Monthly Archives: August 2013

Mengenal Alam Pedesaan Di Pedalaman India.

Standard

Selama beberapa hari saya berada di Camp Pegasus yang jika saya lihat di Google Map berada di daerah yang bernama Vassanthanahalli, dekat desa Kallukote, di wilayah Karnataka, India.  Tempat dan kegiatan yang sangat menyenangkan. Berada di atas tanah yang cukup luas dan penuh dengan pepohonan.  Saya melihat ada pohon asam, sawo, ceremai, jambu biji, banyak pohon jati dan sebagainya ditanam di tempat itu.  Sangat teduh.Sementara di bawahnya di tanam berbagai macam sayuran, seperti kubis,tomat, terong dan sebagainya. Mengingatkan saya akan masa kecil saat aktif di Pramuka, melakukan camping, tidur di tenda, makan dengan beralaskan daun dan sebagainya. Benar-benar kehidupan yang sangat dekat dengan alam.

Ini adalah tenda dimana saya tidur selama berada di sana.

Ini adalah tenda dimana saya tidur selama berada di sana.

Mungkin karena kesenangan saya akan alam, maka saya memanfaatkan setiap kesempatan yang ada di sela-sela kesibukan untuk menikmati alam sekitarnya.  Demikian juga sore itu.  Dua orang teman India saya  mengajak berjalan-jalan keluar Camp. “Dani! jalan-jalan yuk! ” ajaknya begitu melihat saya usai dengan kegiatan saya sore itu.  Sayapun segera menyimpan alat-alat tulis saya dan mengambil kamera saku di tenda lalu segera berlari ke arah teman saya itu. “Kemana?” tanya saya. “Kemanapun kamu mau, akan kuantar” kata teman saya itu. Yes!! teman yang sangat baik!. Sayapun mengutarakan keinginanan saya untuk pergi ke danau. “Iwant to take some pictures” kata saya. Teman saya setuju. Mendengar itu, dua orang teman saya yang berkebangsaan Inggris pun mau ikut juga. Maka berangkatlah kami berlima menuju danau.

Tanah ladang yang berwarna merah sehabis di olah dan siap untuk ditanami kembali.

Tanah ladang yang berwarna merah sehabis di olah dan siap untuk ditanami kembali.

Perjalanan ke danau cuma makan beberapa puluh menit. Melewati ladang-ladang penduduk . Banyak tanah ladang yang terbuka dan kelihatannya baru habis diolah dan siap ditanami kembali. Tanahnya yang merah terlihat sangat indah diterpa matahari sore yang hangat. Sambil berjalan, saya melihat-lihat ke kiri dan kanan.

Suara burung terdengar riuh sekali bercericit dan berkicau dari arah semak-semak. Burung-burung  Pipit Benggala (Amandava amandava) yang sangat banyak populasinya.  Masih sekeluarga dengan pipit di tempat kita, namun warnanya merah  dengan bintik-bintik yang indah.  Sayang saya tak membawa kamera yang baik untuk menangkap gambar burung-burung itu. Juga banyak sekali burung Gagak di sana. Ukurannya sangat besar. Saya pikir burung-burung itu lebih besar dari ukuran tubuh seekor kucing. Membuat saya berpikir keras, apakah burung ini termasuk Raven atau Crow?  Bulunya yang  kusam dan paruhnya yang agak pendek membuat saya berpikir bahwa itu adalah gagak Crow. Sedangkan ukuran badannya yang sedemikian besar membuat saya berpikir bahwa itu adalah gagak Raven. Di Indonesia, baik Raven maupun Crow keduanya disebut dengan Gagak. Juga sangat jinak. Suaranya berkaok-kaok, hinggap di pepohonan, di tiang bahkan di tanah tanpa memperdulikan orang yang lewat. Barangkali karena tak pernah diganggu manusia, sehingga burung-burung itu merasa aman , tentram dan damai tanpa terusik.

Burung gagak berukuran besar sedang bertengger di atas batu pagar camp

Burung gagak berukuran besar sedang bertengger di atas batu pagar camp

Selain melihat-lihat burung,saya juga sekalian melihat bunga-bunga liar yang tumbuh di kiri kanan ladang. Banyak sekali. Salah satu yang membuat saya terkejut kegirangan, di sana saya menemukan pohon Kayu Tiblun. Dulu waktu saya kecil, bunga Tiblun ini selalu ada setiap hari raya Galungan. Bersama-sama dengan Bunga Padang Kasna (Edelweiss), bunga Tiblun selalu menjadi pertanda datangnya hari raya di Bali. Sudah lama saya tidak melihat bunga itu lagi di pasaran, tergantikan dengan bunga-bunga yang dibudidayakan manusia. Sehingga pernah berpikir jangan-jangan tanaman Kayu Tiblun itu sudah punah. Namun kali ini tiba-tiba saja tanaman itu ada di depan mata saya dan sedang berbunga pula.  Alangkah girangnya!.

Pohon Kayu Tiblun yang sedang berbunga

Pohon Kayu Tiblun yang sedang berbunga

Yang menarik hati lagi adalah lapisan batu-batu tua dari jaman precambrium yang sangat banyak yang mencuat ke permukaan tanah.  Sangat mencengangkan, karena area area yang terbuka yang tadinya saya pikir tanah tandus yang tak bisa ditanami ternyata setelah saya dekati adalah hamparan batu  besar yang sangat luas. Seringkali sama luasnya dengan ladang. Oh,pantas saja tak ada tanaman yang tumbuh diatasnya.

Tanah itu ternyata adalah batu yang sangat luas dari jaman precambium.

Tanah itu ternyata adalah batu yang sangat luas dari jaman precambium.

Namun demikian, di sela-sela lapisan batu-batu itu, selalu ada sedikit lapisan tanah yang cukup subur bagi peladang walaupun lapisannya sangatlah tipis dibanding luasnya lapisan batu yang ada di situ. Penduduk memanfaatkannya untuk untuk bertanam bawang putih, kentang, jagung, kacang dan sebagainya.  Sangat hijau dan subur.

