Monthly Archives: March 2011

Catatan Perjalanan – Kisah Tentang Pengabdian Masyarakat.

Standard

Saat saya sedang ada di Bangli, adik lelaki saya yang nomer empat menelepon dari Denpasar dan menawarkan apakah saya berminat untuk ikut pulang kampung ke desa Songan di Kintamani atau tidak, karena kebetulan ia ada urusan di desa. Saya segera menyetujui dengan senang hati karena memang sudah lama saya tidak pulang kampung. Siapa tahu nanti sempat mengunjungi sanak keluarga atau bertemu dengan kerabat. Atau hanya sekedar menengok rumah kakek saya yang kosong. Saya pun  menyiapkan perlengkapan saya untuk mengantisipasi udara dingin akibat kabut yang umumnya turun sore hari. Rupanya adik saya yang nomer empat ini juga sudah janjian dengan adik saya yang nomer tiga. Kamipun lalu berangkat ke desa bertiga. Saya merasa sangat senang duduk di belakang sendiri, sementara kedua adik lelaki saya  duduk di depan. Semuanya mengingatkan saya saat kedua orangtua kami masih ada.  Perjalanan yang menyenangkan, menanjak menuju Penelokan lalu turun menyusuri jalan berkelok ke tepi danau dan selanjutnya melaju diantara batu batu cadas yang menyuguhkan pemandangan luar biasa. Cara paling menyenangkan untuk menikmatinya adalah dengan membuka jendela kendaraan dan membiarkan angin yang dingin menerpa kulit dan menerbangkan rambut kita. Read the rest of this entry

Tragedi Sandal Jepit Butut – Respect People Disregard To His Frills..

Standard

Suatu hari saya membawa kedua anak saya untuk memesan makanan di sebuah restaurant pizza. Bersama saya ikut seorang teman dan anak-anaknya yang masih kecil. Berhubung restaurant itu ramai dan untuk mendapatkan tempat dudukpun harus menunggu cukup lama, maka saya memutuskan untuk melakukan order dan membawanya pulang saja. Anak-anak setuju dan segera bermain diluar restaurant sambil menunggu pesanan kami siap. Tiba-tiba hujan turun tanpa diduga yang membuat saya agak kaget, karena langit tidak menunjukkan gejala akan turun hujan sebelumnya. Tanpa berpikir panjang, seketika saya lari keluar dan bermaksud mengangkat anak-anak masuk ke dalam restaurant agar tidak kehujanan. Namun rupanya teras restaurant agak licin terkena tetesan hujan, sehingga saya terpeleset jatuh.Oucchh! Sakitnya. Orang-orang banyak yang mengerubung dan melihat kepada saya. Adduuuh.. malunya, mak!.  Saya berusaha segera bangkit dan saat itu tiba tiba  saya menyadari ternyata orang-orang banyak itu sedang melihat dengan pandangan aneh pada… ….sandal jepit butut yang sedang saya pakai!!. O! O!. Saya tertawa di dalam hati tiap kali mengenang mimik wajah-wajah mereka itu. Terutama wajah para pengerubung wanitanya. Wajah yang seolah tidak percaya bahwa saya ternyata menggunakan sandal jepit butut.  Ya.  Sandal jepit! What’s wrong with sandal jepit? Ha ha..

Sesaat setelah itu , ketika saya sudah berdiri tegak kembali dan orang orang bubar sambil berbisik, saya mendengar salah seorang  membicarakn sandal jepit saya.  Teman saya bertanya ” Kenapa memakai sandal jepit butut keluar rumah? Kok nggak malu?. Kan mestinya pakai sepatu atau sandal yang lebih cantik dan gaya..”.

