebentar di Toya Devasya, tetapi mendapat pelajaran yang sangat penting dari seorang marketer senior yang sudah proven kesuksesannya di berbagai organisasi.

Terimakasih ya Pak Ketut, atas sharingnya. Saya jadi banyak belajar nih dari Pak Ketut tentang organisasi. Semoga Toya Devasya semakin berkembang ya.

The Reason…

Standard

???????????????????????????????Seorang teman baru kembali dari tugasnya di negeri seberang. Ia membawa oleh-oleh, snack-snack dan camilan lain yang ia gelar di meja yang kebetulan kosong.Sehingga semua orang yang ingin menikmati snack itu bisa mengambilnya dengan mudah.  Wow! Thanks! Banyak banget. Saya ikut melihat ada apa saja. Coklat, permen olive, crackers, dan melihat diantaranya ada  walnut.

Kacang yang berbentuk otak manusia itu jarang bisa saya temukan di tanah air. Kalaupun ada harganya sungguh sangat mahal. Sekitar  Rp 250 000 per kilonya. Sementara harga kacang tanah,  sepersepuluhnya barangkali tidak sampai. Lalu saya pun mencomot sedikit dan mencobanya. Sebenarnya rasanya sih nggak terlalu enak ya. Agak hambar malahan. Terutama jika kita bandingkan dengan jenis-jenis kacang yang biasa kita konsumsi. Tapi ya lumayanlah…nggak jelek-jelek amat.

Barangkali karena rasanya yang menurut saya hambar dan kurang enak itu, walnut itu menjadi kurang laku dibandingkan oleh-oleh yang lain. Orang-orang mengambil crackers, coklat, biscuit, permen dan sebagainya sehingga dalam waktu yang tidak lama, oleh-oleh itupun menipis.  Kecuali walnut itu. Tak ada seorangpun yang saya lihat mengambilnya lagi setelah mencoba sekali. Hingga suatu saat saya kembali lagi ke meja itu untuk mengambil sedikit walnut lagi.

Saya melihat seorang teman berdiri di dekat meja itu dan asyik memakani walnut. Lho? Kok tumben ada yang anteng makan walnut?  Sayapun ikut berdiri di situ, mengobrol dan memakan walnut bersamanya. Hanya kami berdua – karena yang lain tidak tertarik. Saya bertanya kepadanya, apakah ia benar-benar suka akan rasa kacang itu? Kok kelihatannya asyik amat? Ia tampak berpikir sebelum menjawab dan seketika saya mencurigai sesuatu. “Ha…! Aku tahu reasonnya!” kata saya. “Pasti bukan karena suka rasanya kan? Pasti karena walnut ini jarang ada di sini” kata saya menuduh sambil tertawa. “….dan mahal!” sambung teman saya tertawa dan mengakui bahwa ia memakan kacang itu bukan karena suka  akan rasanya. Tapi karena alasan lain. Kepalang kepergok. “Ibu juga, kan?“tanyanya. Ha ha.!.

Jadi alasan kenapa teman saya *dan saya*  asyik memakan walnut ini memang bukan karena kami suka akan rasanya. Tapi karena walnut ini jarang ditemui dan mahal pula harganya di sini. Jadi mumpung ada yang gratis dan yang lain tidak suka, kenapa tidak kami makanin saja? Saya pikir lebih baik makan walnut daripada makan coklat atau snack biasa yang sudah terlalu biasa dan mudah dicari di sini. Karena jika kacang ini habis, besok saya tidak akan menemukannya lagi. Sementara jika coklat itu habis, besok saya masih bisa membelinya lagi. Ha ha ..Itu namanya jurus aji mumpung.

Perbuatan serupa juga pernah saya lakukan untuk Buah Naga. Pada jaman ketika Buah Naga masih sangat jarang dan harganya mahal di sini, setiap kali ada kesempatan tugas kantor keluar dan sarapan pagi di hotel tempat saya menginap, saya selalu fokus memakan buah naga ketimbang memakan buah pepaya, semangka,melon atau nenas. Kenapa? Bukan karena saya suka akan rasa buah naga itu, tapi lebih karena saya pikir saya jarang mendapatkan kesempatan memakan buah naga ini di Jakarta waktu itu. Kalau pepaya, semangka atau nenas sih gampang. Kapan saja saya mudah mendapatkannya. Dan murah pula. Sekarang ketika buah naga semakin mudah didapatkan dan harganya lebih rendah ketimbang dulu, saya berhenti melakukan itu. Karena sekarang saya merasa tidak perlu lagi.