Ladang bawang putih yang mengingatkan saya akan kampung halaman saya, desa Songan di tepi danau Batur Kintamani di Bali.

Ladang bawang putih yang mengingatkan saya akan kampung halaman saya, desa Songan di tepi danau Batur Kintamani di Bali.

Kami terus berjalan. Akhirnya mencapai sebuah persimpangan. beberapa orang penduduk terlihat berjalan pulang dari ladang. Ada seorang wanita yang menggiring sapinya yang terlihat kurus agak kurang makan. Saya sempat bertanya, untuk apa penduduk memelihara sapi,bukankah sebagian besar penduduk India tidak mengkonsumsi daging sapi? jawabannya adalah untuk membantu mereka bekerja di ladang dan diperah susunya. Teman saya yang bisa berbahasa setempat menanyakan dimana letak danau. kamipun diberi petujuk jalan yang tersingkat. Sungguh sangat beruntung memiliki teman yang mengerti, sehingga saya merasa sangat aman bersamanya dan tidak khawatir tresesat.

Danau di Vassanthanahalli

Akhirnya kami berbelok, tidak lagi mengikuti jalanan kampung itu, tapi masuk dan berjalan di pinggir ladang yang baru saja ditanami kacang.  Danau tampak kecil. Saya pikir debit airnya kurang karena kemarau yang panjang.  Namun rupanya saya hanya melihat sebagian kecil saja dari sisi barat danau itu.  Saya dan teman-teman turun ke danau. Banyak kerang air tawar  bertebaran di pantainya. Sayapun mengambil beberapa gambar.  Hari semakin sore. Matahari perlahan lahan tenggelam dan danau itupun  menjadi gelap.

Danau kecil di Vassanthanahalli

Danau kecil di Vassanthanahalli

Kamipun kembali pulang ke Camp. kembali menyusuri jalan setapak dan ladang-ladang yang sekarang telah gelap. Merekam semua ini ke dalam ingatan saya dan mengenang teman-teman yang bersama saya dalam perjalanan ini. Kebersamaan yang indah.

 

Rapelling : Rock & Roll Moment…

Standard

???????????????????????????????Di pedalaman India, di dataran tinggi Deccan, ada sebuah daerah yang sangat menarik perhatian saya. Kata orang daerah itu bernama Kallukote. Daerah yang sejuk, penuh dengan perbukitan batu. Dari bawah pohon asam yang rindang yang tumbuh di salah sebuah punggung bukit batu itu, mata kita bisa bebas lepas menelusuri dataran di bawahnya. Angin bertiup dengan lembut, matahari bersinar terang tanpa terasa panas, suara kambing yang mengembek saat digiring menaiki perbukitan oleh gembala. Bunga-bunga liar  bermekaran serta burung-burung beterbangan dari satu semak ke semak yang lainnya di sekitar batu-batu besar yang menghampar. Luar biasa tentram dan damainya.

Minggu lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan “Rapelling”  di tempat itu, yang dikaitkan dengan Global Leadership Training yang saya ambil.  Rapelling adalah kegiatan menuruni dinding batu yang terjal dengan hanya menggunakan bantuan tali. Mungkin banyak yang sudah mengalaminya atau bahkan ahli di bidang itu. Namun saya baru pertama kali melakukannya.

Menghadapi Ketakutan.

Setiap manusia, tentunya pernah mengalami rasa takut di dalam hidupnya. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika melihat batu besar yang tingginya beberapa meter serta sangat  curam yang harus saya turuni. Saya merasakan ketakutan dan keraguan yang luar biasa. Bisakah saya melewatinya? Bagaimana jika tali itu tidak kuat menopang berat tubuh saya? Atau jika kaki saya terpeleset dari atas?  Atau seandainya tangan saya terlepas dari tali?

Oohh! Mungkin saya akan jatuh bergedebum ke tanah di bawah batu itu dan… mungkin tubuh saya akan hancur remuk berserakan.

Ooh! Bagaimana nasib anak-anak saya  yang masih kecil? Pikiran buruk menyerang kepala saya. Rasa takut, khawatir dan ragu yang sangat melemahkan diri dan otot-otot tubuh saya.

Seorang teman ada yang memutuskan untuk mundur. Rasanya saya juga ingin menarik diri. Ingin membatalkan kegiatan itu. Banyak sekali bujukan-bujukan melemahkan yang berseliweran di kepala saya. Dan pelatih kami, seolah tidak mendengar sama sekali apa yang ada di kepala kami. Ia tetap memberikan informasi dan  instruksi bagaimana caranya memasang cantelan tali di pinggang kita. Menarik, mengencangkannya dan menguncinya. Lalu memberikan instruksi untuk menggunakan helmet, cara memegang dan mengendalikan tali serta mengatur jarak genggaman tangan kiri dan kanan versus tali. Lalu memerintahkan kami untuk naik ke atas batu dan mulai menuruninya satu per satu. Ia tidak membuka option untuk mundur sama sekali.

Satu per satu teman-teman saya dari negara lain maju dan menuruni dinding batu terjal itu dan berhasil. Hal ini membuat saya berpikir, bahwa saya harus menghadapi rasa ketakutan saya.  Jika orang lain bisa melakukannya,mengapa saya tidak bisa? Apakah saya akan memanfaatkan alasan gender untuk menyerah? Ah! Yang benar? Apakah memang kaum wanita lebih lemah, lebih penakut, lebih khawatir dan lebih peragu daripada kaum lelaki? Apa yang terjadi jika saya mundur? Gagal??!!! Saya tidak menyukai kata itu. Saya tidak suka gagal. Dan saya tidak mau gagal.  Saya  harus melakukan sesuatu untuk membuat diri saya sukses!.

Sekarang saya merasa tidak punya pilihan selain menghadapinya. Takut adalah satu hal. Namun jika saya tidak mau gagal, maka saya tidak punya pilihan selain menghadapinya. Maka mau tidak mau saya harus terus maju. Saya harus menghadapi rasa ketakutan saya dan bukan lari darinya. Maka saya melangkahkan kaki saya ke arah batu besar itu.