Saya tertawa dan sebenarnya tidak punya alasan yang sangat jelas diluar masalah kenyamanan di kaki.   “Ini kan hari minggu. Saya tidak sedang ke kantor atau menjalankan bisnis yang membutuhkan tampilan busana formal”. Teman saya setuju, tapi ia tetap melanjutkan “ Tapi kan kita perlu selalu terlihat cantik setiap saat walaupun hari libur” katanya mengingatkan. Saya hanya tertawa. Yeahh.. Saya lebih perlu merasakan nyaman, bukan sedang merasa perlu terlihat cantik. Dan sandal jepit butut itu memberikan saya rasa yang nyaman. Haruskah saya menukarkannya dengan sandal gaya tapi bikin kaki kurang nyaman demi untuk ‘terlihat cantik’ dan mengesankan orang lain? Kok rasanya sayang ya. Karena waktu untuk menjadi diri sendiri pun  buat saya sangat terbatas. Karena bekerja, mau tak mau ya harus lebih sering mengikuti tata cara kantor. Apa boleh buat. Namun hari ini adalah hari minggu.  Saya ingin menikmati hidup saya apa adanya.

“Tapi orang lain melihat kita dari tampilan kita. Dari apa yang kita kenakan”. Katanya menasihati. Saya berterimakasih atas perhatiannya. Saya tak menyangkal itu. Bukan hanya itu, bahkan sayapun tahu bahwa orang lain melihat kita dari apa-apa saja yang melekat pada diri kita. Entah itu pakaian, pangkat, jabatan, kendaraan, perhiasan, harta dsb.

Pernah seorang teman bercerita kepada saya, bahwa setiap kali ia bepergian keluar dengan menumpang pesawat udara ia memilih menggunakan jas daripada pakaian casual (tidak perduli itu perjalanan bisnis ataupun untuk berlibur) karena menurutnya ia telah membuktikan & merasakan service dan keramahan senyuman yang jauh lebih baik saat ia menggunakan jas.

Sama halnya dengan pengalaman seorang teman yang lain yang mendatangi sebuah gedung perkantoran di kawasan bisnis di Jakarta. Jika ia datang  dengan Toyota Camry (dan pasti  kendaraan lain dengan harga diatasnya), petugas satpam segera membukakan pintu kendaraan begitu supir berhenti di depan lobby. Esok harinya, ketika sang teman  diantar dengan Toyota Avansa (dan mungkin kendaraan lain yang sekelas atau dibawahnya), petugas yang sama terlihat lebih santai dan menunggunya keluar sendiri dari dalam kendaraan. Nah!. Padahal yang datang itu adalah orang yang sama, dan bahkan dengan kendaraan dari  perusahaan yang sama. Sama-sama Toyota. Memang harganya beda sih…

Saya juga tidak lupa cerita seorang teman yang lain, bagaimana ketika ia kecil dan ayahnya masih aktif di parlemen, rumahnya selalu penuh dengan orang orang yang datang bersilaturahmi. Wah, teman ayahnya banyak sekali. Namun bertahun tahun kemudian ketika ayahnya mulai tidak aktif dan tua, yang datang berkunjung ke rumah hanya sahabat-sahabat baik ayahnya saja yang  selalu setia & memang tidak pernah menginginkan keuntungan apa-apa darinya.

Dan sesungguhnya masih banyak lagi hal-hal lain lagi di seputaran kita yang menunjukkan bahwa betapa masyarakat saat ini memang sangat mementingkan penampilan luar dan embel-embel. Karyawan cenderung bersikap lebih ramah kepada atasan, namun jutek kepada bawahan. Boro-boro mampu menghargai office boy.  Menyapanya pun enggan. Kita sering lupa memandang manusia lain hanya sebagai manusia apa adanya tanpa embel-embel apapun. Bukan harta, bukan jabatan, bukan agama, bukan kasta, bukan golongan, dsb. Yang penting itu orangnya! Bukan pakaiannya.

