Tag Archives: Pembantu Rumah Tangga

Cerita Pembantu & Budhe Tukang Jamu.

Standard

Hari Sabtu pagi. Saya bangun agak kesiangan karena semalam baru kembali dari luar kota. Tapi karena niat saya mau berlari pagi, jadi nggak apa-apalah saya tetap keluar walaupun kesiangan 😀😀😀.

Berlari hanya di sekitar perumahan saja. Lumayan sudah mengeluarkan keringat. Dan yang lebih penting adalah bertegur sapa dan bertukar senyum dengan tukang sayur yang mangkal, pak satpam, ibu-ibu pembersih taman, tukang bubur, mbak-mbak yang sedang berbelanja dan juga para tetangga yang sedang berjalan-jalan pagi.

Usai berlari, saya mampir di tukang sayur untuk membeli pepaya dan selada air. Lalu ada si Budhe Tukang Jamu. “Olah raga pagi, Bu? “Sapanya dengan sumringah seperti biasanya. Saya tersenyum mengiyakan dan bercakap-cakap sebentar dengannya. Selalu menyenangkan jika ngobrol dengan Budhe. Sayapun memesan sebotol jamu sirih kunyit asem. Sambil menyiapkan jamunya, si Budhe bertanya kepada saya.

Bu, itu mbaknya yang kerja di ibu keluar ya Bu?”. Saya berpikir sejenak. Karena yang sekarang baru saja mulai bekerja. “Yang dari Purworejo”. Katanya. Oooh…

Ya Budhe. Cuma sempat kerja beberapa hari saja, terus pulang dan tak kembali” kata saya.

Alasannya apa Bu waktu minta ijin pulang?” Saya lalu menceritakan jika alasannya waktu itu adalah ingin pulang selama 2 hari karena ingin mengurus administrasi anaknya sebentar karena mendapat sejenis beasiswa. Ya jadi saya ijinkan, karena buat saya pendidikan anak itu sangat penting. Tapi di hari yang ia janjikan akan datang ia tak muncul. Demikian juga hari hari berikutnya hingga saya mendapat konfirmasi bahwa ia positive keluar.

Saya sendiri tidak menyesali kepergiannya, karena saya mendapatkan informasi berikutnya bahwa ia sebenarnya ogah-ogahan bekerja dan bahkan memiliki sejarah kejujuran yang buruk saat bekerja dengan majikan-majikan sebelumnya. Jadi beruntunglah saya tidak perlu bergalau hati seandainyapun ia ketahuan melakukan hal yang aneh-aneh. Tapi bagian ini tidak saya ceritakan kepada si Budhe Tukang Jamu.

Saat saya terdiam sambil mengingat-ingat wajah si Mbak yang cuma sempat bekerja beberapa hari saja di rumah saya itu, si Budhe tiba-tiba curhat.

Itu lho Buuuu! Mbaknya itu membawa kabur baju saya dan nggak bayar” katanya dengan muka sangat murung. Hah ???!!!.

Saya seperti tersengat listrik. Kaget!. Lha? Kok bisa?? Dia kan hanya beberapa hari saja kerja di tempat saya? Kok sudah sempat-sempatnya melakukan kejahatan?. Saya tidak mengerti. Selain itu, ia juga orang baru di perumahan ini. Karena sebelumnya ia bekerja di perumahan lain di BSD.

Lah..Budhe kok bisa percaya ngasih baju ke orang baru gitu? “ tanya saya heran. Si Budhe yang baik ini selain menjadi Tukang Jamu juga berjualan baju dengan cara nencicil-cicilkan kepada para pembantu rumah tangga di perumahan itu. Pernah saya ceritakan di tulisan ini (Tukang Jamu Dalam Ekosistem Perumahan) sebelumnya.

Lha…gimana to Bu?. Wong dia bilangnya besok pasti akan dibayar karena waktu itu dia nggak bawa uang. Ya saya percaya saja“. Katanya memelas. Saya kok tidak tega melihatnya.

Terus saya tanya tanya ke orang-orang. Dikasih tahuin itu pembantunya Ibu Dani. Terus karena nggak dateng-dateng, saya samperin ke rumah ibu. Saya ketok-ketok, nggak ada yang bukain pintu.”. Ceritanya. Waduuuh ..nama saya jadi kebawa-bawa deh ya.

Terus saya tanya Mbak Imah ( Tukang Sayur) katanya sudah lama nggak pernah muncul belanja sayur. Mungkin sudah pulang ke Jawa. Atau brenti kerja, Bu?”. Saya semakin tidak tega mendengarnya. Ya…memang dia sudah lama pamit pulang. Cuma beberapa hari saja di rumah saya. Walaupun cuma beberapa hari saja, ternyata sudah mampu menciptakan penderitaan bagi orang lain.

Saya bertanya berapa banyak ia berhutang. Budhe menyebutkan sejumlah angka. Ooh..rupanya tidak terlalu besar. Saya pikir saya masih bisa menalangin dengan ikhlas. Kasihan juga si Budhe jika ia harus nenanggung kerugian akibat ulah pembantu yang bekerja di tempat saya.

Akhirnya saya tepuk bahunya si Budhe. “Sudahlah Budhe. Nanti saya ganti. Biar Budhe nggak rugi” kata saya lalu membayar sekalian dengan harga jamu kunyit asem. Si Budhe mengucapkan terimakasih dan terharu. “Kok bisa ya ada orang kayak gitu. Nggak kayak yang lainnya di perumahan ini. Biasanya jujur. Apa dia juga ada minjem uang sama Ibu? ” tanya si Budhe. “Ya Budhe. Tapi nggak seberapa. Buat ongkos pulang dan keperluan di sana saja”. Kata saya. Dan saya sudah mengikhlaskannya saat itu. Jadi saya tak punya beban ataupun rasa sesal sedikitpun. Sekarang saya baru tahu ternyata ia merugikan si Budhe Tukang Jamu.