Saya rasa hampir semua dari kita melakukan sebuah perbuatan karena alasan tertentu  *walaupun terkadang ada juga sih perbuatan yang kita lakukan tanpa kita pikirkan sebelumnya kenapa dan mengapanya*. Mengapa kita melakukan perbuatan A dan bukan perbuatan B?

Jika kita simak baik-baik apa yang terjadi dengan setiap tindakan kita dan alasan yang memicunya, sebenarnya tidak semua alasan itu terlihat dengan gamblang di depan mata. Banyak sekali alasan-alasan lain yang sebenarnya menjadi pemicu utama, namun tidak selalu terlihat di permukaan.  Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan memahami keseluruhan persoalan itu beserta konteksnya. Contohnya dalam kasus kenapa teman saya memakani walnut, tapi tidak mau memilih memakan coklat. Jika kita melihat sepintas lalu saja, tentu kita akan mengambil kesimpulan bahwa teman saya itu adalah penggemar walnut. Padahal kenyataannya ia seorang penggemar coklat.Bukan penggemar walnut!. Kita baru bisa membaca alasannya, hanya jika kita memahami konteks keberadaan walnut itu di Indonesia (terutama di Jabodetabek) dan memahami harganya yang sangat mahal untuk ukuran kacang-kacangan. Sekarang kita baru paham, apa yang memicu ia mengkonsumsi walnut lebih banyak dari coklat.

Demikian juga jika kita bekerja sebagai seorang pemasar. Memahami tingkah laku konsumen, kebiasaan konsumen dalam menggunakan sebuah kategori tertentu serta memahami market landscape-nya, akan sangat membantu kita untuk mengetahui alasan sesungguhnya *yang belum tentu dikemukakan oleh konsumen ke permukaan* mengapa konsumen mengkonsumsi kategori itu. Apakah karena memang benar-benar membutuhkannya karena alasan mendasar ataukah karena alasan lain. Pemahaman ini akan sangat membantu kita dalam meracik marketing mix yang baik untuk memenangkan pertarungan pasar dengan lebih baik.

Motivasi Sebagai Sebuah Pembeda.

Standard

Rujak Kuah Pindang 1Dalam sebuah kesempatan pulang kampung saya diajak menengok seorang teman yang sedang sakit oleh sahabat-sahabat saya. Rencananya kami akan berangkat bersama dan karenanya saya diminta agar berkumpul di Warung Prajna yang letaknya  di Jalan Badak Agung di kawasan Renon, Denpasar. Sayapun diantar adik saya ke sana. Beberapa teman sudah menunggu di sana.

Sambil menunggu yang lain, teman-teman menyarankan saya untuk memesan minuman atau mencoba makanan yang disajikan di sana. Seorang teman yang sudah duluan memesan mengangsurkan daftar menu ke saya.

Makanan Yang Unik.

Saya baru pertama kali ke situ. Warungnya  simple. Ada  cukup banyak jenis makanan traditional yang unik-unik ditawarkan disana. Diantaranya adalah Rujak Kuah Pindang. Sejenis Rujak Traditional Bali, yang bahan dasarnya sama dengan jenis Rujak lainnya, dibuat dari campuran irisan buah-buahan, namun yang membedakannya adalah bumbunya yang menggunakan kaldu ikan (kuah pindang). Itulah sebabnya mengapa Rujak ini disebut dengan Rujak Kuah Pindang. Tentu rasanya unik, karena campuran pedas, asam, manis dan asin khas kuah pindang. Enak dan beda! Sudah lama saya tidak makan Rujak Kuah Pindang.

Tipat Kuah set

 

Lalu teman-teman juga mendorong saya untuk mencicipi  Tipat Kuah (Ketupat Kuah) karena menurut mereka Tipat Kuah di sana enak. Wah..lagi-lagi ini makanan unik yang berbeda. Jika ketupat umum yang dikenal di Bali adalah Tipat Cantok (dibuat dari potongan ketupat,  sayuran (kangkung, tauge, kacang panjang atau bayam) diaduk dengan bumbu kacang – mirip Gado-Gado kalau di Jakarta, Tipat Kuah  memiliki perbedaan yang mencolok.  Terbuat dari potongan ketupat, ditambah dengan Jukut Cantok (sejenis sayuran berbumbu kacang mirip sayuran dalam gado-gado), Be Siap Mepelalah (ayam suir berbumbu) plus Kuah Be Siap (sejenis kuah Soto Ayam). Rasanya enak, mengingatkan rasa masa kecil. Saya suka Ketupat Kuah ini.