Ketika kita mampu melihat manusia lain sesuai dengan apa adanya ia sebagai manusia, maka kita akan mampu berpikir dengan lebih adil dan bersikap lebih jujur kepada orang lain. Kita akan merasa perlu untuk tersenyum dan bersikap ramah kepada seseorang bukan karena ia adalah big boss di perusahaan kita, atau karena ia adalah seorang bintang sinetron ternama, namun lebih karena ia adalah manusia seperti  halnya kita yang membutuhkan senyum orang-orang di sekitar kita untuk mencerahkan harinya. Kita tidak pernah memiliki ‘hidden agenda’ dalam setiap hubungan kita dengan orang lain. Semuanya dari hati. Semuanya bersih dan tulus tanpa kepura-puraan. Alangkah indah dan damainya dunia, ketika semua itu bisa terjadi. Menghargai orang lain seperti apa adanya, tanpa mempertimbangkan embel-embel yang melekat pada dirinya. Bukan soal stiletto, bukan soal sandal jepitnya..

Ketika petugas selesai menyiapkan pesanan makanan kami, sayapun segera membayar lalu melangkah keluar dari restaurant itu dengan nyaman bersama anak-anak. Beruntunglah saya menggunakan sandal jepit hari itu, sehingga kaki saya yang agak keseleo tidak menjadi lebih menderita lagi jika harus saya gunakan berjalan diatas sandal wanita dengan hak 7 cm yang pasti tidak senyaman sandal jepit… Fiuuh!

My live is great! My life is brilliant!

Pemasar Yang Effektif… Mengoptimalkan Jatah Uang Dapur .

Standard

Pernah suatu ketika, di sebuah meja makan saat makan siang, saya terlibat diskusi dengan seorang rekan kerja saya tentang seorang pemasar yang baik. Saya merasa pembicaraan cukup menarik, walaupun asal muasalnya bermula dari curhat rekan saya itu tentang keluhan anak buahnya. Apa pasal? Rupanya seorang Brand Manager di teamnya merasa khawatir jika penilaian terhadap kinerjanya dilakukan berdasarkan pertumbuhan penjualan dan share bisnisnya yang tidak terlalu menonjol. Ia berkeberatan karena brand yang ia pegang masih berukuran kecil, oleh karenanya mendapatkan jatah biaya Advertising & Promotion (A&P) yang sungguh rendah jika dibandingkan dengan apa yang diterima oleh rekan-rekannya yang lain yang memegang brand yang lebih besar. Read the rest of this entry

Dan Azalea-pun Berwarna-warni..

Standard

Ada sebuah restaurant yang selalu menarik hati saya dan anak-anak untuk selalu datang dan datang lagi. Bukan saja karena masakannya yang enak dengan harga yang ‘reasonable’, namun lebih karena tempatnya yang menyenangkan buat anak-anak bermain dan restoran itu penuh ditanami dengan bunga-bunga indah yang biasa kita temukan di kota dingin. Sebagai salah seorang pencinta tanaman hias, tentu saja tempat ini menjadi sangat menarik buat saya.

Salah satu bunga yang saya lihat sangat menarik didisplay di sana adalah Azalea yang berwarna warni. Azalea sebenarnya perdu yang jarang bisa kita temukan di daerah tropis. Namun  di Indonesia terkadang bisa kita temukan di daerah daerah dingin. Sepintas lalu, saya juga pernah melihat tanaman ini dijajakan oleh tukang kembang  di Jakarta, namun saya tak jelas apakah  tanaman ini bisa berbunga selayaknya atau tidak jika kita pelihara di rumah.  Saya tidak sempat membeli tanaman ini karena keesokan harinya ketika saya melintas di sana kembali, tanaman itu sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah laku.  Bunga yang aslinya berupa semak dari jenis Rhododendron ini , memang memiliki keistimewaan karena ukuran bunganya yang besar dan sangat memikat mata.

Semak Azalea ini umumnya ditanam di dekat pohon penaung, atau jika di dalam pot umum diletakkan di teras rumah  karena tidak begitu menyukai sinar matahari. Jika ditanam di tanah, semak bisa cukup tinggi seukuran tinggi pria dewasa, namun kecantikannya lebih terlihat lagi jika ditanam di dalam pot.

