Monthly Archives: June 2016

Rudraksha

Standard

image

Di rumah kakak sepupu saya di Bangli, Bali, tumbuh sebatang pohon Rudraksha (Elaeocarpus ganitris), salah satu pohon yang dianggap penting karena menghasilkan biji-biji yang dianggap suci dan digunakan sebagai bahan dasar untuk tasbih /japa mala. Masih sekeluarga dengan pohon Rijasa (Elaeocarpus grandiflorus) tanaman yang seingat saya dulu  banyak tumbuh di halaman Fakultas Kedokteran Hewan Unud. Bunga Rijasa ini juga banyak dimanfaatkan untuk upacara keagamaan.

image

Pohon Rudraksha ini sudah tinggi melewati atap rumah dan sudah cukup sering berbuah. Kakak saya dan istrinya mengambil buahnya yang sudah matang dan yang jatuh  karena tua untuk dibersihkan.

image

Buah Rudraksha yang sudah tua berwarna biru terang dan menarik ekali warnanya. Buah ini banyak dimanfaatkan untuk pengobatan beberapa jenis penyakit.

image

Biji biji Rudraksha dibersihkan dari kulit dan daging buahnya, direndam beberapa hari lalu dijemur agar kering. Biji-biji yang disnggap suci inilah yang disebut dengan nama Rudraksha atau Ganitri. Rudraksha sendiri berasal dari 2 kata yakni Rudra (Siwa) dan Aksha (air mata). Jadi artinya airmata Siwa.

Selanjutnya biji-biji Rudraksha ini dilubangi dan dirangkai menjadi japamala.

image

Japamala atau tasbih terdiri atas 108 ganitri digunakan umat untuk membantu melafalkan mantram pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (misalnya Gayatri mantram)  sebanyak 108 x tanpa harus khawatir salah hitung, hanya dengan memindahkan jari tangan kita setiap kali satu bait selesai diucapkan.

Selain untuk japamala, ganitri juga dirangkai menjadi gelang atau kalung yang diyakini dapat memberikan manfaat kesehatan bagi penggunanya.

image

Kakak saya menghadiahkan 2 buah gelang ganitri kepada saya. Tentu saja saya sangat senang dan berterimakasih.

Sedikit tambahan informasi tentang ganitri atau rudraksha ini, menurut kakak saya rata rata biji rudraksha memiliki 6 mukhi (lobus, juring). Tapi ada juga yang memiliki mukhi yang diluar itu, walaupun jarang. Semakin jarang tentu semakin mahal harganya.

Seandainya saja kakak saya atau istrinya mau menyediakan, saya rasa cukup banyak juga orang yang ingin memiliki japamala, gelang atau kalung ganitri.

Loloh, Minuman Segar dan Sehat dari Bangli.

Standard

image

Kalau mampir ke Bangli, rasanya ada yang tidak lengkap jika tidak minum loloh. Loloh Bangli. Diantara pembaca, tentu ada yang bertanya-tanya, ” Loloh itu apa? “.
Nah… bagi yang belum tahu sedikit saya jelaskan bahwa loloh adalah minuman tradisional Bali yang memiliki khasiat pencegahan ataupun pengobatan dan perbaikan fungsi tubuh. Ada loloh untuk mencegah sariawan, ada loloh untuk mengurangi batuk, ada yang menurunkan demam, menghilangkan sakit perut, untuk menghilangkan bau badan, untuk mengurangi sakit karena rematik, loloh untuk memecah batu ginjal dan sebagainya.  Terbuat dari ekstrak daun-daunan, akar, kulit batang, bunga atau buah tanaman tertentu. Mirip dengan jamu kalau di Jawa.

Rasanya? Ya… yang namanya obat atau jamu,  wajarlah kalau rasanya biasanya agak pahit sampai sangat pahit.
Walaupun demikian ada juga lho beberapa loloh yang rasanya tidak pahit. Justru enak atau segar. Saking enaknya terkadang orang lupa kalau loloh ini sebenarnya memiliki khasiat pengobatan dan bukan semata pelepas dahaga.

Kemarin saya pergi ke Pasar Bangli dan sempat menemukan 3 buah loloh ini ditawarkan di pasar.

