Monthly Archives: July 2011

Life – Kekompakan Keluarga Dalam Menyambung Hidup.

Standard

Saya sangat senang berjalan-jalan dan melihat-lihat kehidupan orang lain dan melihat bagaimana mereka menjalankan aktifitasnya dalam rangka menyambung kehidupan keluarganya.  Salah satunya adalah pada apa yang saya temukan di  sebuah pojok jalan di kampung Perigi. Di kampung itu, dari arah Sextor IX menuju Graha Raya Bintaro, terdapat sebuah warung  Kelapa Muda yang sangat ramai didatangi pengunjung. Tempatnya terlihat biasa saja, bahkan sedikit becek pada musim hujan. Namun melihat ramainya pengunjung, saya  mengidentifikasikannya sebagai  warung yang  menjajakan makanan ataupun minuman yang enak.  Maka saya sengaja  berhenti  dan memesan  beberapa buah untuk saya bawa pulang ke rumah.

Bu Lilis, sang pemilik warung dengan sigap mengambil golok dan membelah kelapa. Menampung air kelapa dan daging buahnya yang telah dikeruk di dalam sebuah water jug. Sementara anaknya segera membantu membungkus air kelapa muda dan isinya itu ke dalam kantong plastik bening untuk saya bawa pulang. Tidak lupa ia  membungkuskan cairan gula bening tanpa pewarna dalam kantong terpisah. Ternyata memang sangat enak. Sangat beda dengan warung Kelapa Muda yang lainnya di sekitar daerah itu. Barangkali rahasianya ada pada kepiawaian pemilik warung dalam memilih kelapa dan menyiapkan cairan gula. Tingkat ke’muda’an kelapanya sangat pas – tidak terlalu tipis dan tidak terlalu keras;  dan gulanya murni tanpa tambahan zat pengawet maupun pewarna. Seluruh keluarga saya menyukainya.

Lama kelamaan sayapun menjadi salah seorang pelanggan setia warung Kelapa Muda di pinggir jalan itu. Saya mulai sering ngobrol dan memperhatikan bagaimana keluarga Ibu Lilis itu bekerja. Di mata saya, mereka itu benar-benar sebuah team yang kompak. Ibu Lilis memiliki 2 putra yang sering saya lihat dilibatkan untuk membungkus air kelapa dan daging buahnya yang telah dikupas dan dikerok. Keduanya masih usia sekolah. Saya mengagumi kedua orang anak muda itu.  Di saat saya juga banyak melihat anak-anak seumuran mereka hanya bermain,  ngegang dengan teman-temannya serta tak mau perduli akan kesulitan ekonomi orangtuanya,  mereka saya lihat  dengan tekun mau membantu orangtuanya menjaga warung. Tidak terlihat rasa minder atau keluhan di wajahnya yang belia. Mereka sangat sopan dan terlihat sangat sayang pada bundanya.  Tentu orangtuanya telah mendidiknya dengan sangat baik.

Sang Ibu sendiri bertugas membelah kelapa dan menampung air dan daging buahnya ke dalam sebuah tempat. Sang ayah yang jarang muncul, kelihatannya bertugas melakukan transaksi dengan pemasok kelapa dan bila sedang tidak sibuk, iapun bertugas membelah kelapa membantu istrinya. Tumpukan kelapanya cukup banyak. Taksiran saya, dari jumlah tumpukan kelapa yang menurutnya habis dalam sehari,  ia bisa menjual kelapa  sekitar 50- 100 buah per hari. Mungkin ada variasi yang antara lain dipengaruhi oleh musim kemarau atau penghujan, dan hari kerja  atau akhir pekan. Harga jual untuk kelapa Muda biasa adalah Rp 6 000 per butir, sedangkan untuk kelapa ijo ia jual dengan harga Rp 7 000 per butir.  Jika gross margin dari penjualan di warung kelapa muda itu adalah 50%, jadi bisa kita kalkulasi tingkat keuntungan yang didapat dari bisnis ini.  Not bad!!. Minimal bisa untuk menyambung hidup dan membayar uang sekolah anak.