Menggalang Keyakinan.

Instruktur saya mencantelkan tali di pinggang saya. Memeriksa serta memastikan semua tali berada dalam keadaan baik. Ia lalu menanyakan nama saya dan dari negara mana saya berasal. Saya pun bercerita singkat tentang diri saya  dan bertanya bagaimana teknik yang terbaik agar perjalanan saya ke bawah berhasil dengan selamat. Pendek kata ia memberitahukan, bahwa secara umum tali itu sangat aman. Sebaiknya saya selalu memegang erat tali di belakang pinggang saya dengan tangan kiri, menggesernya sedikit demi sedikit untuk memberi kesempatan tubuh saya bergerak turun. Sementara tangan kanan bisa longgar memegang tali yang di depan tubuh saya. Ia juga memberi tips agar saya selalu menjaga lutut saya tetaplurus dan tidak bertekuk, merebahkan tubuh saya dengan kemiringan yang sesuai dengan kemiringan permukaan batu dan berjalan mundur setahap demi setahap seperti bayi.

Pemahaman teknis ini memberikan tambahan keyakinan pada diri saya, bahwa saya pasti akan mampu melaluinya dengan selamat.  Sayapun membulatkan tekad saya. Mulai mengatur strategy untuk gerakan kaki, tangan dan tubuh saya dalam kaitannya dengan permukaan batu dan tali penyelamat yang diberikan kepada saya.  Sekarang saya siap, lalu saya melangkahkan kaki pertama saya turun.

Wow! Luarbiasa! Saya merasakan badan saya miring. Tiba-tiba sejumput keraguan melintas tipis di kepala saya. Akankah saya aman?

Rupanya sang instrukstur menangkap keraguan di sinar mata saya – karena seketika ia berkata kepada saya “Don’t worry. You have me here for you. Trust me! Look into my eyes!”. Saya melihat ke dalam matanya dan saya merasakan ketenangan dengan mempercayakan seluruh keselamatan diri saya padanya. Ia terus memberi instruksi kepada saya “And keep stepping…. Down! Downward! Downward! Good! Keep Stepping!” Dan seterusnya…

 Saya  terus berjalan mundur ke bawah. Selangkah demi selangkah dengan berani. Lalu tiba pada bagian turunan batu yang sangat terjal dan agak cekung ke dalam. Saya berusaha mencari-cari tempat berpijak  yang aman untuk kaki saya dalam posisi tubuh sejajar dengan permukaan tanah namun menggantung beberapa meter di atasnya.

Sekarang saya tidak lagi mendengarkan kata-kata instruktur saya. Ia sudah terlalu jauh di atas sana dan tidak kelihatan lagi oleh saya. Yang ada hanya saya, tali dan batu terjal itu. Angin berhembus sepoi-sepoi. Saya merasakan kenyamanan yang sangat. Berada di udara! Menengok ke bawah. Alangkah indah pemandangan dari atas sini. Saya sangat bersyukur diberinya kesempatan untuk memandang ciptaanNYA yang maha agung dari posisi tempat saya bergantung dengan seutas tali. Jika saya sebelumnya mundur, tentu saya tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk merasakan hal ini.

 “Yiiihaaaaahhhhhh!!!!”   Suara saya bergema di udara. Saya tersenyum bahagia kepada diri saya sendiri. Bahagia, atas kesuksesan saya menghadapi “Rasa Ketakutan” saya sendiri – yang merupakan “Obstacle” terbesar di dalam diri saya.

Lalu saya melambaikan tangan kanan ke arah teman-teman saya yang menunggu di bawah, memberi semangat dan  bertepuk tangan atas keberanian saya.Sayapun kembali melangkah perlahan. Turun, turun dan turun  dengan bantuan tali di batu itu.

Akhirnya sayapun menjejakkan kaki saya ke tanah dengan selamat.

“Rock and Roll. Yeah!!!” kata seorang teman saya.

Menikmati Alam Cigelong: Bunga Rumput Liar.

Standard

Apakah ada yang pernah tahu atau pernah mendengar nama Cigelong?  Tempat itu adanya di wilayah Sukabumi. Jika kita datang dari arah Jakarta, sebelum mencapai kota Sukabumi, kita akan bertemu daerah yang bernama Parung Kuda. Di sana kita belok kanan, ambil arah ke Citarik (tempat wisata Arung Jeram).  Kita jalan terus menuju daerah Cipetir, lalu Cikidang dan masuk ke area Cigelong.  Ke sanalah saya pergi selama liburan.  Walaupun tempatnya agak jauh dari kota Sukabumi ( bahkan mungkin sudah lebih dekat ke Pelabuhan Ratu), saya senang berjalan ke sana,karena sepanjang jalan saya bisa melihat -lihat pemandangan. Hamparan tanah perkebunan, yang dulunya penuh dengan kebun teh dan kebun karet kini sudah diganti dengan kelapa sawit.  banyak sekali bunga-bunga liar yang sedang bermekaran saya temukan di tepi jalan – walaupun tidak semuanya sempat saya abadikan. Lantana Di Pojok Ladang Kembang Lanting Landa alias Lantana camara ini terlihat sungguh romantis terangguk-angguk di tiup angin di sudut ladang. Bunganya yang berwarna pink  bercampur jingga tampak  ceria menghibur hari.  Barangkali karena syaraf mata terhubung sedemikian eratnya dengan syaraf ingatan, melihat kembang Lantana  camara ini, saya teringat pada Prof  AA Ressang dan mata kuliah Patologi Penyakit Baliziekte pada sapi, terutama pada sapi bali.  Si cantik jelita berbunga indah ini mengandung senyawa Lantadene  yang merupakan racun yang bersifat hepatotoksik ,  sering mengakibatkan gangguan parah – luka-luka dan nekrosa  pada kulit sapi jika sapi digembalakan secara liar dan dibiarkan memakan tanaman ini. Namun dibalik keburukannya itu, biji-biji lantana adalah makanan yang umum disukai burung punai. Saya tidak pernah membaca catatan ataupun laporan mengenai keracunan biji tanaman ini pada burung punai.  Namun apapun itu, bunga tanaman ini sungguh sangat menarik untuk dilihat.