Sambil berjalan pulang saya jadi berpikir-pikir. Urusan pembantu rumah tangga memang masalah yang sangat pelik buat ibu-ibu. Kita memasukkan orang asing yang tak kita kenal ke dalam rumah kita.

Jika kita percaya begitu saja, kita tak pernah tahu sebelumnya apakah orang ini jujur dan akan terus jujur selama di rumah kita. Jika tidak, tentu kita yang akan kena musibah.

Tapi jika kita tak percaya dan cenderung curiga tentu akan menghasilkan hubungan kerja yang kurang harmonis juga dengan pembantu. Karena pada kenyataannya, menurut pengalaman saya kebanyakan dari mereka sebenarnya jujur-jujur dan baik-baik. Tentu tidak adil juga jika mereka dicurigai setiap saat.

Interview, sreening dan reference di saat awal menurut saya tetap penting. Walaupun kadang-kadang si pemberi referensi juga tidak mengenal cukup baik.

Teman-teman adakah yang punya pengalaman serupa?

Rahasia Si Mbak, Bumbu Instant dan Peradaban Manusia.

Standard

Hingga remaja, saya bukanlah tukang masak yang handal. Setelah menikah, saya mulai belajar memasak, dengan tujuan agar suami dan anak-anak bisa makan dengan enak dan nyaman di rumah. Tetapi karena kesibukan dan keterbatasan waktu, belakangan tugas memasak di rumah lebih sering diambil alih oleh si Mbak yang membantu di rumah. Saya hanya sekali sekali saja ke dapur jika ada waktu.

Nah…saya mau cerita sedikit nih tentang urusan masak memasak.

Saya dan suami memiliki selera makan yang berbeda. Tapi sebagai istri, saya berusaha belajar memasak makanan kesukaan suami seperti sayur asem, sayur lodeh, pepes oncom, dsb, di luar upaya saya memperkenalkan juga masakan Bali seperti pelecing kangkung, sate lilit, ayam sisit, dsb di lidahnya. Di luar itu, anak-anak ternyata lebih menyukai masakan modern seperti European food atau Japanese food.

Sebenarnya tidak seruwet yang dibayangkan. Karena di luar itu ada juga jenis masakan yang kami semua menyukainya. Misalnya nasi goreng, bihun goreng, telor dadar, perkedel kentang dan sebagainya.

Jadi perbedaan selera makan itu tak menjadi halangan buat saya. Justru memicu saya untuk terus belajar banyak resep masakan, dan mengenal berbagai jenis bumbu seperti bawang merah putih, bombay, cabe, sereh, lengkuas, kunyit, limau, kencur, jahe, pala, ketumbar, lada, seledri, asem, jinten, kemiri, salam, terasi, kayu manis dan sebagainya serta takarannya, juga termasuk bumbu dapur lain seperti rosemary, parsley, sage, thyme, oregano, wansui, wasabi dan sebagainya. Jika perlu tanaman bumbu itu saya tanam di rumah.

Yang paling penting dari proses memasak adalah di tahap persiapan. Membersihkan bahan dan bumbu, memotong, mengulek dan mencampur. Karena jika tak tahu resep, atau takaran bumbunya kurang tepat, tentu rasa masakan akan jadi amburadul. Karena itu biasanya saya luangkan waktu lebih di stage persiapan ini. Menurut saya, memasak yang benar itu sungguh butuh waktu.

Nah…bagaimana jika tugas masak memasak ini dihibahkan kepada pembantu rumah tangga?.

Sejak tinggal di rumah yang saya tempati sekarang, banyak pembantu rumah tangga yang pernah tinggal silih berganti di sini. Dengan ragam kemampuan memasak yang berbeda. Ada yang berbakat memasak dari sononya, ada yang sudah berpengalaman masak dari tempat bekerja sebelumnya, ada yang belum bisa masak, ada yang sama sekali tidak berbakat memasak.

Pembantu rumah tangga terakhir yang bekerja di rumah saya termasuk pintar memasak. Masakannya tergolong enak dan mudah diterima di lidah. Jika saya ajarkan resep masakan baru, dengan cukup cepat ia bisa mengcopynya. Walaupun kadang-kadang kwalitas masakannya juga menurun jika ia telah melakukan berulang-ulang. Misalnya membuat klapper tart, aslinya empuk lama lama menjadi keras. Belakangan saya tahu, penurunan kwalitas itu disebabkan karena ia merubah komposisi bahan dan skipping satu langkah penting dari proses memasak itu dengan tujuan biar cepat selesai.

Tapi ada jenis jenis masakan tertentu yang ia bisa masak dengan cita rasa yang konsisten enak dari waktu ke waktu dan bisa ia hidangkan dalam waktu yang relative singkat juga. Misalnya ayam goreng, nasi goreng, soto ayam, sayur asem dan sebagainya. Untuk hal ini saya harus acungkan jempol lah ya. Karena kita perlu memuji seseorang jika memang pekerjaannya bagus.

Suatu hari apes nasib saya, si Mbak ini confirm bilang mau keluar setelah mengambil cuti beberapa hari. Dan ia meminta saya untuk mencari penggantinya. Ya sudahlah. Karena mencari pengganti juga tidak mudah, maka selama itu saya kembali lagi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi, makan siang dan makan malam keluarga di sela sela kesibukan kantor. Kadang kadang saya beli lauk juga kalau sudah kepepet atau kelelahan dari kantor.

