Category Archives: Motivation

SUATU SIANG DI TOKO ROTI.

Standard

Kapan hari saya hendak menghadiri sebuah acara di tengah kota. Habis menengok anak seorang teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Acaranya akan dimulai jam 13.00.

Wah, saya belum sempat makan siang. Mampirlah saya di sebuah toko roti alias bakery di tepi jalan yang saya lewati. Salah satu bakery yang saya sukai.

Saya masuk ke toko ber-AC itu . Ummm…. segarnya. Terasa sejuk setelah sebelumnya saya tertimpa udara panas kemarau yang menyengat. Segera saya menuju tempat nampan dan penjepit makanan yang terletak tak jauh dari pintu masuk.

Tepat ketika saya mengangkat nampan, bahu saya didorong oleh seseorang dari belakang. Saya kaget. Rupanya seorang perempuan lebih muda dari saya baru masuk dan bergegas hendak mengambil nampan kue juga. Wajahnya cantik, dengan dandanan rapi, make up lengkap bahkan dengan bulu mata palsu, mengenakan pakaian dan sepatu yang saya rasa mahal harganya.

Sayapun mengalah dan mundur sedikit ke belakang arah samping agak menjauhinya. Saya pikir, mungkin ibu itu sedang perlu kue buru-buru.

Terlihat oleh saya ia mengambil penjepit makanan dari gantungannya dengan cepat. Tiba-tiba…Gedombrang!!!. Saya kaget. Mungkin karena ditarik dengan terburu-buru, beberapa penjepit makanan yang tergantung itu saling menyangkut satu sama lain dan jatuh ke lantai.

Sesaat saya hanya berdiri diam dan tidak melakukan apa-apa. Sementara pelayan toko yang berdiri agak jauh pun terlihat kaget dan menoleh ke arah saya dan ibu itu.

Saya sangka ibu itu akan meminta maaf pada pelayan toko dan mengambil kembali penjepit-penjepit kue itu dari lantai dan meletakkannya di atas meja. Tapi, lho?! Ternyata Ibu itu melenggang ke dalam begitu saja dan membiarkan penjepit-penjepit itu tetap berserakan di lantai. Oh ya sudahlah. Mungkin ia benar-benar terburu-buru, pikir saya.

Akhirnya saya bantu mengambil penjepit-penjepit itu dan mengumpulkannya di satu nampan, agar bisa dicuci oleh pelayan toko. Sudah jatuh di lantai yang mungkin sudah diinjak-injak sepatu pengunjung sebelumnya. Tentu kotor dan tak higienis jika digunakan oleh pembeli selanjutnya.

Saya dengar Ibu itu bertanya kepada petugas toko tentang nama kue ini apa, itu apa, isinya apa, mengapa yang ada hanya isi daging sapi, yang daging ayam mana, dan sebagainya dengan nada keras dan kuramg bersahabat.

Berikutnya ibu itu berteriak marah kepada pelayan dan berkomentar mengapa jumlah kue basah yang tersedia di toko ini sedikit sekali. Para pelayanpun dengan ekspressi sedikit takut menjelaskan bahwa, tinggal itu sisa kue basahnya, karena yang lainnya sudah terjual. Ibu itu kelihatan tidak puas akan penjelasan pelayan toko itu. Ia masih mengomel dengan nada tinggi. Dua orang pelayan toko yang ada di situ, kelihatan ngeper. Berusaha melayaninya dengan sesopan mungkin.

Setelah memilih beberapa kue, saya menuju kasir. Di sebelah counter kasir ada beberapa arem-arem yang dipajang. Ada yang isi ayam dan ada yang isi ikan. Saya mengambil sebuah arem-arem isi ikan dan menambahkan ke nampan. Akhirnya saya selesai memilih kue. Tinggal bayar.

Sayapun berdiri di depan kasir dengan nampan yang sudah berisi beberapa kue dan siap membayar. Tanpa disangka, tiba-tiba ibu yang tadi, menyenggol lengan saya dengan nampannya. Astaga! Ia menyerobot antrian saya dan langsung meletakkan nampannya sendiri yang penuh dengan kue di depan meja kasir di depan saya. Sang kasir tampak bengong melihat ke arah ibu itu.

“Saya duluan !!!!” Perintahnya pada kasir, tanpa memperdulikan saya.

Tampak sekali ia terburu-buru. Sebenarnya itu sungguh perbuatan yang tidak sopan sama sekali. Tapi okelah, pikir saya ibu itu mungkin memang terburu-buru karena takut telat datang ke sebuah acara yang entah apa. Saya memahaminya. Sebaiknya saya mengalah saja. Lagipula saya sedang tidak terlalu terburu-buru amat. Sayapun agak mundur dan kembali berdiri di depan pajangan arem-arem di sebelah kasir sambil menunggu.

Tanpa saya duga, tiba-tiba ibu itu kembali menyenggol lengan saya karena tergesa-gesa mau mengambil arem-arem yang di pajang persis di sebelah saya. Lho?! Ini main tabrak saja dengan gerakan yang tiba-tiba. Tidak memberi isyarat sedikitpun, boro-boro bilang permisi.

Sungguh saya heran. Padahal pengunjung toko hanya ada dua orang saat itu. Yaitu saya dan ibu itu saja. Dan tokonya juga luas. Harusnya ibu itu tidak perlu menyenggol saya sama sekali. Lha ini TIGA KALI lho! Pertama di dekat counter nampan dan penjepit kue. Kedua karena mau bayar duluan di kasir. Ketiga gara-gara mau ngambil arem-arem.

Mengapa harus begitu ya? Tapi ibu itu tidak peduli sama sekali. Aneh! Sungguh aneh!

Setelah kejadian itu, dengan nampan kue yang sudah ia letakkan di depan kasir agar kasir tidak mendahulukan meladeni pembayaran pembeli lainnya, saya pikir ia akan langsung membayar. Eeh, ternyata ia masih celingak-celinguk melihat-lihat roti lain dan ternyata belum siap membayar juga. Lha, maksudnya apa ini? Masak saya harus menunggu orang yang masih belum siap membayar?