Bunga Ilalang

Bunga Rumput Pennisetum polystachyon alias rumput gajah yang sangat mirip dengan  rumput ilalang. Awalnya saat saya lihat dari jauh,  saya pikir itu rumput alang-alang. Tapi kemudian ketika saya dekati ternyata bunganya bukan putih berkilau, namun coklat kuning keemasan.  hanya ada satu kata yang terucap mengomentari tanaman ini  “Indah!”. Memandang bunga rumput ini membuat saya teringat pada angin.  Karena bunga rumput ini akan terlihat semakin indah ketika ia menari-nari disapa angin. Semak Bunga Ratna Putih  Liar Bunga berikutnya yang sangat menarik perhatian saya adalah Bunga Ratna Liar yang berwarna putih. Bunga Ratna ini kalau ditempat lain biasanya disebut Kembang Kenop liar  atau Gomphrena celosioides. Salah satu anggota dari keluarga bayam-bayaman ( Amaranthaceae). Tidak habis pikir saya, bagaimana bisa bunga-bunga putih yang cantik ini bertebaran ribuan jumlahnya menghampar di pinggir jalan dengan indahnya. Kenopnya yang putih menyembul dari sana sini ditopang oleh tangkainya yang panjang dan langsing. Kalau ada waktu,mungkin akan saya cabuti bunga liar  itu satu persatu, akan saya jadikan rangkaian bunga untuk menghias pojok ruangan saya. Rumput Pecut Kuda Biru Pernah dengan Rumput Pecut Kuda?  Rumput Pecut Kuda atau Stachytharpheta jamaicensis adalah rumput liar yang sangat mudah kita temukan di mana-mana. Setahu saya, ada 3 variant warna bunganya. Yang biru seperti dalam gambar ini, yang putih dan yang pink. Terus terang saya baru pernah lihat yang biru dan putih saja.  Secara tradisional, konon rebusan tanaman ini digunakan sebagai obat untuk mengurangi radang tenggorokan, hepatitis, untuk amandel bahkan ada yang bilang bagus untuk menurunkan tekanan darah. Namun di satu sisi ada juga yang mengatakan bahwa tanaman ini beracun.  Saya tidak tahu kebenarannya, karena  belum pernah mencoba.  Tapi bunga mungil dari rumput pecut kuda ini sungguh menawan. Tergantung pada seutas tangkai bunga yang memang mirip pecut, sehingga tidaklah mengherankan jika diberi nama Pecut Kuda. Blue floss Ada lagi rumput yang sebanrnya sangat menarik bunganya. Namanya Rumput Bandotan (Ageratum conyzoides) . Warnanya ada yang putih, ada yang pink dan ada yang biru. Yang saya temukan kali ini kebetulan yang berwarna biru – sehingga sering juga disebut dengan Blue Floss . Terus terang bunganya indah sekali. Dan diluar sebenarnya juga banyak yang dibudidayakan sebagai tanaman hias. Entah kenapa di Indonesia kok pangkatnya hanya sebatas gulma, tanaman pengganggu saja ya. Saya membayangkan seandainya rrumput ini berbunga semua pada saat yang bersamaan, tentu keseluruhan ladang akan tampak berwarna biru. Bunga Kering Ada lagi pemandangan yang menarik. Kali ini bukan bunga segar, namun bunga kering dari Rumput Bandotan. Walaupun sudah tua dan mati,namun tetap meninggalkan keindahananya untuk ditatap mata manusia. Alam selalu memberikan keindahan, jikakita ingin melihatnya.

Taburan Sangrai Wijen Ala Jineng Bali.

Standard

Sangrai WijenWijen! Apa yang ada di pikiran kita jika melihat atau mendengar kata Wijen?  Kebanyakan mengatakan kepada saya jadi teringat pada kue Onde-Onde, yang bentuknya bulat isinya kacang ijo dan luarnya ditaburin wijen.  Ada juga yang teringat pada minyak wijen buat masak.  Tapi kalau saya sendiri malah teringat pada “Sambel Lenga” hasil ulekan ibu saya yang terbuat dari Wijen.

Wijen atau Sesami (Sesamum indicum),  dalamBahasa Bali disebut dengan Lenga (bacaannya dalam Bahasa Bali: Lenge –  e dibaca seperti kita membaca e pada kata dekat). Jadi Sambel Lenga dibaca Sambel Lenge. Tapi kali ini saya tidak membahas Sambel Lenga, karena dalam liburan ini saya akan membuat  Tabuhan Lenga Nyanyah yang sudah saya modifikasi dengan bahan-bahan yang  tersedia pada jaman sekarang (Tabuhan = Taburan, Nyanyah = sangrai ; Tabuhan Lenga Nyanyah = Taburan Sangrai Wijen) yang sangat nikmat dijadikan taburan nasi hangat.

Bahan bahannya : Lenga (biji wijen), garam, gula pasir, cabe kering, rumput laut kering, bawang merah, bawang putih .

Cara membuatnya sangat mudah:

1/. Sangrai Wijen hingga wangi dan warnanya kuning kecoklatan.

2/.  Iris bawang merah & bawang putih lalu goreng. Bisa juga gunakan bawang goreng yang siap pakai – bisa dibeli di Supermarket terdekat. Gerus bawang goreng hingga menjadi bubuk kasar.

3/.  Goreng cabe kering, lalu gerus kasar. Bisa juga gunakan bubuk cabe kering yang sudah jadi. * untuk anak-anak, bahan cabe kering bisa dikurangi atau ditiadakan.