Saya perhatikan kebanyakan bunganya muncul tunggal dalam tangkainya yang kecil, namun karena ukuran mahkota bunganya yang besar, kadang terlihat bergerombol cukup padat di sebuah rantingnya. Saya membayangkan betapa akan terlihat indah dan sumringahnya sebuah halaman rumah di sebuah kota dingin yang ditanami semak  semak rhododendron ini.

 

 

 

Bunga ada yang selapis, namun ada juga yang berlapis ganda. Sama cantiknya. Tentu saja yang berbunga selapis lebih menonjolkan kecantikan dan motifnya sebagai individu, sedangkan yang berlapis ganda lebih menonjolkan sisi kehalusan dan kekompakan warnanya. Beberapa variant dari Azalea ini memiliki  mahkota bunga yang bermotif bintik menawan.

 

 

 

Azalea memiliki variant yang berbunga  pink berbagai jenis (mulai dari pink pucat, pink penuh hingga pink pekat), putih, merah dan jingga.

Pikir Itu Pelita Hati… Jika Pelita Itu Padam, Gelap Gulitalah Hati Kita.

Standard

Catatan dari Sebuah Dinding Sekolah

 

 


Tadi pagi saya ke sekolah anak saya untuk mengambil rapot. Sambil menunggu giliran berkonsultasi dengan guru atas perkembangan kemampuan akademis anak saya, maka saya melihat-lihat dinding kelas, tulisan dan hiasan-hiasannya. Entah kenapa semua itu membuat pikiran saya melayang ke masa berpuluh puluh tahun silam saat saya masih di bangku Sekolah Dasar.

Pada sebuah dinding kelas saya dulu, terpampang  tulisan tangan  guru saya yang berbunyi  “Pikir Itu Pelita Hati”. Saya masih ingat betapa indahnya tulisan tangan guru saya itu. Dan saya juga masih ingat guru saya menjelaskan kepada saya  bahwa makna dari gurindam tua itu  adalah “ Jika pelita itu padam, maka gelap gulitalah hati kita”. Artinya, setiap kali jika kita ingin melakukan suatu perbuatan, hendaknya kita pikirkan terlebih dahulu dengan matang-matang segala dampak baik dan buruknya, agar kita tidak terjebak dalam perangkap kegelapan.

Mengingat itu, tiba tiba saya terkenang akan semua perjalanan hidup saya sejak saat itu. Banyak hal yang telah saya lakukan. Perbuatan baik dan juga beberapa perbuatan buruk menurut takaran saya. Entah kenapa,  walaupun telah diajarkan dengan sangat baik oleh guru saya, ternyata  saya tak selalu memanfaatkan  gurindam  itu sebagai pertimbangan dalam melakukan sebuah perbuatan. Terkadang ketika saya merasa benar dan yakin, beberapa kali saya hanya mengikuti kata hati saya dan mengabaikan pertimbangan pertimbangan akal sehat yang diberikan teman, saudara atau kerabat di sekitar saya. Walhasil dari  perbuatan saya yang  ‘tidak umum’ itu, terkadang jika beruntung saya merasakan dampak yang positive, namun tak jarang  juga saya merasakan dampak yang negative. Dan saya benar-benar baru menyadari bahwa itu adalah akibat saya tidak menyalakan pelita hati saya, alias tidak mikir matang-matang sebelumnya.

Malam ini, saya memikirkan kalimat itu kembali dengan mata yang berkaca kaca.  Sudah tentu banyak perbuatan yang akan saya lakukan ke depannya. Ada yang telah saya rencanakan dan ada  yang  berupa ide-ide baru yang  akan muncul pada saatnya nanti. Berharap saya akan mampu menyalakan pelita hati saya dengan baik, menyinarinya dengan terang benderang, agar jalan saya tidak tergelincir dalam kegelapan. Biarkanlah saya  berjalan mengikuti kata hati saya yang telah diterangi oleh pikiran yang sehat dan pertimbangan yang baik dan matang.