Saya mulai merasa terganggu oleh gedubrak-gedubruk kelakuan tak jelas dari ibu itu. Rasanya ingin marah, tapi saya berusaha mengontrol emosi saya.

Syukurnya, tepat ketika saya akan menegur, sang kasir mulai menghitung harga kue saya di mesin kasir dan memberi saya kode mata seolah minta maaf dan meminta agar saya tak meladeni ibu itu. Perhatian saya jadi beralih ke kasir dan kemarahan sayapun mereda.

“Eh, saya yang duluan lho!!!” kata Ibu itu marah melihat kasir meladeni saya.

“Ibu ini yang sudah duluan siap membayar, Bu!” kata kasir itu dengan berani.

“Lagian saya sudah selesai. Ayo saya hitung punya Ibu sekarang, kalau ibu mau bayar sekarang” lanjut kata kasir, sambil memberikan uang kembalian kepada saya.

Tapi ibu itu malah pindah ke bagian rak roti yang lain dan memilih roti lagi. Tak peduli pada omongan kasir.

Sayapun menenteng tas kertas berisi kue dan meninggalkan toko roti itu. Dengan ekor mata saya masih sempat melirik ke ibu itu, karena penasaran. Apakah ia akan segera ke kasir untuk membayar?

Ah, bahkan setelah ditantang oleh kasir untuk membayar kuenyapun, ibu itu ternyata masih tetap melihat-lihat dan memilih-milih kue lain lagi. Jadi memang belum siap membayar. Aneh ! Dan dua orang pelayan dan seorang kasir di toko itu tampak masih tegang, bersiaga menampung omelan ibu yang marah- marah sejak baru masuk toko itu.

Saya keluar dari bakery itu. Dan berdoa dalam hati semoga ketiga karyawan toko roti itu bisa menangani konsumennya yang cerewet dan pemarah itu dengan baik.

Di halaman toko, terparkir sebuah kendaraan yang cukup besar dan kelihatan mewah. Besar kemungkinan adalah kendaraan Ibu itu. Karena saat saya masuk, kendaraan itu belum ada di sana.

Di jalan saya menceritakan tentang kejadian aneh yang saya alami di toko roti itu kepada Pak Supir yang megantarkan saya. Ia ikut heran akan apa yang saya ceritakan. Ia kurang memperhatikan ibu itu saat keluar dari kendaraannya di parkiran. Namun menurut Pak Supir kendaraan ibu itu adalah Hyundai Santa Fe yang harganya lumayan mahal.

“Padahal orang itu tentu orang yang berpendidikan ya kan, Bu? Mengapa begitu kelakuannya?” tanyanya.

Tapi mengapa tidak mememiliki budi pekerti yang baik dan sopan santun sedikitpun?

Memiliki harta yang banyak dan pendidikan sekolah yang tinggi, tidak serta merta menjamin seseorang itu memiliki budi pekerti yang baik dan menjalankan dharma alias kebaikan dalam tingkah lakunya sehari-hari.

Saya tidak bisa menjawab pasti apakah ibu itu berpendidikan tinggi atau tidak. Tetapi jika menilik dari dandanan, tampilan dan kendaraannya, tak pelak ia seorang wanita yang berada. Dan karena berada, besar kemungkinan ia mampu membayar pendidikan hingga ke jenjang tinggi. Yaah… secara tidak langsung bisa disimpulkan sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi.

Peristiwa itu seolah menjadi pengingat bagi diri saya sendiri, agar selalu bersikap sopan dan santun di situasi apapun dan di manapun. Dan memastikan agar orang lain di sekitar merasa tetap nyaman dan tak terganggu oleh perbuatan dan sikap kita yang kurang menyenangkan.

SEDEKAH AIR.

Standard

Sementara beberapa teman sudah mengumumkan hujan pertama telah jatuh di wilayahnya, di tempat saya bisa dibilang hujan belum turun sama sekali.
Sempat ada gerimis super tipis yang hanya turun setetes dua tetes, lalu hilang dalam hitungan semenit.

Mendungpun yang sempat sekali dua kali terlihat menggantung di langit, dengan cepat diterbangkan angin entah kemana. Walhasil, wilayah tempat saya masih tetap kemarau. Kemarau yang sungguh panjang.

Taman perumahan kering kerontang, dengan rumput dan perdu yang coklat layu dan bahkan gosong di bawah terik matahari. Udara terasa panas  di 36° – 37°C.  Tanah pada retak-retak akibat saking lamanya tak tersiram air.

Pagi hari ketika saya berjalan pagi, saya melewati sebuah rumah tetangga yang menarik perhatian saya. Di samping rumah itu, saya selalu melihat ada sebuah galon air minum.  Dan di dekatnya ada tulisan untuk mempersilakan kepada siapa saja orang yang lewat untuk mengambil air minum itu jika haus.

Penyediaan air minum itu sudah sejak lama saya lihat di situ. Ada petugas  kebersihan perumahan yang kelelahan dan kehausan saya lihat mengambil air minum itu dan meneguknya dengan wajah lega. Beberapa minggu sebelumnya saya juga melihat ada seorang tukang tahu keliling berhenti di situ dan mengambil air minum itu. Juga seorang pejalan kaki yang melintas, pernah saya lihat mrngambil air minum itu.  Intinya memang air minum itu sangat berguna untuk sesama yang sedang kehausan. Terutama saat kemarau begini.

Pemilik rumah ini sungguh orang yang berhati mulia. Inisiatofnya dengan menyediakan air minum bagi orang ya g membutuhkan sungguh hal yang patut dipuji. Saya tidak tahu berapa banyak ia mengeluarkan dana untuk sedekah air ini. Setidaknya jika  1 galon air habis dalam 2 hari  mungkin ia  membeli 15 galon air setiap bulannya untuk didermakan.  Saya angkat topi untuk tetangga saya yang mulia ini.

Dari depan rumah itu saya melanjutkan perjalanan pagi says. Ketika melintasi pojok timur laut perumahan,  dimana ada sebuah taman kecil yang rumputnya  juga tampak  kering kerontang, saya melihat seorang bapak tua sedang memikul dua ember  berisi air.

“Olah raga, Bu” Sapa Bapak itu.  Saya berhenti sejenak.
“Iya, Pak. Jalan pagi”. Jawab saya.