4/. Goreng atau sangrai lembaran rumput laut kering – lalu gerus hingga menjadi serpihan-serpihan kecil yang kasar

5/. Campur  wijen yang telah disangrai dengan bubuk kasar bawang merah/putih goreng, bubuk cabe kering, bubuk rumput laut, gula dan garam secukupnya.  Aduk-aduk hingga rata.

6/. Gunakan sebagai bahan taburan. Paling enak kalau ditaburkan diatas nasi panas yang baru matang.

Anak-anak dan keluarga pasti senang.

Menemani Anak Bermain Di Sungai.

Standard

Bermain di Sungai _ Liburan!  Yiiiiiihaaaah!!!!. Mau ngapain ya, biar seru?   Kali ini saya mengajak anak-anak dan keponakan saya mengisinya dengan bermain-main di sungai. Tentu saja yang airnya masih bersih dan jernih.   Kebetulan saya sedang berada di kota Sukabumi.  Saya ingat ada sebuah tempat bersungai yang menarik untuk dikunjungi.  Letaknya tidak jauh dari tempat saya tinggal di Sukabumi. Namanya Pondok Halimun.   Halimun, seperti kita tahu artinya adalah Kabut.  Jadi Pondok Halimun maksudnya adalah Rumah Kabut. Dinamakan demikian,karena tempat itu letaknya di kaki Gunung Gede – Gunung Pangrango yang seringkali diselimuti kabut.  Terutama pada sore hari yang dingin menggigil.

Untuk mencapai Pondok Halimun, dari tempat tinggal saya di kota Sukabumi kita perlu  melewati Jalan  Bhayangkara, lalu berbelok masuk ke  Jalan Sela Bintana. Menjelang tempat wisata Sela Bintana, kita berbelok ke kiri, masuk ke daerah perkebunan. Lurus terus sampai  sampai ke Perkebunan Teh Goal Para (PT Perkebunan Nusantara VIII).  Di sana ada pos penjagaan  – kita berbelok ke kanan lalu ke kiri melintas di depan Rumah Kabayan (apakah ada yang masih ingat serial TV  Si Kabayan pada jaman dahulu? – rumah ini adalah tempat shooting Si Kabayan ), kita  terus mengikuti jalan dan tibalah di Pondok Halimun.

Sesungguhnya 2.5 km (kira-kira 1-1.5 jam berjalan kaki menanjak)  dari sana terdapat Air Terjun Cibeureum yang menjadi tujuan wisata banyak orang. Tapi saya dan anak-anak hanya bermaksud bermain di sungai saja.  Sungai yang dangkal berbatu-batu, dengan air jernih pegunungan  yang bebas polusi.  Saya pikir, di daerah-daerah lain tentunya juga banyak yang memiliki berbagai sungai jernih seperti ini.  Nah, mengapa ke sungai? Mengajak anak bermain ke sungai pegunungan menurut saya memberi banyak sisi pembelajaran non formal dan tak langsung yang bisa dipahami anak dengan cepat tanpa harus  merasa terbebani dengan kata ‘belajar’.  Karena ia bisa mendapatkannya sambil bermain-main.

1. Belajar bentang alam. Ketika pada mata pelajaran  science di sekolah anak-anak diajarkan oleh gurunya mengenai berbagai jenis bentang alam dengan melihat pada gambar-gambar yang ada. Di alam, anak anak secara mudah akan bisa memahami bentang alam sungai – mana yang disebut dengan sungai, jurang ataupun lembah sungai. Di sini anak-anak  juga sekaligus  bisa memahami dengan cepat mengenai bentang alam pegunungan- mana yang disebut dengan gunung, bukit ataupun lembah.

2.  Memahami perbedaan suhu udara akibat perbedaan ketinggian dari permukaan laut.  Menurut informasi, Pondok Halimun memiliki ketinggian sekitar  1050 meter di atas permukaan laut – memiliki suhu yang berkisar antara 16 – 20 derajat Celcius. Sangat berbeda dengan Jakarta yang berada rata-rata 7 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 27-29 derajat C.  Anak-anak tentu dengan cepat bisa menghubungkannya saat merasakan udara dingin menyergap kulitnya.

3. Memahami biodiversity sungai dan lingkungannya. Sambil mencelupkan kaki di air sungai yang dingin anak-anak bisa diajak untuk melihat-lihat binatang apa saja yang hidup di sungai dan sekitarnya.  Ikan-ikan kecil yang mudah terlihat, tentu saja.  Lalu anak-anak juga mengamati udang sungai dan gerakannya yang  menurut mereka sangat aneh dan menakjubkan. Anak-anak juga bisa kita ajak untuk mengamat-amati kumbang air yang bergerak berulang-ulang di atas permukaan air. Di pinggir sungai, tentu saja dengan mudah kita bisa menemukan berbagai jenis burung dan kupu-kupu indah warna warni yang beterbangan.

Selain fauna, juga banyak bisa kita temukan berbagai macam tanaman yang jarang dilihatnya di perkotaan. Keluarga pohon pakis tinggi  yang liar adalah tanaman pertama yang menarik perhatian anak saya. “Seperti di Jurasic Park!” kata anak saya. Seorang saudara dari Singaraja yang ikut berjalan bersama kami dan kebetulan banyak bergaul dengan tanaman hias menceritakan kepada anak saya bahwa itu adalah tanaman Pakis Monyet (Cybotium sp) dan harga per batangnya mencapai 2- 3 juta rupiah. “Wow!” anak saya yang kecil lalu mulai berhitung kira-kira berapa duit yang akan dihasilkan jika seluruh tanaman Pakis Monyet di sana dijual semua ke kota.  Lalu ada juga banyak pohon damar (Agathis dammara), lalu pohon honje hutan (Etlingera hemisphaerica) , pohon pucuk merah (Syzygium sp), pohon pinus (Pinus merkusii) dan masih banyak lagi tentunya. Hey! Ada yang ingat pelajaran Biology tentang Lumut Hati, tidak? Anak saya yang besar mengangguk. Lalu sayapun menunjukkan  contoh tanamannya yang tumbuh di dinding tebing. Lumut Hati (Marchantia polymorpha) memang sungguh jenis tanaman yang sangat menarik untuk dilihat.