1/. Loloh Cemcem.

image

Loloh Cemcem adalah salah satu loloh khas Bangli. Sesuai namanya, loloh ini dibuat dengan cara meremas-remas daun Cemcem untuk mendapatkan ekstraknya lalu disaring dan dibuang ampasnya. Rasanya asam segar mirip rasa buah Kedondong. Cemcem (Spondias sp) adalah tanaman sejenis Kedondong tapi umumnya pendek seperti perdu dan biasa ditanam di pagar rumah, sawah atau tegalan.  Pohonnya tidak sebesar pohon kedondong. Ditanam orang untuk diambil pucuk daunnya yang masih muda dan berwarna hijau kemerahan.

Secara traditional, loloh daun Cemcem yang tinggi kandungan Vitamin C-nya ini dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan memperlancar sirkulasi darah. Waktu kecil saya sering juga disuruh memetik pucuk daun cemcem ini dari pagar untuk dijadikan loloh atau untuk bumbu masak  pepes.

Selain sebagai loloh tunggal (hanya ekstrak daun cemcem saja), loloh cemcem juga sering ditambahkan ekstrak lain seperti misalnya daun dadap untuk membantu menurunkan demam, atau daun jarak untuk membantu mengurangi gatal kulit atau mencegah sariawan atau daun sirih untuk mencegah infeksi. Ada juga yang nenambahkan gula merah, atau kelapa muda dan sebagainya sehingga fungsi sebagai pemuas dahaganya semakin menguat.

Karena banyak dijual di Desa Penglipuran di Bangli, loloh Cemcem saat ini seakan ikut memperkuat citra Penglipuran sebagai desa traditional yang unik di dunia.

2/. Loloh Bungan Teleng.

image

Loloh cantik yang satu ini sebenarnya cukup unik. Karena sangat jarang dijual orang. Biasanya hanya dibuat sesekali di level rumah tangga. Jadi saya sangat beruntung karena tanpa sengaja menemukannya di pasar. Sesuai namanya loloh itu dibuat dari hasil perasan kembang Telang  atau yang di Bali disebut dengan Bungan Teleng.

Bunga Telang dikenal dengan khasiatnya sebagai obat mata. Orang tua di Bali sejak jaman dulu memanfaatkannya untuk mempertajam penglihatan. Ada yang menggunakannya langsung sebagai pencuci mata, ada juga yang menggunakannya sebagai loloh.

Untuk  obat haus, hasil perasan kembang telang dibubuhi dengan sedikit perasan jeruk nipis atau lemon plus gula batu. Wah…rasanya mantap. Sejuk dan menyegarkan.

Yang nenarik lagi adalah warna loloh ini. Ungu biru terang seperti warna bunganya.

3/. Loloh Kunyit.

image

Nah kalau loloh kunyit saya rasa sudah banyak orang yang tahu. Sama dengan jamu kunyit yang saya temukan di pedagang jamu Jawa yang keliling perumahan di Jakarta. Fungsinya sebagai antibiotik. Banyak dimanfaatkan para wanita untuk mencegah keputihan dan merawat tubuh dan mengurangi bau badan.
Kadang-kadang loloh kunyit juga dikombinasi dengan perasan asam dan atau daun sirih untuk menjaga kesehatan area kewanitaan.

Nah itulah cerita saya tentang beberapa dari jenis loloh yang ada secara turun temurun  dalam tradisi masyarakat Bali, khususnya di Bangli dan yang kebetulan kemarin saya temukan dijual di pasar Bangli.

Sebenarnya masih banyak jenis loloh lain lagi yang ada dalam tradisi masyarakat Bangli, tapi tidak umum diperjualbelikan. Seperti misalnya loloh don kayu manis untuk menenangkan alat pencernaan, loloh don sambilata untuk mengatasi infeksi dan penyakit kulit, loloh akah pule  untuk mengatasi infeksi pencernaan,  loloh don dapdap untuk menurunkan demam, loloh don sembung untuk menurunkan demam, batuk dan pilek, loloh don sembung bikul untuk mencegah batu ginjal, loloh biyu batu untuk  mengatasi panas dalam, loloh baas cekuh untuk meningkatkan stamina, loloh don beluntas untuk menghilangkan bau badan dan sebagainya masih banyak lagi.