Bapak itu tampak menyiram pangkal tanaman mangga yang kelihatannya layu. Seingat saya tanaman itu baru ditanam tidak lebih dari setahun yang lalu di taman perumahan ini.  Harusnya tukang taman memelihara dan menyiramnya. Tapi melihat sedemikian banyaknya tanaman yang layu dan rumputpun sudah pada mati,  saya rasa taman ini sudah tidak disiram dalam waktu cukup lama.
“Rajin sekali, Pak” komentar saya mrlihat Bapak itu menyiram , berpibdah dari satu tanaman ke tanaman lain.

” Ya  Bu. Kasihan tanamannya layu. Takut mati. Kelihatannya sudah lama tidak disiram tukang taman. Jadi saya siram sajalah. Kasihan ” katanya.

Saya melihat sebuah tanaman sirih gading yang merambat di pohon palem juga mulai layu. Sudah pasti tanaman ini akan mati, jika tidak ditolong oleh Bapak itu dengan menyedekahkan air dari halamannya 

Sungguh Bapak yang berhati mulia, yang jiwanya penuh kasih terhadap sesama mahluk.

Sambil berjalan, saya mikir bahwa ternyata ada banyak orang baik di sekeiling saya.

KEMBANG GEDANG.

Standard

Belakangan ini bersliweran di Sosial Media, lagu Kembang Gedang yang dinyanyikan oleh Pak Presiden Jokowi. Saya tidak tahu apakah lagu itu memang asli dinyanyikan oleh Pak Jokowi atau hasil kreasi orang kreatif mengolah vokal Pak Jokowi dengan menggunakan aplikasi ataukah teknologi Artificial Inteligent. Entahlah.

Apapun itu, suara Pak Jokowi terdengar asli banget. Dan yang jelas lagu itu sangat menarik dan mudah didendangkan oleh banyak orang. Termasuk oleh saya, salah satu yang juga tanpa sadar ikut mendendangkan lagu Kembang Gedang ini.

“Kembang gedang digongso neng wajan
Yen ra gosong iso kanggo sarapan
Melu bungah nyawang suksese liyan
Mugo-mugo kabeh do keduman…”

Walaupun saya lahir dan dibesarkan di Bali, tapi entah kenapa saya merasa langsung paham 100 % isi kalimat-kalimat di dalam lagu yang berbahasa Jawa itu. Mungkin karena banyak sekali persamaan kosa kata Bahasa Bali dengan Jawa. Walaupun kadang kebolak-balik soal halus kasarnya. Tapi tak masalahlah. Yang penting tahu artinya saja.

Saya terbayang seonggok Kembang Pepaya yang sedang dimasak di penggorengan dan kemudian dijadikan sarapan. Hmmm…pahit-pahit sedap gimana gitu 😋😋😋

Sayapun berdendang dan bergumam kembali dengan lagu Kembang Gedang ini. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan sambil selalu membayangkan Sayur Kembang Pepaya nan uenaak tenan itu. Sering tanpa sadar saya menggumamkan lagu itu.

Suatu kali, sambil tetap membayangkan enaknya Sayur Kembang Pepaya itu, saya kepikiran untuk memastikan satu per satu kebenaran arti kata-kata dalam lagu Kembang Gedang itu. Sayapun ngobrol dengan Pak Supir yang pagi itu mengantarkan saya berangkat ke bandara. Beliau orang Jawa. Pasti lebih paham arti lagu ini.

Belum sempat saya menanyakan artinya, tiba-tiba saya sadar, bahwa kalimat pertama di lagu itu rupanya saya salah menterjemahkan.

Astaga!! Saya baru ingat jika “Gedang” dalam Bahasa Jawa berbeda artinya dengan Gedang dalam Bahasa Bali.

Gedang dalam Bahasa Jawa artinya Pisang. Kembang Gedang itu adalah Jantung Pisang. Jadi yang dimaksud di dalam lagu itu adalah Sayuran yang terbuat dari Jantung Pisang.

Sedangkan di dalam Bahasa Bali, Gedang itu artinya pepaya.jadi Kembang Gedang adalah Kembang Pepaya.

Waduuuh, rupanya selama sebulan dua bulan ini otak saya menggunakan Bahasa Jawa dengan template Bahasa Bali 🤣🤣🤣.

Karrna Gedang dalam Bahasa Bali berarti Pepaya, itu sebabnya ketika mendengar kata Kembang Gedang otak saya mengira itu Bunga Pepaya.

Jadi beda ya? Yang dimaksud Sayur Jantung Pisang, tetapi yang disangka Sayur Kembang Pepaya. Wk wk wk…
Beda jauh. Walau sama-sama enak sih 😋😋😋

Sayapun menceritakan kesalahan pikiran saya itu ke Pak Supir yang ikut tertawa mendengar cerita saya.

Hingga siang dan mendarat di Denpasar, saya tetap merasa geli akan ke-sok tahu-an saya.

Ketika kita merasa tahu akan satu hal, seringkali kita mengeneralisir menyangka kita tahu semuanya. Padahal tanpa kita sadari, ada banyak hal yang kita tidak ketahui, ataupun kita kurang teliti yang bisa saja membuat kita salah, akibat kesok-tahuan kita.

PENARI YANG KABUR DARI PANGGUNG.

Standard
Ni Made Sri Andani – menari Topeng Tua.

Seorang kakak saya berkomentar di Sosmed, di foto saya yang sedang menari.

“Aniii….nu lana ingetanga igis-igis. Awas, dasaanè ngalaib ka sisi (malipetang) 🤣🤣”

Artinya kurang lebih, “Waaah… masih ingat (menari) juga rupanya dikit-dikit, ya. Awas, jangan sampai kabur & balik ke belakang panggung lagi 🤣🤣”.

Begitu komentarnya dalam bahasa Songan, sambil tertawa.

Note: Bahasa Songan adalah bahasa yang dicakapkan masyarakat Bali Mula di pegunungan Kintamani. Ada sekitar 40% perbedaan kosa kata dengan Bahasa Bali biasa.

