Monthly Archives: November 2023

SATRIYO BUDOYO – karya pelukis Indah Soenoko .

Standard
Satriyo Budoyo – karya pelukis Indah Soenoko, mrnggambarkan Bung Karno sebagai pahlawan kebudayaan.

Dari sedemikian banyaknya lukisan yang dipamerkan di pameran lukisan Pahlawan Tanpa Batas Ruang Waktu, ada sebuah lukisan yang unik.

Di lukisan itu terlihat tokoh Bung Karno sedang memainkan wayang Limbuk dan Cangik dengan kedua tangannya bak seorang dalang.

Limbuk dan Cangik adalah dua tokoh wayang Jawa (soalnya tokoh ini kok nggak ada ya di pagelaran wayang Bali 😀). Mereka adalah punakawan perempuan yang setia pada majikannya.

Dengan menempatkan tokoh Bung Karno bersama wayang di tangannya, pelukis Indah Soenoko ingin menggambarkan tokoh Bung Karno yang sangat mencintai budaya negeri sendiri. Beliau adalah pahlawan kebudayaan alias SATRIYO BUDOYO dalam Bahasa Jawanya.

Pelukis Indah Soenoko dengan karyanya : Satriyo Budoyo di pameran lukisan Pahlawan Tanpa Batas Ruang Waktu, di Perpusnas RI, Jakarta.

Saya jadi merenung sendiri memandang lukisan Ibu Indah itu.

Ya. Pada kenyataannya, bangsa Indonesia saat ini sedang dalam perjalanannya menuju kemusnahan budaya dan jati dirinya sendiri.

Banyak kesenian, tarian, busana, adat istiadat daerah asli Indonesia yang ditinggalkan oleh pemiliknya (bangsa Indonesia) saat ini. Tergantikan oleh budaya asing dan meniru jati diri orang asing tanpa ada yang menyadari dan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya.

Entahlah, pikiran saya jadi agak kusut. Saya jadi merasa sedih memikirkan itu. Entah kapan dan dimana lagi kita melihat bangsa kita kembali bangga dan berjaya dengan budayanya sendiri.

Jika ada orang yang konsisten berjuang untuk mempertahankan budaya asli Indonesia saat ini, maka ialah sang Satriyo budoyo.

Lukisan berlatar belakang gelap ini, seolah membenarkan pikiran saya tentang sendunya nasib kebudayaan asli Indonesia kini.

Saya suka lukisan ini karena menyiratkan pesan-pesan kebangsaan yang disampaikan oleh pelukisnya.

Dan hal lain yang saya kagumi adalah semangat tinggi Ibu Indah untuk terus melukis dan ikut serta pameran, di usia beliau yang sudah menginjak 69. Walau harus datang ke lokasi pameran bertatih-tatih dengan tongkatnya beliau kelihatan tetap semangat.

Saya berharap ketika kelak umur saya mencapai umurnya beliau, saya bisa masih tetap sesemangat beliau.

Selamat dan sukses untuk Bu Indah.

3 GENERASI – karya pelukis Titiek Sundari.

Standard
3 Generasi, Ibu Fatmawati, Ibu Megawati dan Mbak Puan. Air kopi di atas kanvas. Karya pelukis Titiek Sundari

Kembali bertemu dengan Mbak Titiek Sundari. Kali ini di pameran lukisan ” “Pahlawan – Tanpa Batas Ruang waktu” yang diadakan di gedung Perpusnas Jakarta.
Sebenarnya saya sengaja datang ke pameran ini karena informasi dari Mbak Titiek. Saya memang ingin melihat lukisan Mbak Titiek yang lain yang menjadi ciri khasnya – dilukis dengan menggunakan air kopi.

Saya datang sebelum acara pembukaan dimulai, sehingga sempat melihat-lihat dulu sementara orang-,orang masih memajang lukisan.

Pelukis Titiek Sundari dengan karyanya 3 Generasi, Ibu Fatmawsti, Ibu Megawati dan Mbak Puan Maharani.

“Ayo, tebak! Yang mana lukisanku? ” tantang Mbak Titiek kepada saya. Saya tersenyum. Saya pikir ada tiga hal yang harus saya perhatikan jika disuruh menebak begini.

