BANYU PINARUH. Menjaga Tradisi Ibu.

Standard
Banyu Pinaruh

Hari ini adalah hari Reditè Paing Wuku Sinta dalam kalender traditional Bali. Hari yang mengawali wewukon baru. Hari ini juga disebut dengan nama Rainan Banyu Pinaruh. Tepat satu hari setelah hari Saraswati yang jatuh pada Saniscara Umanis wuku Watugunung.

Hari Banyu Pinaruh adalah bagian dari rangkaian hari raya Saraswati yang dirayakan sebagai hari penghormatan terhadap turunnya Ilmu Pengetahuan, Kesenian, Keindahan dan Kebijaksanaan (knowledge, art, beauty & wisdom).

Jika hari Saraswati adalah perayaan atas turunnya ilmu, maka hari Banyu Pinaruh adalah perayaan atas penerimaan ilmu pengetahuan itu sendiri oleh diri kita.

Hari ini selalu mengingatkan saya akan Ibu dan Kompyang (Eyang Buyut) saya. Akan masa kecil saya yang indah dan sangat menyenangkan.

Di hari ini, biasanya kami akan memulai pagi dengan membersihkan diri serta membasuh pikiran dari segala kekotoran, yang secara simbolik dilakukan dengan mandi di mata air seperti di Anakan atau di Arca (banyak masyarakat yang lain mandi di pantai), atau di rumah saja dengan menggunakan air kumkuman.

Ini adalah ritual pembasuhan dari segala bentuk kegelapan, kebodohan , kekotoran jiwa serta segala bentuk ketidaktahuan manusia.

Air kumkuman adalah air wangi yang dibuat oleh Ibu atau Kompyang saya pada hari sebelumnya, dengan cara mengasapi Jun (periuk tanah liat) dengan bahan wewangian yang dibakar – misalnya dari berbagai jenis kayu-kayuan (cendana/sandalwood, gaharu/oud, kemenyan/styrax, akar wangi/vetiver, dsb), agar segala bakteri dan kuman lain mati dan periuk menjadi wangi.

Mungkin teman-teman tertawa mendengar kata kemenyan 😀, bisa jadi karena di daerahnya kemenyan dikaitkan dengan mahluk halus ya 😀.

Tapi di Bali, karena tidak ada orang yang mengaitkan kemenyan dengan mahluk halus, jadi tidak ada orang yg takut dengan kemenyan. Kemenyan murni dilihat hanya sebagai bahan wewangian atau bahan parfum saja.

Demikian juga di dunia parfum, keempat bahan yang saya sebutkan di atas itu, termasuk kemenyan adalah bahan-bahan utama yang banyak digunakan dalam pembuatan parfum yang mahal- mahal.

Periuk lalu diisi air penuh lalu ditambahkan bunga-bunga wangi seperti cempaka dan irisan daun pandan arum. Lalu didiamkan semalam.

Mandi dan keramas dengan air kumkuman membuat tubuh wangi dengan sangat awet.

Untuk menambah awet wangi, biasanya Kompyang saya juga akan mengasapi tubuh dan rambut saya dengan ratus. Menurutnya ini penting, karena anak perempuan harus selalu awet wangi. Dan betul. Jika diratus, saya merasa wangi hingga berhari-hari, walaupun sudah berkeringat dan mandi serta keramas lagi dengan shampoo, tapi wangi ratusnya masih tercium enak.

Setelah sembahyang, berterimakasih dan bersyukur atas dianugerahkannya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, maka kami merayakannya dengan makan Nasi Labaan.

Nasi Labaan adalah Nasi kuning yang dimasak dengan menggunakan air kunyit dan pandan arum, dihidangkan dengan lauk ayam suir atau udang, telor dadar, saur (serundeng), sedikit kecicang (kecombrang/honje), kecai (kacang yang baru tumbuh dari biji), sebagai simbol bersyukur.

Dan tidak lupa Kompyang saya juga menyiapkan Loloh Kunyit untuk saya minum agar saluran pencernaan bersih dan wajah tampak cerah.

Saya mengenang kembali masa kecil indah itu saat di Bali dan setiap hari Banyu Pinaruh, saya selalu membuat Nasi Labaan dan minum Loloh Kunyit. Air Kumkuman dan ratus, terkadang buat, terkadang tidak. Tergantung mood 😀

Saya pikir, tradisi Banyu Pinaruh ini bisa jadi datang dari tradisi orang-orang Jawa Timur yang bermigrasi ke Bali pada jaman Majapahit. Dan tetap terjaga di Bali. Senentara saya tidak tahu, apakah masyarakat Jawa Timur masih mempertahankan budaya dan tradisi aslinya ini.

Saya berpikir demikian, karena tradisi ini diturunkan oleh Kompyang dari pihak Ibu saya dan terjaga di keluarga Ibu saya yang memiliki marga Pande – klan ini merupakan keturunan dari para Mpu di tanah Jawa – termasuk dengan Mpu Gandring yang disebut-sebut dalam sejarah Singasari.

Sementara, di keluarga ayah saya sendiri yang merupakan masyarakat Bali Mula (Bali asli), tidak memiliki tradisi ini.

Leave a comment