Saat

memeriksa dapur saya menemukan beberapa bungkus bumbu instan. Ada yang masih utuh, ada yang sudah terpakai setengahnya. Ada bumbu ayam, bumbu soto ayam. … wah bumbu nasi goreng juga ada. Semuanya instant. Nggak perlu mikir-mikir berapa banyak tajaran bawang merahnya, bawang putihnya, atau jahenya.

Hmm…. saya mengamatinya. Jadi??????? Selama ini si Mbak yang pinter masak itu rupanya banyak menggunakan bumbu instant ya?. Jadi ini to rahasianya?. Mengapa ya saya tidak ngeh sama sekali. Kalau ke dapur, apa saja yang saya lihat ya? Kok saya belum pernah memperhatikan adanya bumbu-bumbu instant ini?. Pantesan saja rasa masakannya konsisten terus dari waktu ke waktu.

Sebenarnya sudah lama saya tahu tentang bumbu bumbu instant ini dari supermarket atau minimarket. Tapi selama ini saya tak pernah nelirik apalagi membeli. Karena saya lebih yakin akan kesehatan bahan bumbu yang segar, yang diulek sendiri apalagi yang dipetik sendiri dari kebun. Jadi jauh sekalilah pikiran saya untuk menggunakan bumbu bumbu instant ini di dapur saya.

Tapi sekarang?

Saya melihat ke kemasan-kemasan bumbu instant itu dengan hati yang galau.Rasanya sedang berada di persimpangan. Apakah saya perlu menggunakan bumbu bumbu instant ini untuk menolong hidup saya? Atau justru menolaknya karena saya tidak yakin akan dampak baik jangka panjangnya bagi kesehatan anak-anak saya.

Saya adalah wanita bekerja yang sesungguhnya tidak punya kemewahan waktu untuk berlama- lama mempersiapkan bumbu di dapur. Bukankah penemuan ini akan membantu saya untuk menyiapkan masakan dengan lebih cepat?. Jadi saya bisa lebih cepat di dapur & lebih cepat berangkat ke kantor.

Dan bumbu instant begini juga akan menolong para wanita yang tidak menguasai resep masakan jadi bisa memasak tanpa was-was suami akan suka rasanya atau tidak. Sudah tentu bumbu instant itu formulanya diracik oleh ahli masak. Jadi jangan takut tidak bisa memasak.

Tapi di satu sisi, begitu memikirkan ingredientnya, rasanya hati saya mulai mengkeret juga. Bumbu instant ini sudah pasti mengandung preservative. Jika tidak, bagaimana mengawetkannya ? Lalu apa ya dampak jangka panjangnya jika kita menelan preservative terus menerus dalam jangka waktu panjang? Juga mengandung penguat rasa, pwrasa sintetik, pengatur keasaman dan sebagainya. Tega kah saya menberikan ini dalam jangka waktu panjang untuk keluarga saya, untuk orang-orang yang saya cintai?.

Hal lain yang juga melintas di kepala saya tiba tiba adalah, bumbu instant ini nantinya akan sangat memanjakan wanita. Dengan adanya Bumbu instant ini, lama-lama mungkin juga membuat kita akan lupa pada resep resep masakan traditional. Karena tak perlu kita tahu lagi. Seseorang sudah meresepkan dan menyiapkannya. Cukup beli di supermarket dan tersaji eh dengan cepat di meja makan. Jadi untuk apa tahu resepnya?. Lama lama resep masakan akan punah dan hanya dikuasai oleh kaum industri saja.

Ini mirip dengan kalkulator yang membuat kecepatan otak kita berhitung melambat, melemah atau bahkan berhenti. Ketika kita sudah terlalu tergantung pada mesin hitung, kita tak mampu lagi bahkan menghitung tambah- kurang -kali -bagi dalam hitungan detik seperti dulu sering dilombakan oleh guru kita di sekolah dasar.

Hasil peradaban yang sangat jelas membantu manusia untuk menghadapi jaman, tetapi di sisi lain tanpa sadar juga menumpulkan kemampuan lain dari diri manusia.

Sungguh buah si malakama. Saya jadi mikir, jika suatu saat (bahkan sekarang) ketika manusia sudah sedemikian tergantungnya pada produk-produk hasil peradaban, dan tiba-tiba sebuah gangguan system membuatnya tak bisa dipakai lagi…. apakah manusia masih bisa exist? Ataukah species manusia akan jadi lumpuh dan punah pada akhirnya? Whua… pikiran yang kepanjangan.

* catatan siang bolong dari sudut dapur seorang ibu rumah tangga bekerja.

Tukang Jamu Dalam Ekosistem Perumahan.

Standard

Tukang JamuSaya bertemu Budhe Tukang Jamu di depan ruko. Seperti biasa, ia menyapa saya dengan senyum ramah “Ibu… jalan pagi ya Bu?” katanya. Walaupun nyaris tidak pernah membeli jamu, saya suka berhenti untuk mengobrol sejenak dengannya. Kali ini si Budhe tampak lain. Ia bukannya sibuk menyiapkan jamu untuk pelanggannya, eh..malahan sibuk menawarkan pakaian kepada  beberapa orang Mbak yang sedang lewat untuk berbelanja ke tukang sayur. “Wah…barang dagangan baru nih Budhe…” kata saya.  Si Budhe tertawa “Iya Bu…buat nambah-nambah..” katanya, lalu menawarkan barangkali saya berminat melihat-lihat barang dagangannya. Saya mengucapkan terimakasih dan mengatakan belum minat untuk saat ini.

Saya memuji usahanya untuk mengoptimalkan penghasilannya dengan sekalian juga membawa barang lain di luar jamu. Menambah portfolio barang dagangan yang ditujukan kepada target market yang sama merupakan ‘low hanging fruits’ yang mudah  dieksekusi.