Sebenarnya masih ada beberapa jenis makanan yang jarang-jarang saya lihat lagi di tempat lain, seperti  Nasi Baas Barak (Nasi beras merah),Tipat Plecing,Plecing Kabyos, Bulung, dan sebagainya. Namun tentunya saya tidak bisa mencicipi semuanya sekaligus.

Pesan-Pesan Yang Menarik.

MotivasiYang menarik perhatian saya selain makanannya yang unik dan beda adalah dinding warung itu. Saya sering melihat warung-warung makan memajang testimoni para artis atau pejabat terkenal yang pernah mampir di warung itu. Itu umum. Tapi yang dipajang di warung ini adalah beberapa pesan-pesan motivasi yang menggelitik. Kebanyakan mengutip semangat Pak Andre Wongso. Misalnya di sebuah bagian dinding saya membaca :

Mulai dari diri sendiri. Kita seringkali  mencoba dan berusaha untuk mengubah dunia dan orang lain, tetapi….jauh lebih penting adalah kita mengubah dunia yang ada di dalam diri kita sendiri

Saya termenung membacanya – sangat benar apa yang dikatakannya. Seketika saya jadi ikut termotivasi untuk memperbaiki diri saya sendiri.  Lalu di bagian dinding di sebelahnya, saya melihat pesan motivasi yang lain.

Tetap Tersenyum. Kita tersenyum saat kehidupan berjalan sukses dan menyenangkan,itu hal yang biasa. Tetapi saat kehidupan kita menghadapi rintangan, tantangan dan tidak memuaskan,namun kita tetap bisa tersenyum itu baru luar biasa”

Wah.. memang benar-benar luar biasa! Masih banyak pesan -pesan motivasi yang lain lagi. Karena warung ini berbeda, sebagai seorang pemasar, tentu saja saya menjadi tertarik untuk menyimaknya lebih lanjut.  Mengapa pemiliknya memutuskan untuk menggantung pesan-pesan motivasi itudi sana? Kepada siapa pesan -pesan itu disampaikan? Apakah untuk dirinya sendiri? Ah..tentunya kepada pengunjung warung lah ya. Tapi apa relevant? Memang siapa target marketnya?

Motivasi 2Kawasan Renon merupakan kawasan perkantoran, dimana para karyawan menghabiskan jam istirahat/makan siang di warung-warung makan yang banyak bertebaran di daerah itu.  Dan tentunya kita tahu, yang namanya karyawan tentu kondisi mentalnya sangat beragam pada saat memasuki warung itu – ada yang sedang senang karena baru saja mendapatkan promosi jabatan, ada yang sedang galau karena proposalnya belum kunjung juga disetujui, ada yang sedang bersedih karena baru saja habis didamprat boss-nya, atau ada yang lagi ‘down’ karena diuber-uber cicilan utang. Macam-macamlah isi pikirannya. Dan pemilik warung ini menangkap dengan jeli, bahwa konsumen yang masuk ke warung ini dengan segala macam kegundahgulanaan, harus keluar dengan penuh semangat kembali. Dan siap kembali bekerja ke kantor dengan penuh motivasi diri.

Saya mendapatkan cerita bahwa pada awalnya, sang pemilik warung, drh Dewa Made Dwi Saputra  selalu menyelipkan pesan-pesan motivasi di dalam bungkusan makanan setiap kali ada orang yang memesan. Lama kelamaan cerita tentang warung yang memberi motivasi itu menjalar dari mulut ke mulut, sehingga makin banyaklah orang yang pengen tahu dan penasaran untuk datang dan makan di tempat itu. Hmm…cerita yang menarik!.

Sangat jelas saya melihat, bahwa pemiliknya sangat jeli untuk memanfaatkan situasi konsumen dan menjadikan “Motivasi” sebagai pembeda warungnya dengan warung-warung lain yang ada. Walaupun warungnya sederhana, namun motivasinya sangat terasa kuat.

Differentiation, selalu  merupakan salah satu faktor penting  dalam mensukseskan upaya pemasaran.

Jangan Malas Berlari!