Luar biasa! Keluarga yang benar-benar kompak. Patut saya acungi jempol. Sayapun ikut doakan kesuksesannya. Dan suatu hal yang saya catat dalam hati saya – ketika kita mau menyingsingkan lengan dan menurunkan hati kita dari ketinggian yang berlebihan, maka pintu rejeki pasti akan selalu terbuka. Semakin banyak kita melihat kehidupan orang lain yang beragam, rasanya semakin banyak pula kita melihat jalan untuk meyambung kehidupan keluarga kita.  Dan semakin banyak pula hati kita dipenuhi rasa syukur dan terimakasih kepadaNYA.

Gajah Yang Gadingnya Cacat Sebelah.

Standard

Ketika saya  pulang kampung, saya melihat adik saya sedang  merenovasi bagian depan rumah kami. Walau yang dirombak cuma sedikit, namun tak ayal membuat rumah yang sudah berantakan menjadi semakin berantakan. Penuh bahan bangunan dan debu. Saat itulah saya sempat mendongak  ke langit- langit bangunan Bale Gede peninggalan ayah saya. Bale Gede adalah bangunan traditional Bali yang memiliki saka (tiang penyangga) sebanyak 12 buah, berfungsi untuk melakukan persiapan berbagai upacara, menerima tamu maupun aktifitas harian lainnya. Read the rest of this entry

Opal, Sang Batu Permata Kalimaya.

Standard

Opal  atau Kalimaya adalah salah satu jenis batu permata yang menarik hati banyak wanita mengingat kilauan cahayanya yang membiaskan berbagai macam warna.  Jika kita memandang ke kedalaman batu permata ini, kita akan terkagum-kagum melihat biasan warna biru, hijau, kuning, jingga dan merah memancar dan berganti ganti sesuai dengan sudut pandang kita. Tidak heran banyak wanita yang menggunakannya sebagai perhiasan, baik untuk dipadankan dengan emas maupun perak. Read the rest of this entry

Hati hati Melepas Anak Ke Kolam Renang Sendirian.

Standard

Sore tadi saya menemani anak saya  berenang di kolam renang di dekat rumah saya.  Setelah cukup lama membiarkan anak saya bermain air dan melatihnya berenang, udara di sekitar kolam mulai terasa dingin. Matahari rupanya mulai terbenam. Cepat-cepat saya mengajak anak saya naik dan membilas diri di ruang bilas yang tersedia.

Saat itu saya melihat seorang gadis kecil berbusana renang merah sedang berdiri di bawah pancuran air sambil menangis. Beberapa orang ibu terlihat membujuk & mengajaknya bicara. Mulanya saya tidak terlalu memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi. Saya pikir ibu-ibu itu adalah  ibu, tante atau kerabat gadis kecil itu.  Tapi ketika saya melintas di depan anak itu untuk menuju ke ruang ganti pakaian, mulailah saya mengetahui, bahwa ternyata gadis kecil itu bukan keluarganya.

Sambil mengganti pakaian, saya menyimak pembicaraan ibu-ibu itu. Rupanya gadis itu sedang kehilangan  tas yang berisi handuk, pakaian pengganti, perlengkapan mandinya, alkitab serta sejumlah uang.  Rupanya ia ke kolam renang seorang diri  tanpa teman. Dan ketika selesai berenang barulah menyadari ternyata ia kehilangan tasnya.  Ia mencari ditempat ia meletakkannya, namun tidak berhasil. Beberapa ibu-ibu yang mengantarkan anaknya berenangpun mulai berkerumun dan membantu. Semua tempat dan sudut di kolam renang itu pun diteliti, namun tetap tidak berhasil.  Sedemikian banyaknya pengunjung kolam renang, sulit rasanya untuk mengetahui siapa yang telah mengambil tas anak itu baik sengaja maupun tidak sengaja. Sebagian ibu-ibu itu menyalahkan orangtua si gadis yang membiarkan anaknya berenang  sendiri  tanpa teman. Petugas yang berusaha membantu dari tadi akhirnya menyerah juga.   Memang agak sulit untuk menyalahkan siapa-siapa dalam kondisi seperti itu. Kolam renang terlalu ramai dengan pengunjung. Karena sudah sore, akhirnya satu persatu pengunjung kolam renangpun  pergi meninggalkan anak kecil itu menangis ketakutan di bawah pancuran. Sebentar lagi pintu kolam renang tentu akan ditutup oleh petugas.