Walaupun jaman dulu belum banyak dokter, rupanya para leluhur kita tetap mampu mempertahankan kesehatannya dengan obat-obatan tradisional semacam loloh ini.

Mampir ke Bangli yuuuk…

Mengenang Sekolahku Tercinta, SD II Kawan Bangli Yang Terbakar. Part 2.

Standard

image

Karena sebelumnya saya bercerita tentang betapa bagusnya kualitas ‘non akademis” di SD II Kawan Bangli yg pada jaman dulu bernama SD III Bangli, lalu ada yang bertanya bagaimana dengan kualitas akademisnya? Ada juga adik kelas yang meminta saya menceritakan tentang guru guru kami pada saat itu.

Inilah pengalaman yang saya alami selama bersekolah di sana.

Menurut saya, sekolah ini memiliki kwalitas akademis yang lumayan bagus jika dibandingkan dengan sekolah dasar yang lain pada saat itu. Sekolah kami juga aktif mengirimkan wakilnya di ajang kompetisi Siswa Teladan, ajang Cerdas Cermat dan ajang kompetisi lainnya bagi anak SD dengan menuai cukup banyak kesuksesan dari tahun ke tahun.

Pun berhasil mencetak alumni dengan kwalitas yang unggul. Tidak sedikit kakak kelas maupun  adik kelas saya yang memiliki prestasi bagus yang diakui di tingkat kabupaten, provinsi bahkan di tingkat nasional. Dan tentunya prestasi itu tidak mungkin tercapai jika tidak didukung oleh kwalitas guru yang handal.

Untuk itu saya ingin mengucapkan terimakasih saya yang amat besar kepada para Ibu dan Bapak Guru yang telah mendidik kami dengan susah payah. Dengan sangat sabar dan tulus. Saya ingin mengenang mereka di sini satu persatu.

Guru saya di kelas 1 dan kelas 2, bernama Ibu Rai. Beliau mengajarkan saya dasar-dasar budi pekerti yang baik. Disiplin yang baik dan taat pada tata tertib yang berlaku. Tubuh dan pakaian yang bersih, rambut yang rapi, kuku yang terpotong pendek dan bersih, masuk dan keluar kelas dengan tertib dan tepat waktu. Beliau juga yang memperkenalkan alphabet latin kepada saya sehingga saya bisa nembaca dan menulis. Dan juga sekaligus mengajarkan saya dasar- dasar aksara Bali ha na ca ra ka. Juga mengajarkan saya dasar-dasar ilmu berhitung, tambah, kurang, kali dan bagi. Beliau adalah seorang guru yang sangat sabar, baik, penuh perhatian namun juga sekaligus tegas dan disiplin.
Pada saat kelas satu saya hanya belajar 2 jam per hari. Mulai belajar pukul 7.00 pagi dan pulang pukul 9.00. Sedangkan saat kelas dua, kami masuk mulai jam 9.00 pagi dan pulang pukul 12.00.
Yang menarik untuk saya ceritakan di sini adalah bahwa pada jaman itu buku tulis/buku kertas belum ada. Jadi kami belajar dan latihan menggunakan batu tulis atau Lai. Sedangkan alat untuk menulisnya adalah Grip. Setiap kali latihan , ibu guru akan mengumpulkan Lai kita. Memberi nilai dengan kapur. Saya sangat senang, karena jika saya betul semua atau nilainya 100, saya akan tempelkan ke pipi saya. Angka 100 atau tanda betul semua itupun menempel di pipi. Lalu saya tunjukkan ke Bapak saya dengan bangga. Bapak saya tentu senang melihat saya selalu mendapat score 100 setiap saat. Setelah akhir kelas 2 atau awal kelas 3 barulah muncul buku kertas dan saya termasuk orang yang beruntung bisa mempelopori penggunaan buku kertas dan pensil di sekolah.

Sekarang kalau dipikir-pikir, belajar dengan lai itu sebenarnya sulit juga. Karena kita hanya punya satu  lai. Apa yang kita catat selalu kita hapus lagi. Tulis- hapus- tulis – hapus. Dibutuhkan otak yang sangat kuat untuk memahami dan menghapalnya – karena catatan itu sudah terhapus. Salut juga sama orang-orang jaman dulu yang sepanjang sekolahnya memakai batu tulis. Daya ingatnya tentu luar biasa.

