
Saya melihat foto SD II Kawan, Bangli yang sedang terbakar ludes. Rasanya sangat sedih mengetahui sekolahku dilalap si jago merah. Tidak terbayang bagaimana dan di mana nantinya para murid-murid dan guru akan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar mereka. Walaupun saya juga percaya, pemerintah daerah dan setiap anggota masyarakat akan segera bahu membahu untuk mempercepat pembangunan kembali gedung sekolah ini.
Dulu bernama SD III Bangli.
Waktu saya kecil,sekolah ini bernama SD III Bangli. Barangkali karena jaman itu, sekolah dinamakan sesuai dengan nomor urut berdirinya d alam satu kecamatan, yaitu Kecamatan Bangli. Kebetulan Bangli adalah nama kecamatan sekaligus juga nama kabupaten. Sekarang ini,sekolah diberi nama sesuai dengan nomor urut Desa tempat sekolah itu berada. Dan karena nama desanya adalah Kawan, maka jadilah ia bernama SD II Kawan, Bangli.Tapi apalah artina sebuah nama.Dulu sebelum saya masuk bahkan sekolah ini bernama SR III Bangli (SR= Sekolah Rakyat). Bagi saya, kenangan indah dan pelajaran serta ilmu yang saya timba dari sekolah inilah yang jauh lebih penting artinya.
Sekolah Yang Berdinding Anyaman Bambu.
Saya masuk ke sekolah ini pada bulan January tahun 1972. Saat itu, walau sudah berlantai semen, tetapi sekolah saya masih berdinding Bedeg (Bahasa Bali untuk anyaman bambu). Di setiap dinding tergantung gambar-gambar yang indah. Warnanya hitam putih. Ada berbagai gambar jenis-jenis burung beserta keterangannya. Yang paling saya ingat adalah gambar Burung Srigunting (Black drongo) karena sering saya amat-amati setiap jam istirahat.
Lalu ada lagi tulisan-tulisan tangan Bapak/Ibu guru kami yang sangat indah yang berisi pepatah dan pesan-pesan baik kepada kami. Beberapa diantaranya masih saya ingat. “Pikir itu Pelita Hati“, mengajarkan kepada kami agar senantiasa menggunakan pemikiran kita dengan sebaik-baiknya setiap saat, agar hati kita tidak gelap gulita. Lalu ada tulisan “Rajin Pangkal Pandai, Hemat Pangkal Kaya” yang mengajarkan kami agar belajar dengan rajin agar cepat pintar. Atau “Tak Akan Dua Kali Orang Tua Kehilangan Tongkatnya“. yang mengajarkan kami agar berusaha tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan masih banyak lagi.Kepala Sekolah kami pada jaman itu bernama Ibu Runih. Di mata saya belaiu adalah sosok yang sangat serius, berwibawa dan sangat disegani. Beliau juga yang memprakarsai berbagai proggram ketrampilan luar biasa bagi anak-anak didiknya, sehingga tidak heran sekolah kami digelari dengan SD Teladan.
Kebun Sayur dan Kotoran Sapi.
Tidak seperti sekolah-sekolah lain yang hanya memfokuskan diri pada pendidikan formal akademis, sekolah kami memberikan pendidikan formal akademis dan praktek kewira-usahaan sekaligus.
Sekolah tidak pernah membiarkan halaman depan dan sampingnya kosong menjadi lahan tidur atau hanya sekedar menjadi kebun bunga. Halaman Sekolah itu dijadikan kebun sayur yang menghasilkan. Setiap kelas memiliki lahannya sendiri-sendiri yang harus diolah. Ada kebun kelas 1. Kebun kelas 2. kebun kelas 3, dan seterusnya. Lalu setiap kelas dibagi menjadi 4 group yang masing-masing mendapat 1/4 lahan dari lahan kelasnya untuk dikelola. Kami diajarkan membibit sayuran. Menanamnya pada hari krida (hari Jumat), menyiramnya setiap hari dan memberinya pupuk kandang seminggu sekali. Tentu saja pupuk kandangnya kami bawa dari rumah. Biasanya kami bawa setiap hari Senin. Hari Minggunya biasanya kami bergerilya ke kandang-kandang sapi untuk meminta seember kotorannya yang sudah kering guna kami bawa ke sekolah. Sayuran yang paling sering kami tanam adalah Bayam, Pitsai (Sawi Putih) dan Kacang Jongkok (Kacang Buncis yang pohonnya pendek, bukan melilit). Saya ingat betul, bibit sayuran Pitsai saat itu baru saja memasuki Indonesia dan kami adalah salah satu yang berhasil membudidayakannya. Sisi selatan sekolah yang berbatasan dengan Asrama Polisi Bangli juga ditanami dengan tebu, sehingga tetap bisa dipanen dan dijual pada waktunya. Di halaman utara, di depan kantor kepala sekolah, ditanam pohon Markisa Besar, (Giant Granadilla) yang merambat. Buahnya mirip melon kalau matang sangat empuk dan rasanya sangat manis menggiurkan. Bunganya juga cantik berwarna ungu.
Sawah Di Belakang Sekolah.
Di belakang sekolah kami, ada sebuah gang sempit yang bisa menjadi jalan pintas ke rumah saya. Di sebelahnya adalah sawah yang cukup luas milik sekolah kami. Siapa yang mengolah sawah? Kami tentunya. Saya ingat ketika pertama kali belajar menanam padi, menginjakkan kaki di lumpur, malamnya saya tidak bisa tidur. Kaki dan betis saya sangat gatal dan pedih. Sementara tulang punggung saya sakit karena seharian bungkuk menanam anakan padi satu per satu sambil mundur di dalam lumpur. Pengalaman itu membuat saya jadi mengerti betapa beratnya hidup menjadi petani. Karena saya pernah menjalaninya sendiri. Apalagi jika harga gabah anjlok sem.entara harga pupuk melambung. Makin miris jadinya.