Si Budhe rupanya sangat pintar membaca kebutuhan konsumennya yakni para Mbak-Mbak asistent rumah tangga di perumahan. Mereka adalah para wanita yang kebanyakan menghabiskan waktunya di rumah. Sibuk memasak dan mencuci piring di dapur, membersihkan rumah dan halaman atau mencuci dan menggosok pakaian. Waktu mereka cuma terbatas. Kesempatan untuk keluar rumah hanya saat mereka berbelanja sayur di pagi hari atau sesekali berjalan ke ruko untuk membeli keperluan darurat rumah tangga yang kebetulan habis. Jarang sekali mendapat kesempatan jalan-jalan di mall atau pertokoan untuk membeli keperluan mereka sendiri. Kalaupun kebetulan ada yang bekerja pada majikan yang baik hati, paling mereka hanya mendapatkan waktu 1 -2 hari libur per bulan.

Peluang inilah yang ditangkap si Budhe saat ia melayani pembeli jamunya. Si Mbak juga butuh membeli baju baru  juga sesekali dong?. Kenapa nggak dibawakan saja ke depan matanya? Jadi si Mbak nggak perlu mencari-cari. Atau jika perlu bagi Mbak yang sudah lama kenal beri kesempatan untuk mencicil, 2-3x bayar, untuk membuatnya lebih terjangkau agar lebih banyak lagi Mbak yang tertarik untuk membeli.  Sebuah upaya konglomerasi bisnis yang baik ala si Budhe Tukang Jamu.

Peluang lain yang ditangkap si Budhe adalah kebutuhan para Nyonya rumah alias Ibu Rumah tangga (IRT) akan Assistent Rumah Tangga (ART).  Berkenalan dengan banyak ART yang menjadi pelanggannya, membuat SiBudhe menjadi tempat curahan hati dan derita para pekerja rumah tangga ini. Ada yang Nyonya-nya beginilah, NYonya-nya begitu, Tuannya kaya gini, Anak bossnya kaya begono – menimbulkan banyak  ketidak puasan. Si Budhe yang cerdas tentu bisa membuat mapping,  mana ART yang happy dan mana ART yang sedang tidak happy dan berniat untuk pindah kerja. Si  Budhe juga tahu mana ART yang sedang cuti, pulang kampung, menikah, melahirkan dan sebagainya. Pemahamannya sangat baik, nyaris melebihi pemahaman pemilik Yayasan  Babby Sitter dan Assistent Rumah Tangga yang resmi.

Di sisi lain, Si Budhe juga kenal mana Nyonya rumah alias IRT yang sedang membutuhkan ART baru, mana yang tidak membutuhkan. Juga mana Nyonya rumah yang generous dan baik hatinya sehingga pembantunya pada awet dan sulit dibujuk pindah, juga tahu mana Nyonya rumah yang pelit, kasar, pemarah, cerewet, dan sebagainya yang membuat para ART kurang betah bertahan lama.  Berbekal pengetahuan dan pemahaman itu, Si Budhe menjadi tumpuan banyak IRT yang membutuhkan dan sekaligus menjadi tumpuan ART untuk mencari tahu lowongan kerja. Nah..klop kan?. Jadi, secara Natural, Si Budhe Tukang Jamu telah memegang peranan sebagai penyeimbang ekosistem dalam kehidupan Rumah tangga di perumahan. Dengan menjadikan dirinya sebagi tempat pertukaran informasi dan sedikit usaha menawarkan dan membujuk, tentulah ia layak mendapatkan fee yang setimpal. Tentunya lebih miring harganya ketimbang jika IRT mencari ART dengan menghubungi yayasan.

Nah..apa jadinya jika tiba-tiba Si Budhe menghilang dari perumahan? Siapa yang akan menggantikan peranannya yang sangat penting itu?

 

 

Kisah Selembar Kain Songket Dan Pelajarannya.

Standard

Saya sedang merapikan isi lemari dan menemukan selembar kain songket lama yang kusam dan mbleber warnanya. Melihat kain itu, Songket Yang Lunturkenangan lama seketika muncul ke permukaan kepala saya.

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya pulang kampung ke Bali, kakak perempuan saya menghadiahkan selembar kain songket. Kain songket berwarna ungu buah manggis dengan tenunan benang emas yang cemerlang bervariasi benang katun berwarna yang cukup renyep. Walaupun sangat jarang berpakaian adat, namun saya menyukainya. Buat jaga-jaga siapa tahu ada undangan, rasanya perlu juga mempunyai selembar kain adat itu. Setelah berterimakasih atas kebaikan hati kakak saya, maka songket itu pun saya bawa ke Jakarta.

Suatu kali saya benar-benar punya kesempatan untuk menggunakan kain itu. Seorang teman menikah. Sepulangnya dari kondangan, maka saya berganti pakain. Saya ingat ajaran ibu saya bahwa kain songket tidak boleh dicuci. Hanya boleh dijemur atau diangin-angin saja. Biar tidak lembab dan tiddak meninggalkan sisa keringat. Mengingat pesan itu dan mempertimbangkan hari yang sudah malam, maka sayapun hanya membentangkan kain songket itu di tempat jemuran. Besok saya tidak akan sempat melakukannya karena harus ke kantor pagi-pagi. Kebetulan Si Mbak yang membantu pekerjaan rumah tangga juga tidak menginap di rumah saya. Ia hanya datang pagi (kadang agak siang) dan pulang kembali di sore hari. Setidaknya jika saya bentangkan di tempat jemuran, Si Mbak besok tinggal mengeluarkan jemuran itu ke halaman belakang dan mengangkatnya lagi jika sudah benar-benar kering. 