Jaman itu juga belum banyak murid yang punya sepatu. Ke sekolah kami ya nyeker saja atau paling banter menggunakan sandal jepit. Saya juga punya sepatu. Tapi apa daya, karena sepatu pada jaman dulu adalah barang mewah, saya  hanya menggunakan sepatu saat berada di dalam kelas saja. Saat jam istirahat saya melepas sepatu. Demikian juga jika pulang. Sepatunya saya lepas, saya tenteng atau panggul di punggung saya, sementara saya nyeker ke rumah. Sayang sepatu. ..ha ha.

Suatu kali di hari kenaikan kelas, tidak ada pelajaran hari itu. Jadi saya hanya bermain di halaman sekolah bersama teman-teman. Tentunya dengan melepas sepatu. Tiba-tiba saya dipanggil Ibu Rai. Ooh.. dengan terburu-buru saya masuk ke dalam kelas. Sepatu saya ketinggalan di halaman. Ternyata saya mendapat ranking 3. Ranking pertama diduduki oleh teman saya  Komang Suarsana dan ranking ke dua oleh Putri Paramitha.  Sayapun dipotret dan tentunya…..tanpa sepatu!.

Saya sangat senang. Demikian juga Bapak Ibu saya. Itulah saat  pertama kalinya saya tahu ternyata di kelas itu ada ranking- rankingan. Kalau kita pandai, kita dapat juara. Saya ingin mendapat ranking satu. Tidak mau ranking 3!. Bapak saya tertawa. Kata bapak saya, “Kalau begitu  kamu harus berusaha!”.  Dan sayapun berusaha. Demikianlah di tahun berikutnya ranking saya naik bertahap hingga di kelas 4 akhirnya saya berhasil menduduki ranking pertama. Dan seterusnya hingga saya lulus. Selain itu saya juga senang karena berhasil membawa nama baik sekolah saat harus berkompetisi di ajang Siswa Teladan tingkat SD pada tahun 1976.

Guru kelas III saya bernama Ibu Puji. Ibu Puji adalah ibunda dari teman saya Putri Paramitha. Selain mengajar di kelas, Ibu Puji juga sangat terampil menjahit. Kelas 3 kami mulai belajar full. Dari pukul 7.00 -12.00. Di sini kami mulai belajar ilmu hitung yang lebih rumit. Juga berbahasa Indonesia dengan semakin rapi. Rasanya bangga juga bisa fasih berbahasa Indonesia. Karena jaman itu belum 100% orang di daerah saya bisa menggunakan Bahasa Indonesia dengan fasih. Namun demikian pelajaran Bahasa Bali juga semakin tinggi levelnya.
Seingat saya, saat di kelas 3 ini pada tahun 1974, dinding sekolah yang tadinya berbahan bedeg mulai diganti dengan dinding tembok secara bertahap.

Guru saya di kelas IV bernama Pak Suta. Beliau merupakan guru favorit saya. Sangat pintar mengajar. Karena beliau, saya bercita-cita ingin menjadi guru. Setiap kali bermain sekolah -sekolahan, saya sering berpura-pura menjadi guru. Membayangkan diri saya menjadi sosok sepintar Pak Suta guru saya.
Saya ingat bagaimana beliau menceritakan sejarah dengan cara yang sangat menarik. Kisah Mpu Gandring, Ken Arok, Tunggul Ametung dan Ken Dedes menjadi sangat menarik dan mudah diingat. Demikian juga kisah Raden Wijaya dan hutan tariknya. Juga semua mata pelajaran yang lain. Agama, Ilmu Bumi, ilmu alam, bahasa dan sebagainya dijelaskan dengan cara yang sangat menarik. Karena menceritakannya sangat menarik, membuat mudah bagi kami untuk mengingat dan menjawab.

Saat di kelas V, metode pembelajaran mulai sedikit berubah. Kami memiliki Guru wali kelas dan juga guru-guru mata pelajaran yang berbeda. Guru wali kelas saya di kelas V adalah seorang jago Matematika. Namanya Pak Banjar. Karena beliau jago, maka kamipun terbawa ikut-ikutan menjadikan matematika sebagai mata pelajaran yang paling menyenangkan.