Pertama saya harus mencari lukisan yang dilukis dengan air kopi.
Kedua, saya harus melihat lukisan yang profilenya kuat
Ketiga, jika bukan terbuat dari air kopi, maka saya harus menemukan lukisan yang rapi garis dan tarikannya.

Saya berkeliling dan sempat berhenti pada lukisan Mbak Titiek. Ini kayaknya terbuat dari kopi dan ini lukisan profile tiga perempuan. Mirip Ibu Mega beserta kakak adiknya. Tapi entahlah. Tidak ada name tag tentang lukisan itu di sana. Lagipula warnanya agak pekat jika itu terbuat dari kopi.

Coba saya keliling lagi. Cari yang lain

Banyak lukisan yang dipamerkan, tapi kelihatannya saya tidak menemukan diantaranya yang kira-kira digambar Mbak Titiek.Ada satu, lukisan seorang perempuan yang sedang bekerja dengan laptopnya. Lukisan ini rapi juga. Tapi saya juga ragu.

Akhirnya saya dijelasin oleh Mbak Titiek bahwa lukisannya itu adalah yang lukisan Ibu Mega dengan ibu dan putrinya. Oooh, pantesan saya tadi sudah sempat menerka yang ini. “Tiga generasi dong?” Komentar saya sambil tertawa. Eh…beneran. Ternyata judul lukisan itu memang 3 Generasi 😀

Mbak Titiek memiliki kekuatan dalam melukis ekspresi orang, sehingga ketika harus melukis profile, terlihat sangat mirip dengan tokoh/ obyek yang dilukis.

Selain itu lukisannya juga detail dan rinci . Seperti misalnya gambar kerudungnya Bu Fatma, sangat detail. Keren dah pokoknya.

Pameran Lukisan “Pahlawan – Tanpa Batas Ruang Waktu”

Standard
Pameran lukisan Pahlawan Tampa Vatas Ruang Waktu

Tadi siang saya ikut menghadiri pembukaan pameran lukisan di Perpusnas, Jln Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Di undangannya tertulis pkl 13.00. Bergegaslah saya ke situ. Berangkat awal, karena takut telat 😀

Walau melewati demo yg cukup mengganggu lalu lintas, saya tiba bahkan sebelum pukul 12.30. Masih ada sekitar 30 menit lebih buat saya ngobrol dengan teman-teman pelukis yang ada di sana, sambil melihat-lihat, sebelum acara akan dibuka oleh Bapak Agus Sutoyo selaku Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas RI/ yang mewakili, pada pukul 13.00.

Hingga pukul 13.00 saya lihat belum ada tanda-tanda pameran akan dibuka. Rupanya acara pembukaan terlambat dimulai – molornya hingga sekitar sejam. Lama juga ya 😀. Dan karena Pak Kepala berhalangan hadir, jadi akan dibuka oleh Ibu Fera sebagai yang mewakili.

Saya melihat- lihat lukisan yang dipajang. Themanya pahlawan. Ya, dibagian depannya diisi dengan lukisan Bung Karno, Pak Sudirman, Bung Tomo. Yang menarik ternyata ada banyak lukisan pahlawan tanda jasa bagi murid, bagi anak dan keluarga. Misalnya lukisan kuli panggul pengangon bebek, guru piano, TKI pahlawan devisa dan sebagainya orang-orang yang menjadi pahlawan tulang punggung keluarga. Ya memang. Sosok Pahlawan masa kini sudah berubah banyak. Bukan lagi yang fokus pada yang mengangkat senjata dan berangkat ke medan perang, tapi termasuk juga yang memperjuangkan ekonomi keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Sesuailah dengan judul pameran ini, “Pahlawan – tanpa batas ruang waktu,”

Selain kebanyakan lukisan memang ada kaitannya dengan thema pahlawan, tapi beberapa lukisan menurut saya tidak ada hubungan dengan pahlawan sama sekali

Banyak lukisan yang bagus -bagus, hanya sayang, menurut saya tata letak dan juga displaynya agak berantakan, terkesan asal terpajang saja. Mungkin karena terburu-buru. Pencahayaan kurang, terutama di areal display agak belakang. Sayang banget, lukisan bagus jadi banyak yang redup dan kurang terlihat keindahannya. Semoga besok sudah bisa diperbaiki.

Pameran ini berlangsung dari tanggal 28 Nov hingga tgl 11 Desember 2023.