Standard

???????????????????????????????Piala Dunia 2014 telah berakhir beberapa saat yang lalu.  Jika kita perhatikan, topik yang paling sering dibicarakan berkaitan dengan Piala Dunia 2014 adalah soal kekalahan Brazil melawan Jerman di babak semi final. Hampir semua orang membicarakannya.  Banyak media yang membahasnya. Walaupun sebenarnya saya bukan penggemar sepakbola, namun tetap saja sesekali ikut mendengarkan tanpa sengaja percakapan-percakapan teman-teman saya tentang kekalahan Brazil itu.

Demikian juga hari Jumat yang lalu. Kembali saya mendengarkan soal kekalahan team Brazil itu lagi. Dibahas disebuah acara malam yang dilakukan Frontier Consulting Group dan Majalah Marketing di Hotel Mulia, Senayan. Kebetulan saya hadir di sana  untuk mewakili team saya menerima penghargaan Top Brand Award bagi kesuksesan salah sebuah brand dari perusahaan tempat saya bekerja. Tentu saja saya mendengarkan dan menyimak dengan baik.

Nah, lalu kenapa saya sampai niat banget menuliskannya kembali? Karena menurut saya kali ini pembahasan soal kekalahan team Brazil ini cukup menarik. Dibahas dari sudut pandang dunia pemasaran oleh sang pakar marketing Pak Handi Irawan, yang juga merupakan boss-nya Frontier.

Pak Handi memulai pembicaraannya dengan menunjukkan skor 7-1, yang mengacu pada kemenangan Jerman vs Brazil. Lalu mengajak audience  untuk berada pada titik start yang sama, dengan pertanyaan yang membuat kita mikir: Mengapa Brazil bisa kalah melawan Jerman?

Pertanyaan ini tentu sangat menggelitik, mengingat bahwa: 1/ team Brazil selama ini dianggap tangguh, 2/ team Brazil bermain di kandangnya sendiri pula. Banyak orang menganalisa bahwa itu terjadi akibat lemahnya teamwork Brazil dan keinginannya yang sangat kuat untuk dominant sebagai tuan rumah – sehingga mungkin saja membuatnya menjadi over pede.

Nah ternyata Pak Handi punya jawabannya sendiri. Pak Handi mengaitkan kekalahan itu dengan kenyataan bahwa team Brazil lebih malas berlari dibandingkan dengan team Jerman. Hah? Malas berlari? Darimana tahunya?

Pak Handi bercerita tentang 2 merek sepatu yakni Adidas dan Nike. Soal pertarungan Nike vs Adidas dalam Piala Dunia 2014 ini sebenarnya cukup kerap juga diberitakan  di media-media – namun saya tidak pernah membaca detailnya soal sepatu ini. Menurut cerita Pak Handi, Nike memiliki sepatu Nike plus dengan sensor yang memberi tahu penggunanya berapa target kalori yang dibakar, apakah targetnya tercapai atau tidak,dsb.

Tak mau kalah Adidas pun mengeluarkan sepatu yang juga memiliki sensor yang baik untuk mengetahui tingkat kelelahan penggunanya – tentu dengan cara mendeteksi “heel compression” dan “heart rate signal”. Dari sanalah diketahui bahwa konon para pemain Brazil  rata-rata hanya berlari sebanyak 7.7 km sedangkan pemain di team lain berlari lebih banyak dari itu – pemain Belanda misalnya rata-rata berlari sebanyak 12 km selama pertandingan. Nah…bagian yang ini saya tidak pernah dengar sebelumnya. Sangat menarik!.

(*saat bercerita tentang 2 merek sepatu itu, saya jadi terkenang masa-masa di tahun 90-an saat saya bekerja sebagai Sales Supervisor di PT Mitra Adi Perkasa yang banyak menjual sepatu sport dan alat-alat sport lainnya. Jadi saya bisa membayangkan jika kedua brand itu mengembangkan teknologi canggih yang diaplikasikan pada sepatu keluaran terakhirnya).

Nah..nett-nett dari cerita ini adalah bahwa ; Malas berlari!!! Itulah yang menyebabkan team Brazil kalah dibandingkan dengan team German.  Berlari bukan hanya membuat kita menjadi lebih cepat, namun juga membuat otot-otot kita terlatih dan anggota tubuh kita memiliki stamina yang lebih baik dibandingkan jika kita tidak melatih diri berlari. Demikian juga ‘berlari’ dalam kehidupan sehari-hari.