Dan di kelas 6, kelas terakhir di sekolah itu, guru saya bernama pak Sutapa. Guru yang menurut saya sangat pintar dalam segala bidang,  walaupun terkenal keras dalam menerapkan disiplin kepada muridnya.

Guru guru lain yang juga mengajar pada saat itu tetapi tidak pernah menjadi wali kelas saya adalah Ibu Nengah Cenik, Pak Pegol dan Pak Sudena. Dan tentunya ibu Runih yang merupakan Kepala Sekolah kami.
Doa terbaik untuk para guru saya yang sangat mulia.

Sekarang, jika saya pikir balik, sungguh predikat Teladan sangat layak diberikan kepada sekolah saya itu.  System pendidikannya sangat baik. Menggabungkan materi akademis formal dengan muatan lokal dan nilai nilai kemandirian dan kewirausahaan.
Dengan kondisi perekonomian masyarakat yang tidak begitu baik pada jaman itu, setiap anak telah dibekali dengan ketrampilan yang mudah dilakukan dan mudah dijadikan uang. Sehingga separah-parahnya, jika ada murid yang tidak mampu melanjutkan sekolahnya karena alasan ekonomi, terpaksa drop out, si anak sudah siap mencari nafkah dengan ketrampilan yang dimilikinya. Mulai dari mengelola kebun sayur, sawah, beternak kambing, membuat arang, sapu lidi, kemoceng dari bulu ayam, kesetan kaki, taplak meja, sarung bantal dan sebagainya.
Dengan bekal pendidikan mental dan budi pekerti yang sangat kuat, kami yakin kami mampu menghadapi setiap masalah dalam kehidupan yang harus kami jalani. Kami bisa. Kami siap menghadapi hidup dan tidak takut menggadapi kemiskinan. Kami bisa. Dan semua itu karena kwalitas pendidikan dasar yang sangat baik yang kami terima darimu.

Terimakasih guruku. Terimakasih sekolahku. Tak terhingga besarnya jasamu dalam kehidupanku.
Sekolah Dasar adalah tempat dimana seorang anak mendapatkan dasar-dasar pengetahuan dan dasar-dasar nilai kehidupan. Ibarat bangunan, jika fondasinya kuat akan menghasilkan bangunan yang sangat kokoh dan tetap kokoh bahkan pada saat bangunan itu harus menjulang tinggi.

Harapan saya semoga sekolah ini bisa dibangun kembali dengan lebih baik secepatnya, agar anak-anak bisa belajar kembali seperti sedia kala. Sementara waktu barangkali pemerintah membantu mencarikan tempat darurat untuk kegiatan sekolah. Tetap semangat dan jangan patah arang.

Bravo SD II Kawan Bangli!

Mengenang Sekolahku Tercinta, SD II Kawan Bangli Yang Terbakar. Part I.

Standard

image

Saya melihat foto  SD II Kawan, Bangli yang sedang terbakar ludes. Rasanya sangat sedih mengetahui sekolahku dilalap si jago merah. Tidak terbayang bagaimana dan di mana nantinya para murid-murid dan guru akan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar mereka. Walaupun saya juga percaya, pemerintah daerah dan setiap anggota masyarakat akan segera bahu membahu untuk mempercepat pembangunan kembali gedung sekolah ini.

Dulu bernama SD III Bangli.

Waktu saya kecil,sekolah ini bernama SD III Bangli. Barangkali karena jaman itu, sekolah dinamakan sesuai dengan nomor urut berdirinya d alam satu kecamatan, yaitu Kecamatan Bangli. Kebetulan Bangli adalah nama kecamatan sekaligus juga nama kabupaten.  Sekarang ini,sekolah diberi nama sesuai dengan nomor urut Desa tempat sekolah itu berada. Dan karena nama desanya  adalah Kawan, maka jadilah ia bernama SD  II Kawan, Bangli.Tapi apalah artina sebuah nama.Dulu sebelum saya masuk bahkan sekolah ini bernama SR III Bangli (SR= Sekolah Rakyat). Bagi saya, kenangan indah dan pelajaran serta ilmu yang saya timba dari sekolah inilah yang jauh lebih penting artinya.

Sekolah Yang Berdinding Anyaman Bambu.