Dengan perasaan kasihan lalu saya dekati anak itu dan mengajaknya ngobrol. Sambi menggigil kedinginan dan tetap menangis, ia bercerita bahwa ia berenang sejak pukul 10 pagi sepulang dari gereja.  Menurut ceritanya,  ia juga sempat bertemu dua orang temannya yang juga berenang di sana namun sudah pulang duluan. Ia meninggalkan tasnya yang berwarna pink dengan gambar Barbie di tepi kolam renang. Lalu sadar bahwa tasnya sudah tidak ada ketika sore hari ia bermaksud berhenti berenang. Jelas ia terlalu lama bermain di kolam renang. Sayapun  menanyakan namanya dan dimana rumahnya.

Yang cukup membuat saya tenang adalah bahwa anak itu tahu rumahnya. Dan ia yakin bisa pulang sendiri, walaupun rumahnya cukup jauh dari kolam renang. Ia mengaku hanya takut & malu berjalan pulang  dengan pakaian renang yang basah. Dan juga takut dimarahi orang tuanya karena telah menghilangkan pakaian. Matanya sangat merah dan sembab. Saya sangat bisa memahami perasaannya. Merasa kasihan, saya akhirnya menawarkan handuk saya untuk ia pakai. Namun ia tetap malu kalau harus pulang dengan berbalut handuk. Lalu saya tanya, apakah ia mau ikut ke rumah saya yang tidak jauh dari situ. “Nanti kamu boleh gunakan pakaian anak saya” kata saya menawarkan. Rumah saya tidak lebih dari 100 meter jaraknya dengan kolam renang. Saya pikir, tentu tidaklah  masalah kalau ia berjalan sedikit dengan berbalut handuk ke rumah saya. Ia pun setuju. Saya lalu menyampaikan maksud saya kepada petugas kolam renang untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk yang mungkin terjadi. Sepengetahuan petugas lalu saya mengajak anak kecil itu ke rumah saya.

Sesampai di rumah, saya minta ia mengeringkan tubuhnya, lalu saya membongkar kaos dan celana anak saya yang kira-kira sesuai dengan ukuran tubuhnya. Walaupun anak saya laki-laki, saya pikir kaos dan celana pendek tentu bisa juga dipakai oleh anak perempuan. Setelah menyisir rambutnya, anak itupun segera mengucapkan terimakasih dan berpamitan. Awalnya saya tawarkan untuk mengantarnya ke rumah, namun anak itu tidak mau dan yakin bisa pulang sendiri. Akhirnya saya bekali dengan sedikit uang agar bisa ia manfaatkan untuk transportasi ke rumahnya jika diperlukan.

Melihatnya keluar dari pintu halaman saya, membuat saya merasa miris. Kasihan sekali. Anak sekecil itu harus menghadapi musibah sendirian. Tidak ada ayah ibunya atau seorangpun kerabatnya yang dewasa menjaganya. Tak terbayangkan perasaannya jika  saya yang menjadi ibunya. Ya, memang ada baiknya kita sebagai orangtua lebih berhati-hati  melepas anak kita yang masih kecil untuk ke kolam renang atau ke tempat-tempat umum sendirian. Masalah dan musibah bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Kita tidak pernah tahu apakah anak kita sudah cukup siap menghadapi keramaian dan orang banyak dengan segala kemungkinannya. Mudah-mudahan kisah anak kecil di kolam renang ini ada manfaatnya bagi kita semua.

Cerita Perjalanan – Menempuh Penerbangan Berbahaya Dalam Kabut Asap.