Kambing Peranakan Etawa.
Pada tahun 1974, saat itu saya kelas 3, ada berita baru. Indonesia sedang mengembangkan peternakan kambing. Bibit kambing PE (Peranakan Etawa)memasuki pasar Indonesia termasuk Bali dan Bangli di dalamnya. Sekolah saya tentu tidak mau ketinggalan. Kamipun memelihara kambing. Siapa yang memeliharanya? Kami juga. Setiap hari ada regu yang bertugas, memberi makan kambing dan membersihkan kandangnya. Memberi makan kambing biasanya kami lakukan sore hari sambil bermain-main dengan teman-teman. Kami memotong dahan pohon Dadap atau Berere (karena dua jenis tanaman ini sangat disukai kambing), mengambil sepeda lalu ke sekolah memeberi makan kambing dan sekalian lanjut main sepeda keliling-keliling lapangan Kabupaten. Saya tahu bagaimana caranya beternak kambing.
Kerajinan Pohon Kelapa, dari Arang Batok hingga Kesetan.
Jaman dulu, pohon kelapa sangat banyak tumbuh di tempat kami. Guru-guru mengajarkan bagaimana caranya memanfaatkannya. Kami disuruh membawa tempurung kelapa, atau lidi, atau sabut kelapa dari rumah setiap hari Senin. Untuk apa?
Tempurung kelapa ini nantinya akan dibakar oleh murid-murid pria di dalam lubang yang dibuat dangkal di dalam tanah dan dijadikan Arang Batok.
Lidi biasanya kami ambil dari limbah para wanita dewasa yang membuat sajen menggunakan busung (janur = daun kelapa yang masih muda warnanya putih) atau selepaan (daun kelapa yang sudah lebih tua, warnanya hijau tua). Biasanya yang diambil hanya daun janurnya saja, sedangkan lidinya dibuang. Nah..daripada dibuang-buang lebih baik kami kumpulkan dan bawa ke sekolah untuk kami jadikan sapu lidi. Kami diajarkan bagaimana caranya membuat Sumpe. (Sumpe = gelang sapu lidi yang terbuat dari anyaman pelepah kelapa.
Kami juga sering meminta sabut kelapa yang menjadi limbah dapur dan dibuang (jaman dulu belum ada santan instant atau mesin parutan kelapa, setiap rumah tangga mengolah kelapanya sendiri, jika ingin masak dengan kelapa/santan). Nah..daripada terbuang percuma, kami minta sabut kelapanya lalu kami bawa ke sungai,getok-getok dengan kayu di atas batu, sehingga tinggal seratnya saja,lalu kami jemur. Hari Senin kami bawa ke Sekolah untuk diperiksa ibu guru dan dikumpulkan sesuai dengan tingkat gradasi warnanya (kuning muda – coklat kemerahan). Untuk apa? Untuk dipintal oleh murid-murid pria menjadi tali sabut kelapa. Selanjutnya bisa dibuat keset ataupun tali tambang.
Menyulam dan Merenda.
Jika murid-murid pria diajar dan ditugaskan membuat arang dan menganyam kesetan, murid wanita tidak kalah terampilnya. Kami diajarkan menyulam dan merenda. Mulai dari membuat tatakan gelas, membuat bantal kursi, membuat taplak meja, sprei, hingga membuat baju. Kami diajarkan bagaimana menggambar design, bunga-bunga, hewan dan sebagainya untuk ditimpa dengan kertas karbon di atas kain.Lalu kami mulai menjahit satu per satu dengan stitch-stich yang sesuai. Mulai stitch batang, stitch penuh, stitch silang, feston dan sabagainya. Lalu dibawa kemana semua hasil karya kami itu?.
Koperasi Sekolah Kami.
Kami memiliki koperasi yang mengadakan bazar penjualan dan mengundang para orang tua murid dan masyarakat sekitar setiap tahun pada saat Kesaman (kenaikan kelas). Tentu saja sangat banyak yang dipamerkan dan dijual di sana. Mulai dari hasil panen, sayur-sayuran, tebu, beras, keset,sapu lidi, arang batok, taplak meja, sarung bantal, sprei, renda dan sebagainya.
Selain bazaar tahunan, sekolah kami juga sering melakukan lelang hasil panen. Saya nggak tahu persis uangnya digunakan untuk apa karena waktu itu saya masih kecil dan tak terpikir soal uang, tapi saya pikir tentu uang itu digunakan untuk meningkatkan fasilitas sekolah, seperti menambah koleksi buku-buku di perpustakaan, menambah modal koperasi sekolah dan lain sebagainya.
Koperasi juga menjual penganan kecil seperti permen dan kue-kue. Dan anak kelas 5 bergiliran bertugas menjadi penjaganya saat jam istirahat. Sekalian belajar berdagang dan menghitung uang. Tidak hanya sampai di sana, pada musim Pekan Olah Raga dan Seni, saat ada murid yang bertanding mewakili sekolah, murid yang lain disuruh datang sebagai supporter atau diajarkan menjajakan dagangan kepada murid-murid sekolah lain yang datang untuk bertanding ataupun menjadi penggembira di laga Porseni itu di lapangan kabupaten.
Sekolah saya benar-benar mengajarkan dan melatih sejak kecil bagaimana kita harus bekerja dan beusaha keras jika ingin menghasilkan sesuatu. Dan saya rasakan sangat besar manfaatnya sekarang.