Esok malamnya sepulang dari kantor, saya melihat kain songket itu sudah terlipat dengan baik di atas kursi. Tapi alangkah terkejutnya saya, ketika saya mendekat. Kain songket itu ternyata luntur!. Benar-benar luntur habis. Warna merah keunguan mbleber kemana-mana membuat keseluruhan tampilan kain songket itu kusam dan tidak kinclong lagi. Seketika saya merasa lemas tak berdaya. Ya ampuuun..apa yang harus saya katakan kepada kakak saya jika ia tahu bahwa saya tidak menjaga dengan baik kain pemberiannya? Tentulah ia akan merasa sedih. Mungkinkah ia menyangka bahwa saya tidak menghargai pemberiannya? Memikirkan itu, hati saya rasanya sedih sekali dan sangat tidak enak.

Aduuuh..bagaimana sih Si Mbak ini. Saya ngga habis pikir padahal itu kan kain songket. Semua orang juga tahu bahwa kain songket tidak boleh dicuci. Kok bisa sih dia mencuci kain itu, padahal saya tidak pernah menyuruh begitu. Aduuuuh…

Namun saya ingat, akhirnya saya menyadari bahwa itu bukan kesalahan siMbak. Dan setidaknya ada 5 butir pelajaran yang bisa saya temukan dari kesalahan itu.

Pertama, hal itu sudah kepalang terjadi. Dan kita tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Dalam kejadian seperti ini, hanya ada dua pilihan yang harus dilakukan. Berusaha keras mencari tahu bagaimana cara memperbaikinya, lalu perbaiki hingga bisa pulih kembali seperti semula. Jika pilihan pertama itu tidak bisa kita lakukan, pilihan satunya lagi adalah  menerimanya dengan ikhlas. Apa adanya. Rusak tidak rusak.  Yang penting diingat hanyalah kenangannya.

Kedua, bahwa itu hanyalah selembar kain. Materi!. Harta! Mengikatkan diri pada selembar kain, dan merasa sedih karenanya tidak akan pernah membantu saya untuk membebaskan diri dari keinginan duniawi. Harta alias Materi-lah yang banyak men’drive’ orang untuk bertindak berlebihan dan tidak pada tempatnya. Banyak penipuan, kecurangan, pelacuran, kejahatan dilakukan orang dipicu oleh kegilaan pada harta benda duniawi. Dan  kesenangan duniawi ini membelit dan mengganduli jiwa manusia sedemikian beratnya laksana bola besi yang diikatkan pada kaki tawanan,  sehingga jiwanya sulit terbebas dan bersih untuk kembali menyatu denganNYA.

Ketiga,  barang pemberian, biasanya tidak akan ditanyakan juga oleh pemberinya. Kalaupun nanti ditanyakan, katakan saja apa adanya. Toh saya tidak bermaksud untuk merusaknya dengan sengaja. Itu terjadi begitu saja. Niatnya adalah cuma menjemur saja, bukan mencuci. Pelajarannya adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan sebaiknya selalu dengan niat baik. Sehingga kalaupun terjadi hasil yang kurang memuaskan ataupun kekeliruan dalam mengeksekusi, orang lain akan lebih mudah menerima dan memaafkan. Selain itu, pemberinya adalah kakak kandung sendiri – yang sudah pasti bisa memaklumi keteledoran yang terjadi.

Keempat,  kesalahan yang pasti adalah di tangan saya. Bukan pada Si Mbak. Jadi saya harus mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan itu untuk memperbaiki diri ke depannya. Saya tidak memberi instruksi dengan baik kepada Si Mbak sebelum berangkat kerja “Jangan di cuci ya!”. Instruksi yang jelas sangat penting diberikan di awal sebuah pekerjaan, jika kita memang benar-benar menginginkan sebuah kesuksesan dalam mengeksekusi. Tanpa instruksi yang jelas, akan selalu membuka peluang bagi bawahan kita untuk membuat interpretasi sendiri yang belum tentu sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Kelima, jangan berasumsi dan memandang setiap hal dari hanya sudut pandang kita sendiri. Walaupun kain Songket adalah kain yang umum digunakan oleh beberapa suku, jangan berasumsi bahwa semua suku mengenal kain Songket dengan baik. Dan selanjutnya, tidak semua orang dalam suku pengguna kain Songket itu, juga menggunakan atau mengenal Songket. Entah dengan alasan apa.  Dengan demikian, tidak semua orang mengetahui cara memelihara kain songket dengan baik, karena tidak ada di dalam kebiasaannya dia. Berasumsi bahwa semua orang memiliki kesamaan pengetahuan atau kebiasaan dengan diri kita, tentulah sebuah kesalahan besar. Karena walaupun saya dan Si Mbak misalnya sama-sama memiliki 10 pengetahuan dan kebiasaan, barangkali saya mengetahui  A, B,C, D, E, F, G, H, I, J…. Si Mbak mungkin pengetahuannya G,H, I, J, K, L, M,N,O,P. Sehingga ada beberapa pengetahuan yang saya tahu, Si Mbak tidak tahu. Dan sebaliknya ada pengetahuan yang Si Mbak tahu yang saya tidak tahu.  

Esok paginya, SI Mbak datang tergopoh-gopoh lebih pagi daripada biasanya. Wajahnya tegang  “Bu! Ibuuuu! Maaf ya Bu, kainnya kemarin saya cuci kok luntur ya Bu. Saya bingung itu mesti diapain…” katanya.

Sayapun hanya tersenyum dan berkata “Ya sudah… Saya juga lupa memberi tahu kalau kain itu tidak boleh dicuci…”kata saya yang membuat wajahnya tenang kembali.

Kain itu masih terlipat dengan rapi. Mengingatkan saya pada Si Mbak, pembantu rumah tangga yang sangat baik dan rajin, yang kini sudah tidak bekerja di rumah saya lagi, karena sudah terlalu sibuk melayani pelanggan di warungnya.