Standard
Equator Monument, Pontianak

Image via Wikipedia

Beberapa saat yang lalu saya melakukan perjalanan dinas ke Pontianak. Saya berangkat pukul 06.00 pagi dengan menumpang pesawat Garuda. Rencananya pesawat akan mendarat di Bandara Supadio pada pukul 07.25 pagi. Pada awalnya semua berjalan lancar dan  cuaca cerah. Namun begitu mendekati kota bumi katulistiwa tersebut, tampak dari jendela pesawat, asap yang sangat tebal dan pekat menutup jarak pandang. Suara pesawat menderu agak aneh di telinga saya. Entah kenapa, perasaan saya menjadi tidak enak.

Namun demikian pesawat tetap berusaha bergerak turun ke depan dalam kabut pekat. Sesaat kemudian terdengar suara pilot memberikan informasi akan mendarat. Pesawat terus bergerak  dan kemudian saya merakan gerakan pesawat menikung. Saya menahan nafas. Walau penuh penumpang, ruang pesawat terasa sunyi. Pesawat berputar dan bergerak terus seolah mencari celah pendaratan yang tak berhasil ia temukan. Setelah cukup lama berputar putar di udara, akhirnya pilot memberikan pengumuman. Karena jarak pandang yang terbatas akibat tebalnya asap hasil kebakaran, pilot belum berhasil mendarat. Ketegangan di wajah para penumpang  terlihat meningkat. Sang pilotpun meminta maaf dan menambahkan informasi bahwa saat itu pesawat memilki extra bahan bakar untuk terbang selama 30 menit lagi. Pilot menyatakan akan mencoba berputar sambil menunggu jarak pandang membaik yang aman untuk melakukan pendaratan.

Diam-diam saya memikirkan arti kalimat pilot itu. Bahwa “pesawat saat ini memiliki extra bahan bakar untuk terbang selama 30 menit lagi”. Apakah maksudnya?

1. Apakah pesawat memang hanya memiliki extra  alias sisa bahan bakar untuk terbang selama 30 menit lagi? Apakah ‘Extra’ yang dimaksud adalah extra dari jumlah bakar standard yang ia perlu bawa untuk penerbangan Jakarta- Pontianak ? Lalu apa yang akan terjadi jika pilot tak mampu mendaratkan pesawatnya dalam batas waktu 30 menit itu? Apakah berarti mesin pesawat akan mati ? Dan kemudian pesawat akan jatuh? Dan kami semua penumpang akan mati?. Terus terang saya agak bingung memahaminya. Lalu saya berpikir, jika memang bahan bakar sisa yang dimiliki hanya cukup untuk terbang selama 30 menit lagi, apakah tidak ada kemungkinan bagi pesawat untuk di daratkan di Bandar udara terdekat yang memiliki jarak tempuh 30 menit atau kurang? Saya memikirkan bandara di Palembang atau Batam. Mungkin kedua bandara itu memiliki jarak tempuh setengah jam dari Pontianak.  Namun saya tidak tahu apakah bandara bandara itu mengalami masalah kabut asap serupa juga saat ini?. Mengapa pilot tidak mengambil keputusan untuk mendarat darurat di bandara lain? Perasaan takut dan khawatirpun merayap dalam hati saya.

2.  Ataukah pesawat memiliki  bahan bakar untuk terbang ‘extra’ selama 30 menit lagi  (diluar bahan bakar  standard yang ia miliki untuk balik kembali ke Jakarta ). Apakah maksudnya ia akan berusaha dulu selama 30 menit dan jika tidak berhasil ia akan membawa kami ke kembali Jakarta?

Para penumpang yang telah tegang sejak beberapa saat tadi, terlihat merespon pengumuman pilot dengan berbondong bondong ke toilet. Saya tidak tahu, apakah karena mereka memang telah menahan kencing terlalu lama, ataukah karena stress akibat ketegangan suasana itu.

Beberapa belas menit kemudian pilot memberi pengumuman, bahwa jarak pandang kini agak membaik dan ia akan berusaha mendarat lagi. Terasa pesawat turun dengan hati hati dengan suara menderu, semakin rendah dan semakin rendah namun tiba-tiba pesawat berbalik naik dengan kecepatan tinggi yang sangat mengejutkan. Seketika saya tahu, bahwa kali inipun sang pilot gagal lagi. Suasana dalam ruang penumpang menjadi sangat mencekam. Wajah-wajah yang khawatir dan beberapa diantaranya mengucapkan doa-doa keselamatan. Menit demi menit  berlalu penuh ketegangan. Waktu terasa sangat menekan.