LINGZHI

Standard

Hujan mulai sering turun di banyak tempat. Dan seperti umumnya, jamur mulai bermunculan. Saya melihat banyak orang-orang memposting penemuan jamurnya di Sosmed.

Sebagai pengamat jamur, saya penasaran juga. Setiap jalan pagi, saya selalu rajin memeriksa lokasi-lokasi di taman yang menjadi habitat jamur. Tapi jamur di daerah tempat saya tinggal, belum bermunculan juga.

Tapi saya sadari, sebenarnya musim hujan di daerah saya belum mantap. Hujan baru turun sekali-sekali. Belum cukup untuk mengetuk-ngetuk pintu bumi agar para jamur bermunculan kembali dari dalam tanah.

Tetapi tidak semua jamur kemunculannya selalu dari dalam tanah. Misalnya Jamur Lingzhi aluas Ganoderma lucidum, munculnya nggak selalu dari tanah. Bahkan lebih sering dari batang atau akar tanaman. Ah, coba saya lihat, barangkali ada update terbaru dari jamur ini.

Saya ingat lokasi di mana jamur Lingzhi tumbuh. Di bawah pokok Albesia di taman depan. Jadi pagi tadi saya sengaja berjalan ke taman depan untuk mengamati perkembangan jamur ini. Mengingat beberapa saat sebelumnya, akibat kemarau yang panjang, saya melihat jamur kayu itu sudah kering, menghitam dan keras seperti kayu. Sudah cukup lama saya tidak mampir ke bawah pohon Albesia itu.

Ah benar saja. Sebuah jamur Lingzhi tampak sedang dalam pertumbuhannya. Lucunya dia muncul di tengah-tengah jamur generasi sebelumnya yang sudah mengeras.

Selain di bawah pohon ini, saya juga menemukan ada beberapa jamur lingzhi muda muncul, seolah-olah dari permukaan tanah, tetapi setelah saya periksa ternyata itu dari akar tunggang pohon albesia yang lain.

Jamur Lingzhi banyak digunakan dalam pengobatan timur, oleh karenanya banyak orang menjualnya untuk kebutuhan itu.

Swan

Standard

What are your favorite animals?

My favorite animals are Swans as I see alot of swans behaviour resemble good behaviour of human.

Swan is an elegant birds that very easyly and quickly adapt to new environment.

I have seen once a farmer brought swans and ducks to a lake nearby my office. The lake was new to that poultries

I was having my lunch at one of resto there. I saw one swan was entered the lake very confidently and gracefully, followed by the other swans. They swimmed easily as if they already knew that lake for long. Then only after a while, the ducks followed swimming.

Swan is also very loyal bird. Never change the partner except of because very special reason , i.e his partner died.

Swan protects its family from the predators or strangers and often attack people who tried to touch their cygnets.

Swan navigates flocks where to swim, where to seek for food and doing other activities.

And so many other swans behaviour that I like.

Antherium radicans

Standard
Anthurium radicans

Untuk penggemar tanaman hias daun, Anthuriun radicans bisa menjadi pilihan yang menarik.

Tanaman ini memiliki daun hijau muda tembaga ketika muda, lalu semakin pekat saat daun menua. Bentuk daunnya yang oval lalu melancip pada bagian ujungnya, mengingatkan kita akan daun sirih. Itulah sebabnya terkadang tukang tanaman menamainya Anthurium Sirih.

Anthurium radicans

Tanaman ini menjadi tampak semakin anggun elegan dengan pot tinggi berwarna gelap.

CINTA – karya pelukis R Sigit Wicaksono.Memahami keabstrakan.

Standard
Lukisan Abstrak CINTA – karya pelukis
R Sigit Wicaksono

Ini masih tentang lukisan yang dipamerkan di galeri Dekranasda Kota Bekasi. Sebenarnya ada sangat banyak lukisan yang dipajang di situ. Semuanya saya perhatikan dengan kagum, karena banyak yang bagus-bagus. Tapi ada satu lukisan yang membuat saya bengong. Sebuah lukisan abstrak.

Lukisan opo iki? Sebidang warna kuning, dengan bercak warna merah, putih dan hijau. Lalu beberapa garis biru, hitam dan hijau.

Karena judul pamerannya “Cinta Puspa & Satwa”, maka pikiran saya yang praktis dengan cepat mencoba menerka-nerka kiranya bunga (puspa) apa, atau binatang (satwa) apa yang sedang diceritakan oleh lukisan ini. Sayangnya saya tak mampu mencernanya dengan baik.