4. Memperhatikan  batu-batu kali yang berserakan besar-besar, halus dan licin , anak-anak bisa memahami bahwa air yang mengalir secara terus menerus, memberikan dampak pengikisan dan membuat permukaan batu kalipun  menjadi halus dan membulat.

5. Bermain di kali Juga sekaligus memberikan kekuatan  pada anak untuk mengembangkan syaraf-syaraf motoriknya dengan cara naik, turun dan meloncat di atas batu. Beberapa kali jatuh terpeleset tidak apa-apa. Anak akan cepat bangun dan naik kembali.  Kita orangtua, hanya perlu mengawasinya saja dari dekat, untuk memberi pertolongan jika terjadi sesuatu yang membahayakan. Namun secara umum, bermain di sungai yang dangkal, bukanlah sesuatu yang berbahaya.

Masih banyak lagi hal-hal lain yang bisa dipelajari oleh anak-anak sambil bermain. Dan lebih dari semuanya itu, bermain di sungai memberi anak kegembiraan yang tiada tara, yang tidak bisa ia dapatkan dari permainan games-nya di Laptop maupun di kartu Vanguard.

Jika kita menyadarinya, alam memberikan kebahaigiaan yang tak bisa dibeli dengan uang ke dalam hati manusia.

Membersihkan Kulkas.

Standard

Isi KulkasSalah satu hal yang sangat perlu saya lakukan sebelum meninggalkan rumah untuk berlibur panjang ke luar kota adalah membersihkan kulkas.  Karena saya tidak mau setelah kembali ke rumah dalam keadaan lelah, saya menemukan kulkas saya  juga penuh dengan bahan makanan yang membusuk dan menumpuk. Jadi beberapa hari sebelumnya saya sudah mulai bersiap-siap. Mengambil ancang-ancang, sejak si Mbak yang membantu urusan rumah tangga pamit pulang untuk berlebaran.

Pertama, saya menghentikan belanja dapur harian ke tukang sayur. Berikutnya, saya mengeluarkan semua isi kulkas.  Memilah bahan-bahan makanan yang masih bisa dimanfaatkan dan memilih mana bahan makanan yang akan segera rusak (perishable food) dan mana yang akan masih bisa bertahan dalam waktu beberapa hari. Beberapa hari terakhir ini kebetulan saya agak  sibuk urusan kantor,jadi benar-benar tidak mengikuti ada jenis bahan makanan apa saja dikulkas.  Nah  kesempatan inilah saya gunakan sekalian untuk memilah sekaligus membersihkan.

Daging, telor dan sumber protein yang lain.

Saya memiliki dada ayam yang bisa saya olah untuk menjadi ayam goreng kering, sepapan tempe, dua buah tofu dan beberapa butir telor. Saya pikir cukup untuk keperluan dua hari. Jadi saya benar-benar memutuskan untuk hanya memanfaatkan yang ada saja tanpa perlu menambah pembelian lagi di tukang sayur.

Sayur mayur.

Nah! Ini peninggalan si Mbak yang paling banyak di kulkas. Ada banyak sekali jenis dan jumlahnya. Saya agak kurang mengikuti, bagaimana bisa kok si Mbak menumpuk banyak sekali sayuran ya? Rasanya sangat sangat lebih untuk keperluan selama dua hari. Ada tauge di dalam kantong plastik. Masih segar. Lalu di kantong plastik yang lain ada daun bayam yang sudah dibersihkan, siap untuk ditumis. Lalu saya melihat sawi keriting beberapa buah,mulai agak layu.  Berikutnya saya membuka bungkusan koran, rupanya ada daun ciwis kesukaan saya – lumayan untuk sekali nyayur.  Lalu ada caisim.  Terus ada seikat kacang panjang yang masih segar. Terus ada kol ungu – saya ingat kol ini saya yang membeli di Supermarket. Lalu ada terong ungu yang panjang – cukup banyak juga jumlahnya.

Namun itu belum semuanya. Saya masih menemukan  beberapa buah pare, sebatang wortel,  jagung putren, sawi putih, timun, kapri manis, seledri, bawang daun, cherry tomato, broccoli dan jamur shiimeji.  Yang terakhir itu hasil belanjaan saya. Waduuh banyak juga ya. Saya tidak sadar bahwa saya dan Si Mbak telah melakukan penumpukan bahan makanan yang berlimpah di kulkas. Ini pasti terjadi akibat kurangnya koordinasi saya di dapur selama beberapa hari terakhir ini.   Karena saya hanya punya waktu dua hari untuk menghabiskannya, maka saya hanya membersihkan semua sayuran itu, lalu memilahnya. Memasak yang bisa saya masak, sisanya saya bungkus rapat di dalam plastik untuk saya bawa ke rumah ibu mertua saya saja. Daripada layu dengan sia-sia. Di sana lebih banyak orang. Tentu sayuran ini akan lebih bermanfaat.

Buah-buahan.

Tidak sebanyak sayuran. Tapi saya menemukan beberapa jenis. Sebagian sudah ada yang kurang layak dikonsumsi – jadi saya buang.  Tapi masih ada juga yang layak konsumsi.  Dimakan secukupnya. Lalu masih ada sisa,  saya buat untuk jus.  Lalu ada  buah timun suri. Wah,ini untuk apa ya? Kalau tidak dibuat es buah tentu kurang enak. Akhirnya saya jus saja. Juice Timun Suri! Pernah ada yang mencoba tidak? Rasanya hambar. Tapi jika kita tambahkan gula, sungguh unik juga rasanya. Enak!.

Nah..sekarang kulkas sudah bersih. Sudah siap untuk ditinggal berlibur selama beberapa hari. Hati tenang,kulkas bersih dan tidak ada bahan makanan yang masih layak  terbuang percuma.

Aesop’s Fable: Seekor Banteng Dan Seekor Kambing.

