PENARI YANG KABUR DARI PANGGUNG.

Standard
Ni Made Sri Andani – menari Topeng Tua.

Seorang kakak saya berkomentar di Sosmed, di foto saya yang sedang menari.

“Aniii….nu lana ingetanga igis-igis. Awas, dasaanè ngalaib ka sisi (malipetang) 🤣🤣”

Artinya kurang lebih, “Waaah… masih ingat (menari) juga rupanya dikit-dikit, ya. Awas, jangan sampai kabur & balik ke belakang panggung lagi 🤣🤣”.

Begitu komentarnya dalam bahasa Songan, sambil tertawa.

Note: Bahasa Songan adalah bahasa yang dicakapkan masyarakat Bali Mula di pegunungan Kintamani. Ada sekitar 40% perbedaan kosa kata dengan Bahasa Bali biasa.

Saya 🙄 🤣😂😍

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya ini menari sejak kecil. Selain tari pendet, panyembrama, tenun, margapati, panji semirang, nelayan, legong keraton, wiranata, oleg tamulilingan, saya mempelajari tarian laki-laki juga, seperti Tari Baris, Tari Jauk Keras, Tari Jauk Manis, dsb.

Suatu ketika, ada upacara di desa Songan. Bapak memberitahu jika malam nanti saya dan saudara-saudara akan ngayah menari di halaman pura. Ngayah artinya, melakukan pekerjaan di Pura (misalnya bersih-bersih, membuat banten, menari, mekidung, dsb) tanpa bayaran.

Pada jaman itu, jika di pura akan ada tari-tarian, maka halaman pura yang tadinya kosong, maka akan disulap dan didandani, dijadikan kalangan (panggung pertunjukan).

Kalangan, atau arena panggung akan dibuat dengan menancapkan tiang-tiang bambu membentuk ruang persegi panjang yang juga dibatasi lagi dengan bambu di sisi kiri, kanan dan depan untuk mencegah penonton merangsek masuk ke dalam kalangan. Dihiasi dengan janur dan pelawa (hiasan dedaunan) dan di atapnya digantungi dengan tamiang dan hiasan janur serta bunga lainnya. Sebagai alasnya diletakkan tikarr- tikar daun pandan yang berfungsi sebagai karpet, di mana penari akan menari di atasnya. Butuh cukup banyak tikar yang dusambung-sambung untuk menutupi selurih Kalangan, mengingat ukuran tikar biasanya hanya sepesekian dari ukuran Kalangan. Di sebuah ujung Kalangan, akan dipasang Langsè, sejenis gorden besar dan tinggi yang dibelah dua di tengah-tengah, darimana nantinya penari akan muncul dengan cara membuka Langsè itu.

Nah sekarang waktunya saya menari. Gamelan Jauk Keras telah berbunyi dengan kencang dan irana yang sangat cepat.

Pak dug pak dug pak dug.. Jreng!!!
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong 🎶🎶

Saya menarikan Tari Jauk Keras yang menggambarkan seorang penguasa yang penuh semangat, namun cenderung ambisius, kasar dan arogan. Tari ini menggunakan Topeng yang wajahnya berwarna merah.

Saya pun membuka Langsè, mulai membawakan bagian pembukaan dari Tari Jauk ini. Melihat penonton yang sangat banyak dari balik mata topeng yang saya kenakan. Gerakan tari ini sejak awal memang sudah sangat dinamis, cepat dan penuh tenaga. Lalu saya bergerak dan bergerak terus semakin ke depan mengikuti irama gamelan.

Setelah beberapa gerakan pembuka, sekarang tarian memasuki fase pengawak, alias ” Mapang” , dimana gerakan di fase mapang ini adalah gerakan yang paling keras dan kencang. Entah kenapa, mungkin karena pandangan dari balik topeng sangat sempit, saya kurang memperhatikan ke bawah, eeeh.. kaki saya yang tanpa alas, tersangkut di salah satu ujung tikar daun pandan yang dijadikan alas menari.

Waduww, kacau!!!. Saya kehilangan fokus. Perhatian saya terpecah ke kaki yang terasa sedikit perih. Ketika saya hendak kembali menari, tiba-tiba saya tidak bisa mengingat sampai di mana gerakannya tadi. Sementara musik terus berjalan dengan sangat keras dan bising.

Tari Bali adalah tari yang ketat. Antara gamelan dengan gerakan harus menyatu. Kapan harus menggerakkan tangan, kapan harus menggerakkan kaki, leher, kepala dan sebagainya tidak bisa seenak udel.
Astaga! Saya tidak bisa mengingatnya, kalau gamelan ini gerakannya harus bagaimana ya.

Dan saya benar-benar nge-blank!!!

Karena merasa malu terdiam terlalu lama di panggung tanpa mampu mengingat kembali gerakan, akhirnya saya memutuskan untuk lari, kabur, masuk kembali ke dalam langse.

Penonton pada bengong semuanya. Demikian juga tukang gamelan. Mereka pun menghentikan gamelannya. Dan heran, apa yang terjadi ?

Di belakang panggung, Bapak saya memenangkan dan membesarkan hati, setelah tahu mengapa saya kabur dari panggung. Karena kaki saya tersandung dan saya tak bisa fokus pada gerakan tariannya, dan tiba-tiba nge-blank tidak bisa mikir. Saya malu.

Kegagalan adalah sebuah hal yang biasa dalam hidup. Bukan untuk dirutuki dan untuk membuat kapok tak mau mencoba lagi. Kegagalan justru harus dipelajari, agar kita bisa melakukan perbaikan berikutnya. Anggap saja latihan.

Sesaat kemudian setelah saya tenang, Bapak saya menawarkan apakah saya mau mengulang lagi menari dari awal. Saya mengangguk. Saya harus mengulang lagi menari dan membuktikan kepada penonton, bahwa saya memang bisa menari.

Gamelan terdengar lagi, dan sayapun menari kembali. Melupakan kegagalan yang pernah saya alami. Saya bertekad untuk sukses. Dan saya berhasil menunjukkan kesuksesan menari malam itu.

Sayapun terus menari.

One response »

Leave a comment