Monthly Archives: February 2021

YANG TERLUPAKAN

Standard

Akhir pekan ini, dengan semakin membaiknya kesehatan, saya memberanikan diri keluar rumah untuk menengok anak saya di Graha Raya Bintaro. Tentunya dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Syukurnya baik-baik dan aman-aman saja, sekalipun sebagian besar Jakarta masih dikepung banjir.

Sepulangnya, sambil lewat saya mampir di tukang alat-alat berkebun untuk membeli pot bunga dan media tanah. Tokonya sepi, cuma ada saya dan 2 orang pedagangnya serta Mas Supir yang mengikuti saya dari belakang.

Setelah selesai dengan pilihan saya dan bersiap akan membayar, tiba-tiba ada orang lain yg masuk. Ooh.. pembeli baru. Seorang anak lelaki remaja sekitar 15 tahunan berbaju orange, dengan lelaki dewasa di belakangnya yang saya duga ayahnya. Ia berjalan masuk membawa buku tulis di tangannya, sambil ngoceh tak begitu jelas. Saya kurang memperhatikannya. Mungkin ia sedang membawa daftar catatan barang yang akan dibeli.

Saya pikir saya harus segera keluar untuk menghindari berdesak-desakan di toko yang sempit oleh penuhnya barang dagangan itu. Bagaimanapun di musim pandemik ini , saya tetap harus jaga jarak minimum 1 meter dengan orang lain.

Belum sempat mencari akal, gimana caranya keluar dari kerumunan ini, tiba-tiba anak remaja yang memegang buku itu memegang pergelangan tangan saya erat-erat. Saya kaget. Auduuuh… bagaimana ini. Saya berusaha menarik tangan saya. Tetapi semakin saya berusaha meronta, anak itu semakin kuat mencengkeram tangan saya. Astaga!!. Kuat sekali. Sekarang saya merasa pergelangan tangan saya bisa remuk oleh anak ini. Walaupun saya gendut, sumpah mati, tulang saya aslinya kecil-kecil. Bahaya ini, bisa patah!!!
Selain itu, saya tidak tahu apakah anak ini bebas dari Corona atau tidak. Saya merasa situasi saya sangat gawat. Saya tidak mengijinkan tangan saya disentuh oleh siapapun saat ini. Apalagi orang yang tidak dikenal.

Melihat itu, supir saya dan sang pedagangpun pun segera bergerak melindungi saya dan berusaha melepaskan tangan anak itu dari pergelangan tangan saya. Syukurlah akhirnya lepas.

Anak itu masih terus berusaha mengejar saya sambil menyodorkan buku dan pulpen. Saya bergerak mencari area kosong yang tak mudah dicapai anak itu. Dari seberang meja saya memandangnya berusaha untuk memahami apa yang sedang ada dalam pikirannya. Wajahnya seolah sedang memohon kepada saya. Anak itu sangat bersih, kulitnya putih dan mukanya kelihatan baik.

Dari raut wajahnya tidak ada niat buruk terhadap saya. Mungkin sebenarnya ia hanya ingin saya membantu dia melakukan sesuatu. Entah kenapa hati saya tiba-tiba menjadi trenyuh. Anak ini butuh bantuan. Bukan mau menyakiti saya. Sangat jelas ia ingin bersahabat. Mengapa saya harus menghindarinya, bathin saya berbisik.

Lalu sayapun memanggilnya untuk mendekat. “Sini. Sini. Kamu mau saya bantuin ngapain?” Tanya saya. Mukanya kelihatan riang. Ia menghampiri saya.

“Maaf Bu. Anak saya AUTIS ” kata pria yg rupanya memang bapaknya itu. Oooh… sekarang saya mengerti.

Anak autis sering hidup dalam dunianya sendiri, yg tidak bisa kita masuki. Barangkali saya ada di dalam dunianya sebagai teman atau mungkin orang dekatnya. Jadi saya pikir saya akan menerima persahabatannya jika begitu.

Anak itu menyodorkan buku dan pulpennya kepada saya. Saya mengajaknya duduk di bangku panjang yang ada di situ. Dengan bahasa yang tak jelas, ia meminta saya menulis kalimat di buku itu.

Saya bingung, harus menulis apa? Ia lalu memegang jari tangan saya dan pulpen, dan menuntun saya menulis. YANG TERLUPAKAN. Oooh…

Kelihatan wajahnya riang dan berseri. Saya ikut senang melihatnya riang.

Lalu saya diajak menerusksn menulis SHEILA ON SEVEN. Ia sangat senang. Saya merasa sangat terharu .

Lalu saya bertanya, “Siapa namamu? ” Anak itu tidak bisa menyebutkan namanya, walaupun bapaknya sudah memberi contekan, ” Il…. Il…”. Tak mengapa. Tapi anak itu terlihat sangat bahagia.

Bapaknya mengucapkan terimakasih kepada saya. Lalu sayapun pamit.

Di perjalanan, saya terbayang-bayang wajah anak itu. Mengapa anak itu meminta saya menulis Yang Terlupakan dan Sheila On seven ? Apa yg dipikirkannya ?

Mungkin anak itu penggemar Sheila On Seven dan juga penyuka lagu ” Yang Terlupakan”. Saya mencoba mencari tahu lyric lagu ” Yang Terlupakan”. Oooh…ternyata itu lagu milik Iwan Fals bukan Sheila On Seven.

“… rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah kumencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti…. “

Tak terasa saya meneteskan air mata saya. Hati saya tersangkut.

Bintaro. Kisahku hari ini.