Saya tak mampu mengaitkan lukisan itu dengan satu bungapun yang pernah saya lihat. Juga tidak bisa mengaitkannya dengan binatang apapun yang saya ketahui.

Jika saya gunakan jurus cocokologi, sepertinya lukisan itu menggambarkan seorang pria gendut (atau anak gendut?) bercelana merah, bertopi beani alias topi rajut berwarna hijau, dan shawl musim dingin berwarna kuning, sedang melangkah sambil menggendong tas ransel berwarna putih. Kayaknya bukan puspa atau satwa.

Atau… apa coba saya interpretasikan lewat warna saja? Yang jelas ada banyak keceriaan di dalam lukisan yang didominasi warna kuning, jingga dan merah. Juga ada sedikit kesegaran dan kemurnian yang direfleksikan oleh warna hijau dan putih.

Pelukis R Sigit Wicaksono dengan karyanya.

Pelukisnya berdiri di situ, tersenyum ramah kepada saya. Namanya R. Sigit Wicaksono. Kamipun ngobrol. Perupa jebolan IKJ itu menceritakan tentang lukisan abstrak karyanya itu dan maknanya kepada saya. Ternyata lukisan itu adalah tentang CINTA.

Ha… cinta ? Ya. Ternyata memang tentang cinta. Bukan tentang puspa , bukan tentang satwa. Tapi tentang cinta.

Karena thema pamerannya adalah Cinta Puspa dan Satwa, nah sah-sah saja jika Mas Sigit ini mengambil bagian “cinta” nya untuk dilukis.

Menurut beliau, di jaman sekarang yang serba gemerlap, hiruk -pikuk, dunia tipu-tipu, banyak kepalsuan dimana-mana , namun masih tetap ada yang namanya Cinta yang sejati. Cinta sejati yang dipenuhi kemurnian dan ketulusan hati, beliau lambangkan dengan warna putih.

Memang tidak mudah menemukannya. Namun jika kita cari di belantara kota ini, yang dilambangkan oleh percikan warna-warna merah kuning, jingga, hijau, beliau yakin cinta sejati yang seputih itu masih tetap ada. Itulah warna putih yang di tengah itu.

Ooh ya ya. Sekarang saya mulai bisa menangkap hubungan lukisan abstrak itu dengan Cinta sejati.

Beberapa saat kemudian, ketika Mas Sigit sudah keluar ruang pameran, seorang wanita muda tampak mencari-cari beliau. Tapi Mas Sigitnya sudah pergi.

Rupanya sama seperti saya, setelah memandang lukisan abstrak itu, wanita muda itu bingung sendiri karena tak mampu memahami lukisan apa itu. Sayapun berusaha membantu menjelaskan sesuai dengan penjelasan pelukisnya kepada saya sebelumnya.

Tapi setelah itu, saya jadi memikirkan tentang lukisan abstrak secara umum.

Lukisan abstrak memiliki sisi plus dan sisi minus. Kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan lukisan abstrak adalah memungkinkan penonton melakukan interpretasi yang lebih bebas, memungkinkan ekspresi kreatif tanpa batasan figuratif, dan kemungkinan bisa menciptakan pengalaman visual yang unik bagi penonton.

Namun, kekurangannya dapat mencakup kesulitan dalam pemahaman makna yang dimaksudkan oleh seniman dan kurangnya representasi figuratif yang jelas. Sebagian orang mungkin merasa sulit terhubung dengan lukisan abstrak karena kurangnya elemen yang dapat diidentifikasi secara langsung.

Lukisan jenis ini mungkin memiliki penggemar tersendiri yang memiliki kecerdasan abstrak di atas rata-rata, yang tidak bisa dicerna langsung begitu saja oleh masyarakat awam.

Itulah lukisan abstrak.

Saya pikir lukisan seperti ini, tanpa harus memikirkan maknanya tetap terlihat indah dan enak dipandang. Bagus dipajang di ruang-ruang santai di rumah, hingga ruang-ruang kantor.

Saya sering melihat jenis lukisan abstrak dipajang di gedung-gedung maupun hotel dan fasilitas umum. Tetap terlihat indah tanpa memaksa penikmatnya harus memahami arti dan makna lukisan itu. Pokoknya menarik aja. Menurut saya, lukisan seperti ini memiliki potensi pasar yang baik

Sukses selalu untuk Mas Sigit di paneran-pameran berikutnya.