Standard

The bull and the goatPada suatu ketika,  adalah seekor banteng yang sedang dikejar oleh seekor singa.  Ia melarikan diri ke dalam sebuah gua, di mana seekor kambing liar tinggal di sana. Kambing  itu adalah seekor makhluk yang kasar. Melihat kedatangan banteng itu, ia sama sekali tidak bersikap ramah. Malah mulai menyerang banteng itu dengan cara menyerudukkan tanduknya ke tubuh banteng itu. “Kalau  sekarang aku hanya bersikap diam seperti ini…” kata sang  banteng “..jangan pikir itu karena aku takut padamu.  Setelah singa  itu pergi, aku akan segera menunjukkan padamu, perbedaan antara seekor banteng dengan seekor kambing” katanya.

*****

Terkadang keangkuhan membuat kita menjadi buta, tidak mampu mengenali potensi yang ada pada diri orang lain, sehingga kita menyangka bahwa diri kitalah yang paling kuat, paling berkuasa, paling mampu dan paling berpengetahuan.  Kita tidak tahu bahwa banyak sekali orang di luar sana yang memiliki kelebihan jauh diatas yang kita miliki. Memiliki harta yang jauh lebih banyak dari apa yang kita miliki. Menguasai ilmu pengetahuan yang lebih luas dari pada apa yang kita kuasai. Menyimpan kebijaksanaan yang lebih tinggi dari apa yang kita simpan.

Orang yang diam, bukan berarti tidak memiliki pengetahuan.  Orang yang rendah hati bukan berarti  tidak mampu.  Jangan pernah bersikap merendahkan kemampuan orang lain.  dan juga jangan pernah mengganggu orang yang sedang kesusahan.

Kisah Seekor Banteng Dan Seekor Kambing ini saya terjemahkan dari buku Aesop’s Fables yang dikumpulkan dan diadaptasikan oleh Jack Zipes.

Ayam Goreng Laos.

Standard

Ayam Goreng LaosAda satu masakan yang selalu dihidangkan oleh ibu mertua saya setiap kali saya ikut pulang ke rumah suami saya. Ayam Goreng Bumbu Laos. Rasanya sangat enak. Gurih dan empuk. Mengapa hidangan ini menjadi semakin istimewa? Karena selain rasanya yang memang enak, juga karena Ayam Goreng Laos ini sering dimasak ibu mertua saya khusus untuk saya karena beliau tahu saya tidak mengkonsumsi daging sapi sejak kecil. Padahal ibu mertua saya sendiri justru tidak mengkonsumsi daging ayam sejak kecil.  Belakangan ketika ibu mertua saya semakin sepuh dan jarang ke dapur, kakak ipar saya yang sangat baik,  selalu memasakkan Ayam Goreng Bumbu Laos  ini untuk saya tiap kali saya datang.  Ibu mertua saya menyebutnya dengan nama Ayam Goreng Laja.

Terus terang saya tidak pernah masak Ayam Goreng Laos ini di Jakarta dan tidak pernah memakannya di tempat lain, selain di rumah ibu mertua saya. Tapi saya sungguh menyukainya. Namun saya ingat, suatu kali saya pernah makan ayam goreng yang rasanya serupa ketika saya sedang ikut sebuah training di sebuah hotel di daerah Bogor.  Di hotel itu, ayam goreng ini disebut dengan nama Ayam Goreng Sukabumi. Rasanya enak banget sih.

Karena penasaran, maka sayapun bertanya kepada kakak ipar saya bagaimana cara membuatnya.

Bahan-bahannya adalah:

Ayam 1 ekor (ayam kampung lebih baik),  Laos (sebaiknya dipilih yang masih muda),  sereh ,  bawang merah,  bawang putih,  kunyit,  garam dan daun salam secukupnya.

Cara membuatnya:

1. Bersihkan ayam,potong-potong sesuai dengan selera kita.

2. Parut laos dengan parutan kelapa. Laos yang muda lebih mudah diparut dibandingkan dengan yang tua.

3. Iris-iris batang sereh.

4.Ulek bawang merah,bawang putih, kunyit dan garam.

5. Campurkan bumbu ulek dengan parutan laos dan irisan sereh.

6. Rebus daging ayam, masukan bumbu dan tambahkan daun salam. Aduk-aduk, tutup panci dan tetap dimasak dengan api kecil hingga matang dan airnya susut (diungkep).

7. Goreng ayam beserta bumbunya hingga berwarna coklat keemasan. Angkat dan hidangkan di atas piring.

 

 

Labu Siam Putih, Penurun Tekanan Darah Tinggi.

Standard

Labu Siam PutihLabu Siam (Sechium edule)! Sebagian besar dari kita tentu tahu atau setidaknya pernah mendengar tentang Labu Siam. Atau bahkan banyak diantaranya yang malah menyukainya? Tanaman merambat ini merupakan salah satu flora yang umum bisa kita temukan dari ujung barat ke ujung timur tanah air kita.  Di mana-mana ada. Selain dibudidayakan untuk diambil buah dan pucuk daunnya untuk sayuran, juga banyak dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah tinggi  dan arteriosklerosis.

Ya.. walaupun namanya Labu Siam, namun di Indonesia labu ini benar-benar merupakan  tanaman yang sangat merakyat.Saya tidak tahu persis, mengapa Labu ini disebut dengan nama Labu Siam. Apakah karena berasal dari negeri Siam? Mungkin saja.  Walaupun bagi saya penamaan ini sangat membingungkan. Karena di Bali, Labu ini malah dikenal dengan nama Jepang. Apakah karena orang Bali jaman dulu menyangka bahwa tanaman ini berasal dari Jepang? Buah Jepang. Sayur Jepang. Nah lho? ! Bingung kan? Yang jelas Jepang dan Siam itu adalah dua negara yang berbeda. Namun apapun namanya, bagi saya Labu ini adalah tanaman rakyat Indonesia.