Kembali terdengar suara pilot yang meminta maaf lagi karena pesawat tidak berhasil mendarat dengan baik dan menginformasikan kembali bahwa pesawat masih memiliki extra bahan bakar untuk terbang selama 10 menit lagi. Tetap tak mampu memahami maksud sang pilot, mengenai apa yang akan terjadi jika dalam 10 menit pesawat tak mampu mendarat, saya pun merenung.

Teringat akan orang-orang yang saya kasihi. Kedua anak saya yang masih kecil dan suami saya. Saudara dan keluarga saya di Bali serta orang orang yang saya cintai. Saya melirik hand phone saya yang mati. Betapa inginnya saya mengirim pesan kepada mereka yang bisa saya hubungi untuk mengucapkan selamat tinggal & terimakasih atas cinta kasihnya kepada saya selama ini. Namun niat itu saya urungkan, mengingat bahwa tindakan saya itu mungkin akan semakin membahayakan keselamatan penumpang lain. Saya juga teringat akan seorang rekan kerja saya yang juga rencananya berangkat dengan pesawat lain sejam setelah saya. Semoga ia dan pesawatnya selamat.  Saya tidak bisa berbuat apa-apa kini. Selain berpasrah diri padaNYA & berdoa sepenuh hati saya agar pilot diberikan kemampuan untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.

Ternyata memasrahkan diri padaNYA memang selalu merupakan tindakan terbaik di saat-saat apapun juga. Ketenangan saya pulih kembali. Kalaupun saya harus mati saat itu saya yakin, mereka semua tahu bahwa saya sangat mencintai mereka. Dan itu membuat saya tenang dan merasa siap akan apapun yang terjadi. Namun anehnya tiba-tiba saya merasa yakin bahwa saya akan selamat dalam perjalanan ini.  Seorang Bapak yang duduk di sebelah saya dengan sangat khawatir  menatap wajah saya dan bertanya, apakah saya tidak merasa takut? Mengapa wajah saya tidak menunjukkan ketakutan?  Saya menjawab bahwa saya sudah pasrah. Tentu saja saya takut, namun apa yang bisa saya perbuat lebih baik lagi selain berpasrah diri?

Beberapa menit kemudian pilot menginformasikan bahwa jarak pandang sekarang sedikit membaik dan ia akan melakukan usahanya yang  terakhir untuk mendaratkan pesawat di bandara itu. Pilot lalu mengambil ancang ancang dan pesawatpun menurun kembali dalam kabut tebal dengan suara menderu. Beberapa menit kemudian saya merasakan ban pesawat menyentuh landasan bandara diiringi ucapan lega penuh puji syukur dari seluruh penumpang yang akhirnya berhasil selamat mendarat. Saya memanjatkan doa syukur dan terimakasih saya padaNYA. Lepas sudah ketegangan pagi itu. Jam tangan saya menunjukkan pukul 08.30. Jadi sebenarnya kami telah berputar-putar di udara di atas bandara Supadio dalam kabut asap tebal selama satu jam. Saya sangat berterimakasih kepada pilot & seluruh crew pesawat Garuda yang telah melakukan tugasnya dengan baik dalam kondisi udara seburuk itu.

Sesampainya di ruang bagasi, orang pertama yang saya hubungi adalah rekan saya yang rencananya berangkat juga ke Pontianak dengan Lion Air sejam setelah saya. Saya sangat mencemaskannya. Syukurnya, pesawat tersebut keberangkatannya ditunda.  Lega rasanya. Segera saya mengangkat koper saya dan menemui rekan kerja yang telah menunggu & menjemput saya di bandara.

Darinya saya mendengar bahwa beberapa pesawat lain yang dijadwalkan mendarat pagi itu tidak ada yang berhasil mendarat. Batavia Air kembali ke Jakarta setelah gagal mendarat. Sri Wijaya Air terpaksa mendarat darurat di bandara di Palembang. Pesawat Garuda yang saya tumpangi adalah pesawat yang pertama berhasil mendarat pagi itu. Ternyata kabut asap akibat pembakaran berhektar-hektar ladang  maupun hutan di Kalimantan itu memang sangat membahayakan penerbangan & nyawa para penumpang. Kapankah pembakaran-pembakaran  itu akan berakhir?