Sebuah ilustrasi yang bagus. Saya tersenyum mendengarkan bagaimana Pak Handi kemudian menganalogikan kekalahan Brazil ini dengan kekalahan brand yang para pemasarnya juga malas berinovasi. Oleh karena itu, jika tidak mau kalah bersaing ya…jangan malas berlari. Pak Handi lalu melanjutkan ceritanya dengan beberapa pesan pemasaran lain. Wah..thanks to Pak Handi atas ceritanya.

Tentu saja cerita di atas sangat relevan bagi para pemasar. Karena memang pada prinsipnya apa yang dikatakan pak Handi itu benar adanya. Keterlambatan membawa inovasi baru ke pasar adalah salah satu penyebab terkuat, mengapa sebuah merk dagang bisa terpuruk dilindas pesaingnya. Di dunia pemasaran, pada akhirnya memang, bukan yang besar yang akan memakan yang kecil. Tapi yang cepatlah yang akan memakan yang lambat. Oleh karena itu, jangan malas berlari.

Bahkan jika kita pikir lebih jauh, petuah untuk “JANGAN MALAS BERLARI” ini juga bukan hanya relevan untuk para pemasar. Juga sangat relevan untuk kita semua dalam kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari.

Misalnya dalam posisi saya sebagai ibu rumah tangga,  petuah jangan malas berlari ini pun terasa sangat relevant. Kita jangan malas berlari ‘mencari cara dan terobosan baru’ dalam mendidik anak, memahami perkembangan anak dan tuntutan lingkungannya, sehingga kita mampu  mempersiapkan anak kita agar bisa menghadapi dunia pengetahuan dan arus informasi yang berlari dengan cepat. Anak-anak jaman sekarang tentu tidak bisa disamakan kondisinya dengan saat kita masih kanak-kanak dahulu. Oleh karena itu, sebagaiorang tua kita perlu sedikit lebih smart untuk bisa menyiapkan anak-anak kita dengan baik.

Nah… barangkali petuah “jangan malas berlari’ inipun relevant juga buat penulis blog seperti saya ini. Jika malas menggali ide baru, mengembangkan ide baru dan menjadikannya tulisan-tulisan baru yang segar dan bervariasi, bisa-bisa para pembaca  blog saya ini  mati kebosanan membaca tulisan saya yang itu-itu saja. Kupu-kupu lagi, kupu-kupu lagi. Atau kalau tidak, burung lagi , burung lagi. Ha ha…

 

 

 

Cerita Si Tukang Bubur Ayam.

Standard

Bubur ayamPagi ini, karena sisa nasi semalam yang dijadikan Nasi Goreng jumlahnya tidak memadai untuk dikonsumsi olehseluruh keluarga, maka saya memutuskan untuk sarapan bubur ayam saja.  Belinya tentu di tukang bubur ayam yang lewat di depan rumah. Sebenarnya di sekitar tempat tinggal saya, ada 2 orang tukang bubur ayam. Yang pertama adalah yang manteng di depan ruko. Yang satunya lagi adalah yang berkeliling dengan sepeda motor.

Tukang bubur yang pertama,  sudah manteng  di perumahan ini barangkali sejak 5 tahun terakhir ini. Model buburnya mirip dengan bubur ayam Cirebon. Terdiri atas Bubur, kuah, kacang kedelai goreng, suwir ayam, irisan daun bawang -seledri, kecap, kerupuk dan sambal. Terus ada sate hati-rempela- usus- telor puyuh. Saya tidak terlalu nge-fans dengan bubur ini. Terutama pada kuah dan sambelnya. Menurut saya banyak Bubur Cirebon lain yang jauh lebih enak dari bubur ini. Walaupun harus saya akui, bahwa pelanggan tukang bubur ini sebenarnya lumayan banyak juga.  Berarti sebenarnya enak kan?

Lalu tukang bubur yang ke dua. Yang berputar-putar setiap pagi dari satu blok ke blok yang lain di perumahan, adalah tukang bubur yang sudah berjualan di sini sejak lebih dari  15 tahun. Mungkin mendekati 20 tahun.  Buburnya berbeda. Komposisinya kurang lebih begini: bubur,ayam suwir, tongcai, irisan cakwe, irisan daun seledri, sambal dan kerupuk. Sambelnya adalah sambel kacang yang enak yang membuat keseluruhan rasa bubur ini menjadi lebih enak dari bubur yang pertama – tentu saja ini menurut saya lho ya. Belum tentu menurut orang lain.