Saya 🙄 🤣😂😍

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya ini menari sejak kecil. Selain tari pendet, panyembrama, tenun, margapati, panji semirang, nelayan, legong keraton, wiranata, oleg tamulilingan, saya mempelajari tarian laki-laki juga, seperti Tari Baris, Tari Jauk Keras, Tari Jauk Manis, dsb.

Suatu ketika, ada upacara di desa Songan. Bapak memberitahu jika malam nanti saya dan saudara-saudara akan ngayah menari di halaman pura. Ngayah artinya, melakukan pekerjaan di Pura (misalnya bersih-bersih, membuat banten, menari, mekidung, dsb) tanpa bayaran.

Pada jaman itu, jika di pura akan ada tari-tarian, maka halaman pura yang tadinya kosong, maka akan disulap dan didandani, dijadikan kalangan (panggung pertunjukan).

Kalangan, atau arena panggung akan dibuat dengan menancapkan tiang-tiang bambu membentuk ruang persegi panjang yang juga dibatasi lagi dengan bambu di sisi kiri, kanan dan depan untuk mencegah penonton merangsek masuk ke dalam kalangan. Dihiasi dengan janur dan pelawa (hiasan dedaunan) dan di atapnya digantungi dengan tamiang dan hiasan janur serta bunga lainnya. Sebagai alasnya diletakkan tikarr- tikar daun pandan yang berfungsi sebagai karpet, di mana penari akan menari di atasnya. Butuh cukup banyak tikar yang dusambung-sambung untuk menutupi selurih Kalangan, mengingat ukuran tikar biasanya hanya sepesekian dari ukuran Kalangan. Di sebuah ujung Kalangan, akan dipasang Langsè, sejenis gorden besar dan tinggi yang dibelah dua di tengah-tengah, darimana nantinya penari akan muncul dengan cara membuka Langsè itu.

Nah sekarang waktunya saya menari. Gamelan Jauk Keras telah berbunyi dengan kencang dan irana yang sangat cepat.

Pak dug pak dug pak dug.. Jreng!!!
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong 🎶🎶

Saya menarikan Tari Jauk Keras yang menggambarkan seorang penguasa yang penuh semangat, namun cenderung ambisius, kasar dan arogan. Tari ini menggunakan Topeng yang wajahnya berwarna merah.

Saya pun membuka Langsè, mulai membawakan bagian pembukaan dari Tari Jauk ini. Melihat penonton yang sangat banyak dari balik mata topeng yang saya kenakan. Gerakan tari ini sejak awal memang sudah sangat dinamis, cepat dan penuh tenaga. Lalu saya bergerak dan bergerak terus semakin ke depan mengikuti irama gamelan.

Setelah beberapa gerakan pembuka, sekarang tarian memasuki fase pengawak, alias ” Mapang” , dimana gerakan di fase mapang ini adalah gerakan yang paling keras dan kencang. Entah kenapa, mungkin karena pandangan dari balik topeng sangat sempit, saya kurang memperhatikan ke bawah, eeeh.. kaki saya yang tanpa alas, tersangkut di salah satu ujung tikar daun pandan yang dijadikan alas menari.

Waduww, kacau!!!. Saya kehilangan fokus. Perhatian saya terpecah ke kaki yang terasa sedikit perih. Ketika saya hendak kembali menari, tiba-tiba saya tidak bisa mengingat sampai di mana gerakannya tadi. Sementara musik terus berjalan dengan sangat keras dan bising.

Tari Bali adalah tari yang ketat. Antara gamelan dengan gerakan harus menyatu. Kapan harus menggerakkan tangan, kapan harus menggerakkan kaki, leher, kepala dan sebagainya tidak bisa seenak udel.
Astaga! Saya tidak bisa mengingatnya, kalau gamelan ini gerakannya harus bagaimana ya.

Dan saya benar-benar nge-blank!!!

Karena merasa malu terdiam terlalu lama di panggung tanpa mampu mengingat kembali gerakan, akhirnya saya memutuskan untuk lari, kabur, masuk kembali ke dalam langse.

Penonton pada bengong semuanya. Demikian juga tukang gamelan. Mereka pun menghentikan gamelannya. Dan heran, apa yang terjadi ?

Di belakang panggung, Bapak saya memenangkan dan membesarkan hati, setelah tahu mengapa saya kabur dari panggung. Karena kaki saya tersandung dan saya tak bisa fokus pada gerakan tariannya, dan tiba-tiba nge-blank tidak bisa mikir. Saya malu.

Kegagalan adalah sebuah hal yang biasa dalam hidup. Bukan untuk dirutuki dan untuk membuat kapok tak mau mencoba lagi. Kegagalan justru harus dipelajari, agar kita bisa melakukan perbaikan berikutnya. Anggap saja latihan.

Sesaat kemudian setelah saya tenang, Bapak saya menawarkan apakah saya mau mengulang lagi menari dari awal. Saya mengangguk. Saya harus mengulang lagi menari dan membuktikan kepada penonton, bahwa saya memang bisa menari.

Gamelan terdengar lagi, dan sayapun menari kembali. Melupakan kegagalan yang pernah saya alami. Saya bertekad untuk sukses. Dan saya berhasil menunjukkan kesuksesan menari malam itu.

Sayapun terus menari.

WERDHA LUMAKU

Standard

Sebuah puisi, karya Ni Made Sri Andani.

WERDHA LUMAKU.

