Karena pekerjaan yang menumpuk, suatu kali saya tidak sempat memasak buat makan malam keluarga. Selain itu kulkas di rumah juga sedang kosong. Ngga ada bahan yang bisa dimasak. Jadi saya mau order makanan jadi saja. Buka hape. Lihat-lihat nomer contact rumah makan dan restaurant dekat rumah.
Ah!. Ini dia!!. Ketemu nomor sebuah restaurant yang masakannya cocok di lidah saya dan keluarga. Saya lalu menelpon bermaksud menanyakan jam tutup restaurant. Seorang pria mengangkat telpon saya “Maaf ibu, saya sedang libur. Kalau mau order, silakan ibu langsung ke restaurant saja” sarannya. Ooh..rupanya itu nomer pribadi dari salah seorang karyawannya. Bukan nomer restaurant. Lho? Tapi mengapa sebelumnya mereka menggunakan nomer pribadi itu di brosurnya ya? Kenapa bukan nomer resmi restaurantnya saja ?. Aneh!. Tapi tak apa apalah. Saya menanyakan jam tutup restaurant sekalian meminta nomer telpon resmi restaurant. Saya mendapatkan restaurant tutup jam 8.30. Lebih cepat dibanding restaurant-restaurant lain di Bintaro yang rata-rata tutup pukul 10 malam.
Saat itu pukul 7.25 malam. Saya sedang di jalan dan memasuki area Tanah Kusir. Jika jalanan lancar, saya akan tiba sekitar pukul 8.15. Terlalu mepet ya. Tapi jika saya order lewat telpon dan meminta mereka menyiapkan pesanan saya terlebih dahulu, tentu masih keburu. Nanti saya tinggal bayar saja.
“Selamat malam Mbak. Saya mau memesan”.
“Tapi kita tutupnya jam 8.30, ibu” kata suara di seberang.
“Ya Mbak. Saya tahu kalau restaurantnya tutup pukul 8.30. Masih sejam lagi.Jadi saya pesan dulu, biar Mbaknya bisa menyiapkan masakan untuk saya. Nanti saya ambil dan tinggal bayar saja. Sekarang saya masih di jalan” kata saya menjelaskan.
“Tapi ibu, biasanya jam 8.30 kita sudah tutup lho Bu. Kadang malah jam 8 saja kita sudah tutup dan pada pulang. Soalnya sepi” nada suara di seberang terdengar sangat enggan meladeni.
Saya sedang tidak dalam mood ingin berpanjang lebar, “Jadi, masih mau terima order atau tidak?”tanya saya to the point saja. “Ooh…masih sih Bu” katanya. “Ya udah kalau gitu saya mau pesan ini dan ini”. Saya menyebutkan pesanan saya dan porsinya. Si Mbak mencatat. Lalu menyelak karena salah satu pesanan saya tidak ada. “Sudah lama tidak bikin” katanya. Oke deh. Kalau gitu saya ganti dengan yang ada saja. Si Mbak mencatat lagi.
Setelah itu tibalah pada bagian menghitung. “Jadi total berapa harganya?” Tanya saya. “Mmmm…berapa ya?” Si Mbak kelihatan tidak menguasai harga, lalu terdengar bertanya kepada temannya dan menggantung telponnya. Agak lama. Saya pikir dia dan temannya sedang melakukan kalkulasi. Saya menunggu dengan sabar. Setelah beberapa menit, barulah ia balik kembali ke telpon lagi. Tapi ia tidak langsung memberi saya informasi berapa total harganya. Ia hanya bergumam seperti sedang berhitung. “Jadi berapa Mbak?”tanya saya. “Mmm…untuk sate kan 3 porsi kali 40 000. Jadi…….” suaranya menggumam lagi. Saya nendengarkan. Lalu ia mengulang “Satenya aja 40 000 kan kali 3 porsi…jadi…”. Suaranya jeda lagi “120 000!” Jawab saya dengan tidak sabar. Lah… ngitung 3 x 40 000 kok lama banget sih?
“Jadi berapa harga totalnya, Mbak? “ tanya saya. “Harga satenya aja kan 40 000 x 3… ” katanya mengulang lagi “Terus pepesnya kan 2 porsi kali…aduuuh berapa ya ini harga pepesnya? “ Si Mbak terdengar sangat bingung. “Aduuhh.. ibu datang ke sini segera deh. Nanti dihitung di sini saja” katanya. Baiklah. Saya tertawa geli dalam hati. Tapi dari sana saya paham rupanya kemampuan berhitung si Mbak ini rada kurang. Atau barangkali ia karyawan baru yang panik ya? Tak ada gunanya saya nemaksa minta dihitungkan.
Sekitar 25 nenit sebelum jam yang disebutkan sebagai jam tutup toko, akhirnya saya sampai.
