Saya berdiskusi dengan suami saya untuk mengatur jadwal hari itu. Siapa yang mau ngapain, kemana, jam berapa, dan siapa yang mau jemput siapa. Tiba-tiba saya teringat kalau saya membutuhkan tambahan tanah media tanam untuk bibit sayuran yang saya semai sebelumnya. Kelihatannya sudah pada tinggi. Sudah waktunya untuk dipindahkan ke polybag. Jika tidak segera dipindahkan, tentu tanaman itu akan jadi kurus-kurus karena berhimpit-himpitan dan berebut makanan dengan saudara-saudaranya yang lain. “Nanti saya akan membeli tanah ya..!” kata saya. Suami saya kelihatannya sangat sibuk dengan gadgetnya. Ia menengok ke arah saya sepintas. Mengangguk menyetujui, lalu kembali menunduk. Sibuk mengetik sesuatu.
Karena merasa rencana saya hanya rencana kecil dan sudah direkam olehnya, sayapun meninggalkan meja makan dan kembali ke kamar mengambil laptop saya. Tak lama kemudian suami saya menyusul, lalu berkata kepada saya “Kalau mau beli tanah, pastikan sertifikat-nya benar ya” sarannya. Saya bengong. Maksudnya?”Sertifikat????#!!??” . Sertifikat apa ya? Saya kok bingung. Belum pernah lihat kalau tanah media tanam ada sertifikatnya. Apakah yang dimaksudkan oleh suami agar saya memastikan tanahnya bebas hama dan fungi supaya tanamannya tidak penyakitan?
Sesaat saya terdiam. Lalu sadar. Oooh.. saya mengerti sekarang. Rupanya suami saya menyangka kalau saya ingin membeli sebidang tanah. Bukan sekarung tanah untuk menanam bayam. Ya ampyuuuun!. Jauh banget bedanya antara sebidang dengan sekarung. Terus duit darimana pula buat beli tanah sebidang? Nggak cukup. Cukupnya cuma buat beli sekarung di toko Trubus. Hua ha ha… Saya dan suami saya tertawa ngakak setelah menyadari ketidak-nyambungan kami.
*****
Teman-teman pembaca, apakah pernah mengalami kejadian serupa? Tidak nyambung antara apa yang kita maksudkan dengan apa yang dipikirkan oleh lawan bicara kita? Saya menjadi tertarik memikirkan kira-kira mengapa hal kocak seperti ini bisa terjadi?
Saya pikir, ketika mendengar sebuah kata atau kalimat, secara umum pikiran kita akan mengenali dan mempersepsikan kata atau kalimat itu sesuai dengan apa yang kita pikirkan dan mencocokkan dengan apa yang kita lakukan atau pernah alami.
Berhubung belakangan ini saya lagi semangat merawat tanaman, hati dan pikiran saya tertuju pada segala yang berusan dengan tanaman. Pada akar, bibit, air, daun, pot, polybag dan sebagainya. Ketika saya mengucapkan kata ‘tanah’, sangat jelas yang saya maksudkan adalah tanah untuk media tanam. Saya menyangka suami saya berpikir yang sama. Karena, walaupun ia tidak ikut berjongkok-jongkok merawat tanaman, tetapi setiap hari ia ikut melihat tanaman itu, entah saat sarapan pagi ataupun saat bekerja dengan laptopnya di teras belakang. Saya juga selalu bercerita kepadanya tentang tanaman-tanaman saya. Intinya ia tahu apa yang saya lakukan dengan tanaman.
Sebaliknya,barangkali karena suami saya disibukkan oleh client-nya dengan urusan rumah dan kavling – jadi pikirannya sangat terikat pada tanah dalam konteks property. Ia selalu berbagi cerita kepada saya tentang urusan pekerjaannya. Tapi karena saya tidak punya passion di situ, apa yang diceritakan suami saya pun hanya numpang lewat saja. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Walaupun saya selalu mendengarkan dengan setia, tetapi saya tidak pernah merasa tertarik.
Saya berasumsi bahwa ia dan pikirannya selalu bersama saya dan pikiran saya. Ia pun berasumsi kalau ia dan pikiran saya selalu bersamanya dan pikirannya. Padahal kami hidup dalam dunia pikir kami masing-masing. Dunia pikir yang berbeda satu sama lain. Nah disinilah ‘disconnection’ alias ke’kaga nyambung’an terjadi. Jadi pada moment sesaat, dalam menanggapi sebuah kata atau kalimat, kita cenderung mem’basis’kannya pada pikiran kita masing-masing. Setiap orang memiliki minat, passion, ketertarikan dan bahkan latar belakang yang berbeda-beda yang melahirkan dunia pikirnya masing-masing. Sulit menyamakan.
Lalu bagaimana sebaiknya kita mengantisipasi perbedaan dua dunia pikir ini? Dan mengantisipasi ke”tidak-nyambung”an? Saya rasa kuncinya ada pada cara kita merespon dunia lawan bicara kita, yaitu dengan cara menyimak alias mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seringkali ketika mendengarkan pembicaraan seseorang, kita hanya sekedar mendengar. Bukan menyimak. Entah karena sedang sibuk dengan urusan lain, entah karena memang kurang tertarik. Mendengar maksud saya adalah memasukkan informasi lewat telinga dan menyimpannya begitu saja di otak kita tanpa memprosesnya. Sedangkan ‘Menyimak’ bagi saya lebih dari sekedar itu. Selain memasukkan informasi lewat telinga dan menyimpannya, ada “proses” yang terjadi di tengah-tengahnya yang melibatkan hati dan pikiran. Misalnya, jika saat mendengar kata “tanah”, suami saya mendengarkan apa yang saya katakan, lalu menghubungkannya dengan situasi dan kondisi saya yang sangat suka berkebun, sedang senang ngurusin tanaman, sedang sibuk dengan bibit tanaman, tentu dengan mudah ia memahami kalau ‘tanah’yang saya maksudkan adalah media tanam. Bukan tanah dalam konteks property. Nah itu yang namanya menyimak.
Sebaliknya jika saya mendengar kata “sertifikat” tanah yang diucapkan suami saya, lalu saya menghubungkannya dengan pekerjaannya tentu dengan cepat saya akan mengerti bahwa sertifikat yang ia maksudkan adalah dalam konteks tanah sebagai property. Bukan dalam konteks sebagai media tanam. Nah kalau begitu baru bisa disebut dengan menyimak.
Sangat jelas perbedaan dan dampak dari sekedar ‘Mendengar” dengan “Menyimak”. Kemampuan “Menyimak” dengan baik inilah yang harus saya perbaiki setiap saat. Mendengarkan sekaligus menarik hal-hal lain yang ‘tak kasat telinga’ yang berkaitan dengan apa yang seseorang ucapkan, sehingga menghasilkan kesimpulan dan pemahaman yang lebih komprehensif.