Prajurit Tua
Terbangun dari duduknya
Memandang ia ke sekitar
Menyadari
jika puncak telah terlampaui
Lewat pendakian panjang
Menebas hutan semak belukar
Mengarungi lautan bergolak
Gurun tandus nan memanggang
Jalan berliku dan jurang terjal
Semua telah ia lampaui

Ooh prajurit tua
Telah ia jalani kehidupan
Menyesap segala rasa
Melukis dengan segala warna
Menggores segala bentuk dan grafis
Melampaui rasa nikmat, amarah dan ketakutan

Ia telah mengintai di semak belukar
Beribu-ribu jam lamanya
Mengatasi rasa sakit, terhina dan tefitnah
Menikam batalyon demi batalyon musuh hingga menyerah
Bertekuk lutut tak berdaya

Prajurit tua
Sekarang mengamati keriput di tangannya
Mata yang merabun
Rambut yang memutih

Benar !!!
Waktu telah merentakan tubuhnya
Penyakit telah melemahkan lututnya
Encok dan asam urat
Memperlambat langkahnya
Namun
Tiada yang mampu
merampas semangat juangnya

Lelaki tua yang tak pernah menyerah
Berkata ia kepada prajurit muda
Janganlah engkau menyerah sekarang
Setelah berjalan ribuan kilometer
Tanpa menyadari jika kesuksesan cuma tinggal sejengkal lagi di depanmu

Namun
Janganlah jua engkau berfokus diri
Pada kesuksesan duniawi
Tanpa menjunjung tinggi
Nilai-nilai kehidupan

Lelaki tua
Memandang ke belakang
Sekali lagi berkata pada prajurit muda
Yang terpenting dalam kehidupan
Bukanlah harta kekayaan
Tapi
Persahabatan
Kepercayaan
Rasa kemanusiaan
Empati dan Kasih Sayang
Serta Kejujuran.

Aku berbicara kepadamu
Bukan karena lebih pandai
Namun
Karena aku lebih dahulu
Lahir ke dunia ini.

Bintaro, Juni 2023.

Penciptaan puisi ini terinspirasi dari tari ” TOPENG TUA” yang mengisahkan seorang Ksatria di masa tuanya.
Saya sangat menyukai karakter Topeng Tua itu, sehingga darinya saya menuliskan puisi ini, yang saya bacakan dalam mengisi Pentas Seni, “Merengkuh Bumi” di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Jakarta, pada hari Minggu siang, tanggal 11 Juni kemarin.

Ni Made Sri Andani, membacakan puisi Werdha Lumaku di Taman Ismail Marzuki.

Tampil di Pesta Seni, “Merengkuh Bumi”, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Standard
Ni Made Sri Andani, membawakan tari TOPENG TUA, di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Jakarta
Ni Made Sri Andani, membacakan puisi sambil menari dan diselingi dengan menembangkan lagu traditional Bali. Pelestari Budaya Traditional Bali.
Di belakang panggung.
Yanuar, Deka, Lukman dan Budi membawakan tari Mambri dari Papua, dalam Pentas Seni “Merengkuh Bumi”, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Pada hari Minggu tanggal 11 Juni yang lalu, dalam Pentas Seni ,”MERENGKUH BUMI” di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI di Jakarta, saya membawakan TARI TOPENG TUA, sebuah tarian traditional Bali yang menceritakan semangat seorang lelaki ksatria di masa tuanya. Dalam kesempatan ini, saya mengajak beberapa orang sahabat saya, Yanuar, Deka, Lukman, Budi, Sri, Cory dan Miyati untuk ikut tampil bersama. Mereka membawakan Tari Mambri dari Papua.

Selain menari, saya juga membacakan puisi karya saya sendiri yang berjudul “WERDHA LUMAKU”. terinspirasi oleh tokoh Topeng Tua itu sendiri.

Di panggung itu, saya juga mengambil kesempatan untuk memperkenalkan tradisi lisan di Bali melalui pupuh Sinom dan Bungkling, serta tangga lagu traditional gending LEGOD BAWA.

PUPUK UREA YANG HILANG.

Standard

Ini kisah pagi minggu yang lalu.
Saya sedang semangat merapikan tanaman di halaman. Pasalnya sejak beberapa bulan, tanaman-tanaman hias ini tidak pernah saya sentuh. Banyak yang sudah berubah bentuk.

Ada Sirih gading yang sudah menjalar kemana-mana Ada Singonium yang sudah merambat keluar dari potnya. Ada beberapa tanaman Spider Plant yang berpuluh-puluh anakannya sudah menggantung harus segera dipisah.

Pot & media tanam sudah saya beli minggu yang lalu. Hari ini tinggal memisahkan anakan tanaman-tanaman ini dari indukannya ke pot-pot yang baru.

Saya ada juga membeli 2 kg pupuk urea dan 2 kg pupuk npk. Eeh, tapi di mana ya?

Saya cari-cari di tempat pot tidak ada. Di belakang bale tempat biasa menyimpan peralatan tanaman, juga tidak ada. Di laci teras belakang juga tidak ada. Hmmm…di mana ya?

Barangkali di rak barang-barang yang digudangkan. Tidak ada juga! Di mana ya?
Suami saya dan Bapak Supir yang kebetulan ada di rumah juga ikut membantu mencari-cari, tapi tidak ada. Adduhh…di mana ya. Kalau barang-barang itu hilang, lumayan juga ya. Soalnya bukan hanya pupuk urea dan npk, tetapi ada juga gunting dahan yang baru dan sekop kecil. Duuhhh!

Lalu saya mulai nge-chat Mbak yang biasanya membantu pekerjaan saya di rumah, yang kebetulan hari ini nggak masuk. Barangkali beliau tahu. Lama, belum dibalas juga.

Melihat kegelisahan saya, suami mulai bertanya, apa mungkin ketinggalan di toko? Lupa tidak terbawa? Ooh ya!. Bisa jadi juga sih. Saya lalu bertanya, siapa yang menurunkan barang-barang itu dari kendaraan ya?

“Saya !”Kata Pak Supir sambil tersenyum.

“Lha? Terus nggak lihat ada pupuk, gunting dan sekop kecil?”

“Guntingnya warna apa, Bu?

“Merah putih. Sekopnya warna hijau”

“Saya lihat ada gunting, Bu. Tapi warna kuning”

“Lha, bukan yang itu”

Pak Supirpun tertawa dan kembali ikut bingung mencari-cari. Tapi pupuk, gunting dan sekop itu tetap tidak ada.

“Kalau tidak ada di kendaraan, berarti memang ketinggalan di toko” , komentar suami saya.

Saya coba mengingat-ingat . Ya. Barang-barang itu, pupuk, gunting dan sekop kecil memang terpisah dari pot dan media tanam. Karena tempat displaynya di dekat kasir. Sedang pot dan media tanam ada di bagian depan toko yang luas itu Saya jadi ingat, barang-barang yang tidak ketemu itu saat diletakkan di meja kasir.

“Kita tanya saja ke toko. Mungkin ketinggalan di situ. Kan tokonya dekat ini” saran suami.