Malam ini saya sangat merindukan guru sekolah dasar saya itu. Entah dimana sekarang beliau berada, berharap semoga beliau selalu dalam keadaan baik jika masih ada, atau beristirahat dengan baik di sisiNYA jika memang sudah meninggalkan kami semua. Alangkah sedihnya ketika mengingat betapa saya belum sempat mengucapkan sepotongpun kata terimakasih pada beliau.

Wild Fern, Memelihara Pakis Liar -Mengapa Tidak?

Standard

Wild Fern, Si Pakis Liar..

Suatu hari saat mengamati tanaman ‘Gelombang Cinta’ yang sempat merana karena terkena terik sinar matahari yang seharusnya  tak diperlukan, dan tak sempat kami urus –  saya mengamati ada sebuah tanaman pakis liar yang muncul disana. Hanya 2 batang daun dan seperti biasanya saya cenderung menganggapnya sebagai ‘gulma’ pengganggu tanaman hias lainnya yang harus dibersihkan.

Namun setelah saya perhatikan baik-baik bentuk daunnya, saya merasa terpesona olehnya. Daun pakis ini yang tadinya biasa biasa saja entah kenapa di mata saya tiba-tiba telihat  sangat cantik.  Bentuknya rapi panjang panjang dan langsing dengan ujung yang lancip. Mengapa saya harus membuangnya? Hanya karena ia berpredikat ‘liar’ dan belum pernah dibudidayakan oleh manusia sebagai tanaman hias? Sehingga ia tidak memiliki nilai jual? Sehingga ia tidak dianggap ‘keren’ oleh para pencinta tanaman yang rela mengeluarkan jutaan rupiahnya untuk tanaman eksotis lainnya? Saya merasa jawaban itu agak sedikit konyol. Seharusnya saya melihat segala sesuatunya dengan kacamata yang lebih natural. Apa adanya,  tanpa embel-embel status sosial  dan ekonomi.

Akhirnya saya putuskan untuk tetap memeliharanya. Satu persatu daunnya muncul dan tumbuh dengan subur. Kini ia telah memiliki beberapa batang daun dan terlihat cukup hijau untuk ditempatkan di salah satu sudut halaman.

Gerabah Kasongan – Cuci Mata

Standard

Sungguh menyenangkan pada sebuah perjalanan di akhir pekan di Jogja, teman saya  yang tahu saya menyukai benda benda kerajinan rakyat, mengajak  saya main ke Kasongan, sebuah desa yang merupakan pusat kerajinan gerabah yang letaknya tak jauh letaknya dari sana.

Banyak gerabah yang bisa kita lihat, mulai dari gerabah polos tanpa pulasan apa-apa yang terlihat sangat natural, hingga yang dipoles dengan berbagai jenis warna dan didandanin dengan kombinasi berbagai bahan natural lain seperti serat pisang, pecahan cangkang telor, dsb. Harganya pun  miring jika dibandingkan dengan harga pasaran di Jakarta. Jadi tak ada salahnya jalan-jalan sambil cuci mata ke Kasongan. Setidaknya menambah pengetahuan akan kekayaan tanah air.

Marigold.. Bunga Mitir Yang Menjadi Saksi Betapa Indahnya Hari.

Standard

Bunga Mitir atau yang sering juga disebut dengan kenikir (Jawa) atau Marigold atau Tagetes merupakan salah satu bunga yang sangat penting keberadaannya dalam kehidupan wanita di Bali. Bunga ini banyak digunakan hampir di semua aktifitas upacara sebagai perlambang Ciwa Raditya. Ssehingga tidak heran jika kita pergi ke pasar- pasar traditional di Bali, bunga ini mendominasi display para pedagang bunga terutama saat hari raya. Walaupun ada ditemukan dalam warna lain, kebanyakan bunga mitir berwarna kuning cerah atau jingga. Warna yang penuh dengan kebahagiaan, semangat jiwa muda dan dynamika kehidupan.