Sambil menunggu ia menyiapkan, saya bertanya kepadanya,dimanakah ia tinggal? “Di Bekasi, Bu” jawabnya. Hah??!!. Alangkah terkejutnya saya. Wow! Bekasi! Jauh banget ya?  Pantesan ia selalu mengenakan bandana batik segitiga yang dikalungkan di lehernya. Rupanya itu dipakai untuk menutup hidungnya agar tidak terlalu banyak menghirup polusi udara saat berkendara melintasi  Jakarta dari arah Bekasi ke Tangerang.

Ada semacam perasaan tidak enak di hati saya. Mengapa setelah nyaris dua puluh tahun mengenalnya, saya baru bertanya. Kelihatan betapa cuek dan tidak perdulinya saya terhadap lingkungan sekitar saya.  Tapi entah kenapa saya merasa pernah tahu bahwa tukang bubur ini tinggalnya tak jauh-jauh dari perumahan ini juga. Lalu pelan-pelan saya bertanya  “Dulu bukannya tinggal di dekat sini ya? Atau dari dulu memang tinggal di Bekasi?” tanya saya. “Ya, Bu. Dulu waktu belum berkeluarga saya ngontrak di dekat sini. Tapi setelah berkeluarga, saya  pindah ke Bekasi ke rumah istri saya” katanya. Oooh. Saya merasa sedikit lebih lega. Setidaknya saya tidak secuek bebek.

Nah, pertanyaan berikutnya, mengapa ia tidak mencari pelanggan baru saja di daerah Bekasi sana saja? Ngapain jauh-jauh dari Bekasi ke TangSel sini  hanya untuk berjualan bubur?

Ia lalu bercerita bahwa jumlah pelanggannya sudah terlalu banyak di wilayah Bintaro dan sekitarnya sini dan ia tidak mau meninggalkan pelanggannya begitu saja. “Mereka sudah cocok dengan rasa bubur ayam saya. Dan saya juga sudah hapal selera mereka.   Ada yang suka banyak sambal, ada yang tidak suka pedas, ada yang mau cakwenya yang banyak, ada juga yang mau buburnya yang banyak. Beda-bedalah Bu. Jumlahnya juga sudah sangat banyak. Tidak mungkin saya menghilang begitu saja dari Bintaro. Soalnya kalau tidak jualan sehari saja, banyak yang menanyakan.” katanya sambil menambahkan sambel ke bubur pesanan saya. Ooh..rupanya ada semacam ikatan emosi antara pelanggan dan tukang bubur ini. Ikatan yang tidak mau saling kehilangan.

“Mencari pembeli baru di Bekasi mungkin sebenarnya tidak telalu sulit, Bu.  Tapi perlu waktu lama untuk membuat pembeli di Bekasi mau berlangganan kepada saya.  Jadi, di Bekasi saya punya pembeli, tapi kalau di Bintaro saya punya pelanggan. Kalau saya muter-muter di Bintaro sini, sudah pasti dagangan saya akan habis sebelum tengah hari. Kalau di bekasi belum tentu.  Makanya demi pelanggan, lebih baik saya berangkat ke sini setiap pagi . Buat saya melayani pelanggan yang sudah lebih pasti membeli lebih penting daripada mencari pembeli baru” tambahnya.

Lebih lanjutnya si Tukang Bubur bercerita kepada saya bahwa setiap hari ia bangun pukul dua dinihari untuk mempersiapkan dagangan sehingga bisa berangkat jam 4 subuh-subuh dari Bekasi agar bisa sampai di Bintaro sekitar jam setengah enam atau jam enam pagi. Itu dilakoninya setiap hari. Wow!  Setelah saya membayar, tukang bubur itupun pergi dengan motor bebeknya.

Sambil memandangi punggungnya dari kejauhan, saya jadi memikirkan kata-katanya itu. Sangat jelas terlihat bahwa ia memang sangat memahami pelanggannya. Dan sangat mengutamakan pelanggannya.

Pembeli memang beda dengan Pelanggan. Mencari pembeli bisa saja mudah, namun mengubahnya menjadi pelanggan belum tentu pekerjaan mudah. Oleh karena itu, mempertahankan pembeli yang sudah menjadi pelanggan setia kita jauh lebih penting daripada mencari pembeli baru dan membuatnya menjadi pelangggan kita.