Oh ya, sebenarnya bisa saya telpon ke toko. Struk pembeliannya masih ada di dompet. Mungkin ada nomer telpon tokonya di situ. Ah, benar. Ada nomer telpon call centernya.

Sayapun menelpon. Menceritakan bahwa minggu yang lalu saya membeli beberapa pot, media tanam, pupuk, gunting dahan dan sekop. Tapi pupuk, gunting dan sekop saya ketinggalan di meja kasir.

Sang penerima telpon menanyakan siapa kasirnya saat itu. Saya lihat di struk pembelian, nama kasirnya adalah Agil. Lalu beliau memberikan nomer Agil dan mempersilakan saya menghubungi Agil secara langsung. Ah, senang hati saya.

Sayapun langsung menelpon Agil. Tidak diangkat. Coba telpon lagi tidak diangkat. Telponnya tidak aktif. Akhirnya saya nge-chat Agil. Setidaknya, nanti jika beliau sudah aktif, chat saya terbaca olehnya.

Isi chat saya, bahwa saya adalah ibu yang berbelanja pot, dan keperluan kebun lainnya minggu lalu, saya ketinggalan sebagian barang belanjaan saya di meja kasir. Lalu saya detailkan apa saja barang yang tertinggal. Hingga setidaknya 7 baris panjang chat saya.

“Sudah saya chat” kata saya kepada suami dan Pak Supir dengan perasaan lega.

Saya membayangkan kembali kejadian-kejadian yang berlangsung di toko itu. Rasanya seperti menonton film.
Saya melihat diri saya sedang membayar di kasir. Agil memasukkan kode barang ke dalam mesir kasir, sementara saya berdiri di depannya. Pupuk urea 2 kg. Pupuk NPK 2 kg. Bibit ketumbar 1 pack. Gunting dahan 1 bh. Sekop kecil 1 bh. Agil memasukkannya sambil menumpuk barang-barang itu di meja kasir.

Lalu Agil meminta Salesman toko yang melayani saya untuk membacakan jenis-jenis pot yang saya dan suami saya beli saat itu, lalu saya menyebut 4 karung media tanam. Saya membayar sejumlah yang disebutkan.

Agil memasukkan pupuk, benih, sekop dan gunting itu ke dalam sebuah plastik besar lalu mengasongkannya kepada saya.
Lalu Agil menyuruh Salesman itu untuk mengantarkan pot-pot ke kendaraan saya. Dan juga meminta Salesman untuk mengambilkan 4 karung media.

Saya melihat diri saya berjalan keluar dari pintu toko, melintasi tumpukan display pot-pot di bagian depan toko lalu menuju ke kendaraan. Suami saya yang berdiri di dekat kendaraan segera mengambil alih bungkusan tas plastik yang saya bawa lalu berkomentar,

“Wow! Berat juga ini. Harusnya jangan ngangkat yang berat-berat begini” kata suami saya.

“Ya. Paling tidak 4 kg beratnya. Itu pupuknya saja. Belum yang lain-lain” jawab saya.

“Ya. Makanya jangan angkat-angkat yang berat begini. Harusnya tadi minta tolong Salesmannya saja yang ngangkatin. Ntar kan bisa kita kasih uang” omel suami saya.

Lalu ia mengangkat plastik itu dan meletakkannya di bagasi kendaraan. Saya lihat, setelah itu saya masuk ke dalam kendaraan dan tidak lagi memperhatikan salesman yang mengangkat pot dan media tanam.

Setelah memutar ulang kejadian itu di kepala saya, saya ingatkan kembali ke suami saya bahwa ia menerima plastik berisi pupuk itu dan berkomentar jika itu terlalu berat buat saya. Nah sekarang ia ingat. Pupuk itu sudah masuk kendaraan. Tapi sekarang sudah tidak ada di kendaraan. Artinya pasti sudah ada di rumah, walau entah di mana diletakkan oleh entah siapa.

Tepat ketika suami saya mengatakan ia ingat akan kejadian itu, tiba-tiba terdengar notifikasi di WhatsApp. Balasan chat saya dari Mbak yang setiap hari membantu pekerjaan rumah tangga

” Ibu, pupuknya saya taruh di dalam box di bawah keranjang setrikaan”.

Lah, baru jawab. Setelah sejam lebih terjadi drama yang heboh. Dan ternyata pupuk itu memang ada di dalam box di bawah keranjang setrikaan.

Waduuuh…
Bagaimana ini? Mana sudah melayangkan complaint ke pihak toko peralatan tanaman pula.

Cepat-cepat saya menelpon customer servicenya kembali. Mengabarkan jika pupuk-pupuk itu sudah ditemukan di rumah saya dan saya meminta maaf atas kesalahan saya yang sudah komplain padahal saya yang kurang teliti dan kurang sabar dalam mencari tahu.

Demikian juga pesan chat yang saya kirim ke Agil. Untungnya belum dibaca oleh Agil. Cepat-cepat saya delete semua. Aduuuh, maaf. Maaf.

Saya menegur diri saya sendiri ,” Lain kali, periksa dan teliti dulu diri sendiri dan pastikan tidak ada yang salah di pihak kita, sebelum menyalahkan orang lain.
😢😢😢

DRIVER DENGAN KAKI YANG DIAMPUTASI.

Standard

Jam makan siang tiba.
Saya jadi ingat kejadian kemarin, di jam makan siang yang sama.

Saya memesan Ayam Bakar lewat aplikasi online Go Food. Setelah sedikit chit-chat dengan Kakak Driver, tak berapa lama, saya melihat di status bahwa makanan sudah siap dan Kak Driver yang mengantarkan juga sudah dekat.

Saya memutuskan untuk turun dan mengambil sendiri makanan pesanan saya itu. Di lift, saya sempat melirik ke aplikasi dan terlihat bahwa Kakak Driver posisinya sudah di gedung tempat saya berada. Melangkahlah saya keluar dari lift dan menuju ruang depan lobby, dimana biasanya para Driver Go food atau Grab food menunggu.

Begitu pintu kaca lobby saya buka, beberapa drivers online food yang duduk menunggu serta merta menyapa saya.
“Mbak Shanti, bukan?” Saya menggeleng. Bukan.