Catatan Dari Bandara Ke Bandara: TKI Oh TKI…

Standard

Setelah menempuh penerbangan selama dua jam  dari Kuala Lumpur, sampailah saya di  Jakarta. Pesawat merapat ke terminal. Saya berkemas turun dan berdiri di alley pesawat. “Adik ke Jakarta, kan?” tanya seorang Ibu di belakang saya..”Ya, Bu. Saya ke Jakarta.  Ibu juga dari Kuala Lumpur?”. Jawab saya. Ibu itu mengiyakan. “Dik, nanti saya tolong dikasih tahu caranya  ya. Saya bingung caranya pulang. Belum pernah sebelumnya”.  Ia mau ke Pamulang, tapi saudaranya yang awalnya mau jemput ternyata memberi kabar tidak bisa menjemput.  Ok. Saya lalu menawarkan, bahwa Ibu itu boleh ikut saya sampai di Cileduk atau Bintaro. Dari sana bisa mengambil taxi sendiri ke Pamulang. Sudah dekat dan lumayan bisa irit ongkos.

Lalu ia bercerita banyak. Bahwa ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Majikannya cukup baik. Namun menurutnya pekerjaannya sangat melelahkan. Ia jarang sekali mendapat istirahat.  Kerja terus dari pagi sampai larut malam. Istirahat sebentar. Subuh harus bangun lagi utuk  bekerja. Mulai mengurus anak,  membersihkan dan merapikan rumah, mencuci gosok, memasak di dapur dan sebagainya. Semua ia kerjakan sendiri. Tidak ada pembantu lain. Ooh! Kasihan sekali. Berat juga ya?

“Tapi, dik.  Agent saya jahat sekali” Katanya mengeluh kepada saya. “Saya dipindahkan terus dari  satu agent ke agent yang lain. Dijanjikan pulang setelah dua tahun. Tapi sampai lima tahun saya ditahan terus. Dan inipun setelah saya  nekat mau melapor, barulah saya diperbolehkan pulang.” katanya. Perasaan saya tidak enak mendengarkan itu. Bagaimana bisa seorang manusia ditransaksikan sedemikian rupa dari satu agent ke agent yang lain dan dicabut haknya untuk pulang dan bertemu keluarganya begitu saja.

Kami melewati gerbang imigrasi. Saya lihat pasport ibu itu warnanya hijau muda, sedikit berbeda dengan warna kulit pasport saya.  Saya tidak tahu,apakah  itu cuma variasi warna hijau saja  atau memang semua pasport TKI warnanya hijau muda ? Petugas itu bertanya “Lho? Ibu belum pernah pulang dalam 5 tahun terakhir ini ya?” yang dijawab oleh ibu itu ”Ya Pak. Soalnya agent saya menahan saya terus” Petugas itupun bertanya lagi “ Oh, jadi ibu bekerja di sana?”  “ Iya, Pak” Petugas lalu memberikan  passport ibu itu kembali.

Saya mengajak ibu itu  ke rest room, lalu  menemani saya mengambil bagasi terlebih dahulu. Ia bercerita bahwa ia terpaksa menjadi TKI, karena mantan suaminya (almarhum) penjudi dan meninggalkan sisa utang sebesar 10 juta rupiah  yang harus ia bayar.  Jika tidak, maka rumah satu-satunya yang mereka miliki akan disita. “Kalau tidak begitu, bagaimana nasib kedua anak saya dan ibu mertua saya? Tidak bisa  makan. Tidak punya tempat tinggal. Saya kangen sekali anak saya. Sudah  lima tahun saya ditahan terus di Malaysia. Tidak diperbolehkan ke Indonesia.” Katanya dengan airmata mengambang. Saya jadi ikut terbawa oleh kesedihannya. Saya melihat kemuliaan hati seorang ibu di hadapan saya. Pengorbanan demi anak-anaknya. Betapa menyedihkannya.

Ia juga menyebutkan kepada saya, mengenai besaran penghasilannya dalam ringgit. Ketika saya kurs 1 ringgit = Rp 3 000,- saya agak terkejut. Ternyata hanya sekitar 25% lebih tinggi dari rata-rata gaji pembantu di Jakarta.  Sebenarnya banyak juga rumah tangga yang membayar lebih tinggi atau sama dengan itu. Pekerjaannya pun lebih santai dan tidak capek, karena banyak yang membayar 2 atau 3 orang pembantu rumah tangga sekaligus.  Bervariasi sih. Dan sayang, ibu itu ternyata tidak tahu berapa kurs ringgit. Sehingga tidak tahu, berapa jumlah gajinya dalam rupiah. Weleh! Pahit bener!. Dan lebih pahit lagi mendengarnya,  ternyata ibu itu pulang tanpa membawa uang. Uangnya masih disimpan majikannya. Katanya nanti akan ditransfer. Ya..ampuuun!.

Menjelang pintu keluar, dua orang petugas menghampiri kami.  Seorang wanita muda yang sangat cantik dalam pakaian dinasnya ditemani oleh seorang pria.  Ia minta agar ibu itu menunjukkan pasportnya.  Saya menghentikan langkah saya. Petugas mempersilakan saya keluar. Saya tidak bergerak, karena saya sudah berjanji kepada ibu itu untuk menolongnya pulang.  Wanita cantik itu berkata, bahwa ibu itu seharusnya melewati jalur khusus TKI.  Ooh, OK. Saya tidak ngeh sebelumnya. Salah ya?