Bunga Medori, Elok Bagai Rembulan..

Standard

Menyempatkan diri  berjalan-jalan  di tepi pantai maupun di tempat kering lainnya di Indonesia,  maka sering kita temukan  sosok tanaman perdu liar setinggi  1.5 hingga 2 meter yang  berdaun oval tebal seperti  berlapis lilin menari-nari di tiup angin. Bunganya yang sangat indahpun mekar hampir sepanjang tahun.  Berwarna biru atau putih dengan bentuk sari yang sangat unik. Mirip gedung bangunan bertiang empat. Itulah Bunga Medori atau yang  sering disebut juga dengan nama Bunga Benuri, Widuri, Biduri ataupun  Baiduri (Calotropis gigantea).

Saking menariknya bunga ini,  terkadang  namanya pun digunakan untuk menamai anak perempuan. Dan di tahun 70-an kita diperkenalkan oleh Bob Tutupoli pada sebuah lagu yang berjudul Widuri, yang merujuk pada nama seorang gadis,   yakni Widuri yang elok bagai rembulan.

Di Bali, bunga Medori memiliki makna dan manfaat yang jauh lebih banyak diibandingkan dengan tempat lain, mengingat bahwa bunga  Medori ini merupakan salah satu bunga yang  banyak dimanfaatkan untuk sarana upacara keagamaan. Digunakan dalam canang maupun dalam persembahyangan tangan biasa. Nama bunga inipun setidaknya disebut-sebut dalam Kidung Sekar Gadung yang saat kecil sering saya dengar dinyanyikan dalam Sang Hyang Dedari yang bernilai sakral.

‘’Sekar gadung ya sekar gadung/ Sibuh mas, medori putih/

Teleng petak, tunjung biru/ Ketisin Juru Kidunge”

Ada yang menarik lagi mengenai fakta bunga Medori ini, karena walaupun getahnya beracun (bahkan ternakpun tidak mau memakan daun tanaman ini),  namun di berberapa tempat rupanya juga dimanfaatkan  untuk pengobatan berbagai macam penyakit mulai dari penyakit kulit, cacingan  hingga asma.

Gambar Bunga Medori ini saya ambil ketika saya berkesempatan berjalan menyusuri tepi pantai di Sanur, Bali beberapa saat yang lalu. Saya melihatnya sangat anggun gemulai diterpa angin pantai sore hari.

Cuci Mata. Design & Motif Perhiasan Perak Dari Bangli.

Standard

Ketika membawa anak-anak liburan di Bali, saya memanfaatkan kesempatan untuk mengunjungi keluarga saya di Bangli. Bangli adalah sebuah kota kecil di pulau Bali, yang memiliki sebuah banjar yang penduduknya terdiri dari para Pande (pembuat perhaisan emas, perak, peralatan logam, keris dsb), sehingga disebut Banjar Pande. Kebetulan ibu saya berasal dari keluarga Pande, sehingga banyak diantara kerabat saya menjalankan usaha perhiasan ini. Ada yang skala kecil, ada juga yang lebih besar. Ada yang menjadi pembuat, ada juga yang menjadi pedagangnya. Beberapa diantaranya juga menjual perhiasan di tokonya. Read the rest of this entry

Cuci Mata. Menikmati Sumringah Warna Puring Di Taman-Taman Di Pulau Bali.

Standard

 

Bagi sebagian penggemar tanaman puring, tentu setuju dengan sebutan bahwa Bali adalah pulau puring. Bagaimana tidak, kearah manapun mata memandang tanaman berdaun indah ini tampak sumringah menghiasi taman taman kota, hotel, restaurant, taman tepi jalan, tempat tempat suci, tempat pariwisata, kantor pemerintahan  hingga ke halaman rumah rumah penduduk. Sedemikian banyaknya jenis tanaman puring yang menghias taman-taman di Bali, sehingga rugi rasanya jika tidak sempat mengabadikannya dengan kamera.