Bunga Mitir umum dibiakkan dari biji yang dipanen dari bunga-bunga yang sudah tua dan  kering di pohonnya. Memiliki daun yang indah yang sepintas lalu mirip dengan gambar daun dalam karya seni ukir/ lukisan traditional dan berwarna hijau segar. Tanaman ini bisa tumbuh dengan tinggi kurang lebih 1 meter dan sangat menyukai matahari. Jadi sangat sesuai untuk ditanam di halaman depan rumah yang langsung kena sinar maahari pagi. Kuntum bunganya bervariasi tergantung variantnya, ada yang kecil, sedang dan besar. Ada juga yang tunggal, tipis dan tebal.  Wangi bunganya agak kuat. Walaupun tidak semua orang menyukai jenis wangi seperti ini. Bunga Mitir ini sangat baik ditanam untuk melengkapi  lansekap taman tropis.

Biji Marigold dengan jenis yang berbeda sebenarnya cukup mudah kita temukan di beberapa tempat di Jakarta, seperti Trubus, Mitra ataupun Ace Hardware – namun sayang entah kenapa biji-biji ini agak lebih sulit tumbuh jika kita bandingkan dengan menabur biji dari tanaman asli yang sudah ada di Indonesia. Saya tidak tahu persis sebabnya. Namun saya menduga barangkali karena biji-biji bunga yang berasal dari daerah tropis ini tingkat ketahanannya terhadap panas matahari tropis di Indonesia tidak sebaik dari biji yang memang berasal dari tanaman asli yang sudah beradaptasi dengan baik. Barangkali jika ditanam ditempat yang dingin seperti Puncak Bogor, Malang ataupun Bedugul atau Kintamani di Bali  yang memiliki udara dingin akan lebih mudah.

Cara menanamnya cukup mudah, hanya ditabur biasa. Bisa ditabur langsung di tanah, atau bisa juga disemaikan terlebih dahulu di dalam pot, lalu anakannnya dipisahkan dan ditanam di tempat yang kita inginkan dengan jarak antara 20 – 40cm untuk memungkinkan perkembangan tanaman bisa terjadi secara optimal saat tumbuhan mulai dewasa.

Bunga Mitir membutuhkan air yang cukup terutama saat musim kemarau dengan panas menyengat yang menguapkan banyak air tanah kebutuhan tanaman untuk hidup sehari-hari. Bunga yang sedang mekar penuh sangat cantik jika dipanen dan dijadikan bunga potong untuk merangkai bunga dengan thema- thema yang ceria dan bahagia. Jangan lupa menyisakan beberapa kuntum bunga hingga cukup tua untuk dipanen sebagai bibit untuk masa penanaman yang berikutnya.

Keyakinan Dan Ketabahan… Petualangan Outbond Anak.

Standard

Seorang sahabat baik saya dari Bali, kebetulan berprofesi sebagai Technical Engineer di sebuah perusahaan  peralatan & pembangunan sarana tempat Outbond sedang berada di Jakarta selama beberapa minggu untuk mensupport pembangunan di sebuah kawasan wisata terkenal di Jakarta. Ia menghubungi saya dan menawarkan waktu agar kami bisa bertemu dan ngobrol. Saya sangat senang menerima telponnya. Segera menyetujui dan berangkatlah saya untuk menengoknya pada akhir pekan dengan kedua anak saya.

Wah.. saya cukup terperangah dengan apa yang ia & teamnya sedang kerjakan. Rumah – rumah pohon yang lucu di ketinggian, yang bisa diakses melalui jaring jaring tali temali. Mengingatkan saya akan masa-masa menjadi pramuka penggalang pada jaman dulu. Saya segera membayangkan betapa tempat ini akan menjadi daya tarik anak-anak yang memiliki naluri petualang untuk memanjat dan menjajal keberaniannya. Kami kemudian mengobrol tentang masa lalu. Tentang teman teman sekolah yang lain dan sedikit perjalanan hidup kami masing-masing selepas SMA dan kesuksesannya sebagai partner beberapa tempat wisata terkenal. Tentu saja saya bangga akan apa yang telah menjadi pilhan hidup sahabat saya itu.

