Tag Archives: Pelanggan

Cerita Si Tukang Bubur Ayam.

Standard

Bubur ayamPagi ini, karena sisa nasi semalam yang dijadikan Nasi Goreng jumlahnya tidak memadai untuk dikonsumsi olehseluruh keluarga, maka saya memutuskan untuk sarapan bubur ayam saja.  Belinya tentu di tukang bubur ayam yang lewat di depan rumah. Sebenarnya di sekitar tempat tinggal saya, ada 2 orang tukang bubur ayam. Yang pertama adalah yang manteng di depan ruko. Yang satunya lagi adalah yang berkeliling dengan sepeda motor.

Tukang bubur yang pertama,  sudah manteng  di perumahan ini barangkali sejak 5 tahun terakhir ini. Model buburnya mirip dengan bubur ayam Cirebon. Terdiri atas Bubur, kuah, kacang kedelai goreng, suwir ayam, irisan daun bawang -seledri, kecap, kerupuk dan sambal. Terus ada sate hati-rempela- usus- telor puyuh. Saya tidak terlalu nge-fans dengan bubur ini. Terutama pada kuah dan sambelnya. Menurut saya banyak Bubur Cirebon lain yang jauh lebih enak dari bubur ini. Walaupun harus saya akui, bahwa pelanggan tukang bubur ini sebenarnya lumayan banyak juga.  Berarti sebenarnya enak kan?

Lalu tukang bubur yang ke dua. Yang berputar-putar setiap pagi dari satu blok ke blok yang lain di perumahan, adalah tukang bubur yang sudah berjualan di sini sejak lebih dari  15 tahun. Mungkin mendekati 20 tahun.  Buburnya berbeda. Komposisinya kurang lebih begini: bubur,ayam suwir, tongcai, irisan cakwe, irisan daun seledri, sambal dan kerupuk. Sambelnya adalah sambel kacang yang enak yang membuat keseluruhan rasa bubur ini menjadi lebih enak dari bubur yang pertama – tentu saja ini menurut saya lho ya. Belum tentu menurut orang lain.

Sambil menunggu ia menyiapkan, saya bertanya kepadanya,dimanakah ia tinggal? “Di Bekasi, Bu” jawabnya. Hah??!!. Alangkah terkejutnya saya. Wow! Bekasi! Jauh banget ya?  Pantesan ia selalu mengenakan bandana batik segitiga yang dikalungkan di lehernya. Rupanya itu dipakai untuk menutup hidungnya agar tidak terlalu banyak menghirup polusi udara saat berkendara melintasi  Jakarta dari arah Bekasi ke Tangerang.

Ada semacam perasaan tidak enak di hati saya. Mengapa setelah nyaris dua puluh tahun mengenalnya, saya baru bertanya. Kelihatan betapa cuek dan tidak perdulinya saya terhadap lingkungan sekitar saya.  Tapi entah kenapa saya merasa pernah tahu bahwa tukang bubur ini tinggalnya tak jauh-jauh dari perumahan ini juga. Lalu pelan-pelan saya bertanya  “Dulu bukannya tinggal di dekat sini ya? Atau dari dulu memang tinggal di Bekasi?” tanya saya. “Ya, Bu. Dulu waktu belum berkeluarga saya ngontrak di dekat sini. Tapi setelah berkeluarga, saya  pindah ke Bekasi ke rumah istri saya” katanya. Oooh. Saya merasa sedikit lebih lega. Setidaknya saya tidak secuek bebek.

Nah, pertanyaan berikutnya, mengapa ia tidak mencari pelanggan baru saja di daerah Bekasi sana saja? Ngapain jauh-jauh dari Bekasi ke TangSel sini  hanya untuk berjualan bubur?

Ia lalu bercerita bahwa jumlah pelanggannya sudah terlalu banyak di wilayah Bintaro dan sekitarnya sini dan ia tidak mau meninggalkan pelanggannya begitu saja. “Mereka sudah cocok dengan rasa bubur ayam saya. Dan saya juga sudah hapal selera mereka.   Ada yang suka banyak sambal, ada yang tidak suka pedas, ada yang mau cakwenya yang banyak, ada juga yang mau buburnya yang banyak. Beda-bedalah Bu. Jumlahnya juga sudah sangat banyak. Tidak mungkin saya menghilang begitu saja dari Bintaro. Soalnya kalau tidak jualan sehari saja, banyak yang menanyakan.” katanya sambil menambahkan sambel ke bubur pesanan saya. Ooh..rupanya ada semacam ikatan emosi antara pelanggan dan tukang bubur ini. Ikatan yang tidak mau saling kehilangan.

“Mencari pembeli baru di Bekasi mungkin sebenarnya tidak telalu sulit, Bu.  Tapi perlu waktu lama untuk membuat pembeli di Bekasi mau berlangganan kepada saya.  Jadi, di Bekasi saya punya pembeli, tapi kalau di Bintaro saya punya pelanggan. Kalau saya muter-muter di Bintaro sini, sudah pasti dagangan saya akan habis sebelum tengah hari. Kalau di bekasi belum tentu.  Makanya demi pelanggan, lebih baik saya berangkat ke sini setiap pagi . Buat saya melayani pelanggan yang sudah lebih pasti membeli lebih penting daripada mencari pembeli baru” tambahnya.

Lebih lanjutnya si Tukang Bubur bercerita kepada saya bahwa setiap hari ia bangun pukul dua dinihari untuk mempersiapkan dagangan sehingga bisa berangkat jam 4 subuh-subuh dari Bekasi agar bisa sampai di Bintaro sekitar jam setengah enam atau jam enam pagi. Itu dilakoninya setiap hari. Wow!  Setelah saya membayar, tukang bubur itupun pergi dengan motor bebeknya.

Sambil memandangi punggungnya dari kejauhan, saya jadi memikirkan kata-katanya itu. Sangat jelas terlihat bahwa ia memang sangat memahami pelanggannya. Dan sangat mengutamakan pelanggannya.

Pembeli memang beda dengan Pelanggan. Mencari pembeli bisa saja mudah, namun mengubahnya menjadi pelanggan belum tentu pekerjaan mudah. Oleh karena itu, mempertahankan pembeli yang sudah menjadi pelanggan setia kita jauh lebih penting daripada mencari pembeli baru dan membuatnya menjadi pelangggan kita.

Sekarang saya baru tahu, mengapa tukang bubur ini selalu membunyikan klakson setiap kali ia lewat di depan rumah saya. Ia selalu tersenyum ramah, tak perduli saya membeli ataupun tidak. Dan jika saya membeli, tanpa perlu saya sebutkan lagi, ia selalu hapal bahwa saya memerlukan sambal lebih banyak. Demikianlah caranya ia membuat saya senang dan suka membeli bubur ayamnya. Barangkali saya adalah salah satu orang yang dihitungnya sebagai salah satu pelanggannya.

 

 

Menolak Pelanggan

Standard

???????????????????????????????Akhir pekan. Saya tidak punya rencana apa-apa, sehingga saya setuju saja ketika diajak suami untuk menemaninya membeli sesuatu ke Pasar Cipulir. Di tengah perjalanan hujan turun dengan deras. Dan seperti biasa jalananpun tergenang air. Banjir sebetis orang dewasa dengan cepat terjadi di jalanan yang agak cekung. Sudah pasti akibat saluran got yang mampet. Nah,kalau sudah begini jalur Kebayoran -Ciledug pasti macet.  Karena sudah kepalang,maka perjalananpun saya lanjutkan juga. Read the rest of this entry