Tanaman Puring (Codiaeum variegatum) bagi masyarakat pedesaan di Bali adalah salah satu tanaman “Pelawa” yang memang banyak digunakan untuk keperluan upacara adat misalnya menghias penjor, pelengkungan, sebagai alas kwangen, alas nasi jotan  dan sebagainya, selain dimanfaatkan untuk menghias halaman dan taman. Termasuk ke dalam kelompok Pelawa ini adalah semua jenis daun tanaman yang memiliki bentuk maupun warna yang indah, misalnya daun andong, daun suji dsb selain daun puring itu sendiri.

Puring membutuhkan cahaya matahari yang banyak untuk mengoptimalkan kecerahan warna daunnya. Sehingga penanaman di area yang terpapar matahari penuh akan sangat menguntungkan bagi puring. Ada berbagai jenis puring yang mudah kita temukan, diantaranya ada yang berdaun lebar, oval, panjang menjari, keriting, seperti mata panah, dan sebagainya. Demikian juga warnanya sangat variatif dari hijau muda, hijau tua, kuning, jingga, merah hingga ungu. Sapuan warnanya ada yang garis, bintik, membaur  ataupun bergradasi. Namun apapun kombinasinya, selalu terlihat cantik dan menarik. Puring bisa dibiakkan mmelalui cangkok.

 

Liburan . Jalan-jalan Ke Monkey Forest Ubud.

Standard

Memperkenalkan Konsep Tri Hita Karana Dalam Kehidupan Pada Anak

Ketika berkesempatan pulang ke Bali bersama keluarga, saya mendapatkan ide untuk mengajak anak saya mengunjungi Wenara Wana atau yang lebih sering disebut Monkey Forest di Ubud sebagai respon atas keinginan mereka untuk melihat binatang. Read the rest of this entry

Mengagumi Keindahan Bunga Sala Yang Sakral.

Standard

Ketika melangkahkan kaki keluar dari lobby ke halaman parkir Hotel Bali Beach di pantai Sanur  di Bali, saya dikejutkan oleh pemandangan yang sangat memukai hati saya. Sebuah pohon  yang berbatang besar dan tinggi menyajikan pemandangan yang luarbiasa dengan tajuk-tajuk yang menjulur penuh bunga terutama pada bagian bawah batangnya. Jingga besar-besar sumringah di bawah cahaya  matahari pagi. Sayapun segera mendekat, untuk memperhatikan dan  mengagumi keindahan kelopaknya yang besar dan kokoh. Sari bunganya sepintas lalau mirip seekor naga atau lidah sapi tertekuk yang memiliki banyak tentakel untuk mengundang serangga datang. Seekor lebah madu saya lihat beterbangan mengelilingi bunga bunga yang sedang mekar. Wangi!.

Bunga Sala muncul dari ranting-ranting yang anehnya tumbuh di pangkal pohon hingga ke pinggang pohon. Sungguh beruntung. Karena dengan demikian saya bisa mengamatinya dari jarak dekat.

Pada mulanya saya heran dan tak mampu mengenali tanaman itu. Rasanya saya pernah melihat tanaman ini entah dimana, namun saya tak mampu mengingatnya sama sekali, selain kelopak bunga dan benang sarinya yang berguguran di atas rerumputan. Saya yakin saya pernah melihatnya sebelumnya. Kemudian seorang gardener yang kebetulan sedang merapikan taman di sana menjelaskan kepada saya bahwa itu adalah pokok pohon Sala atau yang sering juga disebut oleh para tamu hotel sebagai Canon Ball  Tree (Couroupita  guianensis) Tentu nama ini diberikan karena buah tanaman ini memang sangat mirip bentuknya dengan bola peluru meriam. Di dalam buahnya terdapat biji kecil-kecil dan cairan mirip tinta yang sangat lengket dan tahan lama. Pohon Sala rupanya salah satu tanaman yang sering ditanam di tempat-tempat suci. Menurut beberapa sumber, diceritakan bahwa Sang Buddha Gautama  wafat di bawah pohon Sala.