Kapan hari saya hendak menghadiri sebuah acara di tengah kota. Habis menengok anak seorang teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Acaranya akan dimulai jam 13.00.
Wah, saya belum sempat makan siang. Mampirlah saya di sebuah toko roti alias bakery di tepi jalan yang saya lewati. Salah satu bakery yang saya sukai.
Saya masuk ke toko ber-AC itu . Ummm…. segarnya. Terasa sejuk setelah sebelumnya saya tertimpa udara panas kemarau yang menyengat. Segera saya menuju tempat nampan dan penjepit makanan yang terletak tak jauh dari pintu masuk.
Tepat ketika saya mengangkat nampan, bahu saya didorong oleh seseorang dari belakang. Saya kaget. Rupanya seorang perempuan lebih muda dari saya baru masuk dan bergegas hendak mengambil nampan kue juga. Wajahnya cantik, dengan dandanan rapi, make up lengkap bahkan dengan bulu mata palsu, mengenakan pakaian dan sepatu yang saya rasa mahal harganya.
Sayapun mengalah dan mundur sedikit ke belakang arah samping agak menjauhinya. Saya pikir, mungkin ibu itu sedang perlu kue buru-buru.
Terlihat oleh saya ia mengambil penjepit makanan dari gantungannya dengan cepat. Tiba-tiba…Gedombrang!!!. Saya kaget. Mungkin karena ditarik dengan terburu-buru, beberapa penjepit makanan yang tergantung itu saling menyangkut satu sama lain dan jatuh ke lantai.
Sesaat saya hanya berdiri diam dan tidak melakukan apa-apa. Sementara pelayan toko yang berdiri agak jauh pun terlihat kaget dan menoleh ke arah saya dan ibu itu.
Saya sangka ibu itu akan meminta maaf pada pelayan toko dan mengambil kembali penjepit-penjepit kue itu dari lantai dan meletakkannya di atas meja. Tapi, lho?! Ternyata Ibu itu melenggang ke dalam begitu saja dan membiarkan penjepit-penjepit itu tetap berserakan di lantai. Oh ya sudahlah. Mungkin ia benar-benar terburu-buru, pikir saya.
Akhirnya saya bantu mengambil penjepit-penjepit itu dan mengumpulkannya di satu nampan, agar bisa dicuci oleh pelayan toko. Sudah jatuh di lantai yang mungkin sudah diinjak-injak sepatu pengunjung sebelumnya. Tentu kotor dan tak higienis jika digunakan oleh pembeli selanjutnya.
Saya dengar Ibu itu bertanya kepada petugas toko tentang nama kue ini apa, itu apa, isinya apa, mengapa yang ada hanya isi daging sapi, yang daging ayam mana, dan sebagainya dengan nada keras dan kuramg bersahabat.
Berikutnya ibu itu berteriak marah kepada pelayan dan berkomentar mengapa jumlah kue basah yang tersedia di toko ini sedikit sekali. Para pelayanpun dengan ekspressi sedikit takut menjelaskan bahwa, tinggal itu sisa kue basahnya, karena yang lainnya sudah terjual. Ibu itu kelihatan tidak puas akan penjelasan pelayan toko itu. Ia masih mengomel dengan nada tinggi. Dua orang pelayan toko yang ada di situ, kelihatan ngeper. Berusaha melayaninya dengan sesopan mungkin.
Setelah memilih beberapa kue, saya menuju kasir. Di sebelah counter kasir ada beberapa arem-arem yang dipajang. Ada yang isi ayam dan ada yang isi ikan. Saya mengambil sebuah arem-arem isi ikan dan menambahkan ke nampan. Akhirnya saya selesai memilih kue. Tinggal bayar.
Sayapun berdiri di depan kasir dengan nampan yang sudah berisi beberapa kue dan siap membayar. Tanpa disangka, tiba-tiba ibu yang tadi, menyenggol lengan saya dengan nampannya. Astaga! Ia menyerobot antrian saya dan langsung meletakkan nampannya sendiri yang penuh dengan kue di depan meja kasir di depan saya. Sang kasir tampak bengong melihat ke arah ibu itu.
“Saya duluan !!!!” Perintahnya pada kasir, tanpa memperdulikan saya.
Tampak sekali ia terburu-buru. Sebenarnya itu sungguh perbuatan yang tidak sopan sama sekali. Tapi okelah, pikir saya ibu itu mungkin memang terburu-buru karena takut telat datang ke sebuah acara yang entah apa. Saya memahaminya. Sebaiknya saya mengalah saja. Lagipula saya sedang tidak terlalu terburu-buru amat. Sayapun agak mundur dan kembali berdiri di depan pajangan arem-arem di sebelah kasir sambil menunggu.