“Bu Bintang ya?” Driver yang lain menebak. Saya menggeleng. Bukan.

” Kak Yunita, bukan?” Driver yang lain lagi bertanya.

Saya menggeleng, dan tetap menggeleng ketika para drivers itu lanjut gantian bertanya. Tak ada satupun yang menyebut nama saya.

Mata sayapun menyapu bungkusan makanan yang dibawa masing-masing kakak drivers itu. Dari beragam resto dan tempat makan, mulai yang terkenal hingga tak ada merknya.

Saya jadi teringat, driver yang mengantarkan pesanan makanan saya ini mesti membawa makanannya dlm bungkusan plastik merah. Karena, beberapa kali saya pernah mengorder dari resto ini, tas plastiknya selalu berwarna merah. Tapi memang tidak ada seorangpun dari driver ini yang menenteng tas plastik merah. Besar kemungkinan memang drivernya belum sampai di situ.

Kembali saya melirik aplikasi. Dan kembali menemukan bahwa driver sudah tiba di gedung ini sejak tadi. Kemana gerangan beliaunya? Saya mencoba mencari-cari tapi tidak ketemu.

Kembali lagi beberapa drivers yang berkerumun di situ menyapa saya. Mencari siapa, order makanannya apa, dari resto apa. Dan kembali lagi mereka kecewa, karena mereka bukan orang yang saya cari.

Saya kembali clangak-clinguk mencari-cari. Sangat yakin bahwa Sang Driver ini sudah tiba di gedung ini, tapi kemana ya?. Saya menduga barangkali ia berusaha nyari-nyari saya juga, cuma belum ketemu. Apa mungkinkah dia ke toilet dulu membawa serta makanan saya ke toilet juga ? 😀. Ha! Itu pikiran buruk. Ah, mengapa tidak saya telpon saja? Ya bener. Harusnya saya telpon saja.

Tepat ketika saya mengangkat telpon ke dekat telinga, tiba-tiba saya melihat seorang driver datang tertatih-tatih , berjalan pelan dengan tongkat untuk membantunya berjalan. Jalannya sangat pelan. Dan ia membawa bungkusan dengan platik merah.

Sesaat saya termangu. Ini adalah driver yang mengantarkan pesanan makanan untuk saya. Karena plastiknya merah. Pantesan nyampainya telat di lobby. Rupanya ia tidak bisa berjalan seperti layaknya orang lain. Tetapi mengapa dia berjalan dengan bantuan tongkat?

Ia terus berjalan mendekati saya. Dan berencana untuk naik tangga beberapa tingkat, karena saya berada di depan lobby yang posisinya lebih tinggi setara dengan 1/2 lantai dari posisi driver itu. Setidaknya ia harus naik 6- 7 anak tangga.

Sayapun tersadar seketika. Dan memberi kode meminta agar ia jangan naik. Biar saya saja yang menjemput turun. Sayapun menuruni tangga dengan cepat. Mengambil makanan pesanan saya. Melirik kakinya sepintas. Terbalut perban, kelihatannya diamputasi sebelah. Saya tak berani melirik terlalu lama. Banyak hal berkecamuk di pikiran saya. Bagaimana ya caranya dia naik sepeda motor dengan kaki seperti itu?

Hidup ini walau banyak memberi harapan, kebahagiaan dan hiburan, tetapi sering juga memberi tantangan untuk dihadapi dan ditaklukan. Ketika kita dalam situasi harus menghadapi bagian yang menantang itu, kita memberikan reaksi yang beragam. Ada yang pasrah, menyerah arau ada juga yang terus berjuang untuk menaklukannya. Jika kita perhatikan sekeliling di sekitar kita, kebanyakan malah mungkin mengeluh, menyerah dan menyalahkan nasib ataupun orang lain.

Tapi kali ini, saya melihat perbedaan…
Apa yang saya saksikan di depan mata saya ini sungguh berbeda. Seorang pria, dengan kondisi kaki yang teramputasi, tidak menyerah hanya berdiam diri di rumah, atau hanya berbaring di tempat tidur saja dan tidak berbuat apa-apa. Ia tetap berjuang dan menjalani kehidupannya seperti orang lain yang normal, walau dalam keterbatasannya. Ia tetap bersemangat.

Hidup seolah memberi contoh kepada saya. Orang yang memiliki keterbatasan fisik saja terus semangat dan berjuang untuk hidupnya, mengapa saya yang masih dikaruniai anggota tubuh yang lengkap masih kadang-kadang mengeluh dan ngedumel juga saat menerima cobaan dan kesulitan.

Memikirkan itu, saya jadi merasa malu sendiri.

HARI YANG BARU.

Standard
Jalan pagi di taman

Memasuki minggu ke 3, menjalani tantangan berolah raga pagi min 30 menit sehari. Ini hari pertama di putaran ini yang harus dijalani dengan penuh semangat.

Sembari berjalan saya merenung-renung. Ini hari Senin. Saya menghitungnya sebagai awal putaran menghadapi tantangan bergerak badan setiap hari selama 7 hari berturut-turut, entah itu jalan kaki, lari kecil, senam, main basket dan sebagainya. (Belakangan ini sih saya hanya jalan kaki ringan saja). Saya mulai setiap hari Senin sebagai hari pertama, agar saya mudah menghitungnya. Senin adalah hari pertama putaran minggu yang baru. Yap!

Setiap minggu selalu ada hari barunya. Dan setiap pagi adalah permulaan hari baru. Dan pagi datang setiap hari, bukan hanya pada hari Senin 😀.

Tentu saja karena Bumi berotasi dan kembali ke posisi yang sama yang berhadapan dengan Matahari setiap 24 jam sekali. Tepatnya 23 jam, 56 menit dan 4 detik.

Mengapa setiap hari selalu ada hari baru?

Pagi hari yang baru, membuat kebanyakan mahluk hidup, termasuk manusia, kembali bersemangat dan bergairah, setelah semalaman beristirahat karena seharian kemarin lelah, penat berpikir, berbicara, serta beraktifitas lain. Ibaratnya sebuah perangkat yang sudah kepenuhan dengan data dan bercampur virus, diatur ulang alias dire-set ke titik awal.