Lalu saya bertanya, proses apa yang harus dijalani oleh ibu itu dan berapa lama?  Saya akan menunggunya sampai selesai. Wanita itu menolak menjelaskan kepada saya prosesnya dan menyuruh saya meninggalkan saja ibu itu, karena nanti akan ada yang mengantarkannya pulang. Ibu itu merengek, minta tolong  jangan ditahan. Ia ingin dilepaskan karena  ingin ikut saya, cepat pulang dan cepat bertemu anaknya. Tapi petugas tetap menyuruhnya  lewat jalur itu.  Karena begitu peraturannya. Oke, kalau begitu aturannya, saya membujuk ibu itu untuk mengikuti prosedur yang benar. Sebagai warga negara yang baik, sebaiknya kita mentaati aturan dengan baik.

Ibu itu merengek lagi, “Ibu ini saudara saya. Saya ingin ikut dengannya”  katanya menunjuk saya.  Saya pikir ibu itu sekarang mulai ngacau untuk menyelamatkan dirinya. Saya tidak mau dilibatkan dalam sebuah kebohongan.  Akhirnya saya jelaskan apa adanya kepada petugas “ Saya bukan saudaranya. Saya hanya penumpang biasa yang kebetulan bertemu dengannya di pesawat. Merasa kasihan dan bersedia membantunya. Saya akan menunggu di luar. Silakan di proses”.

Saya tidak mau melakukan sebuah pelanggaran apapun. Saya hanya mau menolong orang yang kesusahan.  Tapi tidak mau menolong orang melakukan pelanggaran hukum.  Saya lalu bertanya kepada petugas, apa yang akan dilakukan oleh petugas terhadap ibu itu? Petugas tidak mau menjelaskan kepada saya. “Nanti  ibu akan tahu di sana saja” kata wanita cantik itu kepada ibu TKI itu tanpa menjawab kepada saya. Aneh juga!. Berala lama? Sejam? Dua jam? Sehari? Dua hari? Seminggu?  Aneh!. Petugas tetap menyuruh saya pulang saja dan jangan menunggu. Meyakinkan saya,bahwa ibu itu pasti akan diantarkan pulang.

Karena saya tahu ibu itu tidak membawa uang, lalu saya bertanya lagi kepada petugas, apakah Ibu itu nantinya perlu melakukan suatu pembayaran kepada petugas? Ibu itu  mengatakan bahwa ia  tidak punya uang jika harus membayar sesuatu kepada petugas. Mendadak saya lihat wajah wanita cantik itu berubah ketus dan suaranya kedengeran seperti membentak di telinga saya “ Nah itulah masalahnya, kenapa ibu tidak mebawa uang? Sudah berapa lama ibu bekerja ?” .  Ibu itu menjawab setengah menangis” Lima tahun”. Wanita itu bertanya lagi.  ” Mengapa lima tahun bekerja , tidak membawa uang?”. Gila!! Aneh banget sih menurut saya pertanyaannya.  Apa memang  harus begitu ya?  Saya bingung deh melihat pemandangan itu.

Ini baru pertamakalinya saya melihat adegan seperti ini. Saya melihat ke wajah ibu itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Sinar matanya penuh permintaan pertolongan kepada saya. Namun saya tidak bisa menolongnya. Karena saya juga tidak mengerti bagaimana aturan kepulangan TKI di negara kita.  Dan saya pikir, sebaiknya setiap warga negara harus  mengikuti peraturan yang berlaku. Saya urungkan niat saya untuk memberinya uang ala kadarnya untuk sekedar bekal. Karena saya takut nanti malah mempersulit keadaannya. Tapi saya merobek secarik kertas dan meninggalkan nomor telpon saya, seandainya ia masih ingin berteman dengan saya suatu saat nanti. Lalu saya mengucapkan selamat tinggal dan berdoa semoga semuanya berjalan baik-baik saja. Semoga negara memelihara dan melindunginya dengan baik.

Sayapun keluar.  Masih sempat saya mendengar suara petugas itu yang memerintahkan ibu itu untuk berjalan lurus terus sampai ke gerbang di mana ada tulisan “ Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Saya mendengarnya dengan getir. Mengapa pahlawan devisa diketusin ya?  Hati saya rasanya seperti teriris. Pilu.

Di perjalanan pulang, tatapan mata ibu itu terbayang terus di mata saya.  Saya baru saja menyaksikan sepenggal drama  kehidupan seorang Ibu yang berusaha membantu memecahkan kesulitan keluarganya dengan segala kepahitan dan kegetiran yang harus dijalaninya.  Seorang wanita yang mulia.

Tak terasa air mata saya meleleh …

Cendawan Goreng Di Atas Meja Makan.

Standard

Saya melihat sepriring cendawan goreng di atas meja makan. Rupanya pembantu rumah  yang bekerja di tempat saya menyiapkanya untuk teman minum teh.  Saya senang melihatnya.Bukan saja karena melihat warnanya yang kuning keemasan tampak garing dan krenyes kalau digigit, tapi lebih senang karena melihat prilaku pembantu rumah tangga saya itu. Read the rest of this entry

Waktu Yang Lebih Berkwalitas Dengan Anak Saat Si “Mbak” Tidak Ada.

Standard

Saat para asistent rumah tangga pada mudik lebaran, banyak diantara kita merasa betapa melelahkannya hidup tanpa mereka. Apalagi bagi ibu rumah tangga yang juga sekaligus harus mencari nafkah untuk keluarga.

Bagaimana tidak? Bangun harus lebih pagi dari biasanya. Masak untuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak dan suami, menyiapkan keperluan  seragam dan keperluan sekolah lainnya, menyapu dan merapikan rumah. Lalu buru-buru harus merapikan diri sendiri dan sim salabim harus merubah penampilan agar terlihat lebih resmi. Cantik dan professional dengan pakaian kerja. Di perjalanan masih membuka lap-top untuk mengejar utang  pekerjaan yang tak sempat dikerjakan  hari sebelumnya. Sampai di kantor menghadapi berbagai masalah dan target serta dead line yang tak pernah mengenal kata mundur.