Saya masuk ke sekolah ini pada bulan January tahun 1972. Saat itu, walau sudah berlantai semen, tetapi sekolah saya masih berdinding Bedeg (Bahasa Bali untuk anyaman bambu). Di setiap dinding tergantung gambar-gambar yang indah. Warnanya hitam putih. Ada berbagai gambar jenis-jenis burung beserta keterangannya. Yang paling saya ingat adalah gambar Burung Srigunting (Black drongo) karena sering saya amat-amati setiap jam istirahat.

Lalu ada lagi tulisan-tulisan  tangan Bapak/Ibu guru kami yang sangat indah yang berisi pepatah dan pesan-pesan baik kepada kami. Beberapa diantaranya masih saya ingat. “Pikir itu Pelita Hati“, mengajarkan kepada kami agar senantiasa menggunakan pemikiran kita dengan sebaik-baiknya setiap saat, agar hati kita tidak gelap gulita. Lalu ada tulisan “Rajin Pangkal Pandai, Hemat Pangkal Kaya” yang mengajarkan kami agar belajar dengan rajin agar cepat pintar.  Atau “Tak Akan Dua Kali Orang Tua Kehilangan Tongkatnya“. yang mengajarkan kami agar berusaha tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan masih banyak lagi.Kepala Sekolah kami pada jaman itu bernama Ibu Runih. Di mata saya belaiu adalah sosok yang sangat serius, berwibawa dan sangat disegani. Beliau juga yang memprakarsai berbagai proggram ketrampilan luar biasa bagi anak-anak didiknya, sehingga tidak heran sekolah kami digelari dengan SD Teladan.

Kebun Sayur dan Kotoran Sapi.

Tidak seperti sekolah-sekolah lain yang hanya memfokuskan diri pada pendidikan formal akademis, sekolah kami memberikan pendidikan formal akademis dan praktek kewira-usahaan sekaligus.

Sekolah tidak pernah membiarkan halaman depan dan sampingnya kosong menjadi lahan tidur atau hanya sekedar menjadi kebun bunga. Halaman Sekolah itu dijadikan kebun sayur yang menghasilkan. Setiap kelas memiliki lahannya sendiri-sendiri yang harus diolah. Ada kebun kelas 1. Kebun kelas 2. kebun kelas 3, dan seterusnya. Lalu setiap kelas dibagi menjadi 4 group yang masing-masing mendapat 1/4 lahan dari lahan kelasnya untuk dikelola. Kami diajarkan membibit sayuran. Menanamnya pada hari krida (hari Jumat), menyiramnya setiap hari dan memberinya pupuk kandang seminggu sekali. Tentu saja pupuk kandangnya kami bawa dari rumah. Biasanya kami bawa setiap hari Senin. Hari Minggunya biasanya kami bergerilya ke kandang-kandang sapi untuk meminta seember kotorannya yang sudah kering guna kami bawa ke sekolah. Sayuran yang paling sering kami tanam adalah Bayam, Pitsai (Sawi Putih) dan Kacang Jongkok (Kacang Buncis yang pohonnya pendek, bukan melilit). Saya ingat betul, bibit sayuran Pitsai saat itu baru saja memasuki Indonesia dan kami adalah salah satu yang berhasil membudidayakannya. Sisi  selatan sekolah yang berbatasan dengan Asrama Polisi Bangli juga ditanami dengan tebu, sehingga tetap bisa dipanen dan dijual pada waktunya. Di halaman utara, di depan kantor kepala sekolah, ditanam pohon Markisa Besar, (Giant Granadilla) yang merambat. Buahnya mirip melon kalau matang sangat empuk dan rasanya sangat manis menggiurkan. Bunganya juga cantik berwarna ungu.

Sawah Di Belakang Sekolah.

Di belakang sekolah kami, ada sebuah gang sempit yang bisa menjadi jalan pintas ke rumah saya. Di sebelahnya adalah sawah yang cukup luas milik sekolah kami. Siapa yang mengolah sawah? Kami tentunya. Saya ingat ketika pertama kali belajar menanam padi, menginjakkan kaki di lumpur, malamnya saya tidak bisa tidur. Kaki dan betis saya sangat gatal dan pedih. Sementara tulang punggung saya sakit karena seharian bungkuk menanam anakan padi satu per satu sambil mundur di dalam lumpur. Pengalaman itu membuat saya jadi mengerti betapa beratnya hidup menjadi petani. Karena saya pernah menjalaninya sendiri. Apalagi jika harga gabah anjlok sem.entara harga pupuk  melambung. Makin miris jadinya.

