When you see the road...
Kemarin saya ada urusan di tengah kota. Berangkatnya cukup lancar, tapi pulangnya itu. Lalu lintas macettttt. Cettt. Cettt. Parah deh. Tak banyak yang bisa saya lakukan, kecuali memandang ke luar jendela kendaraan di tengah kemacetan.
Seorang perempuan muda keluar dari sebuah gedung perkantoran. Perempuan itu berjalan menunduk, seolah kepalanya diganduli oleh berkilo-kilo beban. Bahu kirinya menyandang sebuah tas. Sementara tangan kanannya tampak menjinjing tas lap top. Saya memperhatikannya. Langkahnya tampak lesu. Barangkali pulang kerja. Lelah. Begitulah kesan yang saya tangkap. Ia berjalan dalam keremangan cahaya pinggir jalan. Sesaat kemudian saya tidak bisa melihatnya lagi karena sudah jauh.
Mata saya beralih pada gedung-gedung yang menjulang tampak megah. Kokoh laksana penguasa kota yang perkasa. Penuh dengan lampu terang benderang. Sebagian sudah padam. Namun sebagian besar lainnya masih menyala terang. Cayanya ada yang putih lembut, seperti perak, kuning, jingga terang dan bahkan ada juga cahaya biru ataupun merah dan hijau. Tampak indah. Inilah yang namanya Jakarta. Jakarta yang tak pernah tidur cepat.
Entah berapa banyaknya gedung pencakar langit yang bertebaran di kota ini. Puluhan? Ratusan? Siapa yang mencatat jumlahnya? Saya berhitung kasar di kepala saya. Satu gedung entah terdiri atas berapa lantai. Dua belas? Lima belas? Dua puluh lima?Tiga puluh? Bervariasi, tentunya. Jika setiap gedung sedikitnya menampung satu kantor per lantainya, berapa jumlah kantor atau perusahaan di Jakarta ini? Seberapa banyak bisnis yang bergulir dari gedung-gedung tinggi ini? Seberapa banyak tenaga kerja yang bisa diserap di sini? Tak mengherankan berbondong-bondong tenaga kerja datang ke kota ini. Mencari kerja.
“Sedemikian banyaknya lowongan kerja di Jakarta ini, masak satupun diantaranya tidak ada yang mau menerima saya bekerja?” barangkali itulah yang ada di dalam pikiran optimist para pemburu kerja dari seluruh Indonesia ini ke Jakarta. Termasuk diri saya. Datang ke Jakarta, laksana laron di musim hujan yang tertarik terbang mendatangi sumber cahaya.
Namun siapakah pemilik sumber-sumber cahaya yang banyak bertebaran itu? Siapakah para pemilik perusahaan yang kantornya terang benderang di gedung-gedung pencakar langit itu? Sangat banyak jumlahnya. Dan tentu saja saya tidak kenal orangnya. Saya hanyalah seorang karyawan. Seorang pekerja yang tertarik mendekat ke sumber rejeki di gedung-gedung yang banyak itu. Hanya seekor laron diantara jutaan laron yang terbang ke arah cahaya. Namun saya bukanlah sang pemilik cahaya. Lalu siapakah mereka itu? Siapakah mereka para sang pemilik cahaya?.
Sang pemilik cahaya adalah mereka, orang-orang super smart yang menemukan jalan bagaimana caranya membuat api dan cahaya. Bagaikan orang -orang purba menggosok keras bilah kayu dan menampung percikan apinya di atas dedaunan kering yang mudah tersulut, mereka berpikir dan berkreatifitas hebat di atas modal usaha yang mereka miliki. Mereka melihat jalan untuk menemukan modal usaha, layaknya mereka menemukan dedaunan kering. Mereka melihat jalan bagaimana cara menggosok dua bilah kayu kering agar terpercik api dan menyulut dedaunan kering itu. Mereka melihat jalan yang orang lain tidak melihatnya.
Sekali mereka menemukan jalan bagaimana cara membuat cahaya, maka mereka akan membuat dan membuat cahaya lagi di tempat lain. Sehingga mereka memiliki beraneka cahaya putih, perak, kuning, jingga, bahkan biru, hijau ataupun merah. Cahaya yang menarik para laron untuk terbang mendekat. Demikianlah sang pemilik cahaya bekerja.
Saya terkagum-kagum takjub sendiri memikirkan itu. Lalu apakah bedanya antara laron sang pencari cahaya dengan mereka sang pemilik cahaya? Apa yang menyebabkan mengapa segelintir orang bisa sukses di Jakarta, sementara sebagian besar lainnya tidak sukses, sehingga harus bekerja pada orang lain yang mau membayar upah atas pekerjaan, ide-ide dan kreatifitasnya?. Kapankah laron akan berhasil menciptakan cahayanya sendiri? Sehingga ia tidak perlu lagi terbang menyabung nyawa untuk menguber cahaya ?
Para laron tidak melihat jalan untuk membuat cahaya. Ia hanya melihat jalan bagaimana caranya menuju cahaya. Itulah sebabnya mengapa ia menjadi laron. Ia mungkin pernah mendengar bagaimana api diciptakan, tapi ia tidak tahu dimana mencari dedaunan kering yang mudah tersulut. Atau ia tahu di mana dedaunan kering banyak berada, namun ia tidak tahu cara memantik api. Atau barangkali ia pernah mencoba memantik api sendiri, namun tidak cukup kuat menggosoknya. Sehingga ujung-ujungnya ia memilih terbang ke arah cahaya. Saya jadi teringat kepada gadis muda yang berjalan di keremangan tadi. Ia serupa dengan diri saya. Ia mirip laron yang melihat jalan untuk terbang ke arah cahaya, namun belum menemukan jalan untuk membuat cahaya.
Lalu jika ada laron, apakah nun jauh di bawah sana, di dalam lubang-lubang tanah yang pengap ada juga para rayap pekerja yang tidak melihat cahaya? Ya…tentunya. Jika kita ibaratkan masyarakat kita serupa dengan koloni rayap, maka di sana banyak juga saudara-saudara kita yang bahkan tidak menemukan jalan bagaimana caranya terbang ke arah cahaya. Mereka belum mampu menemukan sumber rejeki. Masih menjadi pengangguran. Sehingga mereka masih berkutat dengan kemiskinan.
Jika hari ini kita melihat cahaya, tidak ada salahnya kita berusaha semampunya membantu orang lain yang berada di kegelapan agar ikut melihat cahaya dan melihat jalan bagaimana mencapai cahaya. Sambil barangkali berusaha mencari jalan untuk menciptakan sendiri cahaya. Sehingga semakin banyak lagi cahaya-cahaya yang bisa terlihat dan semakin banyak lagi orang-orang yang bisa melihat jalan menunju cahaya.
Selamat pagi teman-teman. Semoga selalu sukses dan terang benderang dipenuhi cahaya.
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi teman-teman yang menjalankannya.