Berhubung rumah pohonnya belum selesai saat itu, ia menawarkan anak-anak saya untuk menjajal outbond dengan tali temali di lokasi yang sudah ready. Tidak jauh dari lokasi rumah pohon itu. Anak-anak seperti biasanya sangat antusias. Berlari dengan cepat ke lokasi. Saya meminta bantuan petugas untuk memastikan keselamatan anak saya. Teman saya juga ikut turun tangan memeriksa keamanan alat-alat bantu yang akan digunakan anak saya. Nah sekarang semuanya sudah siap.

Journey dimulai dari tangga dan terowongan jaring tali temali. Anak saya yang lebih kecil segera menapaki tangga dan melaju dalam terowongan dengan penuh semangat dan antusias. Entah kenapa, sekelebat saya melihat rasa khawatir terpancar dari wajah anak saya yang lebih besar. Walaupun ia juga bergerak menapaki tangga dan masuk ke lorong tali temali. Naluri saya sebagai Ibu seketika tersentuh untuk memberikan fokus perhatian yang lebih banyak kepadanya  saat itu. Anak saya yang kecil  justru terlihat sangat cekatan. Ketika saya check,anak saya yang besar  bilang bahwa  ia ‘Ok’ dengan situasinya. Beberapa langkah ia bergerak lagi, lalu tiba-tiba stop. Terlihat keraguan lagi di matanya. Saya mendekatinya. Kepala saya sekarang ada di bawah badannyanya yang tersangkut di terowongan tali temali yang membentang diantara dua pohon. Anak saya lalu bilang ia ragu, apakah badannya yang bongsor akan bisa lolos atau tidak dari lorong itu. Karena lorong terlihat menyempit dan setiap kali ia bergerak lorong tali temali itu terlihat oleng. Saya mencoba memperkirakan lorong itu dengan ukuran tubuhnya dan saya berpikir ukurannya sedikit lebih besar dari badan anak saya. Dan saya yakin anak saya masih bisa lolos.

“ Lorong itu cukup besar pintunya. Pasti bisa!” kata saya memberi keyakinan. Anak saya lalu bergerak perlahan dengan hati-hati. Lorong tali temali ikut bergoyang goyang seiring dengan gerakan anak saya. Setelah menahan nafas beberapa saat, akhirnya anak saya bisa meloloskan diri dari lorong itu. Terlihat wajahnya mulai lebih lega.

Perjalanan berikutnya adalah beragam pengalaman berjalan di atas tari, bergerak dari satu pohon ke pohon yang lainnya dan anak saya kelihatannya mampu melewatinya dengan baik. Anak saya yang kecil bahkan sudah bergerak sangat maju, penuh semangat dan riang gembira tanpa khawatir satu rintanganpun. Namun makin  lama rintangan semakin sulit dan tali semakin tinggi. Pada pohon yang ke sekian, tiba tiba anak saya yang besar tergelincir dari tali. Ia berusaha bertahan  dengan memegang erat tali pengaman dengan kepala yang sekarang terbalik ada di bawah dan kaki tergantung diatas. Untunglah system keamanan peralatan itu baik dan petugas juga sangat sigap segera meolong anak saya. Tentu saja sebagai Ibu saya sangat khawatir. Saya bertanya apakah ia akan melanjutkan petualangannya atau akan menghentikannya sampai disitu. Sejenak ia terdiam dan parkir di pohon sambil  berpikir. Saya tidak ingin memaksakan untuk mendapat sebuah jawaban ya atau tidak.

Sementara ia belum mengambil keputusan, saya menyodorkan air minum dan mencoba mencari tahu apa yang ia rasakan dan pikirkan sebelum, sesaat dan sesudah kejadian itu. Ia lalu bercerita, bahwa ia sesungguhnya khawatir akan ketinggian dan tidak yakin apakah ia akan sanggup melewatinya atau tidak dan benar saja, saat ia lewat ia merasakan ketegangan itu. Tanah terlihat sangat jauh dan tiba-tiba saja kakinya tergelincir.