Kambing Peranakan Etawa.

Pada tahun 1974, saat itu saya kelas 3, ada berita baru. Indonesia sedang mengembangkan peternakan kambing. Bibit kambing PE (Peranakan Etawa)memasuki pasar Indonesia termasuk Bali dan Bangli di dalamnya. Sekolah saya tentu tidak mau ketinggalan. Kamipun memelihara kambing. Siapa yang memeliharanya? Kami juga. Setiap hari ada regu yang bertugas, memberi makan kambing dan membersihkan kandangnya. Memberi makan kambing biasanya kami lakukan sore hari sambil bermain-main dengan teman-teman. Kami memotong dahan pohon Dadap atau Berere (karena dua jenis tanaman ini sangat disukai kambing), mengambil sepeda lalu ke sekolah memeberi makan kambing dan sekalian lanjut main sepeda keliling-keliling lapangan Kabupaten. Saya tahu bagaimana caranya beternak kambing.

Kerajinan Pohon Kelapa, dari Arang Batok hingga Kesetan.

Jaman dulu, pohon kelapa sangat banyak tumbuh di tempat kami. Guru-guru mengajarkan bagaimana caranya memanfaatkannya. Kami disuruh membawa tempurung kelapa, atau lidi, atau sabut kelapa dari rumah setiap hari Senin. Untuk apa?
Tempurung kelapa ini nantinya akan dibakar  oleh murid-murid pria di dalam lubang yang dibuat dangkal di dalam tanah dan dijadikan Arang Batok.

Lidi biasanya kami ambil dari limbah para wanita dewasa yang membuat sajen menggunakan busung (janur = daun kelapa yang masih muda warnanya putih) atau selepaan (daun kelapa yang sudah lebih tua, warnanya hijau tua). Biasanya yang diambil hanya daun janurnya saja, sedangkan lidinya dibuang. Nah..daripada dibuang-buang lebih baik kami kumpulkan dan bawa ke sekolah untuk kami jadikan sapu lidi. Kami diajarkan bagaimana caranya membuat Sumpe. (Sumpe = gelang sapu lidi yang terbuat dari anyaman pelepah kelapa.
Kami juga sering meminta sabut kelapa yang menjadi limbah dapur dan dibuang (jaman dulu belum ada santan instant atau mesin parutan kelapa, setiap rumah tangga mengolah kelapanya sendiri, jika ingin masak dengan kelapa/santan). Nah..daripada terbuang percuma, kami minta sabut kelapanya lalu kami bawa ke sungai,getok-getok dengan kayu di atas batu, sehingga tinggal seratnya saja,lalu kami jemur. Hari Senin kami bawa ke  Sekolah untuk diperiksa ibu guru dan dikumpulkan sesuai dengan tingkat gradasi warnanya (kuning muda – coklat kemerahan). Untuk apa? Untuk dipintal oleh murid-murid pria menjadi tali sabut kelapa. Selanjutnya bisa dibuat keset ataupun tali tambang.

Menyulam dan Merenda.

Jika murid-murid pria diajar dan ditugaskan membuat arang dan menganyam kesetan, murid wanita tidak kalah terampilnya. Kami diajarkan menyulam dan merenda. Mulai dari membuat tatakan gelas, membuat bantal kursi, membuat taplak meja, sprei, hingga membuat baju. Kami diajarkan bagaimana menggambar design, bunga-bunga, hewan dan sebagainya untuk  ditimpa dengan kertas karbon di atas kain.Lalu kami mulai menjahit satu per satu dengan stitch-stich yang sesuai. Mulai stitch batang, stitch penuh, stitch silang, feston dan sabagainya. Lalu dibawa kemana semua hasil karya kami itu?.

Koperasi Sekolah Kami.

Kami memiliki koperasi yang mengadakan bazar penjualan dan mengundang para orang tua murid dan masyarakat sekitar setiap tahun pada saat Kesaman (kenaikan kelas). Tentu saja sangat  banyak yang dipamerkan dan dijual di sana. Mulai dari hasil panen, sayur-sayuran, tebu, beras, keset,sapu lidi, arang batok, taplak meja, sarung bantal, sprei, renda dan sebagainya.