BURUNG – lukisan karya Eddy Yoen. Menggambar energi dan dinamisme.

Standard
Burung – karya pelukis Eddy Yoen

Salah satu lukisan lain yang dipajang di pameran lukisan “Cinta Puspa dan Satwa” di Bekasi, yang juga menarik hati saya, adalah lukisan seekor burung yang hinggap di sebuah dahan. Yang tampak detail pada lukisan itu adalah wajah burung, terutama matanya yang belo, paruhnya yang tajam dan dahinya. Sisanya seolah tertiup angin bara panas yang membakar.

Jika melihat bentuk paruh dan dahinya yang seperti itu, tentulah ia sejenis burung raptor atau setidaknya jenis burung omnivora atau yang masih sekeluarga dengan elang kecil. Yang pasti bukan jenis burung parkit yang berparuh bengkok, berjidat jenong, kemayu dan unyu-unyu.

Ia adalah burung yang kuat dan tabah. Wajahnya tetap tenang, walau banyak masalah yang terjadi di selilingnya.

Saya suka tarikan warna satu arah ke belakang burung ini yang mengesankan sebuah gerakan angin atau entah kobaran api yang membuat keseluruhan lukisan terlihat hidup dan dinamis. Mengingatkan saya akan karya-karya patung Nyoman Nuarta. Ia mampu membuat sebuah benda mati (patung) menjadi tertangkap energi dan dinamismenya. Lukisan burung ini serupa itu. Energi dan dinamismenya tampak tertuang dengan baik.

Efek interpretasi yang diciptakan bisa macam-macam. Tergantung penonton sih.

Seolah burung itu baru hinggap dalam keadaan mendadak, mirip sebuah pesawat yang ngerem dalam keadaan mendarat darurat.

Bisa juga diinterpretasikan sebagai seekor burung yang menclok di dalam kobaran hutan yang terbakar.

Atau bisa juga seolah burung itu datang dari sebuah perjalanan panjang, dimana ia telah banyak membakar energinya hingga akhirnya bisa mendarat dengan selamat di tempat ini. Walau sekitar terbakar, tapi tampaknya ia masih baik-baik saja.

Nah…tentu itu adalah interpretasi yang dibuat oleh penonton lukisannya.

Tetapi, yang paling paham tentang apa sesungguhnya yang ingin disampaikan lewat lukisan ini, tentu saja pelukisnya sendiri yang tahu.

Pelukis Eddy Yoen dan karyanya ” Burung,”

Pelukisnya adalah Bapak Eddy Yoen – yang saat itu, kebetulan juga sedang ada di tempat pameran. Sekalianlah saya tanyakan kepada beliau tentang lukisannya itu.

Pak Edddy Yoen menjelaskan bahwa perjalanan burung yang baru saja mendarat itu serupa dengan perjalanan hidupnya yang penuh dinamika. Di dunia yang serba tergesa-gesa, semua butuh kecepatan tinggi, lari dari satu karya ke karya lain, dari satu pameran ke pameran yang lain.

Cocok kayaknya penggambarannya begini.

Selamat dan sukses untuk Pelukis Eddy Yoen.

GEISHA – karya Titiek Sundari

Standard
Geisha – karya Titiek Sundari

Saya menghadiri pameran Lukisan “Cinta Puspa dan Satwa ” di Dekranasda Kota Bekasi, gara-gara saya melihat ada nama Mbak Titiek Sundari ikut berpartisipasi di pameran itu.

Awalnya saya berfikir bahwa beliau akan memamerkan lukisan-lukisan kopinya di sana. Karena saya pernah ditunjukkan sebuah lukisan ikan koi yang sangat cantik dari kopi karyanya, selain lukisan diri saya yang beliau buat juga dari bahan kopi.  Sayapun datang ke Bekasi.

Titiek Sundari

Ketika tiba di galeri Dekranasda , saya melihat ada banyak lukisan yang dipamerkan di situ. Salah satunya adalah lukisan Mbak Titiek Sundari.  Tapi yang dipajang bukan lukisan dengan cat kopi, tapi lukisan cat akrilik di atas kanvas.  Wow!