Tanpa saya duga, tiba-tiba ibu itu kembali menyenggol lengan saya karena tergesa-gesa mau mengambil arem-arem yang di pajang persis di sebelah saya. Lho?! Ini main tabrak saja dengan gerakan yang tiba-tiba. Tidak memberi isyarat sedikitpun, boro-boro bilang permisi.
Sungguh saya heran. Padahal pengunjung toko hanya ada dua orang saat itu. Yaitu saya dan ibu itu saja. Dan tokonya juga luas. Harusnya ibu itu tidak perlu menyenggol saya sama sekali. Lha ini TIGA KALI lho! Pertama di dekat counter nampan dan penjepit kue. Kedua karena mau bayar duluan di kasir. Ketiga gara-gara mau ngambil arem-arem.
Mengapa harus begitu ya? Tapi ibu itu tidak peduli sama sekali. Aneh! Sungguh aneh!
Setelah kejadian itu, dengan nampan kue yang sudah ia letakkan di depan kasir agar kasir tidak mendahulukan meladeni pembayaran pembeli lainnya, saya pikir ia akan langsung membayar. Eeh, ternyata ia masih celingak-celinguk melihat-lihat roti lain dan ternyata belum siap membayar juga. Lha, maksudnya apa ini? Masak saya harus menunggu orang yang masih belum siap membayar?
Saya mulai merasa terganggu oleh gedubrak-gedubruk kelakuan tak jelas dari ibu itu. Rasanya ingin marah, tapi saya berusaha mengontrol emosi saya.
Syukurnya, tepat ketika saya akan menegur, sang kasir mulai menghitung harga kue saya di mesin kasir dan memberi saya kode mata seolah minta maaf dan meminta agar saya tak meladeni ibu itu. Perhatian saya jadi beralih ke kasir dan kemarahan sayapun mereda.
“Eh, saya yang duluan lho!!!” kata Ibu itu marah melihat kasir meladeni saya.
“Ibu ini yang sudah duluan siap membayar, Bu!” kata kasir itu dengan berani.
“Lagian saya sudah selesai. Ayo saya hitung punya Ibu sekarang, kalau ibu mau bayar sekarang” lanjut kata kasir, sambil memberikan uang kembalian kepada saya.
Tapi ibu itu malah pindah ke bagian rak roti yang lain dan memilih roti lagi. Tak peduli pada omongan kasir.
Sayapun menenteng tas kertas berisi kue dan meninggalkan toko roti itu. Dengan ekor mata saya masih sempat melirik ke ibu itu, karena penasaran. Apakah ia akan segera ke kasir untuk membayar?
Ah, bahkan setelah ditantang oleh kasir untuk membayar kuenyapun, ibu itu ternyata masih tetap melihat-lihat dan memilih-milih kue lain lagi. Jadi memang belum siap membayar. Aneh ! Dan dua orang pelayan dan seorang kasir di toko itu tampak masih tegang, bersiaga menampung omelan ibu yang marah- marah sejak baru masuk toko itu.
Saya keluar dari bakery itu. Dan berdoa dalam hati semoga ketiga karyawan toko roti itu bisa menangani konsumennya yang cerewet dan pemarah itu dengan baik.
Di halaman toko, terparkir sebuah kendaraan yang cukup besar dan kelihatan mewah. Besar kemungkinan adalah kendaraan Ibu itu. Karena saat saya masuk, kendaraan itu belum ada di sana.
Di jalan saya menceritakan tentang kejadian aneh yang saya alami di toko roti itu kepada Pak Supir yang megantarkan saya. Ia ikut heran akan apa yang saya ceritakan. Ia kurang memperhatikan ibu itu saat keluar dari kendaraannya di parkiran. Namun menurut Pak Supir kendaraan ibu itu adalah Hyundai Santa Fe yang harganya lumayan mahal.
“Padahal orang itu tentu orang yang berpendidikan ya kan, Bu? Mengapa begitu kelakuannya?” tanyanya.
Tapi mengapa tidak mememiliki budi pekerti yang baik dan sopan santun sedikitpun?
Memiliki harta yang banyak dan pendidikan sekolah yang tinggi, tidak serta merta menjamin seseorang itu memiliki budi pekerti yang baik dan menjalankan dharma alias kebaikan dalam tingkah lakunya sehari-hari.
Saya tidak bisa menjawab pasti apakah ibu itu berpendidikan tinggi atau tidak. Tetapi jika menilik dari dandanan, tampilan dan kendaraannya, tak pelak ia seorang wanita yang berada. Dan karena berada, besar kemungkinan ia mampu membayar pendidikan hingga ke jenjang tinggi. Yaah… secara tidak langsung bisa disimpulkan sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi.
Peristiwa itu seolah menjadi pengingat bagi diri saya sendiri, agar selalu bersikap sopan dan santun di situasi apapun dan di manapun. Dan memastikan agar orang lain di sekitar merasa tetap nyaman dan tak terganggu oleh perbuatan dan sikap kita yang kurang menyenangkan.