Kami lalu melihat pergerakan adiknya yang kecil yang  dengan sangat trengginas sudah bergerak sangat jauh dan kelihatannya tak mengalami masalah sedikitpun. Beberapa anak lain juga kelihatannya bermain dengan penuh semangat. Tiba –tiba anak saya yang besar bangkit dan bilang kepada saya akan mencobanya kembali. Giliran saya yang merasa khawatir, tapi ia meyakinkan saya bahwa ia akan bisa dan akan lebih hati-hati. “ Aku pasti bisa, ma!”. Katanya dengan kepercayaan diri yang tiba-tiba datang entah darimana..  Ia mulai bergerak lagi dan kali ini terlihat lebih lancar dan lebih berani. Saya melihatnya bergerak selangkah demi selangkah meniti tali  hingga akhirnya ia berhasil mendarat dengan baik setelah berseluncur di sebuah tambang dari ketinggian. Akhirnya saya bisa menarik nafas lega melihat senyum di wajah anak saya. Happy ending!

Wah.. sebuah petualangan yang sangat menyenangkan. Karena sudah sore saya dan anak anak segera pamit dan mengucapkan terimakasih kepada sahabat saya itu. Sepanjang perjalanan pulang, anak-anak berceloteh tentang betapa hebatnya permainan tadi. Tentang betapa tingginya tambang yang harus mereka jalani. Tentang betapa mengerikannya bila harus tergelincir dari tali dan bergantung dengan kaki diatas dan kepala di bawah. Tentang betapa kuatnya system pengamanan yang bisa menahan tubuh saat jatuh, dan sebagainya. Anak- anak sangat memuji dan berkeinginan untuk datang kembali.

Saya mendengarkan  obrolan anak-anak  dan membayangkan kejadian demi kejadian yang dialami oleh anak saya yang besar di atas tambang yang membentang di antara pepohonan itu. Membayangkan keraguan yang terpancar diwajahnya sebelum jatuh dan keyakinan yang tiba-tiba terbangun hingga ia mampu menyelesaikan perjalanannya dengan baik. Ketrampilan dan pengetahuan anak-anak untuk menghadapi situasi di atas temali  memberi peluang yang besar bagi mereka untuk berhasil. Namun ketabahan hati dan keberanian untuk meniti tali temali itu memberi nilai plus terhadap keyakinan mereka untuk berhasil. Dan seterusnya keyakinan diri yang sangat baik pada anak-anak, membuat keberhasilan itu menjadi terealisasi.

Saya rasa demikian juga yang terjadi dalam kehidupan kita  sehari-hari.  Tingkat ketabahan dan keberanian seseorang dalam menghadapi suatu masalah sangat membantu meningkatkan keyakinan dan kepercayaan diri kita.  Dan kesuksesan kita dalam mencapai segala sesuatu sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan yang telah terbentuk dalam benak kita. Jika kita yakin pasti bisa, maka kemungkinan keberhasilannya semakin tinggi. Jika kita ragu dan khawatir, dengan sendirinya akan mengurangi tingkat kemampuan kita untuk berhasil. Jadi apapun yang kita pikirkan dan yakini sangat erat kaitannya dengan hasilnya. Your mind  just  like a magnet!

Hitam-Putih … Menyelami Makna Keseimbangan Alam Dalam Kehidupan.

Standard

Ketika memasuki halaman rumah saya, seorang teman yang kebetulan mampir bertanya    dengan heran “ Mengapa orang Bali hobby memakaikan sarung? “.  Saya pun  ikut heran. Mengapa ia bertanya seperti itu? Saya tidak pernah ingat bahwa orang Bali menyukai sarung melebihi suku manapun di Indonesia. Sejenak kemudian kebingungan  saya terjawab  saat teman saya menunjuk kain hitam putih yang melilit pohon penaung di depan rumah saya. Sayapun mengerti apa yang ia maksudkan. Rupanya  apa yang kami sebut di Bali sebagai ‘Saput Poleng’ berwarna  Hitam-Putih itulah yang dimaksud. Read the rest of this entry