Umumnya, Labu Siam yang kita kenal itu berwarna hijau segar. Namun  kali ini yang saya lihat di rumah salah seorang kerabat suami saya adalah variant yang berwarna putih mulus. Awalnya saya melihatnya di antara salah satu hidangan makan siang yang disuguhkan. Sangat menarik. Dihidangkan sebagai lalapan yang dimakan bersama dengan sambel terasi. Namun ketika saya tanya,  rupanya sayuran ini adalah hasil memetik dari halaman belakang.

Sayapun segera menengok ke halaman belakang. Benar saja, di sana ada tanaman Labu Siam yang merambat di tiang rambatan dan juga menjulur terus ke pohon di sebelahnya. Ada banyak bunga putih yang menyembul mungil di balik dedaunan yang rimbun. Juga ada banyak buah-buah kecil dan juga besar bergelantungan di sana. Tapi semua warnanya memang putih mulus. Menarik sekali. Dan langka.  Beberapa orang kerabat mengatakan kepada saya bahwa jenis labu siam putih ini dipercaya malah lebih ampuh dalam mengatasi penyakit tekanan darah tinggi.

Maka sayapun dihadiahi sebutir buah Labu Siam Putih yang siap tanam untuk saya bawa pulang. Semoga saya bisa menanamnya dengan baik.

Salwar Kameez…

Standard

Salwar KBeberapa hari ke depan ada sebuah acara resmi yang meminta saya hadir dengan dress code yang sudah ditentukan: Salwar Kameez. Wah.. apaan itu? Saya belum tahu. Akhirnya dengan melakukan browsing internet sayapun menemukan penjelasan bahwa Salwar Kameez adalah salah satu pakaian traditional India yang berasal dari negara bagian Punjab. Saya merasa sudah mendapatkan gambaran yang cukup baik tentang jenis pakaian yang dimaksudkan. Cukup banyak juga saya lihat digunakan oleh para wanita di jalanan di kota Bangalore.  Terdiri atas 3 potong. Gaun atas kurang lebih selutut, celana panjang dan  selendang panjang. Secara umum sangat mirip dengan pakaian muslim yang mudah kita jumpai dimana-mana. Cuma warnanya biasanya agak lebih cemerlang. Ada juga sih yang warnanya kalem dan polos, tapi  jarang. Terutama jika digunakan untuk keperluan pesta, selain warnanya biasanya lebih cemerlang, umumnya juga penuh dengan motif dan payet-payet khas India.

Oleh karenanya, saat ada sedikit waktu santai dan kebetulan saya sedang ada urusan di dekat daerah pertokoan,maka sayapun melihat-lihat counter-counter  yang  menjual banyak pakaian muslim. Barangkali ada satu dua pakaian India yang juga terjual di sana.  Saya melihat-lihat. Keluar masuk counter. Tidak satupun saya menemukan apa yang saya cari. Ada banyak busana muslim sih. Tapi tidak ada yang design maupun motifnya cocok disebut sebagai busana India. Ternyata cukup sulit ya menemukannya.  Saya lalu mulai berpikir, jika akhirnya saya tidak menemukannya – barangkali saya akan membeli salah satu busana muslim dengan warna yang cerah lalu payet-payetnya – jika memang dibutuhkan, mungkin akan saya pasang sendiri saja.

Setelah berpikir begitu, tiba-tiba saya melihat sebuah busana yang sangat indah sekali terpajang di sebuah counter. Warnanya coklat kehijauan dengan hiasan payet yang tebal dan rapi dengan design yang sangat menarik. Payet yang digunakan juga bukan dari jenis yang murah. Qualitasnya sangat bagus. Saya memegangnya dan mulai mematut-matut diri di depan kaca. Salwar Kameez! Inilah yang dimaksud dengan Salwar Kameez untuk pesta. Wah..kalau saya membeli dan mengenakan busana ini, terus menggunakan make up secukupnya, lalu menata rambut saya, menggunakan accessories yang sesuai… siapa tahu barangkali tampilan saya sedikit mendekati bintang bollywood Aishwarya Rai….

Hai.. Hai.. .. saya tergelak sendiri di dalam hati oleh khayalan saya yang melambung terlalu ketinggian. Baru usai dengan khayalan itu, tiba-tiba Si Mbak penjaga counter berkata kepada saya bahwa baju itu tidak dijual. “Pesanan orang, Bu” katanya. Oh! Alangkah kecewanya hati saya. Padahal saya ingin beli,lho! Serius!. “Ooh,gitu ya Mbak. Berapa sih harganya? “ tanya saya ingin tahu. Lalu si Mbak berkata dengan entengnya “ Tiga juta, Bu!”. Hah? Mahal amir! Walaupun barangkali bagi sebagian orang harga tiga juta untuk sebuah gaun adalah biasa saja, namun bagi saya itu sangat  kemahalan.  Tentu saja saya tidak akan tega mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebuah gaun yang akan saya pakai hanya sekali. Dalam hati saya beryukur bahwa baju itu ternyata pesanan orang dan tidak mau dijual oleh Si Mbak. Jadi saya punya alasan untuk urung membeli. “Oke deh,Mbak. Terimakasih ya” kata saya sambil melenggang keluar.

Di counter berikutnya saya melihat sebuah gaun lagi.  Bukan Salwar Kameez. Ini lebih mirip gamis kali ya.  Tapi motif gaun itu menurut saya India banget. Jadi,saya pikir barangkali bisa sedikit saya akalin, dengan memotong bagian bawahnya. lalu nanti akan saya pasangkan dengan celana panjang saya yang ada. Harganyapun lebih masuk akal buat kantong saya.  Jadi saya berniat mencobanya. Karena itu hanya sebuah counter kecil yang tidak punya kamar pas,  si Mbak menyarankan saya untuk menyikutkannya di badan saya. Ya ampuuun.. Ternyata ukuran di bagian pinggulnya terlalu sempit untuk saya. Si Mbak menggeleng saat saya tanya apakah punyan ukuran yang lebih besar. “Size yang ada hanya yang dipajang saja , Bu ” katanya. Apa boleh buat, terpaksa saya keluar dengan tangan hampa.

Salwar Kameez!. Ooh Salwar Kameez!.