Sambil bekerja, juga harus memastikan anak-anak ada  yang menjemput/ditebengin agar bisa pulang dan makan siang dengan baik. Malam hari pulang kantor, mampir dulu di pasar memebli keperluan dapur dan bahan makanan, lalu masak lagi untuk makan malam keluarga. Habis makan, harus periksa PR anak-anak , lalu kembali lagi ke lap-top untuk memastikan agar tak ada utang pekerjaan kantor yang tertinggal. Atau melihat cucian dan setrikaan, baru bisa mandi dan membersihkan diri sendiri agar bisa beristirahat atau menemani suami.  Walah! Serba salah. Kalau ditinggal kerja,  pekerjaan rumah sulit beresnya. Kalau cuti  juga salah, ntar pekerjaan kantor tak beres . Tentu beresiko terhadap performance diri kita sendiri dan bahkan terkadang merugikan perusahaan juga.

Syukur kalau punya suami yang mau mengerti dan bisa diajak berbagi pekerjaan. Misalnya kita bisa minta tolong suami untuk membantu membereskan rumah atau mencuci pakaian. Kan lumayan  mengurangi rasa remuk di badan. Namun terkadang ada juga teman yang mengeluh suaminya tidak mau tahu urusan rumah. Ada pembantu atau tidak, maunya semua urusan rumah beres tapi ia sendiri tak mau membantu. Nah, itu apes namanya.

Namun terlepas dari semua rasa letih itu, sebenarnya kalau kita pikir-pikir banyak hal yang menyenangkan justru bisa kita nikmati lebih baik saat pembantu rumah tangga tidak ada.  Setidaknya saya merasakan itu.

Misalnya adalah saat mempersiapkan makanan di dapur. Anak-anak saya yang biasanya hanya di kamar bermain atau membaca, semuanya pada ikut ke dapur. “Mau memasak!” kata anak saya yang besar dengan yakin, sementara yang kecil bermain dengan kucingnya di depan dapur. Iapun ikut menentukan masakan yang akan dimasak  malam itu. Mau membantu membersihkan dan memotong sayuran, memarut keju, mengocok telor di mangkok, belajar  memasak nasi dengan rice cooker dan sebagainya hingga membereskan piring kotor di meja makan. Semangat makannya meningkat. Anehnya, si kecil yang biasanya sulit makanpun ikut makan dengan lebih lahap. Anak-anak sangat senang dan memuji masakan mamanya. Iapun merasa bangga karena ikut terlibat dalam membuat masakan yang dianggapnya ‘sangat enak’ itu.

Berikutnya adalah saat mengisi waktu luang di sela-sela kesibukan rumah. Karena sepi, anak-anak jadi lebih sering berada di dekat kita. Ke ruang depan ikut. Ke halaman belakang ikut.  Juga ikut berbaring di tempat tidur dan minta kita mengulang-ulang dongeng yang lucu yang pernah kita ceritakan sebelumnya.  Senang membuatnya lebih banyak tertawa terbahak-bahak dan memeluk serta menghadiahkan ciuman untuk kita. Saya merasa kwalitas waktu saya bersama mereka jauh lebih baik dibandingkan biasanya. Karena kalau ada ‘Mbak’, selain meminta tolong kepada kita, anak-anak juga terdang meminta pertolongan Mbaknya. Sisi baiknya, kalau Mbaknya tidak ada, otomatis anak-anak hanya akan berada di dekat kita.  Terus terang saya merasa kwalitas waktu saya bersama anak-anak jadi membaik, walaupun dari segi kwantitas tetap sedikit.

Selain itu, dengan tidak adanya si ‘Mbak’ kita juga bisa manfaatkan untuk mengajak anak kita agar lebih mandiri, lebih bertanggungjawab dan lebih bertoleransi  dan rajin membantu orangtuanya yang sibuk. Hal yang positif untuk menemaninya bertumbuh.

Sekali-sekali hidup tanpa pembantu rumah tangga sungguh merupakan hal yang baik.  Tidak hanya bagi anak-anak, bagi kita sendiripun sebenarnya juga lebih baik. Kita menjadi semakin dekat dengan keluarga, semakin cepat berpikir mencari cara praktis dan cepat untuk mengerjakan beberapa tugas rumah maupun kantor sekaligus, belajar memberi prioritas pada setiap pekerjaan. Mana yang penting, mana yang kurang penting. Mana yang harus mana yang boleh belakangan. Dan bahkan juga bisa sekaligus kesempatan untuk memeriksa isi dapur, lemari piring dan sebagainya yang sebelumnya mungkin terlewatkan.

Saya sangat terkesan ketika tiba-tiba anak saya berkata “ Mam, ini namanya keluarga inti ya Ma? Cuma kita saja. Tidak ada Mbak, tidak ada yang lain-lainnya. Hanya Papa, Mama, dan dua anak .Sangat menyenangkan!” Kata anak saya. Saya tertawa. Tentu ia ingat tentang pelajaran sekolahnya saat di kelas satu tentang keluarga. Wah, ternyata anak saya menikmatinya. Itulah sisi positivenya.

Isah.. Kisah Pembantu Rumah Tangga Yang Tinggal Selama Seminggu.

Standard

Ada sebuah peristiwa yang sangat berkesan dalam hidup saya, yang memberikan saya kesadaran tentang keikhlasan dalam membantu sesama. Saya ingin share dengan teman teman, bukan dalam rangka membanggakan kedermawanan saya. Namun karena saya merasa kisah ini cukup aneh & menarik. Selain itu saya  juga ingin mengajak teman-teman ikut merenungkan soal pintu rejeki. Read the rest of this entry