Walaupun saya tidak menemukan lukisan dari kopi di sana, tetapi saya mendapati sebuah lukisan indah. Lukisan seorang wanita muda dengan kucingnya  yang berwarna putih.

Itu pameran lukisan tentang puspa dan satwa. Iya sih ada gambar kucingnya di situ. Kucing kan satwa juga. Tapi seingat saya, cuma lukisan itu yang satu-satunya ada gambar wanita di galeri itu.

Pelukis Titiek Sundari dengan lukisannya yg berjudul ” Geisha”

Mbak Titiek Sundari memberi judul “Geisha” pada lukisannya itu.  Saya menatap dalam-dalam pada perempuan di dalam lukisan itu.

Iya . Secara keseluruhan saya menangkap aura dan suasana Jepang di lukisan itu. Mungkin karena direpresentasikan oleh gaya rambut perempuan itu beserta elemen bunga di rambutnya. Menggambarkan seorang perempuan cantik, yang halus, lembut dan penyayang. Representasi yang artistik. Terbayang kehidupan yang baik dan menyenangkan kaum papan atas di seputaran kehidupan Geisha itu. Namun dibalik itu tersembunyi sebuah kesenduan yang tertangkap dari spektrum warna gelap di sekeliling wanita itu.

Dan seekor kucing di gendongan lengan wanita itu.  Kucing yang sangat cantik, dengan ekspressi muka yang lucu, manja dan menggemaskan. Pengen nyubit.

Memandang kucing itu, saya sadar akan kekuatan lukis Mbak Titiek Sundari dalam menterjemahkan ekspressi seseorang atau mahluk seperti kucing.  Saya pikir itu bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan oleh seorang pelukis.  Sering saya melihat sebuah lukisan orang tertawa. Sangat jelas mulutnya terbuka, namun entah kenapa jiwa tertawanya tidak ikut terlukis di situ, sehingga tawanya terkesan kosong dan palsu. Jiwanya ketinggalan di mana..

Nah kucing ini sedang manja dan nyaman dalam gendongan wanita itu. Dan jiwa malas dan manjanya seolah ikut terpancar di mata dan ekpresi kucing itu.

Secara keseluruhan lukisan itu terlihat sangat cantik dan apik.  Setiap garis yang ditarik di lukisan itu tampak rapi, tidak ada cacat atau mbleber.

Jadi penasaran, ingin meligat-lihat lagi karya-karya Mbak Titiek Sundari yang lain.

Sukses selalu ya Mbak Titiek Sundari.

Buku : Sekuntum Puisi Untuk Petani.

Standard
Ni Made Sri Andani & buku antologi Sekuntum Puisi untuk Petani

Saya menerima buku Antologi “Sekuntum Puisi Untuk Petani”, yang memuat karya-karya 52 penyair Nusantara bekerjasama dengan Komunitas Kembang Rampai Bali dengan thema Petani.

Beberapa diantara penulis itu ada yang saya kenal walaupun hanya di dunia maya ataupun dari group sosmed seperti misalnya Gimien Artekjursi , Ngakan Made Kasub Sidan , Made Sugianto , Sarjana Dewa Nyoman, Puce Kristina, dan beberapa yg lainnya . Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi.

Saya menyukai buku Antologi puisi dengan tema petani ini, karena menurut saya dengan membaca puisi-puisi di buku ini saya jadi mendapat banyak sekali pengalaman mendalam tentang kehidupan dan perjuangan petani melalui kumpulan karya-karya penyair.

Sekuntum Puisi Untuk Petani

Bagi pembaca, buku ini memberikan wawasan unik tentang realitas petani yang mungkin terabaikan, juga meningkatkan empati, dan menginspirasi rasa kebersamaan.

Buku antologi seperti ini menurut saya juga sangat bagus bagi para penyairnya, karena menciptakan puisi dalam konteks ini dapat memperluas cakrawala kreativitas para penulis itu sendiri, merayakan kehidupan sehari-hari, serta memberikan panggung bagi suara mereka untuk didengar secara kolektif.

Dan tentu saja membawa kegembiraan bagi diri saya sendiri, karena 2 buah puisi saya yang berjudul “PETANI KOTA” dan “LADANG SAYUR DI PAGI HARI” dimuat di buku antologi puisi ini.

Terimakasih untuk Komunitas Kembang Rampai Bali 🙏🙏🙏