Selain bazaar tahunan, sekolah kami juga sering melakukan lelang hasil panen. Saya nggak tahu persis uangnya digunakan untuk apa karena waktu itu saya masih kecil dan tak terpikir soal uang, tapi saya pikir tentu uang itu digunakan untuk meningkatkan fasilitas sekolah, seperti menambah koleksi buku-buku di perpustakaan, menambah modal koperasi sekolah dan lain sebagainya.

Koperasi juga menjual penganan kecil seperti permen dan kue-kue. Dan anak kelas 5 bergiliran bertugas menjadi penjaganya saat jam istirahat. Sekalian belajar berdagang dan menghitung uang. Tidak hanya sampai di sana, pada musim Pekan Olah Raga dan Seni, saat ada murid yang bertanding mewakili sekolah, murid yang lain disuruh datang sebagai supporter atau diajarkan menjajakan dagangan kepada murid-murid sekolah lain yang datang untuk bertanding ataupun menjadi penggembira di laga Porseni itu di lapangan kabupaten.

Sekolah saya benar-benar mengajarkan dan melatih  sejak kecil bagaimana kita harus bekerja  dan beusaha keras jika ingin menghasilkan sesuatu. Dan saya rasakan sangat besar manfaatnya sekarang.

 

Dapur Hidup: Lengkio, Si Bawang Mini.

Standard

image

Suatu kali saya berbelanja di pasar traditional di daerah Ciledug. Saat membeli kebutuhan dapur saya melihat ada seikat tanaman kering tergantung. Mirip bawang merah.Tapi kok sangat kecil?. Dan warnanya juga bukan merah.

Mirip kucai, tapi ini kok dijual dengan umbi-umbinya?. Lagipula daunnya kelihatan berbeda juga dengan Kucai, walaupun sepintas kelihatan agak mirip juga. Sudah terlalu kering dan menghitam. Jadi saya sulit mencari perbedaannya. Tapi saya  yakin tanaman itu bukan Kucai.

Saya belum pernah melihat tanaman itu sebelumnya. “Apa itu?”tanya saya keheranan. “Ohhh… itu Lengkio, Bu” kata pedagang itu. Saya semakin heran. Karena belum pernah mendengar nama tanaman itu.

“Untuk apa?” tanya saya lagi. Ibu pedagang itu menjelaskan bahwa Lengkio bisa digunakan untuk campuran berbagai masakan. Misalnya buat asinan, mie goreng, nasi goreng dan sebagainya bahkan umum juga ditumis. Oooh…begitu ya. Saya belum pernah tahu sebelumnya.

Karena penasaran, saya menyatakan  keinginan  saya untuk membeli. Saya lihat masih ada sisa sisa kehidupan di tanaman kering itu. Saya pikir jika saya tanam lagi mungkin bisa. Buat nambah koleksi Dapur Hidup saya. Akhirnya tanaman yang sudah sangat sekarat itupun saya bersihkan dan tanam kembali di rumah.

Demikianlah ceritanya, bagaimana saya mendapatkan bibit Lengkio saya yang pertama. Sekarang saya memiliki beberapa rumpun tanaman Lengkio yang bisa saya ambil setiap saat saya membutuhkannya.

Lengkio atau  Lo kio, atau Chives (Allium Schoenoprasum) adalah keluarga bawang-bawangan yang berukuran mini. Memiliki umbi lapis yang serupa dengan bawang merah. Bedanya, bawang kecil ini berwarna putih kehijauan, sedangkan bawang merah jika kering lapis umbi terluarnya berwarna merah.

Daunnya panjang, sekitar 10-15 cm. Baru saya perhatikan, bentuk daunnya cylinder seperti daun bawang merah. Bukan pipih seperti jenis daun bawang putih. Nah jadi di sana letak bedanya dengan daun kucai. Daun kucai berbentuk panjang gepeng dan baunya juga lebih mirip bawang putih. Sedangkan Lengkio lebih dekat ke bawang merah.

Saya sudah pernah mencoba menumis. Rasanya lumayan juga sih. Enak.

Satu lagi dari Dapur Hidupku.