Sekarang saya baru tahu, mengapa tukang bubur ini selalu membunyikan klakson setiap kali ia lewat di depan rumah saya. Ia selalu tersenyum ramah, tak perduli saya membeli ataupun tidak. Dan jika saya membeli, tanpa perlu saya sebutkan lagi, ia selalu hapal bahwa saya memerlukan sambal lebih banyak. Demikianlah caranya ia membuat saya senang dan suka membeli bubur ayamnya. Barangkali saya adalah salah satu orang yang dihitungnya sebagai salah satu pelanggannya.

 

 

Kebingungan Tukang Ketoprak.

Standard

tkg ketoprak“Bang, pesan Ketoprak 3 dong! Yang satu pedas, banyakin bawang putihnya, nggak pakai bihun, kecap manisnya sedikit aja ya..; yang satunya lagi nggak pedas, nggak pakai ketupat, pakai bihun, banyakin kecapnya; dan yang satunya lagi biasa biasa saja, semuanya pakai, tapi tahu & krupuknya ditambah“.

Tukang Ketoprak”?????.  “Bu, boleh nggak diulang lagi pesanannya satu persatu?” dengan muka kebingungan he he.. Read the rest of this entry

Memberi Konsumen Alasan Yang Cerdas .

Standard

BANNER-EVIINDRAWANTO1Setiap pemasar di dunia ini, selalu menginginkan produknya mudah diterima oleh konsumen dengan baik. Namun mengingat konsumen yang semakin cerdas dari waktu ke waktu, tentu pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Itulah sebabnya, mengapa setiap pemasar selalu mencari akal guna meyakinkan konsumen bahwa merknya adalah yang lebih layak untuk dipilih ketimbang merk orang lain di kategori yang sama. Berbagai survey dan research telah dilakukan oleh para pemasar untuk memahami kebutuhan dan keinginan terdalam di hati konsumen.  Karena dengan memahami apa yang ada di hati konsumen, memudahkan pemasar untuk mengembangkan konsep produknya  yang sesuai untuk segment  konsumen yang ditargetkan. Read the rest of this entry

Menolak Pelanggan

Standard

???????????????????????????????Akhir pekan. Saya tidak punya rencana apa-apa, sehingga saya setuju saja ketika diajak suami untuk menemaninya membeli sesuatu ke Pasar Cipulir. Di tengah perjalanan hujan turun dengan deras. Dan seperti biasa jalananpun tergenang air. Banjir sebetis orang dewasa dengan cepat terjadi di jalanan yang agak cekung. Sudah pasti akibat saluran got yang mampet. Nah,kalau sudah begini jalur Kebayoran -Ciledug pasti macet.  Karena sudah kepalang,maka perjalananpun saya lanjutkan juga. Read the rest of this entry

Satu Rupiah Yang Bermakna…

Standard

Kesalahan merupakan hal yang umum terjadi dalam upaya mencapai kesuksesan. Sehingga melakukan kesalahan seringkali dianggap wajar, sepanjang kita belajar dari kesalahan itu dan berusaha memperbaikinya. Pernah suatu kali, team pemasaran saya melakukan kesalahan berturut-turut dalam waktu yang berdekatan. Seorang lalai memperpanjang nomor registrasi produk. Seorang lagi salah mencantumkan barcode produk. Dan seorang lagi tidak mengantisipasi perubahan design untuk research. Akibatnya, bukan saja membutuhkan kerja tambahan untuk memperbaikinya. Namun juga melibatkan biaya dan bahkan ancaman denda dari pihak agency.  Kesalahan-kesalahan itu membuat saya merenung. Read the rest of this entry

Will You Still Need Me, When I’m Sixty Six?

Standard

Perjalanan Seorang Salesman Sejati.

Baru saja bubar meeting dengan sebuah agency, telpon genggam saya berdering. Sambil merapikan kabel laptop, saya melirik ke layarnya. Nomor yang tak saya kenal. Belakangan saya sering tidak mengangkat dering telpon yang tak  saya kenal nomornya. Terlalu banyak penawaran kredit bank, asuransi dan sebagainya yang sangat menyita waktu di jam kerja. Namun entah kenapa, sekali ini dorongan rasa ingin mengangkat dering itu cukup besar. Read the rest of this entry