Si Mbak yang tadi ditelpon menyambut saya. “Ibu Andani ya?” Tanyanya. Saya mengiyakan. Restaurant itu memang sangat sepi. Tak ada satupun pembelinya. Saya hanya melihat dua orang Mbak penjaga di sana, termasuk yang menyambut saya dan segera ke kasir. Sepi banget. Padahal masakannya enak. Ada sesuatu yang salah dengan cara memanage restaurant ini.
Lihatlah restaurant-restaurant di sekeliling. Halamannya pada penuh dg kendaraan parkir. Rata rata penuh hingga pukul 10 malam.
Mengapa restaurant yang ini tutup cepat?
Sebelumnya si Mbak ada menjelaskan kalau mereka pengen cepat pulang karena restaurant sangat sepi pengunjung. Tapi mengapa restaurant ini sepi pengunjung? Salah satunya mungkin karena tutup sangat cepat. Wah…bolak balik ya? Seperti telor dengan ayam. Yang mana duluan?
Saya pikir, jika restaurant ini ingin maju… pihak management restaurant perlu memecah siklus antara telor dan ayam ini terlebih dahulu.
Dengan asumsi bahwa positioning dan Marketing Mix yang lain (rasa, harga, lokasi) sudah benar, maka restaurant ini perlu mereview kembali:
1/. Jam buka.
Dengan lokasi di Bintaro, di mana kebanyakan penduduknya adalah karyawan swasta yang berangkat pagi dan pulang malam – rata-rata pukul 7 dan 8 malam, maka jam tutup restaurant pada pukul 8.30 sangatlah tidak nyaman bagi pengunjung.
Karena di hari kerja pada siang hari mereka ada di kantor dan tidak mungkin balik ke area Bintaro hanya untuk makan siang. Jadi lupakan peluang untuk rame pada jam makan siang (kenyataannya saya beberapa kali ke restaurant ini pada siang hari, terutama Sabtu/Minggu juga tidak terlalu rame). Mari kita fokus pada jam makan malam saja. Bilanglah konsumen baru bisa datang ke restaurant pukul 8.00 malam. Melakukan pesanan, menunggu dihidangkan saja itu barangkali sudah memakan waktu 15 -30 menit tersendiri. Tentunya tidak nyaman sekali jika baru saja mulai suapan pertamanya, pengunjung sudah diberi woro-woro bahwa restaurant akan segera tutup.
2/. Ketersediaan menu sesuai dengan daftar menu.
Sungguh sangat mengganggu bagi konsumen jika mendapatkan kenyataan bahwa pesanan makanan kesukaannya ternyata tidak ada padahal di daftar menu ada. Restaurant perlu mereview kembali secara berkala daftar menunya. Keluarkanlah masakan yang sudah tidak disediakan lagi dari daftar menu untuk menghindari kekecewaan publik.
3/. Pelayanan
Cara kita menerima konsumen, baik secara langsung maupun lewat telephone sangatlah penting dalam membangun loyalitas terhadap restaurant yang dikelola, selain faktor lain seperti rasa masakan dan kebersihan. Kesan malas dan ogah -ogahan seolah tidak butuh pembeli sangatlah mengganggu kesetiaan konsumen. Kecuali konsumen yang sangat militan, fanatik terhadap rasa masakan restaurant itu. Tapi berapa banyakkah jumlah pelanggan yang militan seperti itu? Sangat sedikit bukan?
4/. Skill
Berhitung dengan cepat, adalah salah satu skill yang sangat diperlukan ada pada setiap pramusaji restaurant. Dulu saya sering terkesan dengan kemampuan berhitung cepat pramusaji restaurant Bakmi GM. Begitu kita selesai menuliskan order hanya dalam hitungan kurang dari semenit kita sudah diberitahu berapa total harga yang harus kita bayarkan atas keseluruhan orderan kita. Sekarang mungkin tidak secepat jaman dulu, tetapi menurut saya tetap masih lebih cepat dibanding restaurant lain.
Saya pikir, minimal 4 hal itu yang perlu diperbaiki oleh pemilik restaurant ini jika ingin usahanya lebih maju. Karena jika mengandalkan cara beroperasi seperti sekarang ini, akan sangat sulit baginya untuk bersaing dengan restaurant -restaurant lain yang pengelolaannya jauh lebih professional.
Mengambil pelajaran atas pengalaman saya dengan restaurant itu, maka saya berpikir untuk diri saya sendiri; Jika kita berada di lingkaran masalah “telor, ayam mana duluan?” seperti ini, maka sebaiknya posisikanlah diri sebagai telor saja. Pro-activelah dengan cara memecahkan masalah dan perbaiki kekurangan diri sendiri terlebih dahulu. Jika semua masalah sudah tuntas, barulah kita berharap timbal balik yang baik dari pihak lain.
Kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengalami berbagai hal dan kejadian, agar kita tak jemu jemu memetik pelajaran dan memperbaiki kwalitas diri.