Sebenarnya alam sudah mengatur sedemikian rupa, agar semua mahluk di bumi ini untuk setiap hari terbangun di pagi hari dengan suasana hati yang nyaman. Sinar matahari mulai terang tapi nggak panas nyelekit. Bunga-bunga bermekaran, burung-burung bernyanyi. Oh indahnya.

Tentu semua itu diptakan agar manusia semangat dan bergairah menjalani harinya. Setelah itu ya silakan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sendiri- sendiri. Melempar perkataan dan tindakan ke alam sekitar dan juga merespon terhadap apa yang lingkungan sekitar sajikan untuk kita.

Ada yang melempar dan membagikan senyum, kasih sayang, kebaikan dan kepedulian terhadap sesama. Ada juga yang melempar dan membagikan amarah, kesal, iri hati, kesombongan, kejahatan dan sebagainya. Tinggal kita memilih, apa yang akan kita lemparkan dan bagikan ke lingkungan alam sekitar.

Demikian juga alam dan lingkungan sekitar, yang berisi tanah, bebatuan, sungai, jalanan, gunung, perbukitan, pepohonan, binatang, manusia, pasangan, anak keluarga, kerabat para sahabat, teman-teman, orang-orang lain, semua itu berinteraksi dengan kita. Merekapun sama, ada yang melempar dan membagikan kebaikan, cinta, kasih sayang, kepeduluan, perhatian, bantuan, penghiburan dan segala hal baik lainnya, tetapi ada juga yang melempar kemarahan, keketusan, kejutekan, iri hati, kesombongan. Kadang alam juga mengirim banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus dan sebagainya.

Karenanya, pagi kita yang sudah di re-set oleh alam dalam posisi cerah, semangat dan bergairah, bisa jadi semakin cerah dan bahagia jika kita melempar dan mendapatkan hal-hal yang baik, kasih sayang, kepedulian, perhatian, pertolongan terhadap sesama dan sebagainya. Dan kita juga merespon kejadian sepanjang hari dengan ketenangan, kesabaran, ketekunan, keikhlasan hati, tetap berterimakasih dan bersyukur.

Sebalknya hari kita bisa berubah menjadi rungsing, mengesalkan dan bahkan mungkin menyakitkan, jika yang kita lemparkan & kita terima adalah hal hal yang menyedihkan, kemarahan, kekesalan dan hal buruk lainnya. Dan kita meresponnya juga dengan kepanikan, ketakutan, kebencian, kecemburuan, kemarahan dan sejenisnya. Jadinya lelah, stress dan jenuh.

Namun demikianpun, alam tetap memahami kelelahan itu dan menyediakan malam agar kita beristirahat dan kembali melakukan re-setting terhadap mental fisik kita dengan mengikuti iramanya.

Sekarang saya mulai menyadari, mengapa sebagian orang yang diberkahi dengan kesadaran ini melakukan Surya & Chandra Namaskara, penghormatan terhadap Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan Matahari dan Bulan yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia di planet Bumi ini.

Pagi ini perangkat diri saya telah dire-set ulang ke posisi senang dan bahagia. Semoga hari ini saya bisa melempar kebaikan ke sekitar dan merespon sekitar dengan baik dan penuh syukur.

MENGGANTI KAOS KAKI USANG.

Standard

Berjalan kaki kali ini terasa ada yang aneh. Langkah terasa agak berat tak seperti biasanya dan jalanpun menjadi sedikit lebih lambat.  Telapak kaki terasa licin dan mudah bergerak maju ke ujung sepatu setiap kali kaki melangkah dan telapak bergesekan dengan sol sepatu. Beberapa kali jari kaki saya mencengkeram seolah sedang ngerem 

Saya belum pernah merasakan ketidaknyamanan seperti ini sebelumnya. Sejenak kemudian saya baru menyadari, jika perasaan licin itu disebabkan oleh kaos kaki baru yang saya pakai.

Saya memang mengganti kaos kaki dengan yang baru, mengingat beberapa kaos yang biasa saya pakai mulai berumur.

Sebenarnya kaos kaki yang lama itu masih pada bagus-bagus, masih bersih, tebal dan sebenarnya enak di kaki, hanya saja karena sudah bertahun-tahun dipakai, pas di bagian pergelangannya mulai ada yang sedikit kendor sebelah. Mungkin material yang bersifat elastiknya ada yang mulai getas dan rapuh. Begitulah. Namanya juga sudah berumur ya. Sebelum para kaos kaki ini benar-benar kendor dan nantinya pada melorot, maka saya gantilah dengan kaos kaki generasi baru.

Barangkali kaos yang baru ini terbuat dari materi yang berbeda. Saya tidak tahu namanya.  Lebih tipis dan lebih  licin dari yang sebelumnya. Awalnya saya pikir ini lebih bagus. Soalnya tampilannya kelihatan lebih bagus dan halus.  Tapi ternyata saking tipis dan licinnya malah menggelincir di dalam sepatu dan membuat kaki berasa nggak nyaman. Dan langkah terasa berat dan tak leluasa.

Sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Yang sebelumnya sangat enak dan nyaman baik buat diajak jalan pelan ataupun lari. Terbuat dari material yang lebih kasar, tebal dan tidak licin. Rupanya untuk kaos kaki buat jalan gini memang lebih tepat dibuat dari materi yang kasar dan tebal begini, sehingga tidak banyak bergerak di dalam sepatu.

Lah… saya baru menyadari hal ini. Artinya memang apa yang saya lakukan ini, mengganti kaos kaki tua yang tebal dan kasar dengan yang baru tapi tipis dan licin, bukanlah pemecahan yang terbaik.  Saya mencoba memecahkanmasalah yang saya prediksi akan datang, dengan cara mengundang masalah baru yang malah lebih buruk.

Setidaknya  jika ingin mengganti sesuatu yang sudah usang, pastikan bahwa penggantinya memiliki kwalitas yang lebih baik, atau minimal sama dengan yang sebelumnya. Sehingga kita bisa bergerak dengan nyaman dan cepat sesuai dengan target yang kita inginkan.

Sebuah pelajaran berharga.